Permasalahan Perdagangan Luar Negeri Komoditas Pertanian

169 menunjukkan bahwa, masih besarnya potensi sejumlah komoditas ekspor pertanian yang harus ditingkatkan, baik terhadap komoditas unggulan maupun ragam komoditinya, serta perluasan jumlah negara tujuan ekspornya.

6.2.8. Permasalahan Perdagangan Luar Negeri Komoditas Pertanian

Sektor pertanian memang memiliki peranan yang cukup penting dalam perolehan devisa, namun dari aktivitas ekspor komoditas pertanian masih terdapat beberapa permasalahan yang muncul di Indonesia sehubungan dengan aktivitas ekspor tersebut, diantara permasalahan yang dihadapi adalah, masalah yang terkait dengan kondisi internal, masalah yang terkait dengan kondisi eksternal, dan masalah yang terkait dengan perdagangan global.

1. Masalah yang Terkait dengan Kondisi Internal

Dalam upaya peningkatan ekspor komoditi pertanian sering terjadi trade off antara upaya peningkatan ekspor dengan kepentingan kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terkadang harus mengorbankan ekspor atau sebaliknya dengan meningkatkan ekspor yang lebih besar karena harga di luar negeri lebih tinggi, sehingga di dalam negeri komoditi tertentu menjadi langka, akibatnya harga di dalam negeri menjadi naik, bahkan jika di dalam negeri terjadi kekurangan, maka harus ditutupi dengan impor, yang berarti akan mengurangi devisa. Dengan kata lain upaya peningkatan peranan sektor pertanian dalam penerimaan devisa dari ekspor, dapat terjadi kontradiksi antara kepentingan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, baik untuk kebutuhan pangan maupun kebutuhan untuk bahan baku industri pengolahan dengan kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor komoditi pertanian. Sehingga jika 170 kenaikan ekspor tanpa memperhatikan kebutuhan di dalam negeri, maka akan terjadi kelangkaan, akibatnya harga komoditas di pasaran dalam negeri akan meningkat. Sebaliknya jika yang dilakukan lebih memperhatikan kebutuhan di dalam negeri, berarti akan menghambat pertumbuhan ekspor pertanian. Jadi dalam hal ini yang menjadi inti persoalannya adalah masih kecilnya skala usaha produksi pertanian yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk ekspor. Untuk mengatasi masalah tersebut, terutama pada komoditi yang terkait langsung dengan kebutuhan dalam negeri dan ekspor, maka kapasitas produksi komoditas tersebut harus ditingkatkan. Dengan demikian baik kebutuhan dalam negeri di satu pihak, maupun kebutuhan ekspor di lain pihak dapat terpenuhi, sehingga gejolak harga di dalam negeri dapat diatasi. Masalah lain yang terkait dengan ekspor komoditi pertanian adalah kemampuan daya saing yang masih rendah. Secara praktis terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya saing produk ekspor Indonesia misalnya, 1 kurs efektip rupiah terhadap dolar Amerika yang tidak menguntungkan, karena jika terjadi apresiasi nilai rupiah, ada kecenderungan menurunnya daya saing, sebaliknya jika terjadi depresiasi rupiah yang cukup besar, memang akan meningkatkan daya saing, akan tetapi dapat juga meningkatkan inflasi di dalam negeri yang cukup tinggi dibandingkan dengan inflasi di negara-negara pesaing, sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh, 2 kenaikan harga faktor- faktor produksi, misalnya kenaikan upah tenaga kerja yang melebihi produktivitasnya, kenaikan suku bunga bank, maupun kenaikan harga kapital, 3 ekonomi biaya tinggi, terutama biaya yang harus dikeluarkan untuk berbagai pengurusan persyaratan administrasi birokrasi. Berdasarkan estimasi dari LPEM 171 Universitas Indonesia 2004, ekonomi biaya tinggi di Indonesia mencapai 9 persen hingga 11 persen dari biaya produksi. Pengaruh inefisiensi akibat dari berbagai pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kepentingan birokrasi, ditambah lagi biaya-biaya lain seperti pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan pasca panen, dan biaya transportasi dapat menurunkan daya saing harga di pasaran luar negeri. Selain faktor-faktor di atas, sebenarnya masih terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan daya saing, seperti penurunan investasi asing yang dapat berperan dalam mengembangkan produksi dengan menggunakan teknologi dan peralatan mesin yang mereka gunakan. Di samping itu, peranan infrastruktur dibidang transportasi, misalnya jalan, jembatan, dan pelabuhan sangat penting, terutama dalam memperlancar arus barang baik antar pulau di dalam negeri maupun antar negara.

2. Masalah yang Terkait dengan Kondisi Eksternal

Masalah keragaman ekspor komoditi pertanian adalah merupakan salah satu masalah eksternal terhadap ekspor hasil-hasil pertanian Indonesia. Sesuai dengan konsep perhitungan pendapatan nasional, jenis-jenis komoditi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sub sektor pertanian yakni, sub sektor tanaman pangan, sub sektor perkebunan, sub sektor kehutanan, sub sektor peternakan, dan sub sektor perikanan. Dari berbagai sub sektor tersebut, ekspor komoditi pertanian Indonesia hanya di dominasi oleh beberapa jenis komoditi saja, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sedangkan ekspor jenis komoditi 172 lainnya belum menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap ekspor non migas. Ketergantungan terhadap beberapa komoditi perkebunan tersebut dapat menimbulkan persoalan terhadap penerimaan devisa dari ekapor pertanian, padahal kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga cukup besar untuk komoditi tersebut. Demikian pula faktor persaingan dengan negara- negara penghasil komoditi yang sama juga harus menjadi pertimbangan untuk melakukan keragaman ekspor serta meningkatkan produktivitas komoditas tersebut. Masalah konsentrasi pasar terhadap negara tujuan ekspor, dimana negara- negara yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia termasuk ekspor komoditas pertanian adalah Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat. Sesungguhnya masalah ini adalah merupakan masalah umum untuk keseluruhan ekspor non migas Indonesia. Masalah ketergantungan ekspor terhadap negera-negara tersebut dapat menjadi potensi penurunan ekspor komoditas pertanian. Karena jika terjadi gangguan pada negera-negera tujuan ekspor tersebut, maka akan memiliki dampak yang besar terhadap kinerja ekspor Indonesia, termasuk ekspor pertanian.

3. Masalah Kelompok Perdagangan Global

Masalah ini terkait dengan kesepakatan World Trade Organization WTO dibidang pertanian Agreement on Agriculture, AoA. Pembentukan organisasi perdagangan dunia atau dikenal dengan sebutan WTO memiliki tujuan utamanya adalah untuk memperlancar akses pasar antar negara anggota. Organisasi ini merupakan rangkaian dari General Agreement on Tarrif and Trade GATT yang 173 telah ada sebelumnya. Keberadaan GATT tampaknya belum mampu untuk mengatasi hambatan yang sering terjadi yakni hambatan tarif dan nontarif non- tarrif barrier . Sehingga negara-negara di dunia berupaya untuk menghapuskan berbagai bentuk hambatan dengan cara mendirikan organisasi WTO. Negara- negara yang menjadi anggota WTO mengenakan tarif impor dengan kesepakatan bersama, kemudian secara bertahap akan menghilangkan hambatan tarif, sehingga akan tercipta kawasan-kawasan perdagangan bebas free trade area. Sebagai bagian dari kesepakatan WTO, juga telah disepakati perjanjian yang khusus untuk mengatur perdagangan komoditi pertanian yang disebut Agreement on Agriculture AoA. Beberapa kesepakatan yang harus dipatuhi bersama, antara lain meningkatkan akses pasar, pengurangan subsidi ekspor, dan pengurangan subsidi terhadap petani domestic support agar produksi petani menjadi lebih efisien. Setelah Indonesia secara resmi menjadi anggota WTO maupun AoA- WTO, maka seluruh kesepakatan yang tertera di dalamnya telah mengikat sebagai hak dan kewajiban. Oleh karena itu kegiatan ekspor non migas pada umumnya yang telah menjadi program untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dituntut untuk lebih siap, agar dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Karena, walaupun semua negara anggota dapat memanfaatkan kesepakatan ini secara bersama, namun konsekuensi yang akan dihadapi adalah munculnya persaingan yang semakin ketat diantara negara-negara anggota. Dilihat dari kesiapan suatu negara, bagi negara-negara yang telah siap dengan perdagangan global, maka kesepakatan AoA-WTO akan menjadi peluang 174 besar untuk meningkatkan perdagangan luar negerinya. Akan tetapi bagi negara yang belum siap, yaitu sebagian besar negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia akan menghadapi persoalan yang cukup berat. Menurut Malian 2003, persoalan utama yang dihadapi adalah ketidakseimbangan dalam hal kesiapan menghadapi perdagangan bebas. Bagi negara-negara maju seperti Amerika serikat dan negara-negara Uni Erofa, sebelum kesepakatan AoA dimulai, mereka telah lebih dahulu memiliki posisi awal yang kuat misalnya, 1 tarif initial tariff rate yang diterapkan oleh negara maju jauh lebih tinggi, sehingga mempersulit akses pasar bagi negara-negara berkembang, 2 dengan kekuatan kapital yang dimiliki, negara-negara maju telah memberikan subsidi ekspor dan subsidi domestik yang tinggi, seperti di negara-negara maju misalnya Amerika Serikat, tahun 2002 nilai subsidinya adalah US 180 milyar yang digunakan untuk menambah subsidi sektor pertanian hingga 10 tahun kedepan. Padahal berdasarkan data pada akhir putaran uruguay 1997 untuk subsidi ekspor Amerika Serikat sebesar US 594 juta, Uni Eropa US 8496 juta, Austria menyisakan US790 juta, Polandia US 493, dan Kanada US 363 juta. Hal ini dilakukan untuk mendorong ekspor dari surplus produksi komoditas pertanian yang dimiliki Saragih, 2003, dan 3 dalam konteks AoA-WTO tidak terdapat fleksibelitas yang cukup bagi negara-negara berkembang untuk melakukan penyesuaian tarif perdagangan komoditi pertanian, bahkan terkesan negara-negara maju cenderung untuk meliberalisasi tarif di negara-negara berkembang, sehingga komoditi pertanian yang berasal dari negara-negara maju memiliki akses pasar yang kuat dan luas. 175 Masalah hambatan impor produk pertanian yang dilakukan oleh negara- negara maju, ternyata juga dikaitkan dengan persoalan lingkungan hidup dan pencemaran produk Susila, 2003. Oleh karena itu dalam mengimpor produk- produk pertanian, negara-negara maju bermaksud untuk melindungi masyarakatnya dari epidemi, sehingga menurut negara maju hal tersebut bukanlah merupakan hambatan impor. Contoh lain yang dilakukan oleh Uni Eropa yang mengkaitkan impor dengan penebangan liar illegal logging, dan menerapkan impornya dengan eco labeling, artinya produk yang dibuat dari kayuhasil hutan harus ada label, bahwa kayu yang diproses bukan berasal dari penebangan liar Madelin, 2002. Masalah lain yang dihadapi oleh negara-negara anggota adalah komitmen untuk mematuhi perjanjian yang telah dituangkan dalam kesepakatan dari berbagai pertemuan konferensi tingkat menteri KTM yang merupakan forum pengambilan kebijakan tertinggi dalam WTO. Pertemuan-pertemuan resmi KTM yang telah dilakukan antara lain dari pertemuan pertama di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatle tahun 1999, keempat di Doha tahun 2001, kelima di Cancun tahun 2003, dan keenam di Hongkong tahun 2005. Dalam setiap pertemuan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam deklarasi bersama Pangestu, 2005. Namun walaupun demikian, belum tentu dipatuhi oleh semua negara anggota, seperti halnya yang disepakati pada pertemuan Doha, Qatar pada tahun 2001. Pertemuan atau KTM yang paling berbeda adalah pertemuan kelima yang berlangsung di Cancun Meksiko tahun 2003. Dari pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan secara bersama, terutama mengenai perdagangan 176 komoditi pertanian. Dalam pertemuan tersebut telah terjadi perbedaan dalam tujuan antara kelompok negara berkembang G-20 dan G-30 dengan kelompok negara maju AS-UE. Kelompok negara maju menghendaki adanya penurunan tarif yang signifikan di negara-negara berkembang, di samping itu, mereka juga tidak mau melakukan penurunan terhadap subsidi dan tarif. Sebaliknya kelompok negara berkembang dari group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik dan penghapusan subsidi ekspor, sebagaimana yang diamanatkan dalam deklarasi Doha tahun 2001. Sementara kelompok negara berkembang yang tergabung dalam group 33 yang dimotori oleh Indonesia dan Philipina mengusulkan adanya pengecualian tarif dan subsidi untuk produk pertanian tertentu AKP, vol.2 No.2, Juni 2004. Dari gambaran di atas, nampaknya persoalan yang dihadapi lebih banyak bersifat umum, dalam arti persoalan yang dihadapi oleh kelompok negara-negara berkembang dengan kelompok negara-negara maju. Sehingga walaupun telah dibentuk kelompok-kelompok perdagangan, namun permasalahan tersebut akan selalu muncul dalam implementasi hubungan perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk hingga sekarang persoalan perdagangan komoditi pertanian. Sebagai contoh kasus-kasus yang bersifat lebih spesifik yang terjadi terhadap perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat, Jepang, dan China. Sementara untuk negara-negara ASEAN yang tergabung dalam kelompok perdagangan Asean Free Trade Area AFTA, bagi Indonesia tidak terlalu menjadi masalah. Berdasarkan hasil studi Oktaviani 2003 negara tujuan ekspor Indonesia sebagian besar ke negara-negara luar ASEAN, yaitu ke Amerika Serikat dan 177 Jepang, sedangkan ke negara Singapura hanya sekitar lima persen saja. Demikian pula impornya lebih tergantung pada kedua negara tersebut, kecuali impor beras dari Thailand. Dilihat dari komoditas yang diperdagangkan, baik keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif perbedaannya tidak signifikan. Untuk produk pertanian negara-negara dalam kelompok AFTA adalah relatif homogen, sehingga tidak terjadi persaingan dalam lingkup perdagangan ASEAN. Kondisi ini sangat terkait dengan karakteristik produk negara-negara dilingkungan ASEAN yang cenderung bersifat homogen, sehingga volume perdagangan antar negarapun menjadi relatif kecil Hadi, et.al 2003.

6.2.9. Keterkaitan Pertanian dengan Industri Manufaktur