2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian berisi langkah-langkah kerja yang tersusun secara sistematis untuk menyelesaikan penelitian. Pada bagian ini disajikan waktu dan
tempat penelitian, bahan dan alat, prosedur penelitian, dan analisis data.
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di kawasan hutan Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan TNGHS, yang terletak di Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi Gambar 2. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Juli 2010 sampai dengan Desember 2010.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian
2.2 Data, Software, Hardware dan Alat
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a.
Citra digital Landsat ETM7+ tanggal 6 Juni 2003, TM5 tanggal 26 September 2007, dan TM5 tanggal 5 Agustus 2008, dan citra Quickbird 2006.
b. Peta Rupabumi Indonesia Skala 1:25.000 daerah TNGHS.
Software , hardware dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a.
Satu perangkat komputer dan printer. b.
Perangkat lunak SIG ARCView 3.3 dan pemrosesan citra digital Envi v 4.1 dan Idrisi, FCD Mapper Versi 2.
c. Seperangkat alat untuk pengukuran di lapangan: GPS, Kompas, diameter tape,
roll meter, clinometers, tally sheet, kamera fisheye.
2.3 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah tahapan penelitian yang terdiri dari: 1.
Tahap persiapan alat yang dilakukan adalah dengan mempersiapkan hardware dan software ARC View, Envi, Idrisi dan FCD Mapper yang akan digunakan
untuk pengolahan data. Sedangkan tahap pengumpulan data awal meliputi penelusuran peta, citra satelit dan data sekunder yang akan digunakan melalui
metode pencarian melalui situs internet dan instansi TNGHS, Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan.
2. Kerja Laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG. Tahapan dalam proses ini
adalah : a.
Pra pengolahan citra Landsat TM dan ETM b.
Melakukan ektsraksi citra Landsat dengan 4 metode klasifikasi untuk menghasilkan peta kerapatan hutan dan perubahan kerapatan hutan
degradasi. 3.
Kerja lapangan Tahap ini adalah melakukan uji akurasi terhadap klasifikasi kerapatan hutan
dengan keadaan di lapangan 4.
Pembuatan laporan hasil penelitian.
2.4 Pengolahan Citra
2.4.1 Pra Pengolahan Citra
Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat yang direkam pada tahun 2003, 2007 dan 2008. Saluran atau band yang digunakan adalah kanal 1, kanal 2,
kanal 3, kanal 4, kanal 5, kanal 6 dan kanal 7. Informasi yang dihasilkan oleh citra Landsat TM memegang peranan penting dalam penelitian ini. Kesalahan citra
Landsat karena faktor eksternal pada saat perekamannya memerlukan koreksi radiometrik dalam penelitian ini. Kesalahan radiometrik dihilangkan dan atau
diminimalisir dengan melakukan koreksi radiometrik pada awal pemrosesan. Sementara itu kesalahan geometri diakibatkan adanya sistem orbital satelit yang
polar, pengaruh kelengkungan bumi, grafitasi dan topografi dikoreksi menggunakan referensi peta topografi dengan menggunakan titik kontrol-titik
kontrol yang akurat. Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga posisi piksel terkoreksi secara planimetris.
Tahapan koreksi geometrik ini adalah sebagai berikut : a. Penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum sistem koordinat yang dipilih
untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator UTM dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM 48 zone selatan. Pemilihan proyeksi
ini disesuaikan dengan pembagian area pada sistem UTM, dimana Jawa Barat termasuk wilayah TNGHS berada pada zona South UTM row 48, sedangkan
datum yang digunakan adalah World Geografic System 84 WGS 84. Tahapan ini bertujuan untuk mendefinisikan informasi yang akan digunakan
dalam proses koreksi selanjutnya. b. Pemilihan titik-titik kontrol lapangan Ground Control PointGCP
Pemilihan titik-titik kontrol lapangan dilakukan dengan mengidentifikasi objek-objek yang tersebar merata pada seluruh citra, relatif permanen, dan
tidak berubah dalam kurun waktu yang lama. Objek-objek yang dijadikan
titik-titik kontrol lapangan tersebut adalah perpotongan jalan, sungai dan yang lainnya.
c. Perhitungan Root Mean Squared Error RMSE setelah GCP terpilih. Selanjutnya dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. Dianjurkan agar
RMSE bernilai lebih kecil dari 0,5 piksel. Pada penelitian ini citra Landsat ETM7+ tahun 2003 telah terkoreksi
geometrik. Citra Landsat TM 5 tahun 2007 dan 2008 belum terkoreksi geometrik sehingga dilakukan proses koreksi image to image dengan referensi citra tahun
2003. Pada Tabel 1 dan 2 dapat dilihat titik control yang digunakan dan RMSE dalam proses koreksi geometrik.
Pada Tabel 1 ini didapatkan rata-rata RMSE seluruh titik kontrol pada citra tahun 2007 adalah 0.39. RMSE tersebut sudah dibawah 0.5 sehingga dapat
dikatakan bahwa citra telah terkoreksi dengan baik. Pada Tabel 2 yang merupakan titik kontrol untuk citra tahun 2008 didapatkan RMSE 0.37 sehingga citra tahun
2008 dapat digunakan pada proses selanjutnya karena telah terkoreksi geometrik. Tabel 1 Titik kontrol pada citra Landsat tahun 2007 dalam koreksi geometrik
No Citra 2007
Citra 2003 Error
RMSE X
Y X
Y X
Y
1 1164,25
512,75 830,25
624,00 0,05
0,54 0,54
2 457,25
233,50 119,50
347,50 0,07
-0,01 0,07
3 823,75
784,50 488,50
897,25 -0,03
-0,22 0,22
4 1647,00
1673,00 1309,50
1786,00 -0,13
-0,02 0,13
5 841,50
1838,00 506,75
1950,25 -0,20
-0,13 0,23
6 1572,25
1971,50 1233,75
2085,50 -0,21
-0,54 0,58
7 2296,75
882,00 1964,00
992,50 0,18
-0,07 0,20
8 1651,75
1055,50 1317,00
1168,00 0,16
-0,81 0,82
9 2262,25
479,75 1933,25
588,50 -0,06
0,15 0,16
10 2152,00
2012,25 1810,00
2126,75 -0,05
0,20 0,20
11 430,00
1900,50 96,75
2011,50 0,27
0,41 0,49
12 766,25
607,50 430,75
720,25 -0,05
-0,02 0,05
13 2163,00
1751,25 1822,75
1864,50 0,29
0,52 0,60
14 1708,50
771,75 1375,75
882,75 -0,30
0,00 0,30
Total RMSE 0,39
Tabel 2 Titik Kontrol pada citra landsat tahun 2008 dalam koreksi geometrik
No Citra 2008
Citra 2003 Error
RMSE X
Y X
Y X
Y
1 1475,50
659,75 1295,00
610,00 -0,33
-0,54 0,63
2 1708,25
771,75 1541,50
685,75 -0,24
-0,24 0,34
3 1163,25
513,00 964,00
511,00 -0,08
0,11 0,13
4 392,50
884,00 254,75
994,25 0,07
0,12 0,14
5 317,50
1790,50 316,25
1901,75 -0,02
0,10 0,10
6 766,25
1910,75 775,75
1954,50 0,19
0,03 0,19
7 1660,50
1791,25 1639,50
1704,00 -0,36
0,04 0,36
8 2187,00
1891,75 2171,75
1726,00 0,00
0,03 0,03
9 2317,00
928,00 2166,00
749,50 -0,11
-0,03 0,29
10 1406,50
985,00 1272,25
942,25 0,80
0,50 0,80
11 819,50
769,50 660,50
817,00 0,16
-0,07 0,18
12 2215,50
767,50 2043,00
604,50 0,07
0,51 0,52
13 100,25
1325,75 32,50
1474,75 -0,34
-0,01 0,34
14 1321,00
863,00 1171,00
833,75 -0,13
0,44 0,46
15 1677,25
1106,75 1558,00
1022,50 0,23
0,01 0,23
16 928,25
1575,50 886,25
1599,00 0,08
-0,33 0,34
Total RMSE 0,37
Citra hasil koreksi yang akurat ini sangat bermanfaat dalam proses change detection. Kesalahan dalam koreksi geometrik dapat mengakibatkan kesalahan
dalam identifikasi perubahan nilai piksel. Piksel yang seharusnya berposisi pada satu lokasi tertentu tetapi dapat berposisi di tempat lain akibat ketidakakuratan
dalam koreksi geometri. Ketidakakuratan dalam posisi piksel akan berakibat pula pada kesalahan dalam hasil klasifikasi citra sehingga terjadi bias dalam proses
change detection. Gambar 3 menunjukkan citra Landsat tahun 2007 dan tahun 2008 sebelum
koreksi geometrik dan setelah koreksi geomterik. Perbedaan citra sebelum dan setelah koreksi geometrik adalah posisi koordinat yang sudah sesuai dengan posisi
sebenarnya di lapangan.
a b
d c
Gambar 3 Citra tahun 2007: a sebelum koreksi geometrik; b setelah koreksi geometrik dan citra tahun 2008: c sebelum koreksi geometric; d
setelah koreksi geometrik
B. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan
atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai pantulan obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan
merupakan nilai aslinya khususnya pada gelombang yang lebih pendek, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses
serapan. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat yang direkam pada tahun ETM7+ 2003, TM5 2007 dan 2008. Saluran atau band yang digunakan
adalah kanal 1, kanal 2, kanal 3, kanal 4, kanal 5, kanal 6 dan kanal 7. Citra Landsat dalam setiap perekamannya mempunyai kualitas gangguan radiometrik
yang berbeda-beda. Informasi yang dihasilkan oleh citra satelit Landsat TM memegang peranan penting dalam penelitian ini.
Metode yang digunakan dalam koreksi ini adalah dengan menggunakan multiple-date image normalization dari obyek yang tidak mengalami perubahan
yaitu pseudo-invariant featuresPIF. Obyek yang tidak mengalami perubahan tersebut adalah tubuh air yang dalam deep water body, tanah terbuka yang
kering bare soil dan atap bangunan yang luas Jensen 2005. Proses koreksi radiometrik ini mutlak harus dilakukan dalam penelitian ini karena menggunakan
data temporal. Metode ini menggunakan citra yang mempunyai kualitas yang baik sebagai acuan untuk mengkoreksi radiometrik citra yang lain.
Berdasarkan citra tahun 2003, 2007 dan 2008 maka kualitas yang paling baik adalah citra tahun 2007 sehingga citra ini dipilih sebagai citra acuan. Citra
tahun 2007 dipilih karena bersih dari liputan awan dan tidak terdapat efek haze. Selanjutnya dipilih obyek air dan bangunan pada citra tahun 2007 untuk dibuat
hubungan regresi linier untuk mengoreksi citra tahun 2003 dan 2008. Pemilihan obyek air didasarkan bahwa obyek air merupakan obyek yang tidak mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Pemilihan obyek bangunan dipastikan bahwa bangunan tersebut dari tahun 2003 sampai dengan 2008 tidak mengalami
perubahan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan hubungan matematis koreksi citranya.
Tabel 3 Hubungan regresi linier koreksi citra tahun 2003 berdasarkan PIFs dengan acuan citra tahun 2007.
Citra Band
Slope y-Intercept
r
2
2003 1
0,816873 48,30617
0,70 2
0,570919 24,15057
0,64 3
0,607471 19,93705
0,73 4
0,902614 -2,36399
0,85 5
0,742671 14,13528
0,85 7
0,526694 23,62185
0,74
Tabel 4 Hubungan regresi linier koreksi citra tahun 2008 berdasarkan PIFs dengan acuan citra tahun 2007.
Citra Band
Slope y-Intercept
r
2
2008 1
1,8105 38,8244
0,76 2
1,1839 13,4719
0,77 3
1,3762 8,9178
0,82 4
1,2908 -35,1956
0,90 5
1,1726 -15,5406
0,95 7
1,3941 -20,6281
0,95
Citra hasil koreksi dan sebelum koreksi radiometrik akan mempunyai nilai histogram yang berbeda. Gambar 4 dan 5 menunjukkan histrogram pada citra
tahun 2003 dan 2008 sebelum dan setelah di koreksi radiometrik dengan acuan citra tahun 2007. Hasil koreksi ini bermanfaat agar tidak terjadi perbedaan nilai
piksel yang kontras antara citra satu dengan yang lain. Perbedaan nilai piksel yang kontras antara citra satu dengan yang lain dapat berakibat perbedaan nilai piksel
pada obyek yang keadaan di lapangan tidak berubah selama kurun waktu tertentu.Obyek air yang dalam di laut dalam pada citra tahun 2003, citra 2007
dan 2008 harus mempunyai nilai piksel yang sama. Gambar 6 sampai dengan 8 adalah citra komposit RGB543 daerah Gunung Pangkulahan dan Gunung
Surandil yang akan digunakan untuk klasifikasi.
f l
e k
d j
c i
b h
a g
Gambar 4 Histogram citra tahun 2003 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 a,b,c,d,e,f dan setelah koreksi radiometric kanal 1, 2, 3, 4, 5,7
g, h, i, j, k, l
f l
Gambar 5 Histogram citra tahun 2008 sebelum koreksi radiometrik kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 a,b,c,d,e,f dan setelah koreksi radiometric kanal 1, 2, 3, 4, 5,7 g, h,
i, j, k, l
e k
d j
c i
b h
a g
Gambar 6 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2003
19
Gambar 7 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2007
20
Gambar 8 Peta citra komposit RGB 543 Gunung Surandil dan Gunung Pangkulahan sekitarnya tahun 2008
21
2.4.2 Pengolahan Citra
Pada tahap ini yang dilakukan adalah mengolah citra Landsat tahun 2003, 2007 dan 2008 untuk menghasilkan kelas kerapatan hutan dan tutupan non hutan.
Klasifikasi penutup lahan adalah menggunakan kelas kategori Departemen Kehutanan tahun 2004 Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi penutup lahan No
Kelas Kode
Keterangan Non Hutan
1 Sawah
Sw Klasifikasi
Pusat Perpetaan
Kehutanan Badan
Planologi Kehutanan tahun 2004
2 Pertanian lahan kering campur
semak kebun campur Kelas semak
belukar dan padang rumput termasuk didalam kelas
ini Pc
3 Pertanian lahan kering
Pt 4
Tanah Terbuka T
5 Awan
Aw 6
Bayangan By
Hutan Citra Resolusi tinggi berdasar
kerapatan kanopi Klasifikasi
Badan Planologi
Kehutanan kerapatan kanopi tahun
2006 7
Hutan kerapatan rendah H1
Kerapatan kanopi 11-30. 8
Hutan kerapatan sedang H2
Kerapatan kanopi 31-50. 9
Hutan kerapatan tinggi H3
Kerapatan kanopi 50 - 70
10 Hutan kerapatan tinggi
H4 Kerapatan
kanopi 71-
100. H4 Klasifikasi citra untuk menghasilkan peta penutup lahan yang dilakukan
adalah sebagai berikut: A.
Klasifikasi Kerapatan Kanopi Hutan FCD Metode klasifikasi dikembangkan oleh ITTO-JOFCA pada awal tahun
2003. Metode ini dapat mengakomodasi variasi permasalahan gangguan atmosfer citra ataupun pengaruh latar belakang vegetasi. Metode ini dapat mengurangi efek
dari bias dan menghasilkan ekstraksi kenampakan yang lebih baik pada obyek yang spesifik dibumi. Roy 2003 menyebutkan bahwa perbedaan yang sulit
dipisahkan pada tutupan hutan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kekuatan respon band inframerah. Panjang gelombang inframerah lebih sensitif pada
kerapatan hutan dan kelas tumbuh-tumbuhan physiognomic. Biophysical vegetation indices yang dalam perkembangannya disebut FCD indeks, melibatkan
indeks advanced vegetation index AVI. Sedangkan untuk lebih detil dalam mengkategorikan status vegetasi digunakan bare soil index BI. Dasar logika
pendekatan ini berdasar pada hubungan timbal balik yang tinggi dari status vegetasi dan lahan terbuka. Oleh karena itu, kombinasi BI dan AVI digunakan
dalam analisis ini. Untuk menyadap informasi pada shadow index SI digunakan melalui ekstraksi low radiance dari visible light. Pendekatan ini mengisolasikan
kenampakan vegetasi menggunakan index AVI dan index BI. Kenampakan corak vegetasi distratifikasikan melalui SI atas dasar variasi tekstur pada bayangan
kanopi pada tegakan hutan. Proses pembuatan FCD menggunakan software FCD-Mapper Ver. 2.
Proses ini diawali dengan: a.
Pra pemrosesan Pemrosesan citra menggunakan software ini harus dilakukan dengan
format software FCD-Mapper image format FBI. b. Pemrosesan data
Setelah pra pemrosesan selesai maka langkah selanjutnya adalah: 1. Prosedur untuk menghilangkan kesalahan radiometrik dan normalisasi citra
dengan cara menghilangkan efek dari air, awan, bayangan awan dan haze. Awan, bayangan dan air dihilangkan dengan menggunakan tresholding. Efek
haze dihilangkan dengan menggunakan low pass filtering. 2. Membuat Indeks Vegetasi VI menggunakan beberapa algortima diantara
adalah : a.
Normalized Differential Vegetation Index NDVI = Near Infra Red- Red Near Infra Red +Red;
b. Advanced Vegetation Index AVI = Near Infra Red x 256-Red x Near
Infra Red -Red + 113, 0 Near Infra Red -Red ITTOJOFCA 2003;
c. Advanced Normalized Vegetation Index ANVI adalah indeks sintetik
dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis. 3.
Membuat Bare Soil Index BI dengan algoritma: BI = MIR+R - B+NIR MIR+R + B+NIR;
dimana: NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-Red Band
4. Membuat Thermal Index TI dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal
5. Membuat Shadow Index SI dengan algoritma:
SI = 256-B x 256-G x 256-R13 dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah
6. Membuat Advanced Shadow Index ASI menggunakan langkah-langkah:
Menentukan Forest Gap Detection yaitu jika VI lebih kecil dari threshold vegetasi, dengan melihat subyek piksel dari areal bukan hutan maka nilai ASI
= 0. Membuat Black Soil Detection yaitu jika TI lebih besar dari threshold thermal dengan melihat subyek pada Black soil area dan ASI = 0. Proses ini
untuk menghilangkan efek kesalahan dari tanah yang hitam menjadi areal bayangan hutan. Proses selanjutnya adalah Spatial Process, pada tutupan
kanopi hutan yang rapat, areal yang ada bayangannya dari satelit dan pohon dari 3 pixel area yang dicari disekitar obyek pixel. Kemudian nilai SI
maximum value sebagai SI subyek pixel. 7.
Membuat Vegetation Density VD yaitu kerapatan tutupan vegetasi per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi dengan
minimum dan maximum tutupan vegetasi. 8.
Membuat Scaled Shadow Index SSI yaitu kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan.
9. Membuat Forest Cluster FC yang merupakan indikasi dari areal berhutan
dengan algoritma: FC=VI x SI x 256-BI +113
Dimana:
VI adalah indeks vegetasi terpilih diantara NDVI, AVI ANVI yang mempunyai koefisien korelasi tertinggi dengan BI.
10. Membuat Forest Canopy Density FCD yaitu kerapatan kanopi hutan
per piksel dengan algoritma: FCD= √VD x SSI +112 -1
Diagram alir klasifikasi FCD dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9 Diagram alir umum klasifikasi Forest Canopy Density Rikimaru,
2003
Selesai Scale Shadow
Index Peta kerapatan
vegetasi Citra Landsat
Integrasi Model
Peta Kerapatan kanopi Pembuatan
Vegetation Index VI
Pembuatan Bare Soil Index
BI Pembuatan
Shadow Index SI
Pembuatan Thermal Index
TI Mulai
Gambar 10 Diagram alir lengkap proses klasifikasi Forest Canopy Density
Selesai Mulai
Formulasi FCD Peta Klas FCD
Citra Landsat terkoreksi
Eliminasi awan, bayangan awan, air, dan haze
Pembuatan Indek Vegetasi VI : AVI, NDVI, ANVI
Pembuatan Indek Tanah Terbuka BI
Pembuatan Indek Thermal TI
Pembuatan Indek Bayangan SI
Peta AVI, NDVI, ANVI
Peta BI Peta TI
Peta SI
Analisis PCA
VI Terbaik Proses Pembuatan Advance Shadow Index ASI:
1.Forest Gap Detection 2. Black soil detection
3. Spatial processing filtering
Peta ASI
Forest Clustering Kalibrasi Max Min
Vegetasi
Peta Kerapatan Vegtasi VD Peta Scale Shadow Index SSI
Citra Landsat bebas awan, air dan bayagnan
Pada proses klasifikasi menggunakan FCD langkah pertama adalah reduksi terhadap area berawan, bayangan awan dan tubuh air. Reduksi areal
berawan dan air dilakukan dengan menggunakan proses tresholding. Reduksi haze dilakukan dengan low pass filtering. Hasil dari proses tersebut akan
menghasilkan cita yang bebas dari awan, bayangan dan air. Proses selanjutnya adalah pembuatan peta indek vegetasi yaitu peta Advancde Vegetation Index
AVI, Normalized Differential Vegetation Index NDVI, dan Advanced Normalized Vegetation Index ANVI. Peta AVI, NDVI, dan ANVI dapat dilihat
pada Gambar 11 sampai dengan Gambar 13. Setelah proses pembuatan peta indek vegetasi selesai maka dibuat peta
Bare Soil Index yang akan digunakan untuk mendeteksi areal tanah terbuka. Gambar 14 menunjukan peta hasil Bare Soil Index Tahun 2003 sampai dengan
Tahun 2008. Proses selanjutnya dari klasifikasi FCD adalah melakukan Principal
Component Analisys dari indek vegetasi dengan indek tanah terbuka. Korelasi yang tertinggi akan dipilih untuk digunakan pada proses pengolahan selanjutnya.
Pada citra tahun 2003 dari ketiga indek vegatasi yaitu ANVI yang mempunyai korelasi yang tertinggi sebesar -0.761. Pada citra tahun 2007 dan 2008 yang
tertinggi adalah NDVI yaitu 0.763 dan 0.593 Gambar 15. Proses selanjutnya adalah pemrosesan band 6 Citra Landsat untuk
memperoleh peta Thermal Index TI yang akan digunakan dalam proses clustering areal hutan pada proses selanjutnya. Peta TI dapat dilihat pada Gambar
16. Selain peta TI maka dihasilkan pula peta Shadow Index Gambar 17 yaitu peta indeks bayangan pada citra sebagai akibat dari topografi maupun ketinggian
tegakan di hutan. Proses selanjutnya adalah pembuatan peta kerapatan vegetasi dengan cara
membuat cara tresholding obyek tanah dengan obyek vegetasi seperti dapat dilihat pada Gambar 18. Proses ini akan menghasilkan peta kerapatan vegetasi tetapi
belum dipisahkan antara vegetasi hutan dan vegetasi non hutan. Peta kerapatan vegetasi VD Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar
19.
Gambar 11 Peta AVI tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
Gambar 12 Peta NDVI tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
Gambar 13 Peta ANVI tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
a b
c
a b
c
a b
c
Gambar 14 Peta Bare Soil Index tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
Gambar 15 PCA Indek Vegetasi dengan indeks tanah terbuka tahun a 2003, b 2007, c 2008
Gambar 16 Peta Thermal Index tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
a b
c
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
a b
c
Tahun 2003 Tahun 2007
Tahun 2008
Gambar 17 Peta Shadow Index tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
Gambar 18 Proses tresholding tanah terbuka dengan vegetasi
Gambar 19 Peta Vegetation Density VD tahun a 2003, b 2007 dan c 2008
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
a b
c
6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 6
o
30 ’
6
o
45 ’
7
o
00 ’
LS 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT 116
o
15’ 116
o
30 ’ 116
o
4 5’BT
a b
c
Hasil proses selanjutnya adalah peta Scale Shadow Index . Setelah proses ini selesai maka proses selanjutnya adalah clustering untuk mengkategorikan
cluster hutan dengan cara memilih kelas hutan dengan memperhatikan nilai indek vegetasi VI, indek tanah terbuka BI , indeks bayangan SI dan Thermal Index
TI seperti terlihat pada Gambar 20. Setelah proses ini selesai maka dilakukan proses pembuatan peta FCD.
Keterangan: Warna kuning adalah cluster hutan terpilih dengan kiteria FC 147, VI 124, BI 127, SI 196 dan TI 195
Gambar 20 Proses Clustering klasifikasi hutan Proses pengolahan data akhir FCD menghasilkan data kerapatan kanopi
hutan dari 1-100, kemudian dibagi kedalam 5 kelas yaitu non hutan kerapatan kanopi 0-10, kerapatan rendah kerapatan kanopi 11-30, kerapatan sedang
kerapatan kanopi 31-50, kerapatan tinggi kerapatan kanopi 51-100. Proses cropping dilakukan untuk menghasilkan peta tahun 2003, 2007 dan 2008 daerah
penelitian. B.
Klasifikasi Maximum Likelihood Klasifikasi maximum likelihood merupakan salah satu klasifikasi
terbimbing. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan arahan analis. Kriteria pengelompokan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh
analis melalui pembuatan training area. Pemilihan training area harus dilakukan secara teliti. Kesalahan dalam menentukan training area akan
menyebabkan kesalahan hasil klasifikasi. Karena data yang akan dicapai pada proses klasifikasi ini merupakan data yang lebih rinci dari sekedar penutup
lahan hutan kerapatan kanopi hutan maka diperlukan training area yang detil pada kelas tutupan hutan.
Algortima yang digunakan dalam penentuan klasifikasi ini adalah dengan
menggunakan metode
maximum likelihood.
Metode ini
mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya peluang dari suatu piksel untuk dikelaskan dalam kelas tertentu. Peluang ini sering disebut dengan
prior probability yang dapat dihitung dengan menghitung prosentase tutupan pada citra yang akan diklasifikasi. Jika peluang ini tidak diketahui maka
besarnya peluang dinyatakan sama untuk semua kelas. Aturan pengambilan keputusan dalam klasifikasi ini adalah aturan
Bayes Jaya 2009. Secara matematis fungsi kepekatan dari peubah ganda adalah sebagai berikut:
PX = exp{-12x-m
t
dimana:
Px
i
= peluang suatu set piksel x masuk ke dalam kelas-i x = vektor piksel pada posisi x,y
m
i
= vektor rata-rata dari suatu set band untuk kelas i [Cov]= diterminan matrik ragam peragam kelas-i
t = matrik transposisi Analisis separabilitas diperlukan dalam klasifikasi ini. Separabilitas
adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas, juga untuk mengetahui kombinasi
band mana saja yang memberikan separabilitas yang terbaik untuk klasifikasi. Analisis ini dilakukan sebelum proses klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan
lahan hasil area contoh. Metode analisis separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Tranformasi Divergensi TD. Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat keterpisahan antar kelas. Nilai TD antar kelas dapat
dihitung menggunakan rumus di bawah ini.
dimana : TD = separabilitas antara kelas i dengan kelas j ij e = 2,718
Menurut Jaya 2009, kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari nilai transformasi divergensi adalah sebagai berikut.
a. Tidak terpisah inseparable : ≤ 1.600
b. Keterpisahan buruk poor : 1.601
– 1.699 c. Sedang fair : 1.700
– 1.899 d. Keterpisahan baik good : 1.900
– 1.999 e. Terpisah sempurna excellent : 2.000
Penentuan training area untuk citra Landsat tahun 2003, 2007 dan 2008 berdasarkan pada citra Quickbird tahun 2006 dan karakteristik dari spektralnya
area contoh yang dibuat mewakili semua kelas tutupan hutan daerah yang telah ditentukan sebelumnya dan data ini digunakan untuk pengklasifikasian pada citra.
Lampiran 3 menunjukkan visualisasi training area masing masing kelas tutupan hutan.
Proses klasifikasi ini dimulai dengan penentuan training area untuk citra Landsat tahun 2003, 2007 dan 2008 berdasarkan pada citra Quickbird tahun 2006
dan karakteristik dari spektralnya area contoh. Pada citra Quickbird didapatkan data bahwa terdapat beberapa kelas kerapatan hutan dan penutup lahan lainnya di
lapangan. Penggunaan citra resolusi tinggi dapat digunakan untuk estimasi kerapatan hutan Prasad 2009. Kerapatan hutan berdasarkan kerapatan kanopi
sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah tersebut dijadikan acuan dalam menentukan training area pada citra Landsat. Berdasarkan pola visualisasi dan
nilai spektral tersebut maka dicari training area lain yang mempunyai karakteristik dan nilai spektral yang hampir sama. Pada penentuan area contoh ini
setiap kelas tutupan hutan diwakili oleh piksel-piksel yang secara spektral berbeda, tetapi piksel-piksel tersebut relatif homogen untuk mewakili satu kelas
tutupan hutan tertentu. Hal ini dilakukan untuk menghindari kelas yang tumpang tindih spektral, sehingga dapat mengurangi keakuratan hasil klasifikasi. Diagram
alir klasifikasi maximum likelihood dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram alir klasifikasi maximum likelihood Pola spektral untuk masing-masing kelas tutupan lahan pada citra tahun
2003 , tahun 2007 dan tahun 2008 adalah seperti Gambar 22. Berdasarkan analisis separabilitas menunjukkan bahwa rata-rata untuk nilai transformed divergence
citra tahun 2003, 2007 dan 2008 adalah 1874, 1891 dan 1874 Lampiran 1.
Ya
Pemilihan training area
Evaluasi separabilitas Data training area
Separabilitas diterima?
Citra Landsat terkoreksi
Data Lapangan
Mulai
Citra Quickbird
Evaluasi akurasi
Peta klasifikasi kerapatan hutan
Selesai Akurasi
diterima?
Ya
Penggabungan kelas
Tida Penggabungan kelas
Tidak
a
B3 B4
B5 B2
B3 B4
B5 B2
H4 H3
H2 H1
Sw Pc
T Aw
By Pt
H4 H3
H2 H1
Sw Pc
T By
Pt
H4 H3
H2 H1
Sw Pc
T Aw
By Pt
b
c
Gambar 22 Grafik nilai rata-rata digital number area contoh untuk masing- masing kelas tutupan lahan a Citra Landsat 2003, b 2007 dan c
2008
B3 B4
B5 B2
Berdasarkan kriteria ini maka nilai tersebut adalah termasuk tingkat keterpisahan sedang. Pada kelas tutupan hutan yaitu hutan dengan berbagai tingkat kerapatan
maka tingkat keterpisahan yang rendah adalah pada kelas hutan kerapatan sangat tinggi H4 dengan hutan kerapatan tinggi H3 dan hutan kerapatan sedang H2
dengan hutan kerapatan rendah H1. Pada H4 dan H3 karena mempunyai nilai keterpisahan rendah maka dilakukan proses reklas menjadi satu kelas hutan
kerapatan tinggi H3. Berdasarkan training area tersebut kemudian dilakukan proses klasifikasi untuk seluruh wilayah penelitian.
C. Klasifikasi Fuzzy
Metode klasifikasi fuzzy mempertimbangkan piksel-piksel yang bercampur mixed make-up dimana suatu piksel tidak dapat dikelaskan secara definitif ke
satu kelas. Klasifikasi ini bekerja dengan menggunakan suatu fungsi keanggotaan, dimana kelas piksel tersebut ditentukan apakah lebih dekat dengan satu kelas
tertentu atau kelas lainnya Jaya, 2009. Metode ini tidak mempunyai batas yang jelas dan masing-masing piksel
dapat masuk ke beberapa kelas yang berbeda. Diperlukan suatu cara dengan membuat algoritma yang lebih sensitif terhadap sifat-sifat fuzzy. Klasifikasi ini
didesain untuk membantu suatu pekerjaan yang kemungkinan tidak masuk secara tepat ke salah satu kategori kelas tertentu. Klasifikasi ini bekerja dengan suatu
fungsi keanggotaan dimana piksel tersebut ditentukan apakah lebih dekat ke satu kelas atau kelas lainnya.
Salah satu algoritma yang paling banyak digunakan pengelompokan C- Means Fuzzy FCM. Algoritma FCM mencoba untuk mengkelaskan data secara
terbatas unsur X = {x1 ,..., xn} menjadi koleksi cluster yang samar dengan beberapa kriteria yang diberikan. Diketahui sebuah himpunan data berhingga,
algoritma mengembalikan daftar dari pusat klaster C = {c1 ,...,} cc dan partisi matriks U = u
i, j
€[0, 1], i = 1,. . . , n, j = 1,. . . , C, di mana setiap elemen u
ij
menyatakan sejauh mana elemen x
i
masuk ke cluster c
j
. Secara matematis adalah sebagai berikut:
U
k
x =
Yang berbeda dari fungsi tujuan k- adalah dengan penambahan nilai-nilai keanggotaan u
ij
dan m. Nilai m fuzzy menentukan tingkat kesamaran cluster. Sebuah hasil nilai m besar di u
ij
keanggotaannya lebih kecil dan oleh karena itu disebut kluster fuzzy. Dalam batas m = 1, uij keanggotaan konvergen ke 0 atau 1.
Dengan tidak adanya eksperimen atau pengetahuan domain, m adalah umumnya diatur ke 2. Algoritma dasar FCM, diberikan n titik data x1,..., xn menjadi
berkelompok, sejumlah cluster c dengan c1,..., Cc pusat cluster, dan m tingkat ketidakjelasan klaster
Dalam clustering fuzzy, setiap titik memiliki tingkat kepemilikan cluster, seperti dalam logika fuzzy. Jadi, titik di tepi cluster dalam cluster adalah
mempunyai tingkat yang lebih rendah daripada titik yang di pusat cluster. Setiap titik x memiliki nilai koefisien yang memberikan tingkat keberadaan di klaster k
x. Dengan klasifikasi fuzzy, titik pusat cluster adalah rata-rata dari semua titik, kemudian ditimbang dengan derajat keanggotaannya dengan alortima matematis
sebaagai berikut: C
k =
Tingkat keanggotaan, w
x
x, berhubungan terbalik dengan jarak dari x ke pusat cluster. Hal ini juga tergantung pada parameter yang mengontrol m, berapa
besar fungsi keanggotaan yang diberikan ke pusat terdekat. Algoritma fuzzy ini memerlukan training area. Akan tetapi perbedaannya
adalah metode ini dapat juga memperoleh informasi pada berbagai macam komponen kelas yang ditemukan dalam piksel yang bercampur. Training area ini
tidak diharuskan mempunyai piksek-piksel yang sama atau homogen. Setelah menggunakan metode ini maka utility-nya akan membiarkan konfolusi dari fuzzy
untuk membentuk konfolusi jendela bergerak pada saat klasifikasi menggunakan penetapan output berganda.
Langkah-langkah dalam klasifikasi fuzzy adalah sebagai berikut: 1.
Pemilihan training area. Pada langkah ini yang dilakukan adalah sama dengan pembuatan training
area pada klasifikasi terbimbing. Perbedaannya adalah training area yang dipilih tidak selalu harus homogen. Penentuan training area untuk klasifikasi
fuzzy ini berbeda dengan klasifikasi maximum likelihood. Perbedaanya terletak pada piksel-piksel untuk areal contoh tersebut tidak harus homogen
untuk mewakili satu kelas tutupan hutan tertentu Lampiran 4. Hal ini dilakukan karena klasifikasi fuzzy merupakan proses klasifikasi yang
menetapkan suatu kelas tertentu bercampur dengan kelas yang lain. Suatu contoh adalah pada klas hutan kerapatan rendah pada kenyataannya adalah
sulit dibedakan atau bercampur dengan kelas pertanian lahan kering bersemak, semak belukar maupun dengan kelas hutan kerapatan sedang.
2. Pembuatan matrik fuzzy
Matrik ini berfungsi sebagai fungsi tingkat keanggotaan pada setiap kelas. Fungsi keanggotaan ditunjukkan dengan nilai 0
– 1. Matrik ini akan digunakan dalam selanjutnya yaitu proses ektraksi. Penentuan matrik fungsi
keanggotaan membership function didasarkan pada citra Quickbird. Cara penentuanya adalah menghitung fungsi keanggotaan 1 piksel pada lokasi
training area dengan kerapatan hutan di citra Quickbird. Setiap piksel citra landsat resolusi 30 meter setara dengan 156 piksel
citra Quickbird resolusi 2,44 m. Untuk mempermudah interpretasi secara visual maka citra Quickbird dibagi menjadi 5 kolom x 5 baris yang terdiri dari
12,5 m x 12,5 m. Pada setiap kolom dan baris diklasifikasikan secara visual ke dalam kelas H4, H3, H2 atau H1 kemudian dihitung proporsi setiap kelas
terhadap total kolom dan baris. Contoh perhitungan penentuan fungsi keanggotaan hutan kerapatan tinggi H3 citra Landsat dapat dilihat pada
Gambar 23. Langkahnya adalah sebagai berikut: Fungsi keanggotaan H3 = Jumlah H3 pada Citra QuicbirdTotal Piksel
= 2125 = 0.84 Fungsi keanggotaan H2 = Jumlah H2 pada Citra QuicbirdTotal Piksel
= 225 = 0.08 Fungsi keanggotaan H1 = Jumlah H2 pada Citra QuicbirdTotal Piksel
= 225 = 0.08
Proses perhitungan semua kelas dapat dilihat pada Lampiran 6. Fungsi keanggotaan pada masing-masing kelas adalah seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Fungsi keanggotaan pada klasifikasi Fuzzy
No Kelas Penutup
NH H Lahan
Swh Pc Pt
T Aw B
H1 H2 H3 H4 1
NH Swh
1 Pc
0 0,9 0 0,1
Pt 0,8 0,1
0 0,1 T
0,1 0,8 0 0,1
Aw 1
B 1
2 H1
0,1 0 0,7 0,1 0,1
3 H2
0,1 0 0,2 0,7
4 H3
0 0,1 0,1 0,8 5
H4 0 0.1 0.1 0.8
Citra Quickbird Citra Landsat
Gambar 23 Penentuan fungsi keaggotaan pada kelas kerapatan hutan tinggi 3.
Ekstraksi training area. Proses ini adalah proses ekstraksi dari training area dan fungsi keanggotaan
dari matrik fuzzy. 4.
Klasifikasi fuzzy Proses ini adalah proses klasifikasi fuzzy yang akan menghasilkan citra pada
tiap kelas. Proses ini akan menghasilkan 10 peta sekaligus untuk masing masing kelas penutup lahan yaitu sawah, pertanian lahan kering bercampur
semak, pertanian lahan kering, tanah terbuka, awan, bayangan awan, hutan kerapatan sangat tinggi, hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan sedang dan
H3 H3
H2 H1
H3 H3
H3 H3
H3 H3
H3 H3
H3
H3 H3
H3 H3
H4
H3 H3
H3 H1
H3 H3
H2
hutan kerapatan rendah. Nilai piksel yang dihasilkan menunjukkan antara 0 –
1. Berdasarkan 10 peta per kelas penutup lahan tersebut maka untuk mendapatkan satu buah peta hasil klasifikasi dilakukan proses hardener
dengan menggunakan algoritma minimum possibilities. Proses hardener adalah suatu proses untuk menghasilkan peta tunggal dari masing-masing
peta hasil klasifikasi pada kategori klasifikasi soft fuzzy. Hasil klasifikasi fuzzy menghasilkan satu paket raster group file peta kelas penutup lahan
yang mempunyai nilai fungsi keanggotaan masing-masing, oleh karena itu diperlukan penggabungan menjadi satu peta penutup lahan yang terdiri dari
kelas-kelas penutup lahan dari masing-masing peta hasil klasifikasi fuzzy. Algoritma yang digunakan adalah minimum possibilities. Algoritma ini
menggunakan nilai kemungkinan minimum terkecil dari nilai masing-masing fungsi keanggotaan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 24.
Mulai
Citra Quickbird Pemilihan training
area
Pembuatan matrik fungsi keanggotaan
Data training area
Ekstraksi training area Klasifikasi
Hasil klasifikasi per kelas
Hardener Peta klasifikasi kerapatan hutan
Selesai Nilai minimum posibilities
Citra Landsat terkoreksi
Gambar 24 Diagram alir klasifikasi fuzzy
D. Klasifikasi Belief -Dempster-Shafer
Teori belief mendasarkan pada pengumpulan data dari suatu bukti dengan menerapkan peraturan tentang kombinasi berdasar pada pemrosesan Dempster-
Shafer Weight-Of-Evidence. Masing-masing file data masukan berisi tugas dasar yang secara tidak langsung menghubungkan bukti ke arah suatu hipotesis di
dalam suatu bingkai keputusan. Bingkai keputusan di dalam suatu konteks keputusan spesifik meliputi semua hipotesis yang mungkin. Teori belief
membangun suatu pengetahuan mendasarkan dari data dan hipotesis yang user- specified oleh masing-masing dukungan data. Operator sebagai pemakai dapat
menyaring tingkat kepercayaannya, derajat kemasuk-akalan dan gambaran interval kepercayaan untuk masing-masing hipotesis yang didukung bukti
Eastman 2003. Teori Dempster-Shafer merupakan suatu varian dari teori kemungkinan
Bayesian, yang dengan tegas mengenali keberadaan ketidak-tahuan dalam kaitan dengan informasi yang tidak sempurna. Perbedaan tingkat derajat kepercayaan
pada akhirnya dikenal sebagai suatu interval kepercayaan, akan bertindak sebagai suatu ukuran ketidak-pastian tentang suatu hipotesis spesifik.
Klasifikasi belief Belclas adalah satu suatu kelompok metode soft. Metode ini adalah suatu proses pengambilan keputusan tentang keanggotaan kelas dengan
segala piksel untuk masuk ke suatu kelompok tingkat keanggotaan pada setiap kelas yang mungkin. Seperti prosedur klasifikasi terbimbing, penggunaan training
area tetap dibutuhkan, untuk mengklasifikasikan setiap piksel. Tetapi tidak seperti metoda maximum likelihood, output dari metode ini tidaklah peta tunggal penutup
lahan, tetapi lebih dari satu set gambaran per kelas yang menyatakan aspek kepercayaan maupun tingkat masuk akal masing-masing pixel pada masing-
masing kelas. Belclass menggolongkan suatu citra berdasar pada isi informasi dalam
signature filetraining area yang dihasilkan sebelumnya. Harus ditetapkan untuk masing-masing signature menggunakan suatu nilai kepercayaan
.
Algoritma yang digunakan dalam metode ini untuk decomposing data ke dalam statement yang
masuk akal atau kepercayaan yang dianut. Pertama, kondisi kemungkinan dari
bukti, dari data training area, dievaluasi dan dimodifikasi oleh kemungkinan yang utama sama halnya dengan Bayclass. Tetapi sebagai ganti membuat normalisasi
nilai piksel melalui penjumlahan dari setiap pertimbangan pada semua kelas. Belclass menormalkan nilai-nilai relatif kedalam nilai maksimum yang terjadi di
manapun pada citra. Hasil ini adalah suatu nilai yang diinterpretasikan sebagai komponen dari suatu kelas. Secara matematis peluang suatu kelas adalah sebagai
berikut: Phi e =
dimana: Phi e = peluang dari hipotesis terbukti benar posterior probability
= peluang dari penemuan yang dipercaya dari hipotesisnya adalah benar dihasilkan dari training area
= peluang dari hipotesis tidak benar dari suatu bukti prior probability
Langkah-langkah dalam klasifikasi ini adalah sebagai berikut: 1.
Pemilihan training area. Pada langkah ini adalah sama dengan pembuatan training area pada
klasifikasi maximum likelihood. Penentuan training area pada proses ini sama dengan yang dilakukan pada proses klasifikasi maximum likelihood,
sehingga training area pada klasifikasi maximum likelihood digunakan pula pada klasifikasi ini. Proses klasifikasi ini menggunakan kriteria derajat
kepercayaan belief. Penentuan derajat kepercayaan ini ditentukan thresholdnya berdasarkan tingkat kepercayaan dari citra Quickbird yang
mempunyai resolusi yang lebih tinggi dan hasil matrik konfusi antara klasifikasi citra dengan data lapangan hasil penelitian seperti terlihat pada
Lampiran 7. Tabel 7 menunjukkan derajat kepercayaan per kelas penutupan lahan. Nilai threshold digunakan pada saat ekstraksi training area pada
masing-masing kelas penutup lahan.
Tabel 7 Derajat kepercayaan klasifikasi Belief Dempster Shafer.
Klasifikasi Penutup Lahan
Derajat kepercayaan
Kepercayaan NH
Sw 1
100 Pc
0,9 90
Pt 0,7
70 T
0,8 80
Aw 1
100 B
1 100
H1 0,7
70 H2
0,7 70
H3 0,8
80
H4 0,8
80
2. Ekstraksi training area.
Proses ini adalah ekstraksi training area yang telah dibuat pada tahap pertama.
3. Klasifikasi Belclass
Proses ini adalah proses klasifikasi yang akan menghasilkan citra pada tiap kelas. Proses ini akan menghasilkan 10 peta sekaligus untuk masing kelas
penutup lahan yaitu sawah, pertanian lahan kering bercampur semak, pertanian lahan kering, tanah terbuka, awan, bayangan awan, hutan kerapatan
sangat tinggi, hutan kerapatan tinggi, hutan kerapatan sedang dan hutan kerapatan rendah. Nilai piksel yang dihasilkan antara 0
– 1 yang menunjukkan tingkat kepercayaan. Nilai 1 merupakan tingkat kepercayaan
tertinggi bahwa satu piksel tersebut masuk pada kelas tertentu. Berdasarkan hasil klasifikasi belief maka didapatkan sebanyak 10 peta. Berdasarkan 10
peta hasil tersebut maka untuk mendapatkan satu buah peta hasil klasifikasi dilakukan proses hardener dengan menggunakan algoritma minimum beliefs.
Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25 Diagram alir klasifikasi belief
2.4.3 Change Detection
Pemantauan perubahan tutupan hutan menggunakan algoritma post classification comparison PCC. Change detection dilakukan dengan
menggunakan peta hasil klasifikasi yang mempunyai akurasi yang paling tinggi. Pengujian akurasi dilakukan antara klasifikasi FCD, maximum likelihood, fuzzy
dan belief-dempster shafer dengan beberapa peubah di lapangan. Algoritma ini menggunakan matrik logic dengan cara melakukan overlay peta hasil klasifikasi
tahun 2003, tahun 2007 dan tahun 2008 pada operasi SIG. Analisis deteksi degradasi secara temporal dilakukan pada areal yang tidak berawan. Klasifikasi
degradasi hutan dilakukan dengan dasar perubahan kelas kerapatan hutan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 seperti terlihat pada Tabel 8.
Citra Landsat terkoreksi Mulai
Citra Quickbird Pemilihan training
area Data training area
Klasifikasi Hasil klasifikasi per kelas
Hardener Peta klasifikasi
kerapatan hutan Selesai
Nilai minimum belief
Data lapangan
Tabel 8. Klasifikasi degradasi secara temporal
No Kelas Degradasi
Kriteria Penurunan Kelas
1 Ringan
Turun 1 Tingkat
- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan
Tinggi -
Hutan Kerapatan Tinggi Ke Kerapatan Sedang -
Hutan Kerapatan Sedang Ke Kerapatan Rendah 2
Sedang Turun 2
Tingkat -
Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Kerapatan Sedang
- Hutan Kerapatan Tinggi Ke Hutan Kerapatan
Rendah 3
Berat Turun 3
Tingkat -
Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Hutan Kerapatan Rendah
4 Sangat
Berat Deforestasi
Turun 4 Tingkat
- Hutan Kerapatan Sangat Tinggi Ke Non Hutan
2.5 Kerja Lapangan