Program Pelepasan Tanah Surat Ijo

E. Program Pelepasan Tanah Surat Ijo

ditinjau dari sudut tata guna tanah dan kese- lamatan lingkungan hidup lebih tepat diperun-

Salah satu dampak atas adanya beberapa tukkan pemukiman atau kegiatan usaha pertanian,

tekanan dari warga penghuni semenjak awal era akan diberikan hak baru kepada rakyat yang

reformasi (1999), yakni timbulnya komitmen mendudukinya.” (Pasal 4)

pelepasan tanah surat ijo oleh Pemerintah Kota “Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Surabaya kepada warga penghuni, misalnya yang Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat

yang telah menjadi perkampungan atau diduduki dilakukan oleh Walikota Bambang D.H. pada 2007 rakyat, akan diprioritaskan kepada rakyat yang

sempat melakukan konsultasi kepada Kepala BPN mendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-

RI kala itu, Joyo Winoto. Hasilnya, yakni perlunya persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas

ditetapkan beberapa syarat tentang tanah yang pemegang hak tanah.” (Pasal 5)

boleh dilepaskan, seperti hanya tanah yang Berdasarkan uraian di atas, dinyatakan bahwa digunakan sebagai hunian, maksimal luasnya 200

konflik tanah surat ijo bukan sekadar akibat per- m², dan letaknya berada di jalan yang lebar bedaan persepsi terhadap keberadaan tanah surat maksimal lima meter (Jawa Pos 11 Februari 2012). ijo, sebagaimana dikemukakan oleh para peneliti Namun, komitmen tersebut belum terlaksana sebelumnya (Binsar Simbolon dkk., 2008), melain- akibat masih menunggu hasil Putusan Pengadilan kan sebuah dinamika sosial yang terjadi akibat Negeri Surabaya pada 2007 atas gugatan warga. motivasi/kepentingan kelompok yang memiliki

Pada tahun 2011, Realisasi atas janji itu, sudah tujuan rasional. Nampaknya, konflik tidak akan mulai disusun naskah akademik pelepasan tanah berakhir sebelum warga penghuni bisa mencapai surat ijo oleh tim khusus pelepasan yang dibentuk

tujuan mendapatkan status hak milik atas tanah oleh Walikota Surabaya (Jawa Pos 12 Februari 2011), huniannya. Di lain pihak Pemerintah Kota Surabaya setelah Pemkot Surabaya memenangkan perkara juga tidak akan bisa nyaman karena kinerjanya berdasarkan Kasasi MA Nomor 471K/Pdt/2011 terus terganggu selama konflik belum berakhir. Bisa tanggal 8 September 2011. Sesuai dengan arahan dinyatakan bahwa mempertahankan keberadaan sistem tanah surat ijo ibarat memelihara api dalam

8 Pemilikan tanah hunian menimbulkan prestise sekam.

seseorang di dalam masyarakat (Jawa). Seseorang Perbedaan persepsi tidak selalu senantiasa dianggap ada/sukses sebagai manusia seutuhnya

berlanjut pada tingkat konflik/sengketa, perbedaan manakala yang bersangkutan sudah memiliki tanah hunian secara legal atau berstatus HM.

Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016 walikota kepada Tim, upaya pelepasan hendaknya

Harga NJOP tanah di kota Surabaya bisa dilakukan secara ekstra hati-hati di dalam meru- dibilang sangat tinggi, harga minimal NJOP tanah muskan Raperda (rancangan peraturan daerah) di klasifikasi jalan terendah, yakni klasifikasi V yang pelepasan tanah surat ijo. Ada yang bekas tanah lebarnya di bawah 5 meter (Perda Kota Surabaya eigendom, ada bekas tanah hak opstal, ada bekas No. 2 Tahun 2013) sebesar satu juta rupiah per meter tanah hak erfpacht atas nama gemeente maupun persegi, maka harga NJOP terendah satu bidang swasta (Ali Achmad Chomsah 2004), agar di kelak tanah surat ijo (yang biasanya seluas sekitar 200 kemudian hari tidak timbul konflik/sengketa baru. m²) sebesar dua ratus juta rupiah. Bilamana

Beberapa anggota legislatif menyarankan agar diwajibkan membayar kompensasi sebesar harga secepatnya dilakukan pelepasan, misalnya anggota NJOP, maka sebagian besar warga penghuni masih DPRD Kota Surabaya yang tergabung dalam komisi keberatan, karena tanah surat ijo yang berada di

C DPRD Kota Surabaya, memperjuangkan pele- kelas jalan yang lebih tinggi atau lebih lebar, nilai pasan tanah surat ijo dengan persyaratan yang NJOP-nya tentu lebih tinggi. Pada kenyataannya, tidak memberatkan warga penghuni, termasuk sebagian besar warga penghuni tanah surat ijo Menteri ATR sempat menyentil Pemkot (jpnn.com terdiri atas warga kebanyakan, kelas menengah ke

19 September 2014). Hingga tahun 2014 baru dicapai bawah. Berdasarkan faktor kondisi seperti itu, pro- Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang gram pelepasan berdasarkan perda di atas akan Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya. mengalami hambatan, bahkan jalan buntu. Hingga Beberapa point persyaratan pelepasan yang sudah kini, belum/tidak ada seorang pun warga penghuni dirumuskan antara lain:

tanah surat ijo yang mengajukan permohonan

a) Luas tanah maksimal 250 m² sertif ikasi (Jawa Pos, 18 Agustus 2015).

b) Sudah dihuni selama minimal 20 tahun Anggapan sebagian besar warga penghuni,

c) Surat IPT masih berlaku dan aktif membayar makna program pelepasan tanah surat ijo itu yakni retribusi

pembebasan total tanpa embel-embel kompensasi,

d) Bila memiliki dua bidang tanah, hanya satu jikapun ada, besarannya tidak senilai harga NJOP yang boleh diambil

tanah dan hanya sekadar biaya administrasi penyer-

e) Tanah yang boleh dilepas hanya untuk tif ikatan tanah, atau dengan istilah di kalangan perumahan/hunian

pejuang surat ijo sebagai “dana partisipasi pem-

f ) Warga wajib membayar kompensasi kerugian bangunan” yang nilai besarannya di bawah NJOP negara sebesar nilai NJOP tanah kepada Pemkot tanah (Wawancara dengan Supadi HS 15 Maret Surabaya

Di dalam persyaratan terakhir itu (point “f”) Menurut Bagir Manan (1992, 14) ada tiga masih terjadi perdebatan/ketidaksepakatan antara landasan yang perlu dipenuhi sebagai syarat demi pihak pemerintah kota dengan warga penghuni, kualitas suatu peraturan, yakni landasan filosofis, warga penghuni menghendaki besaran kompensasi yuridis, dan sosiologis. Sedang menurut Jimly di bawah harga NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) atau Asshiddiqie (2006, 170-174) ditambah dua syarat bila perlu gratis, sebab kebanyakan warga telah lagi yakni landasan politis dan administratif. menghuni tanah sudah lebih dari 20 tahun, yang Berdasarkan pendapat dua pakar hukum itu, Perda bermakna bahwa yang bersangkutan beritikad baik No. 16 Tahun 2014, bisa dinyatakan sebagai pera- pada tanah dan tidak dipermasalahkan oleh turan yang kurang/tidak berkualitas, karena tidak masyarakat hukum adat dan desa/kelurahan (Pasal terpenuhinya salah satu persyaratan yang ada, yakni

24 Ayat 2 PP No. 24 Tahun 1997). landasan sosiologis, landasan yang berkaitan

Sukaryanto: Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya, ...: 165-178

dengan kenyataan empiris yang ada/hidup dalam S. Hutagalung, 2005, 376). Di dalam kerangka itu masyarakat; seperti kondisi sosial ekonomi, kecen- secara mutlak diperlukan campur tangan Negara, derungan aspirasi, kebutuhan, cita-cita, harapan artinya, negara harus turun tangan menjadi prakar- masyarakat selaku warga yang tinggal di atas tanah sa sekaligus mediator/arbitrator yang cerdas dan surat ijo. Namun, diakui maupun tidak diakui, arif dalam proses penyelesaian konflik melalui Perda No. 16/2014 merupakan satu bentuk nyata mekanisme APS/ADR. Negara bisa menawarkan komitmen Pemerintah Kota Surabaya dalam upaya kepada para pihak, apakah arbitrer diperankan oleh memenuhi rasa keadilan warganya, minimal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN atau bisa sebagai langkah awal yang positif dalam menuju juga dipilih lembaga yang professional/independen, tercapainya resolusi konflik tanah surat ijo.

misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau pun lainnya (Arbitrase Center di http:/

/www.baniarbitration.org/ina/procedures.php). Pemberlakuan Perda di atas menunjukkan

F. Resolusi Alternatif

Dasar pemberlakuan status HPL (Boedi Har- adanya semangat pemerintah daerah untuk sono 1968) adalah Pasal 33 Ayat 3, yang menyiratkan

mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat makna bahwa negara “menitipkan” kewenangan sebagaimana tertera dalam Pembukaan dan Pasal mengelola tanah negara untuk sebesar-besarnya

33 UUD 1945. Oleh karena itu perlu ditindaklanjuti kemakmuran rakyat (Maria S.W. Soemardjono langkah resolutif berikutnya, alangkah baiknya 2007; Urip Santoso 2012). Jadi, posisi Pemkot semua persoalan ditempatkan pada porsinya, Surabaya terhadap tanah berstatus HPL lebih sesuai papan dan empan-nya. akan lebih legal/ merupakan semacam hak administratif daripada konstitusional manakala kewenangan yang telah memanfaatkan untuk memperoleh profit, jelaslah dilimpahkan/didelegasikan pemerintah daerah itu tanah surat ijo bukan tanah milik pemerintah diserahkan kembali kepada pihak yang dulu telah daerah (Hukumonline.com 2015; Republika, 15 memberikan limpahan wewenang, yakni negara. Januari 2015). Pemegang HPL memang berwenang Di dalam kerangka itu, pihak yang berkompeten/ memanfaatkan tanah negara, namun tujuan berkapasitas dan sebagai pemberi status hak atas utamanya yakni untuk memenuhi rasa keadilan/ tanah adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ kesejahteraan, terutama pihak ketiga yang berada BPN, melalui institusinya yakni Kantor Pertanahan di sekitar atau di atas tanah tersebut (Soemardijono di tingkat Kabupaten/Kota dan/atau Kantor 2005; Elita Rahmi 2010, 349-359).

Wilayah BPN di tingkat Provinsi. 9 Sebenarnya konflik tanah surat ijo tidak perlu Ada mekanisme alternatif non ligitasi untuk terjadi, atau pun tidak berlama-lama. Kedua belah menuju tercapainya resolusi konflik yang bisa pihak tidak perlu bersitegang beradu otot/argumen mewujudkan win-win solution, yakni mekanisme memperebutkan status hak atas tanah negara, atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alter- pun saling mengklaim sebagai pihak yang paling native Dispute Resolution (ADR) yang bisa dicoba berhak, karena secara yuridis kedua belah pihak ditempuh (Maria S.W. Sumardjono 2002, 189; Arie bukan pemilik tanah. Pemkot sebagai pihak yang

penerima limpahan kewenangan mengelola, se- 9 Untuk pemberian status hak milik atas tanah

dang warga penghuni sebagai pengguna. Sejatinya, non pertanian di bawah 3.000 m² merupakan

kedua belah pihak (kalau boleh) “bukan apa-apa kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

dan bukan siapa-siapa” terhadap tanah surat ijo. Sedang urusan pemberian status hak milik tanah non

Apalagi terhadap tanah negara yang masih asli pertanian di atas 3.000 m² hingga 10.000 m² ditangani

oleh Kanwil BPN Provinsi.

berstatus eigendom.

174 Bhumi Vol. 2 No. 2 November 2016

Dalam konteks di atas, semestinya Pemkot tidak pengelola barang milik negara. Menurut UU No. 1 bisa semena-mena terhadap “barang titipan” nega- Tahun 2004 Pasal 45 Ayat 2 dinyatakan “pemin- ra, baik hanya sebatas mengklaim (Jawa: ndhaku) dahtanganan barang milik negara/daerah bisa tanah HPL sebagai barang milik daerah maupun dilakukan melalui dijual, dipertukarkan, dihibah- bertindak melepas/memindahtangankan. Pemkot kan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah tidak bisa serta merta sekehendak hati secara setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD” (Juga otonom melepaskan tanah surat ijo seolah sebagai termaktub pada Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. pemilik, hingga menimbulkan situasi “negara

27 Tahun 2014). Bila nilai barang milik negara itu dalam negara” (Ratna Djuita dan Indriayati 2011). bernilai lebih dari seratus milyar rupiah, harus Secara etika dan moral, penyelesaian konflik tanah mendapat persetujuan DPR (Pasal 55 PP No. 27 surat ijo dalam bentuk pelepasan/pemindah- Tahun 2014). Berkaitan dengan program pelepasan tanganan harus dikembalikan kepada pemberi tanah surat ijo yang luasnya mencapai 1.496,37 wewenang, yakni negara. Tentunya melalui lem- hektare, yang tentunya bernilai trilyunan rupiah, baga yang berkompeten, Kementerian Agraria dan jauh di atas seratus milyar rupiah, semestinya Tata Ruang dan/BPN.

memerlukan persetujuan DPR, setelah melalui Pemberlakuan Perda No. 16 Tahun 2014 tentang usulan Menteri Keuangan selaku bendahara umum Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya negara (Pasal 1 Ayat 2 PP No. 27 Tahun 2014). (dan Peraturan Walikota No. 51 Tahun 2015),

Dalam perspektif seperti di atas, pemberlakuan terkesan Pemkot Surabaya telah memposisikan Perda No. 16 Tahun 2014 itu bisa menimbulkan diri sebagai pemilik tanah surat ijo, pada hal bukan konotasi sebagai kekhilafan pemerintah daerah pemilik, hanya sebatas pemegang HPL, yakni selaku setempat dalam memaknai status HPL ataupun pihak yang dipercaya secara administratif untuk sudah paham tentang status HPL, pemberlakuan mengelola tanah negara. Pemberlakuan Perda Perda tersebut mungkin bisa dimaknai sebagai pelepasan seolah menunjukkan betapa biasnya bentuk kealpaan terhadap status/posisi negara pemahaman asal-usul status HPL. Atau, belum/ selaku pemberi limpahan wewenang, dan mungkin tidak disadarinya bahwa status HPL bukanlah HAT terlupakan juga bahwa negara merupakan bentuk yang tidak bisa disetarakan dengan status HAT yang organisasi rakyat/bangsa Indonesia, yang menda- tersurat dalam UUPA. Dengan kata lain, kurang/ patkan mandat menguasai tanah dari rakyat (Lihat tidak disadarinya bahwa status HPL atas tanah Pasal 2 dan Pasal 4 UUPA). negara itu berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945