Muhammad Abduh (1848-1905)

4. Muhammad Abduh (1848-1905)

Muhammad Abduh lahir di Delta Nil (kini wilayah Mesir), 1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dan nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari keluarga petani yang sederhana, taat dan cinta ilmu. Ia belajar membaca dan menulis dari orang tuanya. Dalam waktu dua tahun telah mampu menghafal seluruh isi al-Qur’an. Pendidikan selanjutnya di Thanta. 15 Kemudian melanjutkan studi di al- Azhar, dan pada 1871 Abduh bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani dan memperoleh pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti. 16

14 Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan…,hlm. 10-13. 15 Beliau tidak puas karena metode pengajarannya adalah hafalan tanpa pemahaman, sama halnya dengan

metode pengajaran yang umum diterapkan di dunia Islam ketika itu, kemudian ia kembali ke kampung- nya. Orang tuanya memerintahkan Abduh agar kembali ke Mesjid Ahmadi di Thanta, dan berguru kepada Syekh Darwisy. Bimbingan dari Syekh yang dengan tekun untuk menumbuhkan kembali sikap cintanya pada ilmu dan mengarahkannya pada kehidupan sufi.

16 Pertemuannya dengan Jamaluddin membuatnya semakin kecewa terhadap metode pengajaran alAzhar, dengan mengungkapkan pernyataannya yang penuh dengan rasa kekecewaan, bahwa metode pengajaran yang verbalis itu merusak akal dan daya nalar. Rasa kecewa itulah yang menyebabkannya menekuni berbagai masalah agama, sosial, politik, dan kebudayaan.

Seri Studi Islam 33

Selain sebagai mujaddid dalam bidang pemikiran keislaman, Abduh juga terlibat dalam kegiatan politikpraktisyang berujungpadapengasingannya ke luar negeri dengan tuduhan terlibat dalam pemberontakan yang dimotori oleh `Urabi Pasya pada tahun 1882. Ia tambah bersemangat melancarkan kegiatan politik dan dakwah, ditempat pengasingannya di Paris, bukan hanya ditujukan kepada rakyat Mesir, tetapi kepada penganut Islam di seluruh dunia. Bersama Jamaluddin menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut dengan al-’Urwah al- Wutsqa. Ide gerakan ini membangkitkan semangat umat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat. Umur majalah tersebut tidak lama karena pemerintah kolonial melarang peredarannya di daerah-daerah yang mereka kuasai. Setelah penerbitannya dihentikan, ia mengunjungi Tunis dan beberapa negara Islam lainnya, sebelum akhirnya kembali ke Beirut pada tahun 1884.

Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab di Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Risalah al- Tauhid. Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah masa pengasingannya berakhir. Setelah di Mesir Ia menerima jabatan sebagai hakim dan juga menjabat sebagai penasihat pada Mahkamah Tinggi di Kairo. Ada tiga pranata yang menjadi sasaran pembaharuannya, yaitu pendidikan, hukum, dan wakaf.

1) Bidang pendidikan. Ia beralasan bahwa al-Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam. Memperbaharui perangkat pendidikan berarti memperbaharui lembaga pendidikan Islam keseluruhan. Sebaliknya, membiarkannya dalam keadaan demikian, berarti membiarkan Islam menemui kehancuran. Cita-cita yang demikian mungkin dilaksanakan karena kedudukannya sebagai wakil pemerintah Mesir dalam Dewan Pimpinan al-Azhar yang dibentuk atas usulnya. 17 Dalam bidang pendidikan ada beberapa aspek pembaharuan yang dilakukan. Beberapa hal yang menjadi sasaran pembaharuan Abduh adalah sistem pengajaran, seperti metode, kurikulum, administrasi dan kesejahteraan para guru, bahkan juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan, dan peningkatan pelayanan

kesehatan bagi mahasiswa. 18 Dampak positif dari pembaharuannya antara lain tampak pada jumlah murid yang diuji setiap tahun. Kalau

17 Sudarno Shobron, et al, Studi Kemuhammadiyahan…,hlm. 15 18 Lihat karya Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:

Bulan Bintang, 2003)

34 Seri Studi Islam 34 Seri Studi Islam

2) Bidang Hukum. Abduh pernah ditunjuk sebagai Mufti menggantikan Syekh Hasunah al- Nadawi. Dengan jabatan baru yang diemban memberi peluang baginya untuk mengadakan pembaharuan di bidang tersebut. Usahanya yang pertama adalah memperbaiki kesalahan pandangan masyarakat, bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti berpandangan bahwa sebagai mufti yang ditunjuk negara tugas mereka hanya sebagai penasihat hukum bagi kepentingan negara. Mereka melepaskan diri dari orang yang mencari kepastian hukum. Di luar itu seakan pandangan ini diluruskan oleh Abduh dengan jalan memberi kesempatan kepada siapa pun yang memerlukan jasanya. Mufti baginya bukan hanya berkhidmat untuk negara, tetapi juga untuk masyarakat luas. Agaknya ada makna positif dari usaha Abduh terutama bagi masyarakat, yaitu agar kehadiran mereka tidak hanya dibutuhkan oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat. Ide pembaruan Muhammad Abduh dalam bidang hukum adalah mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dengan tidak terikat pada pendapat ulama-ulama masa lampau atau tidak terikat pada satu madzhab, sebab menjadikan pendapat para imam sebagai sesuatu yang mutlak bertentangan dengan ajaran Islam. Hukum menurutnya ada dua macam, yang pertama, hukum yang bersifat absolut yang teksnya terdapat dalam Al-Qur’an dan perinciannya terdapat dalam hadits, yang kedua, hukum yang tidak bersifat absolute dan tidak terikat pada konsensus ulama.

3) Di bidang Wakaf Wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan dalam pengelolaan administrasi sangat tidak efektif. Untuk itu ia membentuk Majelis Administrasi Wakaf dan duduk sebagai anggota. Abduh berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin penggunaan dana wakaf, maka mulailah memperbaiki perangkat masjid, pegawai masjid sampai kepada para imam dan khatib. Perhatian Abduh terhadap perbaikan masjid ini dilatarbelakangi oleh situasi masjid-masjid di Mesir. Misalnya dalam penyampaiankhutbahyang tidak bersifat mendidik, tetapi lebih menjurus kepada penyuguhan masalah- masalah hukum yang kurang beralasan dan tidak dapat dipegangi.

Seri Studi Islam 35

Itulah sebabnya ia menetapkan beberapa persyaratan bagi para khatib, antara lain mengharuskan mereka dari al-Azhar, agar salah paham terhadap ajaran agama dapat dikurangi.

Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dibawanya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapi adalah para ulama yang berpikiran statis beserta orang awam yang dapat mereka pengaruhi. Khedewi sendiri pun akhirnya tidak menyetujui pembaharuan fisik yang dibawanya, terutama tentang institusi wakaf, yang menyangkut dengan masalah keuangan. 19