Muhammadiyah dan Dinamika Politik Nasional
B. Muhammadiyah dan Dinamika Politik Nasional
Pembicaraan mengenai realisasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di Muhammadiyah bahkan dapat dikatakan bahwa “perdebatan” ini telah muncul di awal-awal kelahiran Muhamadiyah itu sendiri. Suwarno, misalnya mencermati adanya pergerakan orientasi dalam sikap dan politik Muhammadiyah sejak kelahiranya. Periode 1912-1937 disebutnya sebagai orientasi religious-kultural. Orientasi ini bergeser tajam menjadi politis- struktural (1937-1971), bergeser lagi menjadi berorentasi sosio-kultural (1971- 1995), selanjutnya berorientasi politis-kultural (1995-1998). 2 Orientasi politis Muhammadiyah, nampak ketika organisasi ini membidani MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia) tahun 1937, membidani PII (Partai Islam Indonesia) tahun 1938, Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) tahun 1945, dan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) tahun 1969. Kemudian pada era reformasi, peran cultural-politik Muhammadiyah kembali terlihat. Ini dapat dilihat dari kelahiran PAN (partai Amanat Nasional), yang secara kelembagaan politik, walaupun PAN tidak ada kaitanya dengan Muhammadiyah, karena kelahiranya tidak dibidani oleh Muhammadiyah, tetapi itu merupakan ijtihad politik dari sejumlah elite Muhammadiyah. Walaupun orientasi politik Muhammadiyah nampak dalam ranah kebangsaan, dengan memasok orang-
2 M. Alfan Alfian, (2007). “Muhammadiyah, Pergulatan Wacana, dan Pergeseran Konstelasi Politik Pasca Orde Baru”… hlm 628. Lihat Suwarno, (2001). Muhammadiyah Sebagai Oposisi, Studi tentang Perubahan Prilaku Politik Muhammadiyah Periode 1995-1998. Yogyakarta: UII Press.
Seri Studi Islam 189 Seri Studi Islam 189
Dalam keputusan Tanwir 1967 menjelang muktamar ke 38 tahun 1968 dinyatakan tentang beberapa pokok pikiran yang berkaitan dengan pentingnya khitthah perjuangan Muhamadiyah, yakni kebulatan sikap / tekad Muhamadiyah untuk menetapkan diri sebagai “Gerakan Dakwah Islam dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar di dalam bidang social masyarakat”. Muhamadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan (organisasi kemasyarakatan) yang mengemban dakwah amar ma’ruf nahi munkar, senantiasa bersikap aktif dan konstruktif dalam usaha-usaha pembangunan dan reformasi nasional sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya serta tidak akan tinggal diam dalam menghadapi kondisi kritis yang dialami oleh bangsa dan negara, karena itu Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada kittah perjuangan sebagai berikut:
1. Muhamadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dan urusan keduniawian yang harus selalu dimotivasi, dijiwai dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
2. Muhamadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakatnya.
3. Muhamadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (sivil society) yang kuat sebagai mana tujuan Muhamadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
4. Muhamadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya, menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara.
5. Muhamadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa.
3 M. Alfan Alfian, (2007). “Muhammadiyah, Pergulatan Wacana, dan Pergeseran Konstelasi Politik Pasca Orde Baru”… hlm 628-630.
190 Seri Studi Islam
6. Muhamadiyah tetap tidak berafilasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan politik manapun. Muhamadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.
7. Muhamadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing.
8. Muhamadiyah meminta kepada segenap anggota yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah) akhlak mulia, keteladanan dan perdamaian.
9. Muhamadiyah senantiasa bekerja sama dengan pihak atau golongan manapun berdasarkan prinsip kebijakan dan kemaslahatan dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.
Dengan demikian sejatinya Muhamadiyah dalam mendudukan domain dakwah dan politik ataupun relasi antar keduanya memiliki pijakan yang tepat dan jelas terbaca dalam Sirah Nabawiyah tentang bagaimana Rosulullah SAW bersikap terhadap berbagai tawaran masyarakat Quraisy termasuk di- antaranya beliau diminta secara aklamasi untuk menjadi pemimpin bangsa Arab. Tawaran politik tersebut disikapi dengan sangat cerdas bahkan dengan bahasa yang puitis, intinya bahwa Rosulullah SAW menolak tawaran politis bergengsi masyarakat Quraisy dan lebih memilih untuk terus berdakwah se- cara cultural ditengah-tengah masyarakat Makkah yang kemudian kita kenal sebagai gerakan dakwah sirriyah dan jahriyah.