Pembuktian Terbalik Soesilo, KUHP, Bogor : Politeia, 1982 hal.131

diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Akan tetapi setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas penetapan perampasan barang tersebut ayat 7 , keberatan diajukan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan perampasan tersebut. Tenggang waktu mengajukan keberatan adalah 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman penetapan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan tata cara mengambil keputusan dalam hal ada keberatan tersebut, tetapi bila pihak yang mengajukan keberatan dapat membuktikan haknya, maka barang tersebut harus dikeluarkan dari harta benda yang dirampas. Sebaliknya bila tidak terbukti, maka barang tersebut tetap dirampas untuk kepentingan negara.

E. Pembuktian Terbalik

Secara teoritis dikenal 4 empat macam teori pembukktian, yakni teori pembuktian positif, teori pembuktian negatif, teori pembuktian bebas dan teori pembuktian berdasarkan keyakinan. Dalam teori pembuktian positif, bersalah atau tidak nya seorang terdakwa sepenuhnya tergantung kepada alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan Hakim sebagai alat bukti harus dikesampingkan. Menurut teori pembuktian negatif, Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit- dikitnya ada 2 dua alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sedangkan menurut teori pembuktian bebas, alat-alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Sementara menurut teori pembuktian berdasarkan keyakinan, Universitas Sumatera Utara Hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan oleh karena itu dalam amar putusan tidak perlu menyebutkan alasan-alasannya. 45 45

R. Soesilo, KUHP, Bogor : Politeia, 1982 hal.131

Pada undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik, yang khusus diberlakukan untuk tindak pidana korupsi. Menurut sistem ini Terdakwa harus membuktikan, bahwa gratifikasi yang diterimanya bukan merupakan suap. Artinya, bahwa suatu gratifikasi yang diterima oleh seorang Pegawai Negeri atau Penyelenggara negara adalah suap, kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya. Oleh karena itu, sistem ini merupakan pengecualian asas praduga tak bersalah atau presumtion of innocence sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal ini ternyata dari ketentuan Pasal 12B ayat 1 yang mengatakan “ setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya “. Selanjutnya, untuk gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih penerima wajib membuktikannya bukan sebagai suap. Universitas Sumatera Utara BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA DUALISME KEWENANGAN MENGADILI ANTARA PENGADILAN NEGERI DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI BESERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA

A. Faktor Penyebab Terjadinya Dualisme Kewenangan Mengadili