17
BAB III METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Deskriptif dengan percobaan di laboratorium. Bertujuan untuk mengetahui kandungan dan
perbedaan kandungan mineral kalium dari daun salam segar, simplisia daun salam, infusa daun salam dan infusa simplisia daun salam yang diperoleh dari
Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara.
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Fitokimia, laboratorium Kimia Kualitatif, laboratorium Farmasetika Dasar dan laboratorium Penelitian Fakultas
Farmasi USU Medan pada bulan November 2014 - Februari 2015.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan adalah Spektrofotometer Serapan Atom Hitachi Zeeman-2000 dengan nyala udara-asetilen lengkap dengan lampu katoda kalium,
neraca analitik Boeco, tanur Stuart, hot plate Fisons, blender Miyako, panci infusa, alat penetapan kadar air labu alas bulat, kondensor, tabung penerima
berskala 0,1 ml, dan heating mantle, desikator, lemari pengering, mikroskop, kawat NiCr, krus porselen, cawan penguap berdasar rata, alat gelas Pyrex dan
Oberol dan kertas saring Whatman No.42.
18
3.2.2 Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun salam Eugenia polyantha Wight diperoleh dari daerah Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan
Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisis
produksi
E-Merck
antara lain toluena, kloroform, asam nitrat 65 vv dan larutan baku kalium 1000 µgml. Bahan kimia lainnya yang digunakan dalam penelitian
ini berkualitas teknis yaitu alkohol 96, asam pikrat 1 bv, air suling dan air demineral.
3.3 Pembuatan Pereaksi 3.3.1 Larutan asam nitrat 1:1 vv
Sebanyak 250 ml larutan asam nitrat 65 vv diencerkan dengan 250 ml
air demineral Isaac, 1988.
3.3.2 Larutan asam pikrat 1 bv
Sebanyak 1 g asam pikrat dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml Ditjen POM, 1995.
3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Metode pengambilan sampel
Sampel yang digunakan adalah daun salam yang diambil di Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara.
Gambar sampel dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 30. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampling purposif yang dikenal juga
19 sebagai sampling pertimbangan dimana sampel ditentukan atas pertimbangan
bahwa populasi sampel adalah homogen dan sampel yang tidak diambil mempunyai karakteristik yang sama dengan sampel yang sedang diteliti
Sudjana, 2005.
3.4.2 Identifikasi sampel
Identifikasi daun salam Eugenia polyantha Wight dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI, Bogor.
3.4.3 Pembuatan simplisia Bahan tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun salam
yang masih segar. Daun salam dipisahkan dari pengotor lain lalu dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan dan ditimbang. Diperoleh berat basah daun salam 5 kg.
Selanjutnya daun salam dikeringkan dalam lemari pengering dengan temperatur 40
°C. Simplisia yang telah kering ditimbang dan diperoleh berat kering daun salam 1,8 kg. Simplisia kemudian dihaluskan dengan cara diblender.
3.4.4 Penyiapan sampel daun salam segar
Daun salam segar dipisahkan dari pengotor lain, dicuci hingga bersih dengan air yang mengalir, dibilas dengan air demineral, ditiriskan dan dikeringkan
dengan cara dianginkan. Daun salam segar kemudian dihaluskan dengan cara diblender.
3.4.5 Penyiapan sampel infusa
Daun salam segar dan simplisia daun salam dicuci hingga bersih dengan air yang mengalir, dibilas dengan air demineral, ditiriskan dan dikeringkan dengan
cara dianginkan.
20
3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol,
penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam Depkes RI, 1995.
3.5.1 Penetapan kadar air
Pada labu bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling, didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit,
kemudian volume air di dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,1 ml. Kemudian ke dalam labu yang berisi toluena jenuh tersebut dimasukan 5 gram
serbuk simplisia yang telah ditimbang saksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mulai mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2
tetes per detik hingga sebagian air tersuling. Kemudian kecepatan dinaikkan hingga 4 tetes per detik. Kemudian setelah semua air tersuling, bagian dalam
pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena
memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,1 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan
yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen Depkes RI, 1995.
3.5.2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform 2,5 ml kloroform dilarutkan di dalam 1000 ml air suling dalam
labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai
21 kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa
dipanaskan pada suhu 105 ˚C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari
yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan Depkes RI, 1995.
3.5.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 95 dalam labu tersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam
pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai
kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105
˚C sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol 95 dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
Depkes RI, 1995.
3.5.4 Penetapan kadar abu total
Sebanyak 2 gram sampai 3 gram zat yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600
˚C kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
Depkes RI, 1995.
3.5.5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam
Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan,
disaring melalui kertas saring dan dipijar sampai bobot tetap, kemudian
22 didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung
terhadap bahan yang dikeringkan Depkes RI, 1995.
3.6 Prosedur Penelitian 3.6.1 Destruksi kering sampel
Ditimbang saksama masing-masing sampel yang telah diblender sebanyak
± 10 gram, dimasukkan ke dalam krus porselen, diarangkan di atas hot plate,
diabukan dalam tanur dengan temperatur awal 100ºC dan secara perlahan suhu dinaikkan menjadi 500ºC dengan interval 25ºC setiap 5 menit. Pengabuan
dilakukan selama 45 jam dihitung saat suhu 500 ºC, kemudian suhu diturunkan, setelah suhu tanur ± 27ºC, krus porselen dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin
pada desikator. Abu dibasahi dengan 10 tetes asam nitrat 1:1, kemudian diuapkan pada hot plate sampai kering. Krus porselen dimasukkan kembali ke
dalam tanur dan diabukan dengan temperatur awal 100ºC dan perlahan temperatur dinaikkan hingga suhu 500 ºC dengan interval 25ºC setiap 5 menit selama 1 jam
dan dibiarkan hingga dingin dalam desikator Isaac, 1988.
3.6.2 Pembuatan larutan sampel
Sampel hasil destruksi dilarutkan dalam 5 ml asam nitrat 1:1 hingga diperoleh larutan bening. Kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml,
dibilas krus porselen dengan 10 ml air demineral sebanyak tiga kali dan dicukupkan dengan air demineral hingga garis tanda. Kemudian disaring dengan
kertas saring Whatman no.42 dimana 5 ml filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring kemudian filtrat selanjutnya ditampung ke dalam botol
Isaac, 1988.
23 Larutan ini digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap
mineral kalium yang terkandung di dalamnya.
3.6.3 Pembuatan infusa
Ditimbang masing-masing 10 gram sampel, dimasukkan ke dalam panci infus dan ditambahkan 100 ml air demineral. Dipanaskan dalam penangas
air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90 ˚C sambil sekali -sekali
diaduk, serkai selagi panas melalui kain flanel, ditambahkan air demineral secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa 100 ml dan disaring
dengan kertas saring Whatman no.42 dimana 5 ml filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring kemudian filtrat selanjutnya ditampung ke dalam botol
Ditjen POM, 1995.
3.6.4 Destruksi basah pada infusa
Hasil infusa dimasukkan kedalam erlenmeyer, ditambahkan 10 ml asam nitrat 65 vv Bader, 2011. Didiamkan selama 24 jam, dan kemudian
dipanaskan pada suhu 80 ˚C selama ± 2 jam hingga diperoleh larutan bening.
Selanjutnya disaring dengan kertas saring Whatman no.42 dimana sebanyak 5 ml filtrat pertama dibuang untuk menjenuhkan kertas saring, filtrat selanjutnya
ditampung ke dalam botol Setyaningrum dan Sukesi, 2013.
3.7 Analisis Kualitatif Kalium 3.7.1 Uji dengan reaksi nyala
Kawat NiCr dicelupkan ke dalam sampel lalu dipijarkan pada api, diamati warna yang terjadi pada nyala api. Jika terdapat kalium, akan terbentuk
warna ungu pada nyala bunsen Vogel, 1990.
24
3.7.2 Uji kristal dengan asam pikrat 1 bv
Larutan zat ditambahkan larutan asam pikrat 1 bv menghasilkan endapan kuning, dibiarkan 5 menit pada object glass, kemudian diamati
dibawah mikroskop. Jika terdapat kalium, akan terbentuk jarum–jarum panjang Masfria, dkk., 2013.
3.8 Analisis Kuantitatif Kalium 3.8.1 Pembuatan kurva kalibrasi kalium
Larutan baku kalium 1000 µgml sebanyak 1,0 ml dimasukan ke dalam labu tentukur 50 ml lalu dicukupkan hingga garis tanda dengan air demineral.
Diperoleh konsentrasi 20 µgml kemudian dipipet masing-masing 2,5 ml; 5,0 ml; 7,5 ml; 10,0 ml; dan 12,5 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan
dicukupkan hingga garis tanda dengan air demineral sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1,0 µgml; 2,0 µgml; 3,0 µgml; 4,0 µgml; 5,0 µgml dan
diukur absorbansi pada panjang gelombang 766,5 nm dengan tipe nyala udara- asetilen.
3.8.2 Penetapan kadar kalium
Larutan sampel dipipet sebanyak 0,1 ml dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml dan dicukupkan dengan air demineral hingga garis tanda Faktor
Pengenceran = 50 ml0,1 ml = 500 kali. Lalu diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom yang telah dikondisikan dan diatur
metodenya dimana penetapan kadar untuk kalium dilakukan pada panjang gelombang 766,5 nm dengan nyala udara-asetilen. Nilai serapan yang diperoleh
harus berada dalam rentang kurva kalibrasi larutan baku kalium. Konsentrasi
25 kalium dalam sampel ditentukan berdasarkan persamaan garis regresi dari kurva
kalibrasi. Menurut Rohman 2007, kadar kalium dalam sampel dapat dihitung
dengan cara sebagai berikut:
Kadar Mineral µgg
= Konsentrasi
μg ml
⁄
× Volume ml
× Faktor Pengenceran Berat Sampel g
3.9 Analisis Data Secara Statistik 3.9.1 Penolakan hasil pengamatan
Kadar kalium yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing larutan sampel dianalisis secara statistik. Menurut Sudjana 2005, standar deviasi dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
SD =
�
∑ Xi-X
2
n-1
Keterangan: Xi = Kadar sampel X = Kadar rata-rata sampel
n = Jumlah pengulangan Untuk mencari t hitung digunakan rumus:
t hitung
=
Xi-X SD
√n ⁄
26 Untuk menghitung kadar mineral di dalam sampel dengan interval
kepercayaan 99, dk = n-1, dapat digunakan rumus:
µ = X ± t
α2
, dk x SD √n
Keterangan: X = Kadar rata-rata sampel
Xi = Kadar sampel SD = Standar Deviasi
dk = Derajat kebebasan dk = n-1 α = Interval kepercayaan
n = Jumlah pengulangan
3.9.2 Pengujian beda nilai rata-rata antar sampel
Menurut Sudjana 2005, sampel yang dibandingkan secara independen diambil dari populasi. Variansi σ tidak diketahui sehingga dilakukan uji F untuk
mengetahui apakah variansi kedua populasi sama σ
1
= σ
2
atau berbeda σ
1
≠ σ
2
dengan menggunakan rumus di bawah ini:
F
o
=
2 2
2 1
S S
Keterangan: Fo = Beda nilai yang dihitung
S
1
= Standar deviasi terbesar S
2
= Standar deviasi terkecil Apabila dari hasilnya diperoleh Fo tidak melewati nilai kritis F maka
dilanjutkan uji dengan distribusi t dengan rumus:
27 X
1
– X
2
t
o
= Sp
√1n
1
+ 1n
2
Keterangan: X
1
= Kadar rata-rata sampel 1 X
2
= Kadar rata-rata sampel 2 n
1
= Jumlah pengulangan sampel 1 n
2
= Jumlah pengulangan sampel 2 Sp = Simpangan baku
Jika F melewati nilai kritis F, dilanjutkan uji dengan distribusi t dengan rumus:
X
1
– X
2
t
o
= √S
1 2
n
1
+ S
2 2
n
2
Keterangan: X
1
= Kadar rata-rata sampel 1 X
2
= Kadar rata-rata sampel 2 S
1
= Standar deviasi sampel 1 S
2
= Standar deviasi sampel 2 n
1
= Jumlah pengulangan sampel 1 n
2
= Jumlah pengulangan sampel 2 Kedua sampel dinyatakan berbeda, apabila t
yang diperoleh melewati nilai kritis t, dan sebaliknya.
28
3.10 Validasi Metode Analisis 3.10.1 Uji perolehan kembali
recovery
Uji perolehan kembali recovery dilakukan dengan metode penambahan larutan baku standard addition method. Dalam metode ini, kadar mineral dalam
sampel ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan penentuan kadar mineral dalam sampel setelah penambahan larutan baku dengan konsentrasi tertentu
Ermer dan McB. Miller, 2005. Sampel yang telah diblender kemudian ditimbang secara seksama
sebanyak 10 gram, lalu ditambahkan 3,5 ml larutan larutan baku kalium konsentrasi 1000 µgml, dan kemudian dilanjutkan dengan prosedur destruksi
kering seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut Harmita 2004, persen perolehan kembali dapat dihitung
dengan rumus di bawah ini:
Perolehan Kembali = 100
C C
- C
A A
F
×
Keterangan: C
A
= Kadar logam dalam sampel sebelum penambahan baku C
F
= Kadar logam dalam sampel setelah penambahan baku C
A
= Kadar larutan baku yang ditambahkan
3.10.2 Simpangan baku relatif
Menurut Harmita 2004, keseksamaan atau presisi diukur sebagai simpangan baku relatif atau koefisien variasi. Keseksamaan atau presisi
merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual ketika suatu metode dilakukan secara berulang untuk sampel yang
29 homogen. Nilai simpangan baku relatif yang memenuhi persyaratan menunjukkan
adanya keseksamaan metode yang dilakukan. Menurut Harmita 2004, rumus untuk menghitung simpangan baku relatif
adalah:
RSD =
SD X
x 100
Keterangan: X = Kadar rata-rata sampel SD = Standar Deviasi
RSD = Relative Standard Deviation
3.10.3 Penentuan batas deteksi dan batas kuantitasi
Batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan. Sedangkan batas kuantitasi
merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama Harmita, 2004.
Menurut Harmita 2004, batas deteksi dan batas kuantitasi ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Simpangan Baku SY X � =
�
∑ Y-Yi
2
n-2
Deteksi LOD =
3 x SY X �
slope
Batas kuantitasi LOQ =
10 x SY X �
slope
30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Sampel
Hasil identifikasi sampel dilakukan oleh bagian Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI-Bogor terhadap daun salam adalah
Eugenia polyantha Wight sinonim Syzygium polyanthum Wight Walp. suku Myrtaceae. Hasil identifikasi sampel dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 41.
4.2 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol,
penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun salam dapat dilihat pada Tabel
4.1 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 11 sampai Lampiran 15, halaman 51-55.
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun salam
Karakteristik serbuk simplisia Simplisia
Kadar Standar Depkes RI
Kadar air 5,98
10 Kadar sari larut dalam air
13,66 12
Kadar sari larut dalam etanol 9,74
8 Kadar abu total
4,01 5
Kadar abu tidak larut dalam asam 0,60
1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia diperoleh kadar air sebesar 5,98.
kadar ini sesuai dengan standarisasi kadar air simplisia secara umum dengan syarat yaitu tidak lebih dari 10 Depkes RI, 1980. Penetapan kadar air
31 dilakukan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air dalam simplisia karena tingginya kandungan air menyebabkan bakteri dan jamur cepat tumbuh dan bahan aktif yang terkandung didalamnya
dapat terurai
.
Penetapan kadar sari yang larut dalam air dan etanol dilakukan untuk mengetahui jumlah senyawa yang dapat tersari dalam air dan dalam
etanol dari suatu simplisia. Senyawa yang bersifat polar dan larut dalam air akan tersari oleh air. Sedangkan senyawa-senyawa yang tidak larut dalam air dan larut
dalam etanol akan tersari oleh etanol. Hasil penetapan kadar sari larut air simplisia daun salam adalah 13,66. Kadar sari larut etanol dari simplisia daun salam
adalah 9,74. Kadar ini memenuhi syarat yang terdapat pada Materia Medika Indonesia Depkes RI, 1980.
Penetapan kadar abu dimaksudkan untuk mengetahui kandungan mineral internal yang terdapat didalam simplisia yang diteliti serta senyawa organik yang
tersisa selama pembakaran. Zat-zat ini dapat berasal dari senyawa oksida-oksida anorganik. Kadar abu total yang tinggi menunjukkan adanya zat anorganik logam-
logam Ca, Mg, Fe, Cd dan Pb yang sebagian mungkin berasal dari pengotoran. Kadar logam berat yang tinggi dapat membahayakan kesehatan, oleh sebab itu
perlu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu yang
melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya toksik bagi kesehatan. Hasil penetapan kadar abu total simplisia daun salam adalah 4,01. Hasil penetapan
kadar abu tidak larut asam dari simplisia daun salam sebesar 0,60. Hasil penetapan kadar abu total dan abu tidak larut asam dari simplisia dan ekstrak yang
32 telah dilakukan memenuhi persyaratan yang terdapat dalam Materia Medika
Indonesia Depkes RI, 1980.
4.3 Analisis Kualitatif