Implementasi Konsep Good Governance Dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 Di DPRD Karo

(1)

1

Implementasi Konsep Good Governance dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 di DPRD Karo

Disusun Oleh:

Friska Ulina Elisabeth Ginting 090906048

Dosen Pembimbing: Dra. Evi Novida Ginting, M.SP

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FRISKA ULINA ELISABETH (090906048)

IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAERAH KARO PERIODE 2009-2014 DI DPRD KARO

Rincian isi skripsi, 96 Halaman, 11 Buku, 2 Jurnal, 2 Situs Internet, 1 Perundang-undangan, (Kisaran buku dari tahun 1986-2011)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014, apakah telah atau belum menerapkan konsep dan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknika pengumpulan data melalui wawancara. Bila dilihat dari kinerja anggota dewan DPRD Kabupaten Karo yang ditunjukkan dengan data-data yang diperoleh peneliti, dapat dikatakan bahwa kinerja DPRD Kabupaten Karo masih jauh dari harapan masyarakat. Beberapa indikitor dari konsep good governance

(Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus

Orientation, Effectiveness and Efficiency, Accountability, Strategic Vision) belum

mampu dijalankan anggota dewan. Hal ini juga dapat dilihat dari produk kebijakan yang telah dihasilkan, di mana sebagian besar kebijakan tersebut hanya mengatur sumber pemasukan keuangan daerah yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan publik.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah setiap pengambil kebijakan harus tanggap dan peka terhadap aspirasi masyarakat dengan tidak hanya duduk menunggu pengaduan masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung akan memberikan dampak atau pengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan publik. Tingkat responsibilitas anggota DPRD dapat diukur dari sejauh mana kemampuan anggota dewan tersebut dalam mengakomodasi dan mentransformasikan aspirasi masyarakat ke dalam kebijakan publik. Penulis berpendapat bahwa secara keseluruhan, dari pembahasan mengenai penerapan prinsip good governance dalam penyusunan peraturan daerah di DRPD Kabupaten Karo, anggota dewan belum sepenuhnya mampu menjalankan prinsip tersebut.


(3)

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:

Nama : Friska Ulina Elisabeth Ginting NIM : 090906048

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Implementasi Konsep Good Governance dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 di DPRD Karo

Menyetujui:

Ketua Departemen Dosen Pembimbing,

Ilmu Politik,

Dra. T. Irmayani, M.Si Dra. Evi Novida Ginting M.SP NIP. 196806301994032001 NIP.196611111994032004

Mengetahui: Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 196805251992031002


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena oleh berkat, anugerah serta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Konsep Good Governance dalam Proses Penyusunan Kebijakan Daerah Karo Periode 2009-2014 di DPRD Karo”.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan bagi mahasiswa program S1 pada program studi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Sumatera Utara Medan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.

Dari proses penulisan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, tidak lepas dari dorongan semangat, dukungan, tegur sapa, masukan, dan bimbingan, utamanya yang terkait langsung dengan diri penulis, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan banyak terimakasih dengan iringan doa kepada semua pihak.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU.

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik FISIP USU, yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.SP selaku dosen pembimbing, yang telah banyak memberikan saran, kritik, motivasi dan waktunya untuk membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak/Ibu dosen dan staff di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik USU yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan. 5. Bapak Onasis Sitepu, ST selaku Wakil Ketua DPRD Karo, Bapak Frans

Dante Ginting selaku Ketua Komisi A DPRD Karo, Bapak Harrison Sitepu, SP selaku Ketua Fraksi PAN yang telah bersedia menjadi


(5)

iv

6. narasumber, dan kepada seluruh Staff dan Tenaga Ahli DPRD Karo yang telah banyak membantu dengan memberikan segala data dan informasi yang dibutuhkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teristimewa kepada kedua orang tua saya, Bapak Antonius Edi Ginting dan Ibu Setiawati Pinem yang selalu memberikan saya semangat baik secara moril maupun materil, dan tiada bosan-bosannya mengawasi perkembangan skripsi saya dari awal sampai akhir. Semua yang telah saya raih sampai detik ini, semua karena doa dan dukungan yang kalian berikan. Saya bukanlah anak terbaik di dunia tapi saya beruntung mempunyai orangtua yang terbaik di dunia. Kebahagiaan yang sempurna untuk seorang anak tak henti kalian berikan kepada saya dan segala cinta serta usaha yang terbaik dari saya hanya untuk kalian.

8. Kedua adik saya, Nina Karina Ginting dan Bobby Sandy Ginting, terimakasih buat semangat dan dukungannya, semoga kita dapat saling berbagi, saling menguatkan dan semakin dekat lagi.

9. Untuk abang Barry Calvin Ginting, yang menemani dan banyak membantu saya selama penelitian di Kantor DPRD Karo, semoga Tuhan selalu memberkati abang dan membalas semua kebaikan abang.

10.Untuk Keluarga Besar Departemen Ilmu Politik, terutama Angkatan 2009, Angel N Tanjung, Febri Mahyani Afif S.IP, Riska Deniati, Rezka Febriani S.IP, Try Edo, Novi Hariani, Rita, Dessy Martina, Sri Maulizar S.IP, Azhari, Teguh, Alex, dan kawan-kawan lainnya. Kalian yang terbaik, semangaat!! 

11.Untuk yang selalu di hati, my girls Nova Sarah Panjaitan, Jeanne Caroline Tambunan, Sari Indah Simbolon S.E, Indriany Silalahi S.E, Monica Olivia Hutapea, and the boy Adi Siregar S.E. Terimakasih buat tahun-tahun terbaiknya, kalian selalu mendukung, memarahi, menemani kesana kemari, dan menjadi tempat bersandar, maaf selama ini merepotkan kalian. 12.Untuk orang-orang yang pernah ada dan menjadi bagian hidup saya, terimakasih karena sudah mengajarkan banyak hal kepada saya, sehingga saya bisa seperti sekarang ini, membuat saya jadi semakin lebih baik, dan


(6)

v

13.yang akan mengisi kehidupan saya, saya ucapkan syukur untuk kehadiran mereka.

14.Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih, mohon maaf jika tidak disebutkan namanya satu persatu dikarenakan keterbatasan penulis, tapi rasa hormat dan terimakasih penulis ucapkan dengan setulusnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam pengolahan data, serta penyajiannya. Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca walaupun terdapat banyak kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran perbaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terimakasih bagi semua pihak yang telah memberi bimbingan, masukan, bantuan, dan dukungan selama proses pengerjaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Medan, Desember 2014 Penulis


(7)

vi DAFTAR ISI Halaman Judul

Abstrak ……….. i

Abstract ………. ii

Halaman Persetujuan ………... iii

Halaman Pengesahan ………... iv

Lembar Persembahan ……….. v

Kata Pengantar ………. vi

Daftar Isi ……….……….. ix

Daftar Gambar ………. xii

Daftar Tabel ………. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ……….. 1

2. Perumusan Masalah ………. 9

3. Pembatasan Masalah ……… 10

4. Tujuan Penelitian ………...……….. 10

5. Manfaat Penelitian ……….. 11

6. Kerangka Teori ……… 12

6.1 Teori Kebijakan Publik ………. 12

6.1.1 Tahap-Tahap Kebijakan Publik ………... 14

6.1.2 Perumusan Kebijakan ……….. 16

6.1.3 Aktor-Aktor dalam Proses Pembuatan Kebijakan ……... 17

6.1.4. Nilai-Nilai yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan ……. 19

6.2 Good Governance ………. 21

6.3 Teori Perwakilan Politik ……… 25

6.3.1 Teori Mandat ……….. 25

6.3.2 Teori Gilbert Abcarian ……… 27

6.4 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ……… 28

6.4.1 DPRD Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat ………. 28

6.4.2 Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat ………. 28

7. Metodologi Penelitian ………... 30

7.1 Jenis Penelitian ……….. 30

7.2 Lokasi Penelitian ………...… 31

7.3 Teknik Pengumpulan Data ……… 31

7.4 Teknik Analisa Data ………. 32

8. Sistematika Penulisan ……….. 32

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 1. Gambaran Umum Kabupaten Karo ……….. 34

1.1 Letak Geografis ………... 34

1.2 Kependudukan ……….. 36


(8)

vii

1.4 Pemerintahan Daerah ………. 39

2. Gambaran Umum DPRD Kabupaten Karo ……….. 41

2.1 Profil Anggota DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ……… 42

2.2 Kedudukan dan Fungsi DPRD Kabupaten Karo ……….. 44

2.3 Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten Karo ……… 45

2.4 Hak dan Kewajiban DPRD Kabupaten Karo ……… 46

3. Dinamika Politik Lokal ……… 48

4. Struktur Organisasi DPRD Kabupaten Karo ……….. 49

4.1 Pimpinan DPRD Kabupaten Karo ………. 49

4.2 Komisi-komisi DPRD Kabupaten Karo ………... 51

4.3 Badan Musyawarah DPRD Kabupaten Karo ……… 55

4.4 Badan Anggaran DPRD Kabupaten Karo ………. 57

4.5 Badan Legislasi Daerah DPRD Kabupaten Karo ………. 58

4.6 Badan Kehormatan DPRD Kabupaten Karo ……… 60

4.7 Fraksi-fraksi DPRD Kabupaten Karo ……….. 61

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 1. Proses Penyusunan dan Perumusan Peraturan Daerah Kabupaten Karo ……….. 63

2. Penerapan Konsep Good Governance di DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ……….. 66

2.1 Accountability (Akuntabilitas) ……….. 66

2.2 Transparancy (Transparansi) ………. 73

2.3 Participation (Partisipasi) ………. 75

2.4 Effectiveness and Efficiency (Efektifitas dan Efisiensi) ……… 76

2.5 Responsiveness (Tingkat Respon/Daya Tanggap) ………. 79

2.6 Rule of Law (Sesuai Aturan Hukum) ……… 82

2.7 Consensus Orientation ……….. 83

2.8 Strategic Vision ………. 84

3. Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ……….. 85

4. Kunjungan Kerja dan Pengaduan di DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ………... 91

BAB IV PENUTUP Kesimpulan dan Saran ………. 94


(9)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perolehan Kursi Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 Untuk DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014………...


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Karo

Tahun 2008 ……… 35 Table 2.2 Anggota DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014 ….. 42 Tabel 2.3 Pimpinan DPRD Kabupaten Karo Periode 2011-2014 ….. 50 Tabel 2.4 Susunan fraksi-fraksi DPRD Kabupaten Karo periode

2009-2014 ……….. 62 Tabel 3.1 Daftar Kegiatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


(11)

i UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FRISKA ULINA ELISABETH (090906048)

IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN DAERAH KARO PERIODE 2009-2014 DI DPRD KARO

Rincian isi skripsi, 96 Halaman, 11 Buku, 2 Jurnal, 2 Situs Internet, 1 Perundang-undangan, (Kisaran buku dari tahun 1986-2011)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014, apakah telah atau belum menerapkan konsep dan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknika pengumpulan data melalui wawancara. Bila dilihat dari kinerja anggota dewan DPRD Kabupaten Karo yang ditunjukkan dengan data-data yang diperoleh peneliti, dapat dikatakan bahwa kinerja DPRD Kabupaten Karo masih jauh dari harapan masyarakat. Beberapa indikitor dari konsep good governance

(Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus

Orientation, Effectiveness and Efficiency, Accountability, Strategic Vision) belum

mampu dijalankan anggota dewan. Hal ini juga dapat dilihat dari produk kebijakan yang telah dihasilkan, di mana sebagian besar kebijakan tersebut hanya mengatur sumber pemasukan keuangan daerah yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan publik.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah setiap pengambil kebijakan harus tanggap dan peka terhadap aspirasi masyarakat dengan tidak hanya duduk menunggu pengaduan masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung akan memberikan dampak atau pengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan publik. Tingkat responsibilitas anggota DPRD dapat diukur dari sejauh mana kemampuan anggota dewan tersebut dalam mengakomodasi dan mentransformasikan aspirasi masyarakat ke dalam kebijakan publik. Penulis berpendapat bahwa secara keseluruhan, dari pembahasan mengenai penerapan prinsip good governance dalam penyusunan peraturan daerah di DRPD Kabupaten Karo, anggota dewan belum sepenuhnya mampu menjalankan prinsip tersebut.


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pasca reformasi 1998, Indonesia sering disebut-sebut masih berada dalam masa transisi demokrasi. Sebuah masa perubahan dari rezim otoritarian menuju sebuah rezim baru yang mungkin berujung pada konsolidasi atau pembentukan demokrasi atau malah rezim orotitarian baru yang lebih kejam dari sebelumnya. Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan demokrasi dalam masa yang sering disebut sebagai masa transisi ini, pendapat yang berkembang luas kemudian adalah berkutat pada bagaimana membentuk tipe-tipe pemerintahan yang tepat untuk “mengakhiri masa transisi” tersebut.

Salah satu bentuk perubahan pola pemerintahan adalah dimunculkannya desentralisasi untuk mendorong otonomi daerah. Desentralisasi muncul dari kritik mengenai pola pemerintahan yang cenderung terpusat dan mengabaikan daerah. Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000.

Sejak era reformasi, kegiatan pembangunan di Indonesia menerapkan model desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan


(13)

2

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranan, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Kenyataannya, kontribusi desentralisasi dalam mensejahterakan masyarakat tidak kunjung terlaksana. Permasalahan demi permasalahan muncul seiring dengan merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah


(14)

3

kabupaten/kota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa sumber daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya walaupun untuk itu harus bersinggungan dengan kewenangan tetangganya. Permasalahan tersebut tidaklah belum pelik bila kita telisik lebih jauh, bahwa titik permasalahan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat menjamin kesejahteraan rakyat di daerah.

Memang penitikberatan desentralisasi pada kabupaten/kota masih belum menggembirakan. Banyak sekali persoalan yang harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak serta merta membuahkan demokratisasi, good governance, dan penguatan masyarakat sipil di tingkat daerah.

Jika mendengar istilah good governance yang ada di benak kita hanyalah definisi penyelenggaraan pemerintahan yang baik, tapi penyelenggaraan seperti apa dan bagaimana hal tersebut dilakukan masih belum dapat dibayangkan. Secara umum, penyelenggaraan yang dimaksud terkait dengan isu transparansi, akuntabilitas publik dan sebagainya. Padahal untuk mewujudkan pemahaman

good governance sebenarnya sangatlah pelik dan kompleks, tidak hanya sekedar

memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas pada level tertentu.

Good governance lebih dari sekedar usaha untuk memperbaiki

kepemerintahan semata, akan tetapi kenyataannya jauh lebih pelik dan kompleks. Permasalahan ini semakin rumit manakala tuntutan good governance mengharuskan perubahan berbagai aspek terkait dari semua sistem


(15)

4

penyelenggaraan pemerintahan yang sudah tertanam lama, terlebih-lebih jika dihadapkan pada sistem pemerintahan yang sudah sangat patologis. Perubahan yang diinginkan adalah meliputi aspek kinerja kepegawaian sampai dengan pertanggungjawaban penyelenggaraan pada level elit pemerintahan.1

Dalam konteks good governance, pemerintah ditempatkan sebagai fasilitator atau katalisator, sementara tugas untuk memajukan pembangunan terletak pada semua komponen negara, meliputi dunia usaha dan masyarakat. Dengan begitu, kehadiran good governance ditandai oleh terbentuknya “kemitraan” antara pemerintah dengan masyarakat, organisasi politik, organisasi massa, LSM, dunia usaha serta individu secara luas guna terciptanya manajemen pembangunan yang bertanggungjawab.2

Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN. Hal ini sangat tergantung dari adanya aparatur pemerintah dan anggota DPRD yang berkemampuan sepadan dengan wewenang dan tanggung jawabnya. Perlu diperhatikan pula adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat

1 Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 22.

2


(16)

5

peran dan kapasitas parlemen, serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas.

Pemerintah adalah institusi yang menyelenggarakan kewenangan politik, ekonomi dan adminitratif untuk mengatur urusan negara di setiap tingkatan. Pemerintahan merupakan mekanisme yang kompleks, yang melibatkan proses dan institusi sebagai wahana warga dan kelompok masyarakat mengartikulasikan kepentingan, menjalankan hak dan kewajiban, dan memediasi perbedaan-perbedaan. Dalam perspektif ini pemerintah mencakup seluruh metode membagikan kekuasaan dan mengatur sumber daya dan masalah publik. Pemerintah yang baik akan mengalokasikan sumber daya dan masalah publik secara efisien, memperbaiki kegagalan pasar (market failure), menyusun peraturan yang efektif dan menyediakan kebutuhan publik yang tidak disuplai oleh pasar.3

Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintah pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Pemerintahan berkenaan dengan sistem, fungsi, cara, perbuatam, kegiatan, urusan, atau tindakan memerintah yang dilakukan atau diselenggarakan atau dilaksanakan oleh pemerintah. Eksekutif adalah cabang kekuasaan dalam negara yang melaksanakan kebijakan publik melalui peraturan perundang-undangan yang telah disiapkan oleh lembaga legislatif maupun atas inisiatif sendiri.

3

Dede Mariana & Caroline Paskarina, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm. 157.


(17)

6

Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah sehari-hari. Perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pemerintah pusat. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pemerintah pusat di daerah dibentuk pula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.4

Dalam fungsi membuat peraturan (legislasi), DPRD diberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah, dalam pelaksanaannya fungsi ini dapat digunakan melalui hak inisiatif/hak prakarsa dan hak amandemen/hak perubahan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berfungsi sepenuhnya sebagai badan legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai eksekutif di daerah. Sebagai badan legislatif, dia harus dapat menyerap aspirasi masyarakat untuk disalurkan kepada eksekutif untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi pemerintahan dan DPRD selain melaksanakan fungsi legislasi, juga melaksanakan fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan (control) sebagai tindak lanjut dari penyaluran aspirasi masyarakat kepada eksekutif terhadap kebijakan yang telah ditetapkannya.

4

H.A. Kartiwa, Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “Good Governance”, Jurnal, 2006, hlm. 5.


(18)

7

Dengan dijalankannya fungsi legislasi oleh DPRD, maka seharusnya kebijakan pemerintah di daerah lebih mencerminkan kehendak masyarakat di daerahnya. DPRD dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan pemerintah daerah yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabilitas dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan daerahnya.

Dilihat dari proses, legislasi membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat, dilihat dari substansi, legislasi harus mencerminkan kepentingan publik dan strategis bagi percepatan pembangunan daerah. Dilihat dari sisi yuridis, legislasi harus merupakan perangkat hukum yang mampu membangun kepastian hukum. Setiap dimensi tersebut terajut sebagai simpul-simpul yang mempengaruhi kadar demokratisasi proses legislasi di daerah.

Perumusan kebijakan daerah perlu perhatian dan melibatkan masyarakat agar nantinya semua kepentingan dan masalah yang dihadapi masyarakat dapat terakomodasi. Selanjutnya aspirasi itu dibahas menjadi salah satu formulasi kebijakan daerah. Formulasi sebagai tahap awal penyusunan peraturan untuk selanjutnya dibahas kembali untuk dijadikan sebagai kebijakan, kemudian melakukan uji publik sebelum disahkan menjadi kebijakan.

Terkait peran DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan harus dilakukan secara bertanggung jawab. Artinya penyelenggara pemerintahan dituntut melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional. Dalam menjalankan tugasnya penyelenggara pemerintahan harus sadar untuk tidak hanya berorientasi pada hasil tetapi juga pada kebenaran dan kewajaran dalam proses pencapaiannya.


(19)

8

Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab dan transparan akan menumbuhkan rasa percaya masyarakat pada pemerintah daerah.

Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik di suatu daerah, DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan dituntut harus mengelola sumber daya seefektif dan seefisien mungkin. Efektif berarti setiap upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan. Efisien artinya pemerintah daerah harus bersikap rasional dengan mempertimbangkan dari setiap sumber daya yang dipakai. Dengan praktek yang baik dari konsep efektif dan efisien tersebut, pemerintah daerah dapat berharap banyak akan sebuah tata kepemerintahan yang baik (good governance) di daerahnya.

DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya . Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Namun kenyataannya banyak peraturan daerah yang dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan, hal ini disebabkan kurangnya responsibilitas dan observasi yang dilakukan anggota dewan ke lapangan sebelum merumuskan suatu kebijakan daerah tersebut.

Satu hal yang lebih parah lagi ialah di dalam kalangan masyarakat terdapat semacam anggapan bahwa DPRD bekerja tidak begitu efektif. Hal itu ditandai dengan kurangnya kontak masyarakat dengan DPRD. Sikap skeptis masyarakat terhadap DPRD dan terhadap anggota DPRD semakin nyata lagi, lewat kesan pemberitaan, bahwa dalam sidang-sidang DPRD banyak kursi-kursi anggota


(20)

9

dewan yang kosong, juga anggota DPRD yang sering asal berkomentar, ada anggota dewan yang tidak tahu apa tugas dan fungsinya, bahkan ada yang tidak tahu dengan pasti peraturan perundang-undangan mana yang mengatur hal-hal tertentu sehubungan dengan suatu rancangan peraturan daerah. Ada pula anggota dewan yang sejak dilantik hingga akhir masa baktinya tidak pernah bicara di DPRD, atau bahkan selama masa bakti lima tahun hanya datang beberapa kali saja

Sehubungan dengan penjelasan tersebut diharapkan dengan menerapkan konsep good governance ini sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Oleh sebab itu penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana konsep

good governance telah diimplementasikan dalam proses perumusan kebijakan

daerah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karo periode 2009-2014.

2. Perumusan Masalah

Ditinjau dari proses pembuatan kebijakan, terutama peraturan-peraturan daerah, sejauh ini DPRD dapat dikatakan belum melibatkan komponen masyarakat yang terkait. Proses pembuatan kebijakan cenderung masih dimonopoli secara bersama-sama antara DPRD dan bupati/walikota. Pada umumnya masyarakat tidak tahu apa dan dan bagaimana melibatkan diri dalam proses pembuatan kebijakan. Tidak mengherankan jika proses perumusan kebijakan daerah relatif belum melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat masih cenderung diatasnamakan oleh partai-partai politik yang duduk


(21)

10

di DPRD, sementara partai-partai itu sendiri pada umumnya masih pada tahap melayani kepentingan pemerintah daerah ketimbang kepentingan masyarakat setempat.

Berdasarkan penjelasan di atas, adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah proses penyusunan peraturan daerah di DPRD Karo periode 2009-2014 telah atau belum mengimplementasikan konsep dan prinsip-prinsip good governance.

3. Pembatasan Masalah

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan adanya pembatasan masalah terhadap hal yang akan diteliti, pembatasan ini diperlukan agar hasil penelitian lebih terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai menjadi karya tulis yang sistematis. Untuk lebih mempermudah kajian penelitian ini, maka permasalahan penelitian ini dibatasi dengan hanya mengkaji implementasi prinsip-prinsip good governance di dalam tahapan penyusunan dan perumusan peraturan daerah selama periode 2009-2014 di DPRD Karo.

4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yang diharapkan adalah untuk:

1. Memperoleh gambaran mengenai proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014, apakah telah


(22)

11

atau belum menerapkan konsep dan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi.

2. Memperoleh gambaran mengenai mekanisme dan cara seperti apa yang ditempuh oleh DPRD dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat,

3. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD terhadap masyarakat atau konstituennya,

4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu dan wawasan peneliti dalam membuat karya ilmiah dan tentunya menambah pengetahuan tentang proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi tambahan khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik dan juga para civitas akademika lainnya yang nantinya juga akan melakukan penelitian perihal yang sesuai dengan masalah tersebut.

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi anggota DPRD dalam pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan pembahasan rancangan peraturan daerah, agar rancangan tersebut sesuai dengan konsep good governance


(23)

12

dan sesuai dengan amanat UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Manfaatnya bagi masyarakat adalah memberikan penjelasan dan dorongan terhadap masyarakat umum agar mengetahui proses perumusan peraturan daerah di Kabupaten Karo. Sehingga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan peraturan daerah tersebut.

5. Kerangka Teori

6.1 Teori Kebijakan Publik

Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik:

• Thomas R. Dye (1981)5

Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik

5

Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, M.Si, Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI, 2003, hlm 1.


(24)

13

menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan (decision

making), dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan

keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.

• David Easton (1969)6

Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah.

• Carl Friedrich7

Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu

6

Ibid. hlm 2. 7


(25)

14

tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah (intervensi sosio kultural) dengan mendayagunakan berbagai instrumen (baik kelompok, individu maupun pemerintah) untuk mengatasi persoalan publik.

6.1.1 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik.8

a. Tahap Penyusunan Agenda. Sebelum suatu masalah ditempatkan pada agenda publik, masalah tersebut berkompetisi dahulu untuk dapat masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak diangkat sama sekali, sementara masalah lain diangkat menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

b. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah-masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan,

8


(26)

15

kemudian di definisikan untuk dicari pemecahan masalah terbaik. pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives) yang ada. Masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. setiap aktor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan. Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan pada akhirnya akan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

d. Tahap Implementasi. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan. Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Terdapat kriteria tertentu yang menjadi dasar


(27)

16

untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai tujuan yang diinginkan atau belum.9

6.1.2 Perumusan Kebijakan

Suatu kebijakan mencakup tindakan oleh satu orang pejabat atau suatu lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang disediakan untuk menjawab suatu isu kebijakan. Dalam bentuknya yang positif, keputusan kebijakan bias berupa penetapan undang-undang ataupun peraturan lainnya. Keputusan kebijakan biasanya merupakan puncak dari berbagai keputusan yang dibuat selama proses perumusan kebijakan.

Pendefinisian Masalah (Defining Problem)

Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan.10

9 William Dunn dikutip dalam Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002, hlm. 32-34.

10

Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.

Agar dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi akan menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian,


(28)

17

apakah permasalahan-permasalahan tersebut dapat terjawab atau tidak bergantung pada sejauh mana kita mampu mengenali dan mendefinisikan masalah tersebut.

Kegagalan suatu kebijakan sering disebabkan bukan karena pemecahan masalah tersebut kurang tepat, tetapi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi pendefinisian suatu kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang nantinya akan dibahas lebih mendalam dan mendetail pada

agenda setting.

6.1.3 Aktor-Aktor dalam Proses Pembuatan Kebijakan

Dalam perspektif ilmu politik, analisis terhadap proses kebijakan harus terfokus pada aktor-aktor. Jika politik diartikan sebagai “Siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa”, maka aktivitas yang terjadi dalam proses kebijakan adalah satu bentuk kegiatan yang dilakukan aktor politik untuk memperoleh nilai-nilai politik. Di samping itu, peran aktor-aktor sangat menentukan dalam merumuskan, melaksanakan, dan mempertimbangkan konsekuensi kebijakan yang dibuatnya. Para aktor tersebut masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan, yang diperinci sebagai berikut:

1. Lembaga Kepresidenan. Lembaga ini terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, serta pejabat lainnya di kantor kepresidenan. Lembaga Kepresidenan sangat penting dalam proses kebijakan karena mempunyai struktur yang


(29)

18

kuat dalam melakukan rekrutmen para policy maker yang berasal dari lingkaran eksekutif, di samping itu lembaga ini mempunyai resources yang kuat dalam bentuk dana yang digunakan untuk pelaksanaan proyek-proyek pemerintah.

2. Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ini merupakan lembaga yang tidak bisa diabaikan dalam proses kebijakan disebabkan konteks politiknya dalam institusi yaitu menentukan rancangan kebijakan, DPR juga mempunyai modal representativitas poltik yang bisa digunakan untuk membentuk opini publik.

3. Birokrat. Lembaga ini penting dalam proses kebijakan disebabkan keahlian yang mereka miliki, pengetahuan tentang institusi (sesuai masa kerja), serta peran pentingnya dalam implementasi kebijakan.

4. Lembaga Yudikatif. Lembaga ini berwenang melakukan ajudikasi pada implementasi kebijakan dan pada gilirannya menjadi masukan untuk formulasi.

5. Partai Politik. Lembaga ini berperan penting dalam menggalang opini publik yang bermanfaat dalam melontarkan isu-isu yang nantinya akan dikembangkan dalam tahap agenda setting.

6. Kelompok-kelompok Kepentingan. Aktor ini berfungsi menyalurkan isu-isu publik dalam proses agenda setting.

7. Media Massa. Aktor yang terlibat dalam semua tahap kebijakan karena berfungsi sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Media


(30)

19

massa mempunyai kekuatan yang khas, yaitu kemampuannya menjangkau audiens lebih luas dibanding kelompok manapun.

8. Kelompok Intelektual Kampus dan Non Kampus. Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, baik dalam agenda setting dan evaluasi, serta membentuk opini publik denagn relatif obyektif. Ada kalanya mereka juga berperan dalam formulasi kebijakan ketika negara menghendaki sumbangan pemikiran para teknokrat secara langsung maupun tidak langsung, dalam perencanaan pembangunan.11

6.1.4 Nilai-Nilai yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

1. Nilai-Nilai Politik. Pembuat kebijakan mungkin menilai alternative-alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai politiknya beserta kelompoknya (clientele group). Keputusaan yang dibuat berdasarkan pada keuntungan politik dan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan partai atau tujuan-tujuan-tujuan-tujuan kelompok kepentingan. Para ilmuwan politik sering menggunakan perspektif ini dalam mempelajari dan menilai keputusan khusus yang dibuat dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingan seperti misalnya, kelompok buruh yang terorganisir, petani-petani di pedesaan, atau mungkin juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat.

11

Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gava Media, 2010, hlm. 53-55.


(31)

20

2. Nilai-Nilai Organisasi. Para pembuat kebijakan, khususnya para birokrat mungkin dipengaruhi pula oleh nilai-nilai organisasi. Organisasi-organisasi, seperti badan-badan administratif menggunakan banyak imbalan dan sanksi dalam usahanya untuk mempengaruhi anggota-anggotanya menerima dan bertindak atas dasar nilai-nilai organisasi yang telah ditentukan.

3. Nilai-Nilai Pribadi. Seorang politisi yang menerima suap untuk membuat kebijakan tertentu, seperti pemberian lisensi atau kontrak menjadi contoh konkret bagaimana nilai-nilai pribadi berpengaruh dalam pembuatan kebijakan.

4. Nilai-Nilai Kebijakan. Pembuat kebijakan ada kalanya bertindak dengan baik atas dasar persepsi mereka tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas. Seorang anggota legislatif memberikan suara mendukung undang-undang hak-hak sipil karena ia berpendapat bahwa tindakannya secara moral benar dan bahwa kesamaan (equality) merupakan tujuan yang diinginkan yang diinginkan dari kebijakan publik, sekalipun ia menyadari bahwa dukungannya itu mungkin mempunyai resiko politik.

5. Nilai-Nilai Ideologi. Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran dunia yang disederhanakan dan merupakan pedoman bagi rakyat untuk


(32)

21

melakukan tindakan. Di Cina yang berideologi komunis, paling tidak dipakai sebagai landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan di dalam negeri dan luar negeri, walaupun kadang-kadang meninggalkan ideologi tersebut. Paling tidak ideologi tersebut masih merupakan sarana untuk merasionalkan dan melegitimasi tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahannya. Di banyak negara berkembang seperti Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Nasionalisme dan demokrasi masih merupakan landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan pemerintahannya.12

6.2 Good Governance

Istilah governance, good governance, dan good public governance menjadi popular dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies)13

12

Ayyi. 6 Agustus 2011. Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.

baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman (loan) maupun hibah.

13

Indra Fibiona. 1 Juli 2013. Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep, dan Kritik 2014.


(33)

22

Berdasarkan uraian di atas, governance merujuk pada tiga pilar yakni:

public governance merujuk pada lembaga pemerintah, corporate governance

merujuk pada pihak swasta/dunia usaha, dan civil society (masyarakat sipil). Untuk mewujudkan good governance, upaya pembenahan pada berbagai pilar lainnya secara serentak dan seimbang.14

OECD dan World Bank mendefinisikan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana

Upaya mewujudkan good governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar tesebut. Disamping itu jika ada pembaharuan pada salah satu pilar maka harus diimbangi dengan pembaharuan pada pilar-pilar lain. Hubungan ketiganya harus dalam posisi yang seimbang dan saling kontrol (checks and balances) untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh salah satu komponen lainnya. Prinsip checks and balance bagi bangsa Indonesia dapat diterjemahkan dengan prinsip keseimbangan, keselarasan, keserasian dan semangat saling mengawasi (mengingatkan) antar sesama umat dan warga negara. Apabila salah satu komponen lebih tinggi daripada yang lain maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya. Dengan menerapkan prinsip–prinsip good governance dalam ketiga pilar tersebut maka akan terjadi proses yang sinergis dan konstruktif antar ketiganya sehingga secara umum sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan.

14

Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 23.


(34)

23

investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political

framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.15

“pelaksanaan wewenang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan Negara di semua tingkat. Kepemerintahan yang baik mencakup semua mekanisme, proses dan lembaga yang merupakan saluran bagi rakyat untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dan menyambung perbedaan-perbedaan mereka”

Sedangkan UNDP mendefinisikan pemerintahan yang baik sebagai:

16

Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik

good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri17

a. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

, sebagai berikut:

b. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa

perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.

15

Dr. Sedarmayanti M.Pd, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 7.

16

Purwo Sudjiwo, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 70. 17


(35)

24

c. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.

Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau.

d. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani

setiap stakeholders.

e. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan

yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

f. Effectiveness and Efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai

dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

g. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor

swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

h. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke

depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Sedangkan World Bank sedikitnya mengusung 3 indikator yang harus diperhatikan, yaitu: (1) bentuk rejim politik; (2) proses dimana kekuasaan


(36)

25

digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kepentingan pembangunan; (3) kemampuan pemerintah untuk merancang, memformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya.18

Anggota parlemen dianggap duduk di lembaga perwakilan (parlemen) karena mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di

Semua indikator atau aspek yang dikemukakan di atas berbuntut pada mencari jalan ke luar dari permasalahan penyelenggaran pemerintahan yang sudah maupun sedang berjalan.

Setiap pelaku good governance memiliki peran dan tugas masing-masing dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Negara (pemerintah) berperan menciptakan lingkungan politik dan hukum kondusif dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan memerintah, dan membangun lingkungan kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional dan global.

6.3 Teori Perwakilan Politik

Sesorang yang duduk di lembaga perwakilan, baik itu karena pengangkatan/penunjukkan maupun melalui pemilihan umum, mengakibatkan timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakilinya. Teori-teori yang membahas hubungan tersebut adalah sebagai berikut:

6.3.1 Teori Mandat

18

Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 24.


(37)

26

Perancis pada masa revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat dibagi atas 3 jenis, yakni:

a. Mandat Imperatif. Menurut teori ini parlemen bertindak di lembaga

perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Parlemen tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si parlemen harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya setelah itu parlemen boleh melaksanakannya.

b. Mandat Bebas. Teori ini berpendapat bahwa parlemen dapat bertindak

tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, parlemen adalah orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga parlemen dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat.

c. Mandat Representatif. Dalam teori ini, parlemen dianggap bergabung

dalam suatu Lembaga Perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga parlemen sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya, lembaga perwakilan inilah yang bertanggungjawab kepada rakyat.19

19

Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gava Media, 1998, hlm. 82.


(38)

27 6.3.2 Teori Gilbert Abcarian

Menurut Gilbert Abcaraian ada 4 tipe mengenai hubungan antara parlemen dengan yang diwakilinya, yaitu:

a. Parlemen bertindak sebagai wali (trustee). Di sini parlemen bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.

b. Parlemen bertindak sebagai utusan (delegate). Di sini parlemen bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, parlemen selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya.

c. Parlemen bertindak sebagai politico. Di sini parlemen kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan

(delegate). Tindakannya tergantung dari isu yang dibahas.

d. Parlemen bertindak sebagai partisan. Di sini parlemen bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partainya. Setelah anggota parlemen dipilih oleh pemilihnya, maka mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.20

20


(39)

28

6.4 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) 6.3.1 DPRD Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat daerah, melaksanakan fungsi legislatif, sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat di daerah. DRPD berkedudukan sejajar sebagai mitra Pemerintah Daerah serta bukan bagian dari Pemerintah Daerah. Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD juga bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Otonomi.

DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat, seharusnya mampu dan berani untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dengan tidak mengabaikan organisasi induknya. DPRD merupakan suatu wujud keikutsertaan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan. Keikutsertaan itu sangat luas, termasuk merumuskan berbagai kebijakan dan melaksanakan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah. Fungsi DPRD ini tidak semata-mata sebagai penyalur aspirasi rakyat, tetapi juga sebagai lembaga yang member saran dan pertimbangan kepada eksekutif tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Bahkan, antara kedua lembaga tersebut sudah ada pembidangan tugas yang jelas, yaitu kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD di bidang legislatif.

6.3.2 Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat

Secara keseluruhan aktivitas wakil rakyat yang mencerminkan peran dan fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat diklasifikasikan sebagai berikut ini:


(40)

29

Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang kepadanya. Melalui fungsi ini, parlemen menunjukkan bahwa dirinya adalah wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasal-pasal undang-undang yang dihasilkan. Dalam waktu yang bersamaan, Parlemen pula sebagai unsur pemerintah atau memberikan dukungan kepada eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga pemerintahan melalui kewenangan mengatur masyarakat yang dikandung oleh pasal-pasal undang-undang yang sama.

b. Fungsi Anggaran

Karena Parlemen mewakili rakyat, badan ini berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang rakyat. Baik pembelanjaan uang negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya, maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman luar negeri, semuanya tentu menjadi beban rakyat.

Fungsi badan perwakilan menetapkan kebijakan perpajakan menjadi penting karena pajak adalah iuran masyarakat untuk menyelenggarakan kehidupan bersama di dalam negara. Parlemen tetap mempunyai kewenangan untuk merevisi atau mengubahnya. Setidak-tidaknya badan perwakilan memberikan pengesahan kepada rancangan anggraan eksekutif.


(41)

30

Dalam kualifikasinya sebagai wakil rakyat sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan pertama kali berkenaan dengan keputusan yang telah dikeluarkannya dalam bentuk undang-undang. Eksekutif dan yudikatif yang bertindak sebagai pelaksana perlu dinilai apakah cukup tepat melaksanakan keputusan tersebut. Kedua pengawasan itu merupakan konsekuensi dari rakyat yang dioperasikannya. Sebagai pemegang mandat kekuasaan, badan perwakilan bertanggungjawab atas pemanfaatan mandat tersebut kepada pemberinya.

d. Hubungan Internasional

Fungsi lembaga ini di bidang hubungan internasional ialah memberikan persetujuan atas perjanjian internasional yang dibuat oleh eksekutif. Persetujuan Parlemen diperlukan supaya isi perjanjian tersebut mengikat seluruh masyarakat yang diwakili. Disamping setelah Parlemen melakukan ratifikasi atas berbagai kesepakatan internasional dengan mengeluarkan undang-undang baru, eksekutif berwenang melaksanakan kesepakatan internasional tersebut.

7. Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dimana menurut peneliti, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian yang tidak menggunakan angka atau nomor untuk mengolah data yang diperlukan. Data terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data ini, memungkinkan peneliti mendekati


(42)

31

dan sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

7.2 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karo yang beralamat di Jalan Veteran No. 14 Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

7.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data primer, yaitu melalui metode wawancara (interview). Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian.21 Wawancara dilakukan dengan anggota DPRD Karo periode 2009-2014, yaitu Wakil Ketua DPRD Onasis Sitepu, ST, Ketua Komisi A Frans Dante Ginting, dan Ketua Fraksi PAN Harison SItepu, SP.

21

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006, hlm. 62.


(43)

32 7.4 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis meggunakan teknik analisis data deskriptif-kualitatif. Metode deskriptif-kualitatif memungkinkan peneliti menganalisis proses berlangsungnya penyusunan dan perumusan kebijakan daerah di DPRD Karo sehingga memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut. Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data kemudian dianalisis dengan variabel-variabel pada kerangka teori. Permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi telah terkumpul dari narasumber dan sumber-sumber yang terkait dan kemudian dianalisis oleh peneliti.

8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL DAN AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK DPRD KARO

Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat tentang Kabupaten Karo, dinamika politik lokal Kab. Karo, profil dan alat-alat kelengkapan DPRD Karo pada periode 2009-2014. Dalam bab ini


(44)

33

juga akan menjelaskan tugas, fungsi dan wewenang anggota DPRD Karo.

BAB III : IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KARO

Pada bab ini akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan dengan jelas bagaimana proses penyusunan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014. Kemudian penulis akan melakukan analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh dari proses penyusunan kebijakan daerah tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembaga-lembaga yang terkait secara umum.


(45)

34 BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

1. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARO 1.1Letak Geografis

Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Dataran Tinggi Bukit Barisan dan sebelah barat daya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia serta merupakan daerah hulu sungai. Secara geografis Kabupaten Karo terletak pada koordinat 20º50’- 30º19’ Lintang Utara dan 97º55’- 98º38’ Bujur Timur.

• Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

• Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

• Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam

• Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km² atau 2,97% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 76 km sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Karo yang secara administratif dibagi atas 17 kecamatan, 10 kelurahan dan 262 desa. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Mardingding yakni 267,11 Km² (12,56% dari luas kabupaten) dan kecamatan dengan luas


(46)

35

terkecil adalah Kecamatan Berastagi seluas 30,5 Km² (1,43% dari luas kabupaten).

Tabel 2.1

Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Karo Tahun 2008

No. Kecamatan

Banyaknya Desa/Kelurahan

Luas (Km²)

Rasio Terhadap Total Luas Kabupaten (%)

1 Mardingding 12 267,11 12,56

2 Laubaleng 15 252,60 11,87

3 Tigabinanga 19 160,38 7,54

4 Juhar 24 218,56 10,27

5 Munte 22 125,64 5,91

6 Kutabuluh 16 195,70 9,20

7 Payung 8 47,24 2,22

8 Tiganderket 17 86,76 4,08

9 Simpang Empat 17 93,48 4,39

10 Naman Teran 14 87,82 4,13

11 Merdeka 9 44,17 2,08


(47)

36

Sumber : Kabupaten Karo Dalam Angka Tahun 2009 (BPS Kabupaten Karo)

1.2Kependudukan

Penduduk sebagai subyek dan sekaligus obyek perencanaan merupakan bagian dari faktor sosial yang selalu berubah. Salah satu aspek penting yang harus diketahui ialah perkembangan jumlah penduduk. Hasil Sensus tahun 2000 Penduduk Kabupaten Karo berjumlah 284.713 jiwa. Pada tahun 2012 sebesar 358.823 yang mendiami wilayah seluas 2.127,25 Km2. Laju Pertumbuhan Penduduk Karo tahun 2010-2012 adalah sebesar 1,07 persen per tahun. Tahun 2012 di Kabupaten Karo penduduk laki-laki lebih sedikit dari perempuan. Laki-laki berjumlah 178.073 jiwa dan perempuan berjumlah 180.750 jiwa. Selanjutnya dengan melihat jumlah penduduk yang berusia di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas, maka diperoleh rasio ketergantungan sebesar 58,58 yang berarti setiap seratus orang usia produktif menanggung 58,58 orang dari usia di bawah 15 tahun

13 Berastagi 9 30,50 1,43

14 Tigapanah 22 186,84 8,78

15 Dolat Rayat 7 32,25 1,52

16 Merek 19 125,51 5,90

17 Barusjahe 19 128,04 6,02


(48)

37

dan 65 tahun ke atas. beban tanggungan anak bagi usia produktif sebesar 51 dan beban tanggungan lanjut usia begi penduduk usia produktif sebesar 8.

Ditinjau dari segi etnis, penduduk Kabupaten Karo mayoritas adalah suku Karo, sedangkan suku lainnya seperti suku Batak Toba, Mandailing, Jawa, Simalungun dan suku lainnya hanya sedikit jumlahnya. Komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut memperlihatkan bahwa penganut agama Kristen merupakan yang terbanyak disusul oleh pemeluk agama Islam dan lainnya.

1.3Perekonomian Daerah

Pembangunan ekonomi daerah dapat menumbuhkan kegiatan-kegiatan sektor lapangan usaha sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui sektor-sektor usaha formal maupun informal. Pada prinsipnya pembangunan ekonomi itu sendiri merupakan rangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, pemerataan pendapatan masyarakat dan peningkatan hubungan ekonomi regional dalam peningkatan investasi daerah sehingga dapat menggairahkan lapangan usaha dengan sektor-sektor ekonomi yang ada di Kabupaten Karo.

Jika dilihat dari kontribusi Kabupaten Karo terhadap perkembangan PDRB Sumatera Utara, diketahui bahwa rata-rata kontribusi Kabupaten Karo dari tahun 2004-2007 adalah sebesar 2,93%. Sebagaimana diketahui bahwa PDRB merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat memberikan petunjuk


(49)

38

sejauhmana perkembangan ekonomi dan struktur ekonomi suatu daerah. Struktur ekonomi suatu wilayah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor. Struktur ekonomi suatu wilayah akan menentukan arah pengembangan wilayah tersebut. Struktur perekonomian dapat memberikan karakteristik yang berbeda pada wilayah tersebut.

Sektor pertanian merupakan bagian terpenting dalam perekonomian Kabupaten Karo. Peranan sektor ini terhadap PDRB Karo pada tahun 2012 sekitar 60,98 persen untuk harga berlaku. Sektor pertanian dikelompokkan menurut sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan sektor kehutanan.

Sementara sektor listrik, gas dan air bersih serta pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang sangat kecil. PDRB Kabupaten Karo menurut lapangan usaha atas harga konstan pada tahun 2008 sebesar Rp. 3.019,38 milyar. Dari PDRB tersebut diketahui bahwa sektor pendukung utama perekonomian Kabupaten Karo adalah sektor pertanian. sebesar Rp. 1.770,60 milyar pada tahun 2008. Sedangkan persentase kontribusi yang terkecil adalah sektor listrik, gas dan air minum sebesar Rp. 9,12 milyar. Kontribusi PDRB Kabupaten Karo tahun 2000-2008 setiap sektor selalu mengalami perubahan dari tahun ke tahun, terkadang mengalami penurunan namun di tahun berikutnya terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap struktur ekonomi Kabupaten


(50)

39

Karo. Sektor yang mengalami penurunan secara signifikan adalah sektor pertanian dimana pada tahun 2008 memberikan kontribusi sebesar 58,64%.

Kontribusi sektor pertanian selalu mengalami penurunan setiap tahun yaitu dari 66,20% pada tahun 2000 menjadi 58,64% pada tahun 2008. Sebaliknya sektor perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa serta pengangkutan dan komunikasi selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Meskipun sektor pertanian merupakan sektor pemberi kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Karo, akan tetapi kontribusi yang diberikan dari tahun ke tahun semakin rendah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi tren penurunan dalam sektor pertanian ini. Kondisi ini diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain disebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan berkurangnya minat masyarakat untuk berusaha di sektor pertanian dan juga terjadinya alih profesi, dan lain-lain. Di sisi lain, sektor perdagangan, hotel dan restoran mengalami peningkatan sebesar 14,25% pada tahun 2008, disusul sektor jasa-jasa sebesar 11,11% pada tahun 2008.

1.4Pemerintahan Daerah 1.4.1 Wilayah Administrasi

Secara administrasi Kabupaten Karo terdiri dari 17 kecamatan, 10 kelurahan dan 269 desa. Pusat pemerintahan Kabupaten Karo berada di Kabanjahe. Susunan Pemerintah Daerah seperti yang diatur menurut UU No. 22 Tahun 1999 bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Kepala Daerah


(51)

40

Kabupaten disebut Bupati, dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati dibantu oleh seorang Wakil Bupati.

1.4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Untuk menetapkan anggota DPRD Karo Periode 2009-2014, maka telah diadakan wilayah daerah pemilihan yang terdiri dari (a) Daerah Pemilihan I: Kabanjahe; (b) Daerah Pemilihan II: Berastagi, Simpang Empat, Merdeka dan Namanteran; (c) Daerah Pemilihan III: Tigapanah, Barusjahe, Merek dan Dolat Rayat; (d) Daerah Pemilihan IV: Munte, Payung, Kutabuluh dan Tiganderket; (e) Daerah Pemilihan V: Tigabinanga, Juhar, Laubaleng dan Mardingding.

Dari hasil pemilihan tersebut diharapkan menghasilkan komposisi legislatif yang proporsional dalam mewakili aspirasi daerah masing-masing untuk mempercepat proses pembangunan. Hasil pemilu menetapkan 35 orang anggota DPRD Karo dari 17 partai peserta pemilu. PDI Perjuangan memperoleh suara terbanyak dengan jumlah anggota dewan 7 orang.

1.4.3 Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Jumlah Pegawai Negeri Sipil daerah di Kabupaten Karo pada Januari 2012 ada sebanyak 7.579 orang. Jumlah PNS ini jika dirinci menurut golongan, sebagian besar merupakan golongan III yaitu terdiri dari 43,71 persen dan Golongan IV sebesar 33,37 persen. Sedanglan Golongan II hanya sekitar 21,76 persen dan Golongan I sekitar 1,16 persen.


(52)

41

2. GAMBARAN UMUM DPRD KABUPATEN KARO

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah bersama-sama Pemerintah Daerah. Anggota DPRD terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih secara langsung melalui Pemilihan Umum. DPRD Kabupaten Karo beralamat di Jl. Veteran No. 14. Berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 2009, anggota DPRD Kabupaten Karo berjumlah 35 orang, dengan rincian laki-laki berjumlah 31 orang dan perempuan berjumlah 4 orang.

Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo Nomor 11 Tahun 2011 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. pasal 32, disebutkan bahwa susunan alat kelengkapan DPRD adalah sebagai berikut:

a. Pimpinan; b. Komisi;

c. Badan Musyawarah; d. Badan Anggaran; e. Badan Legislasi Daerah; f. Badan Kehormatan; g. Fraksi;


(53)

42

2.1 Profil Anggota DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014

Jumlah anggota DPRD Kabupaten Karo periode 2009-2014 adalah sebanyak 35 orang. Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004, dalam meningkatkan kualitas anggota DPRD perlu memenuhi sejumlah syarat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain: (1) berpendidikan minimal SMA/Sederajat; (2) memiliki integritas kepemimpinan; (3) tidak dalam status tersangka; (4) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat daerahnya; dan (5) menyerahkan daftar kekayaan. Dilihat dari latar belakang pendidikan anggota DPRD Kabupaten Karo, sebanyak 14 orang berpendidikan SMA sederajat, 19 orang berpendidikan sarjana, 2 orang berpendidikan Magister (S2). Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Karo sudah berpendidikan sarjana.

Tabel 2.2

Anggota DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014

NO. NAMA JABATAN

1. Effendy Sinukaban , SE Ketua DPRD Kab. Karo

2. Ferianta Purba, SE Wakil Ketua DPRD Kab.Karo

3. Onasis Sitepu, ST Wakil Ketua DPRD Kab. Karo

4. Aceh Silalahi Anggota DPRD Kab. Karo

5. Alar Karo-karo Anggota DPRD Kab. Karo


(54)

43

7. Chairani br Karo Anggota DPRD Kab. Karo

8. Drs. Darta Bangun Anggota DPRD Kab. Karo

9. Ir. Edi Ulina Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

10. Eka Jaya Sitepu, SE Anggota DPRD Kab. Karo

11. Frans Dante Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

12. Gilbert Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

13. Harapan Sitepu Anggota DPRD Kab. Karo

14. Harison Sitepu, SP Anggota DPRD Kab. Karo

15. Inganta Kembaren, SH Anggota DPRD Kab. Karo

16. Join Fransisco Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

17. Makmur Jambak, S.Pdi Anggota DPRD Kab. Karo

18. Martin Luter Sinulingga Anggota DPRD Kab. Karo

19. Masdin DT Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

20. Ir. Monni Pandia Anggota DPRD Kab. Karo

21. Natanail Ginting, SE Anggota DPRD Kab. Karo

22. Pengamat Sembiring, SE Anggota DPRD Kab. Karo

23. Perhiasen Triwati br Ginting Anggota DPRD Kab. Karo


(55)

44

25. Rendra Gaulle Ginting, SH Anggota DPRD Kab. Karo

26. Sarijon Bako, SP Anggota DPRD Kab. Karo

27. Saut Gurning Anggota DPRD Kab. Karo

28. Sentosa Sinulingga Anggota DPRD Kab. Karo

29. Siti Aminah br Perangin-angin Anggota DPRD Kab. Karo

30. Sudarto Sitepu Anggota DPRD Kab. Karo

31. Sudirman Ginting Anggota DPRD Kab. Karo

32. Sumihar Sagala, SE Anggota DPRD Kab. Karo

33. Suranta Ginting, SE Anggota DPRD Kab. Karo

34. Suranta Sitepu, S.Si Anggota DPRD Kab. Karo

35. Ir. Thomas Sitepu Anggota DPRD Kab. Karo

Sumber: Bagian Persidangan DPRD Kabupaten Karo, 2014

2.2 Kedudukan dan Fungsi DPRD Kabupaten Karo

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang kemudian direvisi kembali dengan keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, kedudukan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja dari Pemerintah Daerah.


(56)

45

a. Legislasi. Fungsi legislasi diwujudkan dalam membentuk peraturan daerah bersama Bupati.

b. Anggaran. Fungsi Anggaran diwujudkan dalam membahas dan menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersama Bupati.

c. Pengawasan. DPRD harus melakukan kontrol dan pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah, sehingga tidak menyimpang dari amanat dan aspirasi rakyat.

2.3 Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten Karo Tugas dan wewenang dari DPRD Kabupaten Karo adalah:

1. Membentuk Peraturan Daerah Kabupaten bersama Bupati;

2. Membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD yang diajukan oleh Bupati;

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan APBD;

4. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten untuk mendapat pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;


(57)

46

5. Memilih Wakil Bupati dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah;

6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah;

8. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

9. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;

10.Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan;

11.Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.4 Hak dan Kewajiban DPRD Kabupaten Karo

Secara kelembagaan DPRD mempunyai hak sebagai berikut:

1. Interpelasi. Adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada Bupati mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

2. Angket. Adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada


(58)

47

kehidupan masyarakat, daerah, dan Negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perung-undangan.

3. Menyatakan Pendapat. Adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan Bupati atau menganai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Sedangkan kewajiban seorang anggota DPRD adalah sebagai berikut:

a. Mengamalkan Pancasila;

b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan;

c. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

d. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia;

e. Memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;

f. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;

g. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;

h. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;


(59)

48

j. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.

3. DINAMIKA POLITIK LOKAL

Dari hasil Pemilihan Umum Legislatif, berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Karo dari 35 kursi DPRD, hanya 17 partai politik yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPRD Kabupaten Karo. Partai PDI Perjuangan mendapatkan 7 kursi, Partai Golkar 4 kursi, PIS 3 kursi, PAN 3 kursi, PKPB 3 kursi, PDK 2 kursi, Demokrat 2 kursi, PPPI 2 kursi, sementara sisanya didapatkan oleh PKPI, Gerindra, Patriot, PIB, PDS, Republikan, Barnas, Hanura dan Pelopor yang masing-masing mendapatkan 1 kursi.

Gambar 2.1

Perolehan Kursi Hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 Untuk DPRD Kabupaten Karo Periode 2009-2014


(60)

49

Untuk DPRD Kabupaten Karo, pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009 dibagi menjadi 5 (lima) Daerah Pemilihan (Dapem) yaitu:

1. Dapem I meliputi kecamatan Kabanjahe memperebutkan 6 (enam) kursi;

2. Dapem II meliputi kecamatan Berastagi, Simpang Empat, Merdeka dan Naman Teran memperebutkan 8 (delapan) kursi;

3. Dapem III meliputi kecamatan Tiga Panah, Barus Jahe, Dolat Rakyat dan Merek memperebutkan 8 (delapan) kursi;

4. Dapem IV meliputi kecamatan Munte, Payung, Tiga Nderket dan Kuta Buluh memperebutkan 6 (enam) kursi;

5. Dapem V meliputi kecamatan Tiga Binanga, Juhar, Lau Baleng dan Mardingding memperebutkan 7 (tujuh) kursi.

4. STRUKTUR ORGANISASI DPRD KABUPATEN KARO 4.1 Pimpinan DPRD Kabupaten Karo

Pimpinan DPRD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD. Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama, Ketua DPRD ialah anggota DPRD yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak. Pimpinan DPRD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji di Gedung DPRD setempat yang dipandu oleh Ketua Pengadilan Negeri bagi Pimpinan DPRD.


(61)

50 Pimpinan DPRD mempunyai tugas:

a. Memimpin sidang DPRD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;

b. Menyusun rencana kerja pimpinan dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua;

c. Melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPRD;

d. Menjadi juru bicara DPRD;

e. Melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPRD;

f. Mewakili DPRD dalam berhubungan dengan lembaga/instansi lainnya;

g. Mengadakan konsultasi dengan bupati dan pimpinan lembaga/instansi lainnya sesuai dengan keputusan DPRD;

h. Mewakili DPRD di pengadilan;

i. Melaksanakan keputusan DPRD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; j. Menyusun rencana anggaran DPRD bersama sekretariat DPRD yang

pengesahannya dilakukan dalam Rapat Paripurna; dan,

k. Menyampaikan laporan kinerja pimpinan DPRD dalam rapat paripurna DPRD yang khusus diadakan untuk itu.

Tabel 2.3

Pimpinan DPRD Kabupaten Karo Periode 2011-2014

No. Nama Jabatan Partai


(1)

93

bahwa kinerja DPRD Kabupaten Karo masih jauh dari harapan masyarakat. Beberapa indikitor dari konsep good governance (Participation, Rule of Law, Transparency, Responsiveness, Consensus Orientation, Effectiveness and Efficiency, Accountability, Strategic Vision) belum mampu dijalankan anggota dewan. Hal ini juga dapat dilihat dari produk kebijakan yang telah dihasilkan, dimana sebagian besar kebijakan tersebut hanya mengatur sumber pemasukan keuangan daerah yang sama sekali tidak menyentuh kepentingan publik.

Dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik senantiasa harus didasari dengan partisipasi masyarakat yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, bersuara dan proses perumusan kebijakan publik, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Artinya pengambil kebijakan harus tanggap dan peka terhadap aspirasi masyarakat dengan tidak hanya duduk menunggu pengaduan masyarakat. Adanya partisipasi masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung akan memberikan dampak atau pengaruh terhadap proses pengambilan kebijakan publik. Tingkat responsibilitas anggota DPRD dapat diukur dari sejauh mana kemampuan anggota dewan tersebut dalam mengakomodasi dan mentransformasikan aspirasi masyarakat ke dalam kebijakan publik. Penulis berpendapat bahwa secara keseluruhan, dari pembahasan mengenai penerapan prinsip good governance dalam penyusunan peraturan daerah di DRPD Kabupaten Karo, anggota dewan belum sepenuhnya mampu menjalankan prinsip tersebut.


(2)

94 BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Kinerja DPRD Kabupaten Karo masih belum maksimal dan tidak ada tanggungjawab serta keseriusan dalam menjalankan pekerjaannya sebagai wakil rakyat. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan prinsip akuntabilitas sebagai prinsip penting yang harus dipedomani oleh setiap anggota dewan di DPRD Kabupaten Karo.

2) Penerapan prinsip partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan daerah atapun program-program yang akan dibuat oleh DPRD Kabupaten Karo masih kurang optimal. Dalam hal ini masyarakat masih kurang dilibatkan, akibatnya kebijakan atau program yang dibuat oleh DPRD Kabupaten Karo tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3) Meskipun prinsip transparansi merupakan salah satu prinsip good governance, namun prinsip ini masih belum berjalan secara efektif pada DPRD Kabupaten Karo. Hal ini terlihat jelas dari kurangnya sosialisasi DPRD Kabupaten Karo kepada masyarakat terhadap kebijakan yang akan dibuat.

Proses pembahasan formulasi kebijakan daerah menjadi peraturan daerah di DPRD Kabupaten Karo masih memiliki kekurangan-kekurangan bila berkaca dari konsep good governance. Dari hasil pengamatan penulis dan data yang


(3)

95

didapat dari hasil wawancara, pihak DPRD Kabupaten Karo belum menjelaskan secara rinci bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Produk kebijakan yang dibuat pun masih sebatas inisiatif atau usulan dari pemerintah daerah dalam hal ini Kepala Daerah/Bupati Karo. Dari peraturan yang dihasilkan DPRD Kabupaten Karo, sebagian besar masih mengatur tentang bagaimana menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), seperti pajak daerah, retribusi daerah, pajak iklan dan sebagainya. Artinya adalah DPRD Kabupaten Karo belum memahami permasalahan dan kebutuhan masyarakat Karo yang ditunjukkan dengan produk peraturan daerah belum menyentuh akar permasalahan masyarakat Karo.

Mengacu pada karakteristik konsep good governance yakni akuntabilitas, menyatakan bahwa setiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, wajib diketahui dan dapat diawasi/dikontrol oleh publik. Artinya setiap kebijakan yang ditetapkan, pengambil kebijakan seharusnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang mengapa produk kebijakan tersebut harus dibuat dan apa manfaatnya bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat nantinya mampu mengontrol dan meminta penjelasan dan pertanggungjawaban apabila produk kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan.

Semangat pelaksanaan good governance seyogiyanya menjadi tugas tanggung jawab besar bagi anggota dewan dengan melibatkan lebih banyak lagi stakeholder sehingga peraturan daerah yang dihasilkan lebih aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Produk kebijakan yang dihasilkan nantinya pun dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dalam menjawab setiap kebutuhan dan


(4)

96

permasalahan mereka. Dan diharapkan kebijakan yang dikeluarkan nantinya tidak bertentangan dengan kondisi objektif di lapangan dan tidak menjadi kendala dan hambatan dalam proses penyusunan Ranperda tersebut.

Menurut penulis, pilihan kepentingan yang terbaik saat ini yang harus dilaksanakan DPRD Kabupaten Karo adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur yang mendorong peningkatan ekonomi masyarakat.


(5)

97

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Hessel Nogi S. Tangkilisan, M.Si, Drs, 2003. Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI. Kusumanegara, Solahuddin. 2010. Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan

Publik, Yogyakarta: Gava Media.

Lindblom, Charles. 1986. Proses Pengambilan Kebijakan Publik, Jakarta: Airlangga.

Mariana, Dede & Caroline Paskarina. 2008. Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Yogyakarta: Graha Ilmu.

Nawawi, Hadari. 2006. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Saragih, Bintan R. 1998. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gava Media.

Sedarmayanti M.Pd, Dr. 2003. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju.

Subarsono, AG, Drs., M.Si, MA, 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudjiwo, Purwo. 2004 Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta.

Teguh Sulistiyani, Ambar. 2011. Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media.

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo.

Sumber Jurnal:

H.A. Kartiwa, 2006. Implementasi Peran dan Fungsi DPRD dalam Rangka Mewujudkan “Good Governance”.

Melani Dwiyanti Selamat, Penerapan Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Suatu Studi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro).

Sumber Internet:

Ayyi. 6 Agustus 2011. Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan.


(6)

98

Indra Fibiona. 1 Juli 2013. Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep, dan Kritik

Sumber Undang-undang:

Peraturan dan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karo Nomor 11 tahun 2011 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.