Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan

11 atau belum menerapkan konsep dan prinsip-prinsip good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi. 2. Memperoleh gambaran mengenai mekanisme dan cara seperti apa yang ditempuh oleh DPRD dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat, 3. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana bentuk pertanggung jawaban DPRD terhadap masyarakat atau konstituennya,

4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat bagi peneliti maupun masyarakat luas. Oleh sebab itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu dan wawasan peneliti dalam membuat karya ilmiah dan tentunya menambah pengetahuan tentang proses penyusunan dan perumusan peraturan daerah. 2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi tambahan khususnya bagi mahasiswa Departemen Ilmu Politik dan juga para civitas akademika lainnya yang nantinya juga akan melakukan penelitian perihal yang sesuai dengan masalah tersebut. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi anggota DPRD dalam pengambilan keputusan dalam proses perumusan dan pembahasan rancangan peraturan daerah, agar rancangan tersebut sesuai dengan konsep good governance 12 dan sesuai dengan amanat UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. 4. Manfaatnya bagi masyarakat adalah memberikan penjelasan dan dorongan terhadap masyarakat umum agar mengetahui proses perumusan peraturan daerah di Kabupaten Karo. Sehingga masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan peraturan daerah tersebut.

5. Kerangka Teori

6.1 Teori Kebijakan Publik

Ada banyak definisi mengenai apa itu kebijakan publik. Definisi mengenai apa itu kebijakan publik mempunyai makna yang berbeda-beda, sehingga pengertian-pengertian tersebut dapat diklasifikasikan menurut sudut pandang masing-masing penulisnya. Berikut ini beberapa definisi tentang kebijakan publik: • Thomas R. Dye 1981 5 Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara. Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik. Definisi kebijakan publik 5 Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, M.Si, Kebijakan Publik yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus, Yogyakarta: Lukman Offset dan YPAPI, 2003, hlm 1. 13 menurut Thomas R. Dye ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan decision making, dimana pemerintah mempunyai wewenang untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik. • David Easton 1969 6 Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Definisi kebijakan publik menurut Easton ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu proses management, yang merupakan fase dari serangkaian kerja pejabat publik. Dalam hal ini hanya pemerintah yang mempunyai andil untuk melakukan tindakan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah publik, sehingga definisi ini juga dapat diklasifikasikan dalam bentuk intervensi pemerintah. • Carl Friedrich 7 Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkup tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu 6 Ibid. hlm 2. 7 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002, hlm 16. 14 tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah intervensi sosio kultural dengan mendayagunakan berbagai instrumen baik kelompok, individu maupun pemerintah untuk mengatasi persoalan publik.

6.1.1 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. 8 a. Tahap Penyusunan Agenda. Sebelum suatu masalah ditempatkan pada agenda publik, masalah tersebut berkompetisi dahulu untuk dapat masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak diangkat sama sekali, sementara masalah lain diangkat menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut: b. Tahap Formulasi Kebijakan. Masalah-masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan, 8 Charles Lindblom, Proses Pengambilan Kebijakan Publik, Jakarta: Airlangga, 1986. 15 kemudian di definisikan untuk dicari pemecahan masalah terbaik. pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan policy alternatives yang ada. Masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. setiap aktor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. c. Tahap Adopsi Kebijakan. Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan pada akhirnya akan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus antara direktur lembaga atau putusan peradilan. d. Tahap Implementasi. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. e. Tahap Evaluasi Kebijakan. Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Terdapat kriteria tertentu yang menjadi dasar 16 untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai tujuan yang diinginkan atau belum. 9

6.1.2 Perumusan Kebijakan

Suatu kebijakan mencakup tindakan oleh satu orang pejabat atau suatu lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang disediakan untuk menjawab suatu isu kebijakan. Dalam bentuknya yang positif, keputusan kebijakan bias berupa penetapan undang-undang ataupun peraturan lainnya. Keputusan kebijakan biasanya merupakan puncak dari berbagai keputusan yang dibuat selama proses perumusan kebijakan. Pendefinisian Masalah Defining Problem Menurut Winarno, mengenali dan mendefinisikan suatu masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan. 10 9 William Dunn dikutip dalam Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002, hlm. 32-34. 10 Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002. Agar dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefinisikan dengan baik. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh kebijakan publik dalam menjawab permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat akan menjadi akan menjadi pertanyaan yang menarik dalam evaluasi kebijakan publik. Namun demikian, 17 apakah permasalahan-permasalahan tersebut dapat terjawab atau tidak bergantung pada sejauh mana kita mampu mengenali dan mendefinisikan masalah tersebut. Kegagalan suatu kebijakan sering disebabkan bukan karena pemecahan masalah tersebut kurang tepat, tetapi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan para pembuat kebijakan dalam mendefinisikan suatu masalah. Jadi pendefinisian suatu kebijakan. Di dalam perumusan kebijakan inilah dicarikan berbagai alternatif kebijakan yang nantinya akan dibahas lebih mendalam dan mendetail pada agenda setting.

6.1.3 Aktor-Aktor dalam Proses Pembuatan Kebijakan

Dalam perspektif ilmu politik, analisis terhadap proses kebijakan harus terfokus pada aktor-aktor. Jika politik diartikan sebagai “Siapa, melakukan apa, untuk memperoleh apa”, maka aktivitas yang terjadi dalam proses kebijakan adalah satu bentuk kegiatan yang dilakukan aktor politik untuk memperoleh nilai- nilai politik. Di samping itu, peran aktor-aktor sangat menentukan dalam merumuskan, melaksanakan, dan mempertimbangkan konsekuensi kebijakan yang dibuatnya. Para aktor tersebut masing-masing mempunyai karakteristik yang menunjukkan kekuatannya mempengaruhi proses kebijakan, yang diperinci sebagai berikut: 1. Lembaga Kepresidenan. Lembaga ini terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, serta pejabat lainnya di kantor kepresidenan. Lembaga Kepresidenan sangat penting dalam proses kebijakan karena mempunyai struktur yang 18 kuat dalam melakukan rekrutmen para policy maker yang berasal dari lingkaran eksekutif, di samping itu lembaga ini mempunyai resources yang kuat dalam bentuk dana yang digunakan untuk pelaksanaan proyek- proyek pemerintah. 2. Dewan Perwakilan Rakyat. Lembaga ini merupakan lembaga yang tidak bisa diabaikan dalam proses kebijakan disebabkan konteks politiknya dalam institusi yaitu menentukan rancangan kebijakan, DPR juga mempunyai modal representativitas poltik yang bisa digunakan untuk membentuk opini publik. 3. Birokrat. Lembaga ini penting dalam proses kebijakan disebabkan keahlian yang mereka miliki, pengetahuan tentang institusi sesuai masa kerja, serta peran pentingnya dalam implementasi kebijakan. 4. Lembaga Yudikatif. Lembaga ini berwenang melakukan ajudikasi pada implementasi kebijakan dan pada gilirannya menjadi masukan untuk formulasi. 5. Partai Politik. Lembaga ini berperan penting dalam menggalang opini publik yang bermanfaat dalam melontarkan isu-isu yang nantinya akan dikembangkan dalam tahap agenda setting. 6. Kelompok-kelompok Kepentingan. Aktor ini berfungsi menyalurkan isu- isu publik dalam proses agenda setting. 7. Media Massa. Aktor yang terlibat dalam semua tahap kebijakan karena berfungsi sebagai komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Media 19 massa mempunyai kekuatan yang khas, yaitu kemampuannya menjangkau audiens lebih luas dibanding kelompok manapun. 8. Kelompok Intelektual Kampus dan Non Kampus. Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, baik dalam agenda setting dan evaluasi, serta membentuk opini publik denagn relatif obyektif. Ada kalanya mereka juga berperan dalam formulasi kebijakan ketika negara menghendaki sumbangan pemikiran para teknokrat secara langsung maupun tidak langsung, dalam perencanaan pembangunan. 11

6.1.4 Nilai-Nilai yang Mempengaruhi Pembuatan Kebijakan

1. Nilai-Nilai Politik. Pembuat kebijakan mungkin menilai alternative- alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai politiknya beserta kelompoknya clientele group. Keputusaan yang dibuat berdasarkan pada keuntungan politik dan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan- tujuan partai atau tujuan-tujuan kelompok kepentingan. Para ilmuwan politik sering menggunakan perspektif ini dalam mempelajari dan menilai keputusan khusus yang dibuat dalam rangka memenuhi kepentingan- kepentingan seperti misalnya, kelompok buruh yang terorganisir, petani- petani di pedesaan, atau mungkin juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. 11 Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gava Media, 2010, hlm. 53-55. 20 2. Nilai-Nilai Organisasi. Para pembuat kebijakan, khususnya para birokrat mungkin dipengaruhi pula oleh nilai-nilai organisasi. Organisasi- organisasi, seperti badan-badan administratif menggunakan banyak imbalan dan sanksi dalam usahanya untuk mempengaruhi anggota- anggotanya menerima dan bertindak atas dasar nilai-nilai organisasi yang telah ditentukan. 3. Nilai-Nilai Pribadi. Seorang politisi yang menerima suap untuk membuat kebijakan tertentu, seperti pemberian lisensi atau kontrak menjadi contoh konkret bagaimana nilai-nilai pribadi berpengaruh dalam pembuatan kebijakan. 4. Nilai-Nilai Kebijakan. Pembuat kebijakan ada kalanya bertindak dengan baik atas dasar persepsi mereka tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas. Seorang anggota legislatif memberikan suara mendukung undang-undang hak-hak sipil karena ia berpendapat bahwa tindakannya secara moral benar dan bahwa kesamaan equality merupakan tujuan yang diinginkan yang diinginkan dari kebijakan publik, sekalipun ia menyadari bahwa dukungannya itu mungkin mempunyai resiko politik. 5. Nilai-Nilai Ideologi. Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran dunia yang disederhanakan dan merupakan pedoman bagi rakyat untuk 21 melakukan tindakan. Di Cina yang berideologi komunis, paling tidak dipakai sebagai landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan di dalam negeri dan luar negeri, walaupun kadang-kadang meninggalkan ideologi tersebut. Paling tidak ideologi tersebut masih merupakan sarana untuk merasionalkan dan melegitimasi tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahannya. Di banyak negara berkembang seperti Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Nasionalisme dan demokrasi masih merupakan landasan untuk membentuk kebijakan-kebijakan pemerintahannya. 12

6.2 Good Governance

Istilah governance, good governance, dan good public governance menjadi popular dalam kurun waktu 1996-1997 karena banyak diperkenalkan oleh lembaga pemberi bantuan luar negeri foreign donor agencies 13 12 Ayyi. 6 Agustus 2011. Faktor-faktor Strategis yang Berpengaruh dalam Perumusan Kebijakan. baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Istilah tersebut sering dikaitkan dengan kebijakan pemberian bantuan aid policies, dalam arti good governance dijadikan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian bantuan baik berupa pinjaman loan maupun hibah. http:id.shvoong.comlaw-and-politicspublic-administrations2195982-faktor-faktor-strategis-yang- berpengaruh. diakses 12 Maret 2014. 13 Indra Fibiona. 1 Juli 2013. Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep, dan Kritik http:indracuin.blogspot.com201307good-governance-asal-usul-perkembangan.html, diakses 12 Maret 2014. 22 Berdasarkan uraian di atas, governance merujuk pada tiga pilar yakni: public governance merujuk pada lembaga pemerintah, corporate governance merujuk pada pihak swastadunia usaha, dan civil society masyarakat sipil. Untuk mewujudkan good governance, upaya pembenahan pada berbagai pilar lainnya secara serentak dan seimbang. 14 OECD dan World Bank mendefinisikan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana Upaya mewujudkan good governance hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar tesebut. Disamping itu jika ada pembaharuan pada salah satu pilar maka harus diimbangi dengan pembaharuan pada pilar-pilar lain. Hubungan ketiganya harus dalam posisi yang seimbang dan saling kontrol checks and balances untuk menghindari penguasaan atau eksploitasi oleh salah satu komponen lainnya. Prinsip checks and balance bagi bangsa Indonesia dapat diterjemahkan dengan prinsip keseimbangan, keselarasan, keserasian dan semangat saling mengawasi mengingatkan antar sesama umat dan warga negara. Apabila salah satu komponen lebih tinggi daripada yang lain maka yang terjadi adalah dominasi kekuasaan atas dua komponen lainnya. Dengan menerapkan prinsip–prinsip good governance dalam ketiga pilar tersebut maka akan terjadi proses yang sinergis dan konstruktif antar ketiganya sehingga secara umum sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dapat mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. 14 Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 23. 23 investasi yang langka, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. 15 “pelaksanaan wewenang ekonomi, politik, dan administratif untuk mengelola urusan Negara di semua tingkat. Kepemerintahan yang baik mencakup semua mekanisme, proses dan lembaga yang merupakan saluran bagi rakyat untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi kewajiban-kewajiban mereka dan menyambung perbedaan-perbedaan mereka” Sedangkan UNDP mendefinisikan pemerintahan yang baik sebagai: 16 Berdasarkan definisi tersebut, UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri 17 a. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. , sebagai berikut: b. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia. 15 Dr. Sedarmayanti M.Pd, Good Governance Kepemerintahan yang Baik dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 7. 16 Purwo Sudjiwo, Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 70. 17 Op.cit, hlm 7-8. 24 c. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau. d. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. e. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur. f. Effectiveness and Efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin. g. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat civil society bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. h. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Sedangkan World Bank sedikitnya mengusung 3 indikator yang harus diperhatikan, yaitu: 1 bentuk rejim politik; 2 proses dimana kekuasaan 25 digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kepentingan pembangunan; 3 kemampuan pemerintah untuk merancang, memformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi- fungsinya. 18 Anggota parlemen dianggap duduk di lembaga perwakilan parlemen karena mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Ajaran ini muncul di Semua indikator atau aspek yang dikemukakan di atas berbuntut pada mencari jalan ke luar dari permasalahan penyelenggaran pemerintahan yang sudah maupun sedang berjalan. Setiap pelaku good governance memiliki peran dan tugas masing-masing dalam mencapai tujuan hidup bernegara. Negara pemerintah berperan menciptakan lingkungan politik dan hukum kondusif dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan publik, penyelenggaraan kekuasaan memerintah, dan membangun lingkungan kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional dan global.

6.3 Teori Perwakilan Politik

Sesorang yang duduk di lembaga perwakilan, baik itu karena pengangkatanpenunjukkan maupun melalui pemilihan umum, mengakibatkan timbulnya hubungan si wakil dengan yang diwakilinya. Teori-teori yang membahas hubungan tersebut adalah sebagai berikut:

6.3.1 Teori Mandat

18 Ambar Teguh Sulistiyani, Memahami Konsep Good Governance dalam Perspektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Gava Media, 2011, hlm. 24. 26 Perancis pada masa revolusi dan dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat dibagi atas 3 jenis, yakni: a. Mandat Imperatif. Menurut teori ini parlemen bertindak di lembaga perwakilan sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Parlemen tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal yang baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si parlemen harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya setelah itu parlemen boleh melaksanakannya. b. Mandat Bebas. Teori ini berpendapat bahwa parlemen dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya. Menurut teori ini, parlemen adalah orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga parlemen dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat. c. Mandat Representatif. Dalam teori ini, parlemen dianggap bergabung dalam suatu Lembaga Perwakilan. Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga parlemen sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi pertanggungjawabannya, lembaga perwakilan inilah yang bertanggungjawab kepada rakyat. 19 19 Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta: Gava Media, 1998, hlm. 82. 27

6.3.2 Teori Gilbert Abcarian

Menurut Gilbert Abcaraian ada 4 tipe mengenai hubungan antara parlemen dengan yang diwakilinya, yaitu: a. Parlemen bertindak sebagai wali trustee. Di sini parlemen bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. b. Parlemen bertindak sebagai utusan delegate. Di sini parlemen bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, parlemen selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya. c. Parlemen bertindak sebagai politico. Di sini parlemen kadang-kadang bertindak sebagai wali trustee dan ada kalanya bertindak sebagai utusan delegate. Tindakannya tergantung dari isu yang dibahas. d. Parlemen bertindak sebagai partisan. Di sini parlemen bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partainya. Setelah anggota parlemen dipilih oleh pemilihnya, maka mulailah hubungan dengan partai yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut. 20 20 Ibid, hlm. 85. 28

6.4 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DPRD 6.3.1 DPRD Sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat daerah, melaksanakan fungsi legislatif, sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat di daerah. DRPD berkedudukan sejajar sebagai mitra Pemerintah Daerah serta bukan bagian dari Pemerintah Daerah. Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD juga bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah Otonomi. DPRD sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat, seharusnya mampu dan berani untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dengan tidak mengabaikan organisasi induknya. DPRD merupakan suatu wujud keikutsertaan rakyat dalam mengatur jalannya pemerintahan. Keikutsertaan itu sangat luas, termasuk merumuskan berbagai kebijakan dan melaksanakan fungsi kontrol terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan di daerah. Fungsi DPRD ini tidak semata-mata sebagai penyalur aspirasi rakyat, tetapi juga sebagai lembaga yang member saran dan pertimbangan kepada eksekutif tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Bahkan, antara kedua lembaga tersebut sudah ada pembidangan tugas yang jelas, yaitu kepala daerah memimpin bidang eksekutif dan DPRD di bidang legislatif.

6.3.2 Peran dan Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat

Secara keseluruhan aktivitas wakil rakyat yang mencerminkan peran dan fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat diklasifikasikan sebagai berikut ini: a. Fungsi Perundang-undangan 29 Fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat yang mencirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang kepadanya. Melalui fungsi ini, parlemen menunjukkan bahwa dirinya adalah wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasal-pasal undang-undang yang dihasilkan. Dalam waktu yang bersamaan, Parlemen pula sebagai unsur pemerintah atau memberikan dukungan kepada eksekutif dan yudikatif sebagai lembaga pemerintahan melalui kewenangan mengatur masyarakat yang dikandung oleh pasal-pasal undang- undang yang sama. b. Fungsi Anggaran Karena Parlemen mewakili rakyat, badan ini berwenang menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang rakyat. Baik pembelanjaan uang negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya, maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman luar negeri, semuanya tentu menjadi beban rakyat. Fungsi badan perwakilan menetapkan kebijakan perpajakan menjadi penting karena pajak adalah iuran masyarakat untuk menyelenggarakan kehidupan bersama di dalam negara. Parlemen tetap mempunyai kewenangan untuk merevisi atau mengubahnya. Setidak-tidaknya badan perwakilan memberikan pengesahan kepada rancangan anggraan eksekutif. c. Fungsi Pengawasan 30 Dalam kualifikasinya sebagai wakil rakyat sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan pertama kali berkenaan dengan keputusan yang telah dikeluarkannya dalam bentuk undang-undang. Eksekutif dan yudikatif yang bertindak sebagai pelaksana perlu dinilai apakah cukup tepat melaksanakan keputusan tersebut. Kedua pengawasan itu merupakan konsekuensi dari rakyat yang dioperasikannya. Sebagai pemegang mandat kekuasaan, badan perwakilan bertanggungjawab atas pemanfaatan mandat tersebut kepada pemberinya. d. Hubungan Internasional Fungsi lembaga ini di bidang hubungan internasional ialah memberikan persetujuan atas perjanjian internasional yang dibuat oleh eksekutif. Persetujuan Parlemen diperlukan supaya isi perjanjian tersebut mengikat seluruh masyarakat yang diwakili. Disamping setelah Parlemen melakukan ratifikasi atas berbagai kesepakatan internasional dengan mengeluarkan undang-undang baru, eksekutif berwenang melaksanakan kesepakatan internasional tersebut. 7. Metodologi Penelitian 7.1 Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dimana menurut peneliti, penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian yang tidak menggunakan angka atau nomor untuk mengolah data yang diperlukan. Data terdiri dari kutipan-kutipan orang dan deskripsi keadaan, kejadian, interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data ini, memungkinkan peneliti mendekati 31 dan sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

7.2 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini dilakukan di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Karo yang beralamat di Jalan Veteran No. 14 Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

7.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data primer, yaitu melalui metode wawancara interview. Teknik pengumpulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian. 21 Wawancara dilakukan dengan anggota DPRD Karo periode 2009-2014, yaitu Wakil Ketua DPRD Onasis Sitepu, ST, Ketua Komisi A Frans Dante Ginting, dan Ketua Fraksi PAN Harison SItepu, SP. 21 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006, hlm. 62. 32

7.4 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis meggunakan teknik analisis data deskriptif- kualitatif. Metode deskriptif-kualitatif memungkinkan peneliti menganalisis proses berlangsungnya penyusunan dan perumusan kebijakan daerah di DPRD Karo sehingga memperoleh gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut. Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data kemudian dianalisis dengan variabel-variabel pada kerangka teori. Permasalahan dalam penelitian ini akan terjawab setelah data dan informasi telah terkumpul dari narasumber dan sumber-sumber yang terkait dan kemudian dianalisis oleh peneliti.

8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PROFIL DAN AKTIVITAS SOSIAL DAN POLITIK DPRD KARO Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat tentang Kabupaten Karo, dinamika politik lokal Kab. Karo, profil dan alat-alat kelengkapan DPRD Karo pada periode 2009-2014. Dalam bab ini 33 juga akan menjelaskan tugas, fungsi dan wewenang anggota DPRD Karo. BAB III : IMPLEMENTASI KONSEP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH KARO Pada bab ini akan membahas secara garis besar hasil penelitian sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan dengan jelas bagaimana proses penyusunan peraturan daerah di DPRD Karo selama periode 2009-2014. Kemudian penulis akan melakukan analisis dan pembahasan terhadap data yang diperoleh dari proses penyusunan kebijakan daerah tersebut. BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun bagi lembaga-lembaga yang terkait secara umum. 34 BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

1. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARO