Diversity of milk quality and butter based on the genotype of GH gene from Saanen and Etawah Grade goats

(1)

MENTEGA BERDASARKAN GENOTIPE

GEN GH DARI KAMBING SAANEN

DAN PERANAKAN ETAWAH

DINA TRI MARYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keragaan Kualitas Susu Segar dan Mentega Berdasarkan Genotipe Gen GH dari Kambing Saanen dan Peranakan Etawah, adalah karya saya sendiri dibawah arahan dan bimbingan para pembimbing. Karya ini belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Dina Tri Marya NRP. D151080091


(3)

ABSTRACT

DINA TRI MARYA. Diversity of milk quality and butter based on the genotype of GH gene from Saanen and Etawah Grade goats. Supervised by RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI and CECE SUMANTRI.

The Growth hormone (GH) secreted by the pituitary gland plays an important role in lactation. The objectives of this study were to observe the quality of raw milk (fat, protein, density, and dry matter) and characteristics of butter from Saanen and Etawah-Grade (EG) goat and to analyse the effect of GH gene type in milk quality. The DNA of 89 goats (Saanen and EG) was evaluated. Single-strand conformation polymorphisms (SSCP) was utilized to identify goat growth hormone (gGH) gene. The results showed that there were exist five types of GH gene in exon 4 consist of type CE, BC, CD, BB and CC. The CE, BC and BB types were found in all population (Saanen and EG). The CD and CC type only found in Saanen and EG goats respectively, but this diversity did not affect milk quality of the raw milk of Saanen and EG goats. Diversity of genotypes of GH gene also did not affect the characteristics of goat's milk butter.


(4)

RINGKASAN

DINA TRI MARYA. Keragaan Kualitas Susu Segar dan Mentega Berdasarkan Genotipe Gen GH dari Kambing Saanen dan Peranakan Etawah (PE). Dibimbing oleh RARAH. R. A. MAHESWARI dan CECE SUMANTRI.

Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone/GH) merupakan hormon yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis serta memainkan peranan penting dalam laktasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas susu segar (lemak, protein, BJ dan bahan kering), mempelajari karakteristik mentega dari kambing Saanen dan Peranakan Etawah (PE) serta menganalisis pengaruh keragaman gen GH terhadap kualitas susu. Evaluasi DNA dari 89 kambing (Saanen dan PE) menggunakan metoda Single-strand Conformation Polimorphysm (SSCP) untuk mengidentifikasi polimorfisme pada gen hormon pertumbuhan kambing (gGH). Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing perah (Saanen dan PE) menghasilkan ruas DNA sepanjang 200 bp. Berdasarkan hasil SSCP pada gen GH mendapatkan lima pita DNA yang menunjukkan pola migrasi yang berbeda, disebut tipe gen CE, BC, CD, BB dan CC. Gen CD hanya dijumpai pada bangsa kambing Saanen sedangkan tipe gen CC hanya terdapat pada kambing PE. Keragaman genotipe ini tidak berpengaruh terhadap kualitas susu kedua bangsa kambing Saanen dan PE. Keragaman genotipe gen GH juga tidak berpengaruh terhadap karakteristik mentega susu kambing Saanen.

Kata Kunci : Kualitas susu kambing, mentega, gen GH, Saanen, Peranakan Etawah


(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau untuk tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB


(6)

KERAGAAN KUALITAS SUSU SEGAR DAN

MENTEGA BERDASARKAN GENOTIPE

GEN GH DARI KAMBING SAANEN

DAN PERANAKAN ETAWAH

DINA TRI MARYA

Tesis

sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL TESIS

:

Keragaan Kualitas Susu Segar Dan Mentega Berdasarkan Gen GH dari Kambing Saanen dan Peranakan Etawah

NAMA

:

Dina Tri Marya

NRP

:

D151080091

PROGRAM STUDI

:

Ilmu dan Teknologi Peternakan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rarah.R.A.Maheswari, DEA Ketua

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc Anggota

Diketahui,

Kordinator Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah.R.A.Maheswari, DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah. M.Sc. Agr


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan thesis ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Tesis dengan judul “Keragaan Kualitas Susu Segar dan Mentega Berdasarkan Genotipe Gen GH dari Kambing Saanen dan Peranakan Etawah” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara genotipe gen GH pada kambing Saanen dengan kualitas susu serta komposisi lemak mentega yang dapat dijadikan alternatif dalam pelaksanaan seleksi kambing perah dengan produksi tinggi dan kualitas lemak yang baik sebagai bahan baku pembuatan mentega.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Rarah.R.A.Maheswari, DEA dan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan untuk menimba ilmu teknologi hasil susu dan ilmu pemuliaan dan genetika ternak. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis Prof. Dr. Ir. Ronny. R. Noor. M. Rur. Sc.

Penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua Orang tua tercinta Ir . H. Mas Erdi dan Hj. Erita Saan atas bimbingan, perhatian dan doanya yang tak pernah terbalaskan. Kepada kedua kakak penulis yang selalu memberikan semangat, penulis juga sampaikan ucapan terimakasih. Ucapan terimakasih juga kepada teman-teman di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, teman-teman Pascasarjana angkatan 2008/2009 dan 2009/2010 atas bantuannya selama penulis melaksanakan studi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya. Penulis mengharapkan semoga karya ini bermanfaat bagi upaya pengembangan keilmuan dan peternakan di Indonesia.

Bogor, Mei 2011


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 29 Maret 1984 sebagai anak ketiga dari pasangan Bapak Ir. H. Mas Erdi dan Ibu Hj. Erita Saan. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri 72. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Negeri 19 Palembang. Pendidikan lanjutan menengah tingkat atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMA Negeri 3 Palembang. Penulis sempat melanjutkan pendidikan strata satu di FKIP jurusan Biologi Universitas Sriwijaya pada tahun 2002, kemudian pindah ke Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2008, penulis terdaftar pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana IPB.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... Manfaat Penelitian……….…….. Hipotesis Penelitian…………...……….……. 2 2 3 TINJAUAN PUSTAKA Kambing Perah………... 4

Kambing Saanen ... 4

Kambing Peranakan Etawah... 5

Susu Kambing………. 5

Mentega………... 8

Gen Growth Hormone (GH)…………...……… 9

Mekanisme Kerja Gen Growth Hormone (GH)………. Penanda Molekuler………...……….. Analisis Keragaman Genetik………...……... 10 11 12 MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Materi ………… ... 13

Metode …………... 15


(12)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Peternakan Kambing Perah………... 23

Studi Polimorfisme pada Gen GH……….. 24

Amplifikasi Gen GH………. 24

Identifikasi Gen GH pada Kambing Perah Saanen dan Peranakan Etawah dengan Pendekatan PCR- SSCP……….………… 24

Frekuensi Alel dan Genotipe ……….……….. 25

Pengaruh Keragaman Gen GH terhadap Kualitas Susu Segar Kambing Saanen dan PE Gen GH…… 26

Kualitas Susu Kambing Perah……… 29

Berat jenis……….… 30 Protein……….….. 31

Lemak……… 31

Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak ….. 32

Mentega Susu Kambing Saanen dan PE……….…... 32

Karakteristik Mentega Susu Kambing Saanen……… 35 Rendemen ……….…...…… 35 Nilai pH ……….………….………. 36

Bilangan Peroksida………... 36

Kadar Air……….. 37

Kadar Abu………. 37

Kadar Protein……… 38

Kadar Lemak……… 38

Karakteristik Organoleptik Mentega Kambing Saanen……….. 40 Aroma……… 40

Warna……….…………...……… 40 Rasa………..……… 41


(13)

KESIMPULAN DAN ………..……….. 42 DAFTAR PUSTAKA …………...………. 43


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Syarat mutu susu sapi segar berdasarkan SNI01-3141-1998 ... 6

2. Klasifikasimutu susu kambing segar berdasarkan karakteristiknya... 7 3. Primer untuk amplifikasi gen GH………..……... 13 4 Frekuensi genotipe dan alel gen GH kambing Saanen dan PE……….. 25 5 Kualitas susu kambingSaanen berdasarkan tipe gen………...….. 26 6 Kualitas susu kambing Peranakan Etawah berdasarkan tipe gen…...… 26 7 Komposisi asam lemak susu kambing Saanen………...……… 27 8 Rataan kualitas susu kambing Saanen berdasarkan laktasi………...… 29 9 Rataan kualitas kambing Peranakan Etawah berdasarkan laktasi……. 30 10 Komposisi asam lemak mentega susu kambing Saanen dan PE……… 33 11 Karakteristik mentega susu kambing Saanen dengan genotipe berbeda 35 12 Rendemen mentega susu kambing Saanen berdasarkan genotipe gen

GH ……….. 36

13 Komposisi lemak dan asam lemak susu kambing Saanen………... 39


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Diagram alir proses pembuatan mentega... 21 2. Produk PCR gen GH exon 4………. ………...………. 24 3. Hasil visualisasi produk PCR-SSCP gen GH …...………... 25


(16)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh peternak adalah kambing. Ternak kambing mempunyai peran strategis bagi masyarakat Indonesia khususnya di daerah pedesaan. Ternak kambing selain sebagai sumber pendapatan, juga memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kesehatan dan gizi manusia. Kelebihan lain yang dimiliki kambing adalah ternak ini sangat efisien dalam mengubah hijauan pakan menjadi energi, modal usaha yang diperlukan relatif kecil dan cukup adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan.

Ternak kambing disamping sebagai penghasil daging ada juga yang menghasilkan susu atau dikenal dengan kambing perah. Kambing Saanen dan Peranakan Etawah adalah bangsa kambing perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Susu kambing memiliki kelebihan dibandingkan dengan susu sapi karena memiliki daya cerna yang tinggi, mempunyai ukuran butiran lemak susu yang lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi dan baik dikonsumsi bagi penderita lactose intolerance karena mempunyai kandungan laktosa yang rendah.

Kualitas susu kambing sangat dipengaruhi oleh kadar lemak. Lemak susu baik dalam bentuk susu cair, krim maupun mentega memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Salah satu gen yang berperan dalam mengontrol kadar lemak maupun produksi susu adalah gen GH.

Penyebab kesenjangan antara produksi susu dan pemenuhan produk olahan asal susu adalah rendahnya populasi dan potensi genetik ternak perah. Kondisi manajemen pemeliharaan yang belum maksimal juga berpengaruh terhadap kualitas susu maupun produk olahan yang dihasilkan. Usaha kambing perah di Indonesia pada umumnya masih bersifat subsistem yaitu masih berskala kecil. Pengetahuan serta keterampilan petani yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem pencatatan, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit juga masih rendah.

Perbaikan mutu genetik kambing perah melalui seleksi pada umumnya banyak dilakukan secara konvensional berdasarkan morfologi dan produksi susu. Sistem konvensional memerlukan waktu yang lama. Kemajuan teknologi pada


(17)

bidang molekular saat ini dapat membantu mempercepat seleksi dalam program pembibitan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemanfaatan gen-gen penciri yang berpengaruh pada sifat-sifat kualitatif yang bernilai ekonomis. Pada studi gen kandidat terhadap sifat-sifat produksi ternak, gen hormon pertumbuhan atau

growth hormone (GH) banyak diteliti untuk digunakan sebagai marker (penciri) dalam seleksi ternak. Hal ini dikarenakan hormon tersebut merupakan hormon regulator pertumbuhan, perkembangan tubuh ternak dan produksi susu. Penelitian ini diharapkan dapat membantu melakukan seleksi terhadap kambing-kambing perah yang memiliki sifat dan kualitas produksi yang diharapkan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kualitas susu kambing Saanen dan Peranakan Etawah.

2. Mengidentifikasi polimorfisme gen GH pada kambing Saanen dan Peranakan Etawah.

3. Mengkaji hubungan antara keragaman gen GH pada kambing Saanen dan Peranakan Etawah dengan kualitas susu.

4. Mengkaji karakteristik mentega yang dihasilkan dari kambing Saanen dan Peranakan Etawah.

Manfaat Penelitian

1. Diperoleh data tentang gen GH pada kambing perah Saanen dan Peranakan Etawah.

2. Didapatkan informasi genetik calon tetua kambing perah (Saanen dan Peranakan Etawah) sebagai penghasil susu untuk tujuan pengolahan mentega.


(18)

Hipotesis Penelitian

1. Adanya polimorfisme gen GH pada kambing perah Saanen dan Peranakan Etawah.

2. Terdapat korelasi antara variasi genotipe GH dengan kualitas susu dan mentega yang dihasilkan pada kambing Saanen dan Peranakan Etawah.


(19)

(20)

TINJAUAN PUSTAKA Kambing Perah

Kambing diklasifikasikan kedalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, famili Bovidae, genus Capra dan spesies Capra hircus (Ensminger 2002). Pemeliharaan kambing memberikan pengaruh besar terhadap sistem pertanian pedesaan, karena kambing telah beradaptasi dengan baik di sebagian besar wilayah Indonesia. Produksi susu kambing telah memberikan kontribusi sebesar 35% terhadap total produksi susu dunia, atau mengalami peningkatan cukup berarti dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar 9 % (Weinsten 2005).

Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari lembah Saanen di Swiss Barat. Kambing ini berwarna putih, krem atau coklat muda dengan bulu yang panjang atau pendek, telinga tegak, serta memiliki temperamen yang tenang dan jinak (Blakely & Bade 1992). Kambing Saanen mempunyai produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah lainnya, oleh karena itu bangsa kambing ini disebarluaskan ke banyak negara. Rata-rata produksi susu kambing Saanen di daerah tropis adalah 1-3 kg per hari, sedangkan di daerah subtropik dapat mencapai 5 kg per hari. Jenis kambing Saanen banyak dipelihara sebagai penghasil susu.

Kambing Saanen terkenal sebagai penghasil susu berkualitas dengan kandungan lemak rendah (Winarno & Fernandez 2007). Produksi susu dengan kandungan lemak antara 3-4% per masa laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Davendra & Burn 1994). Kambing jenis Saanen dapat dibedakan dari kambing lainnya yaitu dengan ciri-ciri utama telinga dengan cuping kearah atas. Telinga kecil, pendek, tegak ke arah depan dan samping. Kepala kecil dan berbentuk lancip. Selain itu warna bulu biasanya putih atau krem, ambing serta puting besar dan lunak, induk betina sering melahirkan anak kembar (Mulyono 2008).


(21)

Kambing Peranakan Etawah

Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Ettawa dari India dengan kambing kacang yang penampilannya mirip Ettawa tetapi lebih kecil dengan proporsi genotipe yang tidak jelas (Balitnak 2004). Ciri khas kambing PE yaitu bentuk muka cembung melengkung dan dagu berjanggut, di bawah leher terdapat gelambir yang tumbuh berawal dari sudut janggut, telinga panjang, menggantung dan ujungnya agak melipat, tanduk berdiri tegak mengarah kebelakang dengan ujung tanduk melingkar, tinggi tubuh (gumba) 70-90 cm, tubuh besar, pipih, bentuk garis punggung seolah-olah mengombak kebelakang, bulu tubuh tampak panjang di bagian leher, pundak, punggung, dan paha, bulu paha panjang dan tebal, warna bulu putih, hitam hingga cokelat (Mulyono 2008).

Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil daging dan susu (Adiati et al. 2000). Kambing PE memiliki ambing yang besar, putingnya panjang. Produksi susunya berkisar 1.0-1.5 liter/ekor/hari sepanjang masa laktasi antara 5-6 bulan, dengan masa kering 2-3 bulan (Balitnak 2004).

Susu Kambing

Susu menurut SNI01-3141-1998, susu adalah cairan yang berasal dari ambing sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya (DSN 1998). Pemerintah untuk melindungi konsumen, menetapkan standar khusus untuk suatu produk. Indonesia saat ini baru mempunyai standar untuk susu sapi segar yang tercantum dalam SNI 01-1341-1998 (Tabel 1) dan belum mempunyai standar susu kambing segar.

Susu kambing memiliki nilai gizi yang serupa dengan susu sapi. Susu kambing terkenal karena kandungan atau nilai nutrisi dan dipercaya mempunyai nilai medis sejak zaman dahulu. Karakteristik susu kambing dibandingkan dengan susu sapi adalah (1) warna susu lebih putih (2) globula lemak susu lebih kecil dengan diameter 0.73-0.58 µm (3) mengandung mineral kalsium, fosfor, vitamin A, E dan B kompleks yang tinggi (4) dapat diminum oleh orang-orang yang alergi susu sapi dan orang-orang yang mengalami gangguan pencernaan (5) dari segi


(22)

produktivitas, produksi susu kambing lebih cepat diperoleh karena kambing telah dapat berproduksi pada umur 1.5 tahun, sedangkan sapi baru dapat berproduksi pada umur 3-4 tahun, tergantung ras (Saleh 2004).

Tabel 1. Syarat mutu susu sapi segar berdasarkan SNI 01-3141-1998

No Parameter Syarat

1.

2.

SUSUNAN SUSU

Berat Jenis (BJ) pada suhu 27,5oC Kadar lemak

Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) atau Solid Non Fat (SNF)

Kadar protein

Cemaran logam berbahaya - Timbal (Pb)

- Seng (Zn) - Merkuri (Hg) - Arsen (As) KEADAAN SUSU

Organoleptik : warna, bau, rasa dan kekentalan

Kotoran dan benda asing Cemaran mikroba - Total mikroba - Salmonella

- Escherichia coli (patogen) - Coliform

- Streptococcus group B - Staphylococcus aureus Jumlah sel radang Uji Katalase Uji Reduktase

Residu antibiotic, pestisida dan insektisida Uji Alkohol (70%)

Derajat Asam Uji Pemalsuan Titik Beku Uji Peroksidase Minimal 1,0280 Minimal 3,0% Minimal 8,0% Minimal 2,7% Maksimum 0,3 ppm Maksimum 0,5 ppm Maksimum 0,5 ppm Maksimum 0,5 ppm

Tidak ada perubahan Negatif

Maksimum 1.000.000 CFU/ml Negatif Negatif 20 CFU/ml Negatif 100 CFU/ml Maksimum 40.000/ml

Maksimum 3 cc 2-5 jam

Sesuai dengan peraturan yang berlaku

Negatif 6-7oSH Negatif -0,520 s/d -0,560 oC

Positif Sumber: DSN 1998

Ketersediaan magnesium di dalam susu kambing, menurut Aliaga (2003) lebih besar dibandingkan susu sapi dan mengandung jumlah vitamin D yang lebih banyak. Magnesium memiliki arti penting, karena berhubungan dengan metabolisme. Mineral magnesium dikenali sebagai kofaktor di dalam lebih dari 300 reaksi enzimatik yang mempengaruhi kegiatan metabolisme dan sintesa


(23)

protein dan asam nukleat. Susu kambing adalah sumber Ca dan asam amino triptofan dan zat gizi lain yang sangat baik. Susu kambing tidak mengandung protein yang menyebabkan alergi seperti yang terdapat pada susu sapi serta mengandung olisakarida yang berperan sebagai anti-inflamasi (Mateljan 2008).

Menurut Thai Agricultural Standard (2008) susu kambing segar adalah susu segar yang diperoleh dari induk kambing (Capra spp.) tidak kurang dari 3 hari setelah kelahiran. Susu harus tidak dikurangi dan tidak ditambahkan komponen lain. Tidak boleh mengalami suatu perlakuan kecuali pendinginan. Susu harus tidak mengandung kolostrum. Klasifikasi susu kambing berdasarkan mutu digolongkan berdasarkan total mikroba, jumlah sel somatik ambing, kandungan lemak dan bahan kering, dengan ketentuan parameter tersebut digunakan sebagai kriteria untuk pemasaran susu kambing segar. Penggolongan mutu tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi mutu susu kambing segar berdasarkan karakteristiknya

Karakteristik Kelas

Premium Baik Standar

1. Total Mikroba (cfu/ml) < 5 x 104 5 x 104 - 105 > 105 - 2 x 105 2. Sel Somatik (sel/ml) < 7 x 105 7 x 105 - 106 > 106 - 1,5 x 106 3. Protein (%) > 3.7 > 3.4 – 3.7 3.1 – 3.4

4. Lemak(%) > 4 > 3.5 – 4 3.25 – 3.5

5. Total Solid (%) > 13 > 12 – 13 11.7 - 12

Thai Agricultural Standard (2008) menetapkan beberapa syarat untuk susu kambing segar, yaitu syarat secara umum dan pengelompokan berdasarkan mutu. Syarat umum yaitu: normal, bersih dan berwarna putih atau krem, flavor normal tanpa bahan asing dan pencampuran, ketika diuji dengan uji alkohol untuk mengamati reaksi antara susu kambing segar dengan etil alkohol, endapan atau gumpalan harus hanya sedikit dan berukuran kecil, pH harus diantara 6.5 – 6.8, berat kering tanpa lemak tidak boleh kurang dari 8.25 %, titik beku tidak boleh di atas – 0.530 oC, berat jenis harus tidak kurang dari 1.028 pada suhu 20 oC, perubahan warna metilen blue harus lebih dari 4 jam, perubahan warna resazurin pada satu jam pertama tidak kurang dari skala 4.5.


(24)

Mentega

Mentega berdasarkan SNI01-3744-1995 (DSN, 1995) adalah produk makanan berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak atau krim susu atau campurannya dengan atau tanpa penambahan garam (NaCl) atau bahan lain yang diizinkan dan maksimal mengandung 80 % lemak susu.

Spreer (1998) menyatakan, mentega merupakan emulsi air dalam minyak dengan kira-kira 18% air terdispersi didalam 80% lemak dengan sejumlah kecil protein yang bertindak sebagai zat pengemulsi (emulsifier). Mentega merupakan lemak makanan dengan flavor dan cita rasa yang enak dan khas. Ciri khas ini pada dasarnya merupakan komposisi alami dari lemak susu yang dihasilkan melalui proses biokimia. Mentega mudah dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh (>90%) karena kemampuan mentega mencair yang mendekati temperatur tubuh. Mentega mengandung vitamin yang dapat larut dalam lemak, terutama vitamin A.

Apabila ditinjau dari segi kesehatan maka kandungan kolesterol yang terdapat pada mentega sering menjadi perhatian utama, namun berdasarkan teori lipid belum ada bukti yang nyata dari hubungan antara kolesterol makanan dan kolesterol serum (dibentuk pada tubuh saat mencapai 1000mg/hari).

Proses pembuatan mentega melalui tahapan utama separasi krim, churning

dan kneading. Mentega diperoleh dari krim melalui proses agitasi yang disebut

churning. Krim diaduk dan dikocok sehingga menghancurkan membran yang menyelubungi butir-butir lemak. Gumpalan-gumpalan lemak susu dipisahkan dari bagian lain dan dicuci dengan air dingin beberapa kali untuk menghilangkan

buttermilk hasil ikutannya. Working atau kneading dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan air yang tersisa dalam lemak butter fat (susu). Mentega biasanya diberi garam dengan jumlah sekitar dua setengah persen untuk meningkatkan citarasa dan sebagai pengawet (Winarno & Fernande 2007).

Menurut Hettinga (2005), mentega adalah salah satu bentuk pengawetan komponen lemak susu. Karakteristik tekstur mentega secara signifikan tergantung pada komposisi lemak susu dan metode pembuatannya. Jika komposisi kimia dari lemak mentega diketahui, maka akan memudahkan untuk memilih parameter teknologi yang tepat pada pembuatan mentega guna memperbaiki teksturnya. Hal ini penting dilakukan pada industri pembuatan mentega guna menghasilkan


(25)

produk mentega dengan karakteristik yang konstan dan mengendalikan parameter pembuatan mentega.

Lemak susu memiliki komposisi asam lemak yang cukup komplek. Trigliserida merupakan komponen yang paling banyak mendominasi lemak susu yaitu sebesar 98% (dengan sejumlah kecil digliserida, monogliserida dan asam lemak bebas). Komponen lainnya yang terdapat dalam lemak susu yaitu fosfolipid, sterol (kolesterol) serta sejumlah kecil vitamin yang larut dalam lemak (terutama A, D dan E), antioksidan (tokoferol), pigmen (karoten) dan komponen rasa (lakton, aldehid dan keton).

Asam lemak adalah asam monokarboksilat berantai lurus yang terdapat di alam sebagai ester di dalam molekul lemak atau trigliserida. Hasil hidrolisis trigliserida akan menghasilkan asam lemak jenuh dan tak jenuh berdasarkan ada tidaknya ikatan rangkap rantai karbon di dalam molekulnya. Asam lemak tidak jenuh (memiliki ikatan rangkap) yang terdapat dalam lemak dapat berada dalam dua bentuk yakniisomer cis dan trans. Asam lemak tak jenuh alami biasanya berada sebagai asam lemak cis, hanya sedikit bentuk trans.

Stuktur asam lemak pada mentega belum dipahami dengan jelas, diperkirakan terdapat 400 jenis asam lemak yang ditemukan didalam lemak susu dengan jumlah atom karbon C2 hingga C28, termasuk asam lemak dengan jumlah

atom karbon ganjil, jenuh, tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda, cis dan

trans, linear dan bercabang, dan berbagai keto-dan asam lemak hidroksi (Collomb

et al. 2002). Sekitar 20 asam lemak merupakan komponen utama dalam pembentukan lemak susu dan sisanya terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit, sedangkan pada mentega hanya sekitar 15 asam lemak utama yang dipertimbangkan (Hettinga 2005).

Gen Growth Hormon (GH)

Hormon pertumbuhan atau growth hormone (GH) merupakan hormon anabolik yang disintesis dan disekresikan oleh sel somatotrof pada lobus anterior pituitari (Ayuk & Stephard 2006). Protein GH terdiri atas 191 asam amino, dengan berat molekul 22 kDa (Frago & Chowen 2005). Sintesis dan sekresi protein tersebut dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin (Ardiyanti et al. 2009).


(26)

Protein ini memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan longitudinal pascanatal, pertumbuhan jaringan, laktasi, reproduksi, metabolism lipida, protein dan karbohidrat. Pada ternak ruminansia, GH berperan dalam pengaturan perkembangan kelenjar mamae (Akers 2002).

Protein GH disandikan oleh gen GH yang terletak pada kromosom 18 dengan panjang sekitar 200 bp yang tersusun atas lima ekson dan empat intron. Gen GH telah digunakan secara luas sebagai penanda pada beberapa spesies ternak seperti sapi (Bos taurus dan Bos indicus) (Zhou et al. 2005) dan kambing (Capra hircus) (Boutinaud et al. 2003). Keragaman gen GH pada kambing Algarvia (Portugis) yang diidentifikasikan dengan metode single strand conformation polymorphism (SSCP) berhubungan dengan sifat produksi, lemak dan protein susu (Boutinaud et al. 2003).

Mekanisme Kerja Growth Hormone

GH (Growth hormone) yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari pertama-tama mengalir melalui pembuluh darah menuju ke organ hati. GH di dalam hati diubah menjadi IGF-1 (Insulinlike Growth Factor 1), melalui peredaran darah bersama aliran nutrien, IGF-1 dialirkan ke seluruh organ-organ yang ada di tubuh ternak. IGF-1 inilah yang bertanggung jawab untuk memelihara seluruh organ-organ di dalam tubuh manusia. Gen GH penting untuk pertumbuhan setelah kelahiran dan metabolisme normal karbohidrat, lemak, nitrogen serta mineral. Growth hormone tidak bekerja secara langsung dalam mempengaruhi pertumbuhan, tetapi melalui perantaraan suatu peptida yang disebut somatomedin (IGF I dan IGF II) yang produksinya diinduksi oleh growth hormone. Somatomedin yang produksi utamanya di hati ini dipengaruhi juga oleh usia dan keadaan nutrisi ternak. Somatomedin inilah yang akan berikatan dengan reseptor-reseptor dalam sel tubuh guna merangsang pertumbuhan melalui:

1. Sintesis protein. Hormon pertumbuhan akan meningkatkan produksi protein dan transportasinya ke sel-sel otot sehingga merangsang pertumbuhan otot dan jaringan pada umumnya.

2. Metabolisme karbohidrat. Hormon pertumbuhan memiliki efek antagonis terhadap insulin, sehingga meningkatkan kadar gula dalam


(27)

darah, yang nantinya akan meningkatkan proses konversi karbohidrat menjadi protein.

3. Metabolisme lemak. Hormon pertumbuhan akan meningkatkan penguraian lemak tubuh menjadi asam lemak bebas dan gliserol, sehingga kadar lemak dalam darah meningkat.

4. Efek mirip prolaktin sehingga merangsang kelenjar ambing dan produksi susu saat kebuntingan (Ohlsson et al.1998).

Penanda Molekuler

Penanda molekuler memiliki peranan penting dalam genetika ternak. Hal tersebut merupakan salah satu faktor utama yang mendasari terjadinya proses seleksi (Vignal et al. 2002). Penanda molekuler merupakan pemanfaatan dari keragaman meliputi subsitusi, delesi, insersi dan inverse (Nei & Kumar 2000).

Polymerase chain reaction (PCR) merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA secara in vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan enzim polymerase dan primer. Primer merupakan oligonukleotida spesifik pada DNA template. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA baru. Hasil PCR dapat langsung divisualisasikan dengan elektroforesis atau dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Williams 2005).

Polymerase chain reaction-single-strand conformation polymorphism atau PCR-SSCP merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayasi 1991). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa perubahan asam nukleotida akan menyebabkan perubahan pola migrasi dari bentuk ikatan utas tunggal DNA pada gel poliakrilamida, yang disebut sebagai perubahan konformasi atau bentuk molekul. Pendeteksian dalam SSCP dipengaruhi oleh matriks gel, kondisi elektroforesis, panjang fragmen dan kandungan G+C (Nataraj et al. 1999). Perbedaan konsentrasi akrilamida, perbandingan akrilamida dengan bis-akrilamida, penggunaan gliserol, suhu elektroforesis dan kondisi buffer dapat berpengaruh terhadap pendeteksian keragaman (Barroso et al. 1999).


(28)

Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) merupakan suatu metode analisis molekuler yang bertujuan untuk melihat perbedaan jumlah basa antar fragmen dengan menggunakan gel poliakrilamid, yang masing-masing dapat memisahkan 6-8 basa. Template DNA pada poliakrilamid gel difragmentasi dengan elektroforesis terkontrol yang disebut GenePhor. Genephor merupakan horizontal elektroforesis kering, dengan suhu yang dapat diatur sedemikian rupa, sehingga dapat memisahkan DNA pada tegangan tinggi tanpa menimbulkan panas yang berlebihan pada poliakrilamid gel. Metode pewarnaan menggunakan metode

silver stainning. Hasil dari SSCP sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh konsentrasi DNA sampel serta proses ekstraksi, amplifikasi, purifikasi dan restriksi serta optimasi dalam pelaksanaan stainning. Teknik ini merupakan salah satu teknik analisis polimorfisme dan banyak diterapkan untuk genotiping dengan hasil cukup akurat.

Analisis Keragaman Genetik

Keragaman genetik dapat digunakan sebagai parameter dalam mempelajari genetika populasi dan genetika evolusi. Tingkat keragaman dalam populasi dapat digambarkan dari frekuensi alel yangmerupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam satu populasi. Informasi keragaman genetik suatu populasi menggunakan beberapa lokus, dapat digambarkan melalui nilai heterozigositas (Nei & Kumar 2000).

Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi berguna untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus. Populasi alami biasanya memiliki keragaman genetik yang tinggi. Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan sangat bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan (Blott et al. 2003).


(29)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2010 hingga Januari 2011. Lokasi pengambilan sampel darah dan susu kambing dilakukan di PT Fajar Taurus Dairy Farm dan PT Elang 45. Analisis keragaman gen dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak Fakultas Peternakan IPB, sementara pengujian kualitas susu dan produk olahan susu dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Susu Bagian THT Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu IPB.

Materi Sampel Darah Kambing

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kambing Saanen dan Peranakan Etawah yang berjumlah 89 ekor. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk masing-masing individu ternak kambing. Alat dan bahan untuk pengambilan sampel darah berupa venoject, vacutainer dan etanol. Ekstraksi DNA menggunakan metode fenol kloroform (Sambrook et al.1989).

Primer

Primer adalah DNA utas tunggal dengan ukuran pendek, biasanya 18 sampai 25 basa, yang akan menempel pada DNA cetakan pada tempat yang spesifik. Primer berguna untuk mengapit sekuen DNA target pada reaksi PCR. Pada penelitian ini, primer forward dan reverse untuk mengamplifikasi gen GH ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Primer untuk amplifikasi gen GH

No. Sekuens (5'-3') Pustaka

1. Forward GGA AGG GAC CCA ACA ATG CCA Kioka et al. 1989 2. Reverse CTG CCA GCA GGA CTT GGA GC

Bahan dan Alat Analisis PCR

Bahan yang digunakan untuk PCR adalah DNA, pereaksi PCR (Master mix- Genaid) yang terdiri atas enzim tag DNA polymerase, 10x buffer, larutan MgCl2, dNTPs, primer forward dan reverse fragmen gen GH. Peralatan yang


(30)

digunakan adalah pipet tip, mikropipet, microtube eppendorf, microsentrifuge dan mesin thermocycler.

Bahan dan Alat Analisis PCR-SSCP

Bahan yang digunakan untuk analisis PCR-SSCP adalah air destilasi steril, akrilamida 30%, 5 x TBE, TEMED (tetramethylendiamine) dan APS (ammonium persulfat) 10 %, loading dye dan marker 100 pb (Biorad). Alat yang digunakan adalah dua buah kaca untuk cetakan gel, pipet berskala, tabung reaksi, sisir khusus untuk sumur, pipet mikro Eppendorf 2 µl dengan tipsnya dan power supply 200 Volt.

Bahan dan Alat Pewarnaan Perak

Bahan yang digunakan adalah larutan yang terdiri atas 0.2 gram AgNO3; 80 µl NaOH 10 N ; 0.8 ml NH4OH dalam 200 ml air destilasi, larutan 6 gram

NaOHdengan 200 µl formaldehida dan asam asetat 200 µl dalam 200 ml air. Alat yang digunakan adalah gelas ukur, labu Erlenmeyer dan water-bath shaker.

Bahan dan Alat Analisis Kualitas Susu Kambing dan Mentega

Sampel susu diambil dari ternak kambing Saanen dan PE. Pengolahan susu yang dilakukan adalah pemisahan lemak susu dengan separator krim. Sebelum dilakukan pengolahan susu dilakukan pengujian terhadap kualitas susu segar. Bahan yang digunakan untuk analisis susu dan mentega susu kambing antara lain H2SO4, alkohol 70%, Aquadest, NaOH 0.1 N, amilalkohol, fenolftalin,

NaOH, kalium oksalat, K2SO4, HgO dan formalin. Peralatan yang digunakan

antara lain laktodensimeter, butirometer, pipet volumetric, pH-meter, inkubator, autoklaf, timbangan analitik, termometer, labu Kjeldahl, alat titrasi, alat-alat gelas, sentrifuse, wadah plastik, desikator, cawan porselen, tanur, alat ekstraksi Sokhlet, oven 105ºC dan penangas air.


(31)

Metode

I. Identifikasi Keragaman Molekuler

a. Pengambilan Sampel Darah (Sulandari & Zein 2003)

Pengambilan sampel darah kambing dilakukan menggunakan venoject pada bagian vena jugularis sebanyak 2 ml. Sampel darah selanjutnya dicampur dengan etanol 70% untuk menghindari kerusakan sel-sel darah.

b. Ekstraksi DNA ( Sambrook 1989)

DNA diekstraksi dengan menggunakan metode fenol kloroform (Sambrook

et al.1989). Sampel darah total yang disimpan dalam etanol 95% disentrifugasi 3500 rpm selama 5 menit. Endapan sel-sel darah yang diperoleh dicuci dengan buffer TE sebanyak 2 kali. Sekitar 100 µl sel-sel darah yang telah bebas dari

etanol disuspensikan dengan 1xSTE sampai volume mencapai 350 µl. Sel-sel

darah kemudian dilisis dengan 20 µl proteinase K (10 mg/ml) dan 40 µl 10%

SDS. Campuran ini dikocok pelan-pelan selama 2 jam pada suhu 55oC.

Pemurnian DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform, yaitu dengan menambahkan 1/10 volume 5 M NaCl, 1 x volume larutan fenol, dan 1 x volume kloroform iso amil alkohol (24:1), kemudian dikocok pelan-pelan pada suhu ruang selama 2 jam. Fase DNA dipisahkan dari fase fenol dengan sentrifugasi pada kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Molekul DNA diendapkan dengan menambahkan 1/10 x volume 5 M NaCl dan 2 x volume etanol absolut. Endapan DNA yang dihasilkan selanjutnya dicuci dengan etanol 70% kemudian diendapkan lagi dengan kecepatan 7000 rpm selama 5 menit. Sisa etanol dibuang dan diuapkan dengan menggunakan pompa vakum. DNA selanjutnya dilarutkan

dengan 80 µl 80% buffer TE.

c. Amplifikasi Gen dengan Tehnik PCR

Teknik PCR dilakukan untuk memperbanyak (amplifikasi) fragmen gen menjadi 2n copy. Dengan perbanyakan ini maka fragmen gen target dapat divisualisasikan pada gel elektroforesis.


(32)

Reaksi PCR dilakukan dengan volume total 25 µl dari campuran larutan yang

terdiri atas 2 µl DNA genom, 1 U enzim taq polimerase dan 10X buffernya (New England Biolab); 2 mM dNTP mix; 2.5 mM MgCl2 dan dH2O steril. Kondisi

reaksi PCR dalam mesin thermocycler dirancang dengan suhu pradenaturasi 94oC selama 4 menit, selanjutnya 30 siklus reaksi yang terdiri atas denaturasi 95 oC selama 30 detik, annealing (suhu spesifik primer) selama 1 menit, perpanjangan 72 oC selama 1 menit. Pemanjangan akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit. Suhu

annealing untuk primer gen GH 60 oC.

d. Genotiping Teknik PCR-SSCP (Tegelstrom 1992)

Genotiping dengan teknik SSCP menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid 10%. Gel dibuat dengan cara pencampuran 14 ml air destilata; 2.5

ml larutan 5 x TBE; 8,3 ml larutan akrilamid 30%; 15 µl larutan TEMED dan 150

µl APS 10%. Sebanyak 2 µl produk PCR dicampur dengan + 25 µl loadying dye

(bromthymol blue 0.01%, xilene cyanol 0.01 dan gliserol 50%). Elektroforesis dilakukan pada tegangan konstan 200 volt selama 16 jam. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan pewarnaan perak.

d.Visualisasi Pita DNA (Tegelstrom 1992)

Visualisasi pola pita hasil SSCP menggunakan metode silver stainning atau pewarnaan perak. Tahapan pewarnaan perak yaitu gel dicuci secara bertahap sebagai berikut: dengan larutan AgNO3 0.2 gram, 80 µl NaOH 10 N, 800µl

ammonia dalam 200 ml air destilasi selama 8 menit, kemudian dibilas dengan air destilasi selama 2 menit. Proses memunculkan pita dalam gel melalui gel perendam dalam larutan yang terdiri atas 6 gram NaOH/200 ml air destilata selama 6 menit ditambah 200 µl formaldehid. Setelah pita muncul, larutan asam asetat dituangkan untuk penghentian aktifitas oksidasi perak oleh formaldehida.

II. Analisis Kualitas Susu Segar

Analisis kualitas susu segar meliputi pemeriksaan BJ, kadar lemak, kadar protein dan bahan kering tanpa lemak.


(33)

a. Analisis Berat Jenis (Standar Nasional Indonesia 1992)

Pengukuran berat jenis dilakukan dengan alat laktodensimeter. Sebanyak 100 ml susu pada suhu antara 200C dimasukkan kedalam gelas ukur. Laktodensimeter dicelupkan perlahan-lahan. Nilai berat jenis dapat dibaca pada skala yang tertera pada laktodensimeter, kemudian dilakukan penyetaraan pada suhu 27.50C. Setiap perbedaan 10C diatas atau di bawah 27.50C maka nilai berat jenisnya ditambah atau dikurangi 0.0002.

b. Analisis Kadar Lemak (Standar Nasional Indonesia 1992)

Pengukuran kadar lemak menggunakan metode Gerber. Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat dimasukkan kedalam butirometer, kemudian ditambahkan 10.5 ml susu secara hati-hati melalui dinding mulut butirometer dan ditambahkan 1 ml amilalkohol. Setelah butirometer ditutup dengan sumbat karet dan dihomogenkan, butirometer dimasukkan ke dalam penangas air pada suhu 60ºC selama ± 10 menit. Tahap selanjutnya adalah sentrifugasi dengan menggunakan sentrifuge Gerber dengan kecepatan 1200 rpm selama 5 menit, kemudian butirometer dimasukkan kembali kedalam penangas air minimal 2 menit. Butirometer dipegang vertikal dan karet penutup diatur, sehingga tepat pada suatu garis pada skala butirometer dan dibaca persen kadar lemaknya.

c. Analisis Kadar Protein (Standar Nasional Indonesia 1992)

Dua puluh lima mililiter susu, 1 ml larutan kalium oksalat dan 0.25 fhenolftalin dimasukkan kedalam gelas beker, dicampur hingga homogen, dibiarkan selama 2 menit. Setelah homogen, campuran dititrasi dengan larutan NaOH dari buret sampai warnanya sama dengan warna standar (merah muda), kemudian larutan formalin sebanyak 2.5 ml ditambahkan kedalam campuran yang telah dititrasi, lalu dikocok hingga warna merah muda hilang, dibiarkan selama 1 menit. Campuran dititrasi kembali dengan NaOH sampai berwarna merah muda. Dihitung dan dicatat jumlah NaOH yang terpakai (p ml). Blanko dibuat dengan 10 ml aquades ditambah 0.4 ml kalium oksalat jenuh, 2 ml formalin 40% serta 2-3 tetes fenolftalein 1%, lalu dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah muda dan dicatat banyaknya NaOH 0.1 N yang terpakai (q ml).


(34)

Kadar Protein dihitung dengan rumus berikut:

% protein = ( p-q ) x 1.95 (faktor formol untuk susu kambing)

d. Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak (Standar Nasional Indonesia 1992)

Perhitungan dilakukan setelah kadar lemak dan berat jenis diperoleh dengan rumus:

BK = 1.23 L + 2.71 100 (BJ – 1) BJ BKTL = BK – L

Keterangan :

BK : Bahan Kering

BKTL : Bahan Kering Tanpa Lemak L : Lemak

BJ : Berat Jenis

III. Analisis Kualitas Mentega

Analisis kualitas kimia mentega yang dilakukan meliputi nilai pH, bilangan peroksida, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar air dan rendemen.

a. Nilai pH (Association of Official Analytical Chemist 1995)

Pengukuran nilai pH dilakukan dengan pH meter. Sebanyak 50 gram sampel mentega dilelehkan, kemudian suhunya diturunkan sesuai dengan suhu ruang. pH meter terlebih dahulu distandarisasi dengan buffer untuk pH 4 dan pH 7. Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan elektroda pH meter kedalam sampel dan skala di baca setelah jarum penunjuk berada pada posisi tetap.

b. Bilangan Peroksida (SNI 01 -3555 -1998)

Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan diletakkan dalam labu Erlenmeyer. Ditambahkan 30 ml pelarut (terdiri atas 60% asam asetat glasial dan 40% kloroform), lalu dihomogenkan. Ditambahkan 0.5 ml larutan potasium iodida jenuh lalu dihomogenkan, didiamkan selama 2 menit dalam ruangan gelap. Ditambahkan 30 ml air destilata dan selanjutnya larutan di titrasi dengan larutan sodium tiosulfat 0.1 N.


(35)

Bilangan peroksida = A x N x B x 100/ G Keterangan :

A = ml sodium tiosulfat yang dipakai N = normalitas sodium tiosulfat B = bobot equivalen oksigen G = berat sampel (gram)

c. Kadar Lemak (Association of Official Analytical Chemist 1995)

Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi Soklet yang akan digunakan dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Lima gram contoh ditimbang dalam selongsong lemak kemudian ditutup dengan kertas bebas lemak secukupnya, kemudian direflux selama 6 jam. Pelarut yang ada dalam labu didestilasi kemudian pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven selama 2 jam sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemak tersebut ditimbang.

Kadar lemak (%) = bobot labu lemak akhir – bobot labu lemak awal x 100% Bobot sampel (g)

d. Kadar Protein (Association of Official Analytical Chemist 1995)

Metode yang digunakan adalah mikro Kjeldahl. Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO dan

20 ml H2SO4. Sampel yang diperoleh selanjutnya dididihkan sampai larutan

menjadi jernih (sekitar 1 jam). Larutan jernih yang diperoleh ini dipindahkan ke dalam destilasi. Labu Kjeldahl dicuci dengan air (1-2 ml), kemudian air cuciannya dimasukkan kedalam alat destilasi dan ditambahkan 8- 10 ml larutan NaOH-Na2S203.

Dibawah kondensor diletakkan labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran metil merah 0.2 % dalam alkohol dan

metil biru 0.2 % dalam alkohol dengan perbandingan 1:2) ujung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3. Isi labu Erlenmeyer diencerkan sampai 50 ml,

lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Blanko dipersiapkan dengan cara yang sama, tetapi sebagai ganti mentega digunakan aquades.


(36)

% N = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14.007 x 100 % Berat sampel (g)

% protein = % N x 6.38

e. Kadar Abu (Association of Official Analytical Chemist 1995)

Pengukuran kadar abu menggunakan metode pengabuan dalam tanur. Sejumlah 5 gram sampel dimasukkan dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan telah diketahui beratnya. Terlebih dahulu sampel dipanaskan pada hot plate untuk menguapkan sebanyak mungkin zat organik yang ada (sampai sampel tidak berasap lagi). Cawan selanjutnya dipindahkan kedalam tanur dan dipanaskan pada suhu 300º C sampai semua karbon berwarna keabuan, kemudian suhu dinaikkan sampai 450º C selama 5 jam (sampel berwarna putih). Cawan dari tanur didinginkan dan ditimbang berat abu yang dihasilkan.

Kadar abu (%) = bobot abu x 100% bobot sampel

f. Kadar Air (SNI 01‐2891‐1992)

Cawan dikeringkan pada suhu 105º C selama 1 jam, diangkat dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Sampel yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan kedalam cawan. Cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105º C sampai mencapai berat konstan (6 jam). Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Kadar air (%) = bobot sampel awal-bobot sampel akhir x 100% Bobot sampel awal

g. Rendemen Mentega (Association of Official Analytical Chemist 1995) Besar rendemen dihitung berdasarkan persentase berat produk yang dihasilkan terhadap berat awal bahan yang digunakan.

Rendemen mentega (%) = Bobot mentega x 100% Bobot susu segar


(37)

IV.Pembuatan Mentega

Proses pembuatan mentega diawali dengan pemisahan antara krim dan skim susu menggunakan cream separator (merek Elecream). Krim yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan mentega. Diagram alir pembuatan mentega disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan mentega (Hunziker 2008)

Analisis Data

Frekuensi Alel dan Genotipe

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA gen yang ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan pola migrasi pita yang sama dan dihitung frekuensi alelnya. Frekuensi alel dihitung berdasarkan rumus Nei & Kumar (2000) sebagai berikut:

Pemisahan Krim

Kneading Pasteurisasi 85◦C-15detik

Dinginkan hingga 7◦C

Mentega Churning 5-10ºC


(38)

n

n

n

x

j i

ij ii

i

2

2





Keterangan :

xi = frekuensi alel,

nii = jumlah genotipe dari alel ke-i, dan

nij = jumlah alel ke-i terpaut alel ke-j (j≠i).

Frekuensi genotipe dapat diperkirakan dengan menghitung perbandingan jumlah genotipe pada populasi. Menggunakan asumsi sebelumnya, maka frekuensi genotipe AiAi (Χii) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Χii= nii / n

Keterangan:

Χii =frekuensi genotipe

nii = individu yang bergenotipe AiAi

n = jumlah total sampel

Kualitas Susu dan Mentega

Analisis perbedaan kualitas susu dan mentega antar genotipe gen GH menggunakan metode analisis General Linear Model (GLM) dengan bantuan


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Peternakan Kambing Perah

Pengambilan sampel darah dan susu kambing perah berlokasi di dua peternakan yaitu peternakan PT Elang 45 dan PT Fajar Taurus Dairy Farm. PT Elang 45 terletak di desa Sukajaya, kecamatan Taman Sari, kabupaten Bogor dengan letak geografis berada pada ketinggian 15- 2500 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu udara antara 20o -30o C dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 2500 mm sampai lebih dari 5000 mm/tahun. PT Fajar Taurus Dairy Farm yang terletak di jalan Raya Bogor-Sukabumi km 10 jalan Tenjo Ayu, desa Benda, kecamatan Cicurug, kabupaten Sukabumi, secara geografis terletak pada ketinggian 500-550 dpldengan suhu udara 19-28o C dan curah hujan 3.200 mm/tahun. Letak geografis dari PT Elang 45 dan PT Fajar Taurus Dairy Farm sangat mendukung usaha peternakan, dengan akses pemasaran yang cukup luas karena berada di wilayah Jabodetabek.

PT Elang 45 menempati area seluas 10 ha yang terbagi atas lahan hijauan, perkandangan, tempat pengolahan pakan dan bangunan yang berupa fasilitas perusahaan. Pemeliharaan kambing perah PE dilakukan secara intensif dengan bentuk kandang panggung tipe koloni, sedangkan pejantan mendapat kandang individu. Pakan yang diberikan terdiri atas (a) hijauan : rumput gajah, hijauan pohon, silase, sisa hasil perkebunan dan leguminosa (turi, gamal, lamtoro) dan (b) konsentrat: dedak, bungkil sawit, bungkil kedele, polard, dan jagung yang diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi. Pemerahan susu dilakukan sebanyak 3 kali sehari : pagi hari (06.00 WIB), sore hari (14.00 WIB) dan malam hari (20.00 WIB).

PT Fajar Taurus menempati area seluas 50 ha dengan luas bangunan 10 ha, luas hijauan 32 ha dan luas palawija 8 ha. Pemeliharaan ternak kambing perah Saanen dilakukan secara intensif dengan bentuk kandang panggung tipe koloni dengan kandang pejantan merupakan kandang individu. Pakan yang diberikan berupa hijauan (rumput gajah, leguminosa) dan konsentrat (polard, bungkil kelapa, dan jagung). Pemerahan susu dilakukan sebanyak 2 kali sehari: pukul 04.00 WIB dan pukul 16.00 WIB.


(40)

Studi Polimorfisme pada Gen GH

Amplifikasi Gen GH

Amplifikasi ruas gen GH terhadap sampel darah kambing Saanen dan Peranakan Etawah (PE) menggunakan mesin thermal cycler dengan suhu denaturasi 95º C, suhu annealing 60º C dan suhu ekstensi 72º C. Panjang produk hasil amplifikasi fragmen gen GH exon 4 adalah 200 bp dengan nomor akses

GenBank D00476 (Kioka et al. 1989). Panjang produk PCR dari gen GH yang dihasilkan sesuai dengan yang dilaporkan oleh Mousavizadeh et al. (2009). Hasil amplifikasi fragmen gen GH kambing Saanen dan PE dirgtf visualisasikan pada gel agarose 1.5%, seperti ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Produk PCR gen GH exon 4 (200 bp)

Identifikasi Gen GH pada Kambing Perah Saanen dan Peranakan Etawah dengan Pendekatan PCR-SSCP

Metode Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) digunakan untuk identifikasi genotipe atau genotyping gen GH dari kambing Saanen dan PE. Hasil PCR-SSCP dari gen GH kambing perah menunjukkan sifat yang

polymorphic (beragam), karena ditemukan lima pita DNA dengan pola migrasi yang berbeda, yaitu tipe gen CE, BC, BB, CD dan CC. Keragaman ruas gen GH pada kambing perah Saanen dan PE disajikan dalam Gambar 3. Tipe gen CE, BC dan BB merupakan tipe yang ditemukan pada kedua bangsa kambing Saanen dan PE. Tipe gen CD tidak ditemukan pada populasi kambing Saanen dan tipe gen CC tidak ditemukan pada populasi kambing PE. Adanya polimorfisme gen GH pada kambing Saanen dan PE mengkonfirmasi keberadaan situs polimorfik kambing

100bp 200bp


(41)

perah dari hasil penelitian Mousavizadeh et al. (2009), Marques et al. (2003) dan Malveiro et al. (2001).

CE BC CD BB CC

Gambar 3 Hasil visualisasi produk PCR-SSCP gen GH

Frekuensi Alel dan Genotipe Gen GH

Keragaman genetik dapat dihitung secara kuantitatif berdasarkan nilai frekuensi alel. Frekuensi alel adalah proporsi jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel dalam suatu populasi pada lokus yang sama (Nei & Kumar 2000). Frekuensi dari masing-masing genotipe pada populasi total dapat diketahui dengan membagi jumlah sampel yang memiliki tipe genotipe tertentu dengan jumlah sampel total. Hasil analisis frekuensi genotipe dan alel gen GH kambing Saanen dan PEdapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Frekuensi genotipe dan alel gen GH kambing Saanen dan PE

Kambing

Frekuensi Genotipe Frekuensi Alel

BC BB CC CD B C E D

Saanen 0.25 0.25 0.25 0.25 0 0.40 0.30 0.20 0 (25%) (25%) (25%) (25%) (40%) (30%) (20%) PE 0.40 0.30 0.10 0 0.20 0.25 0.45 0.20 0.10

(40%) (30%) (10%) (20%) (25%) (45%) (20%) (10%) Keterangan : n= Jumlah individu (ekor)

Penelitian mengenai polimorfisme gen GH juga telah dilakukan Mousavizadeh et al. (2009), Marques et al. (2003) dan Malveiro et al. (2001), yang melaporkan bahwa polimorfisme gen GH juga terjadi pada ekson 4. Berdasarkan hasil penelitian Malveiro et al. (2001) didapatkan bahwa pada bangsa kambing Algarvia ditemukan 6 genotipe yaitu genotipe AA, BB, CC, DD,


(42)

EE dan FF. Genotipe CC memiliki frekuensi tertinggi sebesar 35.2% diikuti genotipe BB sebesar 27.8%. Pada bangsa kambing Saanen didapatkan frekuensi untuk keempat genotip CE, BC, BB, CD dan CC adalah sama yaitu sebesar 25%.

Pengaruh Keragaman Gen GH terhadap Kualitas Susu Segar Kambing Saanen dan PE

Kualitas susu kambing Saanen bergenotipe CE, BC, BB dan CC (Tabel 5) yang meliputi BJ, lemak, protein, BK dan BKTL pada masing-masing tipe gen menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05), demikian pula dengan kualitas susu kambing PE bergenotipe CE, BC, CD dan BB (Tabel 6). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Boutinaud et al. (2003) yang menyatakan bahwa keragaman gen GH pada kambing perah berhubungan dengan produksi, kandungan lemak dan protein susu.

Tabel 5 Kualitas susu kambing Saanen berdasarkan tipe gen

Tipe gen N Lemak Protein BK BKTL BJ

---(%)---

CE 11 3.27±1.0 4.45±0.4 11.95±1.4 8.68±0.5 1.030±0.0015 BC 6 3.40±0.4 4.38±0.3 11.87±0.6 8.34±0.1 1.028±0.0040 BB 11 3.21±0.6 4.57±0.3 11.76±0.8 8.48±0.3 1.029±0.0015 CC 7 3.22±0.6 4.53±0.2 11.50±0.8 8.23±0.2 1.028±0.0050 Keterangan : n= Jumlah individu (ekor)

Tabel 6 Kualitas susu kambing PE berdasarkan tipe gen

Tipe gen N Lemak Protein BK BKTL BJ

---(%)---

CE 19 4.38±0.9 4.98±0.2 13.40±1.2 9.00±0.4 1.030±0.0017 BC 15 4.12±0.8 4.84±0.2 13.05±1.2 8.92±0.5 1.030±0.0014 CD 1 3.25±0.0 5.23±0.0 11.67±0.0 8.72±0.0 1.031±0 BB 11 3.70±1.2 4.60±0.4 12.32±1.5 8.64±0.4 1.029±0.0011 Keterangan : n = Jumlah individu (ekor)

Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian lain disebabkan oleh berbagai faktor antara lain lingkungan (meliputi manajemen pemeliharaan, pakan, daerah atau lokasi dan iklim). Bangsa kambing perah, bagian gen GH yang dianalisa (exon, daerah 3’, daerah 5’ dsb), metode yang digunakan (RFLP, SSCP dsb) serta jumlah sampel yang dianalisis.

Menurut Noor (2002), ternak yang secara genetik unggul tidak akan menampilkan keunggulan yang optimal jika tidak didukung oleh faktor


(43)

lingkungan yang baik pula. Sebaliknya, ternak yang memiliki mutu genetik rendah meski didukung oleh lingkungan yang baik juga tidak akan menunjukkan produksi yang tinggi.

Tabel 7 Komposisi asam lemak susu kambing Saanen

Parameter

Rumus

Kimia CC CE BC BB

---(%)--- Asam lemak tidak jenuh tunggal

(MUFA)

Myristoleic acid C14:1 0.1 0.04 0.07 0.05

Palmitoleic acid C16:1 0.8 0.69 0.63 0.61

Oleic acid C18:1 14.95 11.13 11.26 10 Lemak tidak jenuh jamak

(PUFA)

Linoleic acid C18:2 1.31 1.05 1.26 1.24

V-Linolenic Acid C18:3 0 0 0.02 0

Cis-11-Eicosedienoic acid C20:1 0.03 0.05 0.03 0.04

Aracchidonic acid C20:4 0.19 0.1 0.2 0.11

Cis-5,8,11,14,17-Eicosapentaenoic acid (EPA)

C20:5 0.04 0.05 0.10 0.06

Cis-4,7,10,13,16,19-Docosahexaenoic acid (DHA)

C22:6 0.03 0 0.05 0.03

Asam Lemak Jenuh

Caproic acid C6:0 5.66 6.12 4.31 5.36

Caprilic acid C8:0 2.44 2.59 2.1 2.45

Capric acid C10:0 6.56 6.81 7.11 6.76

Lauric acid CI2:0 2.71 2.42 3.43 2.71

Myristic acid C14:0 6.34 4.65 6.19 5.8

Palmitic acid C16:0 14.92 15.14 15.43 14.2

Heptadecanoic acid C17:0 0.59 0.46 0.51 0.47

Stearic acid C18:0 4.85 6.74 5.41 7.82

Lemak merupakan komponen utama dalam pembuatan mentega susu kambing. Kandungan lemak susu dari kambing-kambing Saanen yang bergenotipe CE, BC, BB dan CC tidak memiliki perbedaan (P> 0.05), demikian juga dengan kadar lemak susu kambing PE yang bergenotipe CE, BC, BB dan CD tidak memiliki perbedaan (P> 0.05). Kadar lemak susu kambing Saanen dan PE


(44)

telah memenuhi Standar Nasional Indonesia, menurut SNI 01-3141-1998, dengan nilai minimal 2.8 %. Berdasarkan standar kualitas susu kambing di negara Thailand lemak susu kambing Saanen yang bergenotipe tipe gen CE, BC, BB dan CC termasuk kategori “standar” dengan kadar lemak antara 3.2 – 3.4 sedangkan susu kambing peranakan Etawah masuk kedalam kategori ‘baik’ hingga ‘premium’.

Berdasarkan hasil analisis asam lemak pada susu kambing Saanen terhadap genotipe CE, BC, BB dan CC, maka dapat diketahui bahwa terdapat sejumlah perbedaan komposisi asam lemak susu pada masing-masing tipe gen. Asam lemak nervonik hanya dijumpai pada susu kambing Saanen dengan gen GH bergenotipe CE, selain itu pada genotipe CE tidak dijumpai asam lemak tak jenuh

V-linolenik dan dokosaheksaenoik yang tidak terdapat pada salah satu genotipe (CE) tetapi dijumpai pada genotipe lainnya. Komposisi asam lemak susu kambing Saanen menurut genotipe berbeda dapat dilihat pada Tabel 7.

Secara umum, jumlah kandungan asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) pada susu kambing Saanen bergenotipe BC lebih besar dari susu kambing Saanen bergenotipe CC, CE dan BB (Tabel 7). Jumlah tersebut lebih rendah dari total asam lemak rantai pendek yang terdapat dalam susu sapi dan lebih tinggi dari total asam lemak rantai pendek yang terdapat dalam ASI. Rendahnya kandungan asam lemak rantai pendek yang terukur dapat disebabkan asam lemak butirat yang tidak ikut dihitung. Hal ini disebabkan kromatogram untuk asam lemak tersebut berhimpit dengan fase gerak yang digunakan sehingga mempersulit pembacaan dan perhitungan jumlah asam lemak butirat (Rozali 2010).

DHA adalah komponen terbesar dari long-chain polyunsaturated fatty acids

(LC-PUFA). LC-PUFA harus ditambahkan pada makanan. DHA dalam komponen LC-PUFA penting untuk pembentukan jaringan saraf pusat dan sinap, sedangkan AA (arachidonic acid) berperan sebagai neurotransmitter sebagai suatu bentuk asam lemak yang essensial (Crawford 2000).

Asam lemak esensiel terdiri atas asam linoleat (AL) atau linoleic acid (LA),

asam linolenat (ALN) atau a-linolenic acid (ALA) serta asam arachidonic atau

arachidonic acid (AA). Asam lemak ini tidak bisa dibuat oleh tubuh baik dari asam lemak lain maupun dari karbohidrat ataupun asam amino. Asam arachidonat


(45)

dapat dibuat dari asam linolenat (seri n-6), karenanya yang dianggap sebagai asam lemak esensiel hanyalah asam lemak linolenat dan asam lemak linoleat (Innis 2000).

Lemak mempunyai pengaruh penting terhadap rasa lezat, khususnya terhadap aroma dan mouthfeel suatu makanan. Jumlah dan kualitas lemak pada asupan makanan berhubungan dengan kesehatan manusia. Asam lemak jenuh (ALJ) yang direkomendasikan dalam asupan makanan adalah tidak lebih dari 10% dari total energi, karena asupan ALJ yang lebih dari 15% dari total energi berhubungan dengan peningkatan kadar kolesterol darah dan sedikitnya jumlah aktivitas reseptor LDL yang berhubungan dengan penyakit jantung koroner (Herdmann et al. 2010).

Kualitas Susu Kambing Perah

Definisi susu segar menurut SNI 01-1341-1998 adalah cairan yang berasal dari ambing yang sehat yang diperah dengan cara pemerahan yang benar, tidak mengalami proses penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun dan tidak mengalami proses pemanasan (Dewan Standarisasi Nasional 1998). Kualitas susu dipengaruh oleh beberapa faktor yaitu bangsa, pakan, waktu pemerahan, penyakit, genetik, umur, tingkat laktasi dan keadaan iklim.

Berdasarkan hasil analisis General Linear Model (GLM) terhadap kambing Saanen, tidak terdapat perbedaan (P>0.05) antara umur laktasi terhadap semua parameter ( lemak, protein, BK, BKTL dan berat jenis) (Tabel 8).

Tabel 8 Rataan kualitas susu kambing Saanen berdasarkan laktasi

Laktasi N Lemak Protein BK BKTL BJ

---(%)---

2 17 3.32±0.75 4.62±0.3 11.83 b±0.92 8.45±0.3 1.029±0.0015 3 6 3.40±1.10 4.82±0.3 11.79 a±1.66 8.57±0.6 1.029±0.0016 4 6 3.11±0.21 4.22±0.3 11.41 b±0.42 8.25±0.1 1.028±0.0005 5 4 3.40±0.35 4.25±0.4 12.38 a±0.82 8.80±0.4 1.030±0.0015 7 2 3.32±0.53 4.60±0.04 10.64 b±0.14 8.32±0.4 1.029±0.0016 Keterangan: angka dengan huruf berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0.05).

n= jumlah individu ,BK= Berat kering, BKTL= Berat kering tanpa lemak

Puncak laktasi terdapat pada laktasi ke empat dan umumnya produksi susu cenderung meningkat dengan bertambahnya jumlah laktasi. Hal ini sesuai


(46)

dengan pernyataan Atabany (2001) bahwa produksi susu kambing akan mencapai puncak pada laktasi ketiga hingga lima, atau umur 5 sampai 7 tahun. Menurut Hale et al. (2002) puncak laktasi seekor ternak dipengaruhi tingkat perkembangan kelenjar ambing serta kelengkapan perangkat sintesisnya pada awal laktasi. Faktor lain pendukung produksi susu adalah tersedianya prekursor untuk sintesis susu baik yang berasal dari bahan makanan maupun dari mobilisasi cadangan tubuh.

Hasil analisis General Linear Model (GLM) terhadap kambing PE menunjukan hasil yang tidak berbeda (P>0.05) terhadap semua parameter. Rataan kualitas susu kambing Peranakan Etawah berdasarkan laktasi ke 2 dan 3 disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rataan kualitas kambing Peranakan Etawah berdasarkan laktasi

Laktasi N Lemak Protein BK BKTL BJ

---(%)---

2 19 4.1±0.90 4.85±0.39 12.90±1.51 8.88±0.56 1.030±0.0015 3 27 4.1±1.03 4.85±0.35 12.99±1.28 8.88±0.43 1.030±0.0015

Berat Jenis

Berat jenis susu lebih berat dari air karena selain air (85-86%) terdapat kandungan bahan kering berupa protein, lemak, mineral dan vitamin sekitar 13-14%. Rataan berat jenis susu kambing Saanen yaitu 1.028-1.030. Sementara rataan berat jenis susu kambing Peranakan Etawah yaitu 1.030. Nilai berat jenis susu kambing Saanen serta Peranakan Etawah pada penelitian ini telah memenuhi standar nilai berat minimum yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSNI) dalam SNI susu segar yaitu 1.028.

Berat jenis susu kambing dipengaruhi oleh bahan kering dan bahan kering tanpa lemak. Berat jenis susu kambing Saanen pada laktasi ke 5 lebih tinggi dibanding laktasi ke 2, 3, 4 dan 7. Menurut Rahman et al. (1992) berat jenis susu dipengaruhi oleh kandungan bahan kering didalam susu, sehingga kenaikan bahan kering akan menaikkan berat jenis susu.


(47)

Protein

Hasil rataan kadar protein susu kambing Saanen (4.22-4.82) maupun PE (4.85) menunjukkan nilai yang lebih besar dari ketentuan SNI 01-1341-1998 yaitu minimal 2.70 % dan Thai Agricultural Standar (2008)01-1341-1998 sebesar 3.70. Kadar protein susu pada kambing Saanen dan Peranakan Etawah berdasarkan umur laktasi tidak terdapat perbedaan (P>0.05).

Jenis pakan dapat mempengaruhi kadar protein susu, pada penelitian ini pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Berdasarkan hasil penelitian Sukarini (2006) kadar protein susu dari induk kambing yang mendapat tambahan konsentrat cenderung lebih tinggi dari pada kontrol. Hal ini dimungkinkan karena dengan tambahan konsentrat, energi yang tersedia menjadi lebih banyak untuk pembentukan asam amino yang berasal dari protein mikroba rumen. Kualitas pakan yang baik akan mempengaruhi kandungan solid non fat dalam susu, protein adalah salah satu komponen solid non fat (Rahman et al. 1992).

Lemak

Berdasarkan hasil analisis General Linear Model (GLM), kadar lemak pada produksi susu kambing Saanen laktasi ke-3 dan 5 berbeda nyata dengan kadar lemak susu laktasi ke-2, 4, dan 7, sedangkan untuk parameter lainnya (protein, BK, BKTL dan produksi susu) menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0,05). Hasil analisis General Linear Model (GLM) kadar lemak susu kambing Peranakan Etawah terhadap umur laktasi ke 2 dan 3 menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0,05). Menurut Sukarini (2004) kadar lemak susu merupakan komponen paling mudah berubah dan sangat bergantung pada serat kasar makanan. Serat kasar yang rendah akan menghasilkan asam asetat yang rendah, sehingga lemak susu yang dihasilkan juga rendah, karena asetat merupakan bahan utama pembentukan lemak susu (McDonald et al. 2002).

Hasil rataan kadar lemak susu kambing Saanen (3.32-3.40) dan Peranakan Etawah (4.10) menunjukkan nilai yang lebih besar dari ketentuan SNI 1998 yaitu minimal 3 %. Berdasarkan Thai Agricultural Standar (2008) 01-1341-1998 maka komposisi lemak kambing Saanen termasuk kedalam kategori


(48)

‘standar’ sedangkan komposisi lemak kambing Peranakan Etawah termasuk kategori ‘premium’.

Bahan Kering dan Bahan Kering Tanpa Lemak

Kandungan bahan kering laktasi ke 3 dan 5 pada susu kambing Saanen lebih tinggi (P< 0.05) sedangkan kandungan bahan kering tanpa lemak susu kambing Saanen pada berbagai tingkat laktasi menunjukkan tidak berbeda (P>0.05). Kandungan bahan kering yang tinggi pada laktasi ke 3 dan 5 dipengaruhi oleh kadar lemak. Kandungan bahan kering susu kambing Peranakan Etawah laktasi ke 2 dan 3 menunjukkan hasil yang tidak berbeda (P>0.05 ).

Kandungan bahan kering dan bahan kering tanpa lemak pada susu kambing Saanen dan Peranakan Etawah menunjukkan nilai yang lebih besar dari ketentuan dalam SNI 01-3141-1998 yaitu bahan kering minimal 11%, sedangkan kadar bahan kering tanpa lemak minimal 8.0%. Hasil analisis kualitas susu kambing Saanen dan Peranakan Etawah telah memenuhi standar susu segar berdasarkan SNI 01-3141-1998. Berdasarkan Thai Agricultural Standar (2008), hasil analisis kualitas susu kambing Saanen memasuki kategori ‘standar’ hingga ‘baik’ sedangkan kualitas susu kambing Peranakan Etawah termasuk dalam kategori ‘baik’.

Mentega Susu Kambing Saanen dan PE

Secara umum, kandungan masing-masing asam lemak mentega kambing PE lebih besar dari mentega kambing Saanen (Tabel 10). Perbedaan kadar lemak yang dikandung kedua jenis susu tersebut adalah 84.05% pada susu kambing PE dan 62. 83% pada susu kambing Saanen. Jumlah total asam lemak rantai pendek pada kedua mentega susu kambing adalah 24.78 % pada PE dan 14.98 % pada Saanen. Jumlah ini belum termasuk kandungan asam butirat yang tidak ikut dihitung.


(49)

Tabel 10 Komposisi Asam Lemak Mentega Susu Kambing Saanen dan PE

Parameter

Rumus

Kimia Saanen PE

Asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA)

Myristoleic Acid C:14 n.d 0.1

Palmitoleic acid C16:1 0.28 0.39

Oleic acid C18:1 16.48 16.6

Asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA)

Linoleic acid C18:2 3.48 1.4

Aracchidonic acid C20:4 0.11 n.d Asam lemak jenuh

Caproic acid C6:0 1.69 1.78

Caprilic acid C8:0 1.83 2.34

Capric acid C10:0 5.16 7.77

Lauric acid CI2:0 1.76 3.68

Myristic acid C14:0 4.54 9.11

Myristoleic acid C14:1 n.d 0.1

Pentadecanoic acid C15:0 0.51 0.6

Palmitic acid C16:0 0.28 0.39

Heptadecanoic acid C17:0 0.46 0.49

Arachidic acid C20:0 0.2 0.17

Keterangan : Jumlah g/100 g lemak susu

Karakteristik mentega dari susu kambing yang berbeda yaitu kambing Saanen dan PE yang diamati meliputi rendemen dan kandungan asam lemak. Rendemen memiliki nilai ekonomis yang penting dalam pembuatan mentega. Pada mentega kambing Saanen di peroleh rendemen sebesar 5%, sedangkan pada mentega kambing PE diperoleh rendemen sebesar 25%. Kadar lemak susu merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi jumlah rendemen mentega. Kadar lemak susu kambing PE berdasarkan analisis asam lemak yaitu sebesar 84.05% sedangkan kadar lemak kambing Saanen sebesar 62.83%. Lemak susu terdiri dari komponen asam-asam lemak. Komposisi asam lemak mentega berdasarkan bangsa kambing disajikan pada Tabel 10.

Berdasarkan analisis asam lemak mentega, terdapat perbedaan komposisi antara mentega yang berasal dari susu kambing PE dan Saanen. Kadar asam lemak tak jenuh linoleic acid mentega kambing Saanen lebih tinggi dibandingkan kambing PE. Linoleic acidmerupakan asam lemak esensial yang berperan dalam


(1)

bovine growth hormone receptor is associated with a major effect on milk yield and composition. Genetics 163: 253-266.

Boutinaud M, Rousseau C, Keisler DH, James H. 2003. Growth hormone and milking frequency act differently on goat mammary gland in late lactation. J Dairy Sci 85: 509-520.

Budi U. 2002. Pengaruh interval pemerahan terhadap produksi susu dan aktivitas seksual setelah beranak pada kambing Peranakan Etawah [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bylund G. 1995. Handbook of Dairy Processing. USA: Tettra Pack Processing System.

Bremel RD. 2008. Biology of lactation. London: WH. Freeman and co.http://www.classes.ansci.uiuc. edu [ 25 Maret 2010]

Ciappesoni CG, Pribyl J, Milerski M, Mares V. 2004. Factors affecting milk yield and composition. Institute of Tropical and Subtropical Agriculture. Crech J Anim Sci 465-473.

Collomb M, Buhler T, Sieber UR, Jeangros B, Bosset JO. 2002. Composition of fatty acids in cow’s milk fat produced in the lowlands, mountains and highlands of Switzerland using high-resolution gas chromatography. Intl Dairy J 8: 649-659.

Crawford MA. 2000. Placental delivery of arachidonic and docosahexaenoic acids: implications for the lipid nutrition of preterm infants. Am J Clin Nutr 275-284.

Cronje P. 2003. Ruminant Physiology: Digestion, Metabolism, Growth and Reproduction. New York: CABI Publishing.

Davendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerjemah: Putra H. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung.

De Laval. 2008. Milking technology. Di dalam: De Laval Editor. The Lactating Dairy Cow. USA: De Laval Publishing.

Dewan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Standar Nasional Indonesia.

Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3744-1995. Syarat Mutu Mentega. Jakarta: Standar Nasional Indonesia.

Dewan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-3141-1998. Susu Segar. Jakarta: Standar Nasional Indonesia.

Etherton TD, Bauman DE . 1998. Biology of somatotropin in growth and lactation of domestic animals. Physiol Rev 78: 745-761.

Ensminger ME. 2002. Sheep and Goat Science. 6th Ed. Illoins: Interstate Printers and Publisher Inc.

Fehr PM, Sauvant D. 1980. Composition and yield of goat milk as affected by nutritional manipulation. J Dairy Sci 63: 1671-1680.


(2)

Fodor M, Kordon C, Epelbaum J. 2006. Anatomy of the hypophysiotropic somatostatinergic and growth hormone-releasing hormone system. Neurochem Res 31: 137-143.

Fox PF, McSweeney PLH. 1998. Dairy Chemistry and Biochemistry. London: Blackie Academic and Profesional.

Frago LM, Chowen JA. 2005. Basic physiology of the growth hormone/insulinlike growth factor axis. Di dalam: Varela-Nieto I, Chowen JA, editor. The Growth Hormone/Insulin-like Growth Factor Axis During Development. USA: Springer. hlm 1-25.

Hale SA, Capuco AP, Erdman RA. 2002. Milk yield and mammary growth effects due to increased milking frequency during early lactation. J Dairy Sci 86: 2061-2071.

Hayasi, K. 1999. Recent enhancements in SSCP. Genet Anim 14: 193-196.

Herdmann A, Martin J, Nuernberg G, Wegner J, Dannenberger D, Nueenberg K. 2010. How do n-3 fatty acid (short-time restricted vs un restricted) and n-6 fatty acidenriched diets affect the fatty acid profile in different tissues of German Simmental bulls. J Meat Sci. [doi: 10.1016/j. meatsci 201006/010]. Herlina. 2006. Tinjauan fisiologis ternak kambing perah Saanen sesudah

pemerahan pagi dan sore di PT Taurus Dairy Farm[Skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor

Hettinga D. 2005. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 6th Ed. New York: John Wiley & Sons.

Hunziker OF. 2008. The Butter Industry. 10th Ed. Illinois: Giniger Press.

Hurley WL. 2007. Lactation Biology. Urbana: Departement of Animal Science University of Illiois.

Innis SM. 2000. Essential fatty acids in infant nutrition: lessons and limitations from animal studies in relation to studies on infant fatty acid requirements. Am J Clin Nutr 238-244

Ge W, Davis ME, Hines HC, Irvin KM. 2003. Association of single nucleotide polymorphisms in the growth hormone and growth hormone receptor genes with blood serum insulin-like growth factor I concentration and growth traits in Angus cattle. J Anim Sci 81: 641-648.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta : UI-Press.

Kioka et al. 1989. Cloning and squencing of goat growth hormone gene. Agric Biol Chem 53: 1583-1592.

Malveiro et al. (2001) Polymorphisms at the five exons of the growth hormone gene in the Algarvia goat: possible association with milk traits. Small Rum Res 41: 163-170.


(3)

Marques PX et al. 2003. Association of milk trait with SSCP polymorphisms at the growth hormone gene in the Serrana goat. Small Rum Res 73: 177-185.

Mateljan G. 2008. Milk goat. USA: The GM Foundation. http://www.dairygoat.com [6 Januari 2011].

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. London:Prentice Hall.

Moeljanto RD, Wirjanta BTW. 2002. Khasiat dan manfaat susu kambing susu terbaik dari hewan ruminansia. Depok: PT. Agro Media Pustaka.

Mousavizadeh et al. 2009. Genetic polymorphism at the growth hormone locus in Iraniantali goats by PCR-SSCP. Iran J Biotech 7:51-53

Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor: Pustaka Wirahusada Muda dan USESE Foundatioan.

Mulyono S. 2008. Penggemukan Kambing Potong. Jakarta: Penebar Swadaya. Nataraj AJ, Olivos-glander I, Kusukawa N, Highsmith WE. 1999

Single-strand conformation polymorphism and heteroduplex analysis for gel-based mutation detection. Electrophoresis 20:1177–1185.

Nei, M. Kumar. 2000. Molecular Evolutionery Genetics and Phylogenetics. New York: Oxford University Press.

Noor RR. 2000. Genetika Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ohlsson C, Bengtsson BA, Isaksson OG, Andreassen TT. 1998. Growth hormone and bone. Endocrinol Rev 19: 55-79.

Park YW. 2007. Rheological characteristics of goat and sheep milk. Small Rum Res 68 : 73-87

Pfaffle RW, Kim C, Blankenstein O, Kentrup H. 1999. GH transcription factors. J Pediatr Endocrinol Metab 12 : 311-317.

Pulina G, Nudda A. 2004. Milk Production. Wallingford: CABI.

Ross CF. 2009. Physiology of Sensory Perception. Di dalam: Clark S, Costello M, Drake MA, Bodyfelt F, editor. The Sensory Evaluation of Dairy Products. 2nd Ed. New York: Springer Science.

Rozali ZF. 2010. Karakteristik nutrisi dan sifat fungsional susu pasteurisasi dari campuran susu kambing Peranakan Etawah dan Saanen serta diversifikasi rasanya dengan ekstrak rempah [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ruhimat A. 2003. Produktivitas kambing persilangan Peranakan Etawah betina dengan kambing Saanen jantan (PESA) di PT Fajar Taurus Dairy Farm [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Rumetor SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan etawah [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.


(4)

Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning. A Laboratory Manual. 2nd ed. USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press.

Scott TW, Ashes JR. 1993. Dietary lipid for ruminant: protection, utilization and effects remodeling of skeletal muscle phospholipids. Aust J Agric Res 44:495-508.

Shaldolm TM, Saarela M. 2003. Functional Dairy Products. England: CRC Press. Shhean JJ, Fahmy GE. 2009. Effect of partial or total substitution of bovine for caprine milk on the compositional, volatile, non volatile and sensory characteristics of semi-hard cheeses. Intl Dairy J 19 :498-509

Sofyan LA, Sigit N. 1993. Evaluasi nutrisi dan efek biologis bungkil biji kapuk (Ceiba petendra) terhadap produksi dan komposisi susu kambing perah. Bogor: Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Sukarini.I. A. M. 2004. Produksi dan komposisi air susu kambing Peranakan Etawah yang diberi tambahan konsentrat pada awal laktasi. Laporan Penelitian. Denpasar: Universitas Udayana.

Sulandari S, Zein MSA. 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA. Jakarta: Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Spreer, E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. A Mixa, penerjemah. New York: Marcel Dekker Inc.

Standard Nasional Indonesia. 1992. Cara uji susu segar. Pusat Standardisasi Industri. Departemen Prindustrian.

Tamime AY. 2009. Milk Processing and Quality Management. New Delhi: India: Blackwell Publishing Ltd.

Tegelastorm, H. 1992. Mitocondrial DNA in natural population: an improved routine for screening of genetic variation based on sensitive silver stainning. Electrophoresis 7:226-229.

Thai Agriculturtural Standard. 2008. Raw Goat Milk. Thailand: National Bureau of Agricultural Comodity and Food Standars. Ministry of Agriculture and Coperatives.

Tomadzewska MW, Mastika IM, Djajanegara A, Gardiner S, Wiradarya TR. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University Press

Vignal A, Milan D, San CM. 2002. A review of SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet Sel Evol 34:275– 305.

Warwick EJ, Astuti M, Hardjosubroto W. 1995. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ . 2006. Dairy Science and Technology Handbook. 2nd Ed. USA: Taylor and Francis Group.


(5)

Walstra P et al. 1999. Dairy Technology. New York: Marcal Dekker Inc.

Weinsten M. 2005. Contribution of Wild and Domestic Large Mammals over Time on the Great Hungarian Plain: ”introduced” sheep and goat, ”local” domesticated cattle and pigs, and large wild animals (aurochs, wild pigs, red deer) by cultural period. Ohio: Ohio State University. [terhubung berkala]. http://www.jyi.org/research [25 April 2010]

Williams JL. 2005. The use of marker-assisted selection in animal breeding and biotechnology. Repro Vet Sci Tech 24:379-391.

Winarno FG, Fernandez IE. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. Jakarta: Mbrio Press.

Yardibi H et al. 2009. Association of growth hormone gene polymorphism with milk production traits in south Anatolian and east Anatolian red cattle. J Anim Vet 8: 1040-1044.

Ye F et al. 2001. Fluorescent microsphere based readout technology for multiplexed human single nucleotide polymorphism analysis and bacterial identification. Human Mutation 17: 305-316.

Zhou G et al. 2005. Association of genetic polymorphism in GH gene with milk production traits in Beijing Holtein cows. J Biosci. 30: 595-598.


(6)

RINGKASAN

DINA TRI MARYA. Keragaan Kualitas Susu Segar dan Mentega Berdasarkan Genotipe Gen GH dari Kambing Saanen dan Peranakan Etawah (PE). Dibimbing oleh RARAH. R. A. MAHESWARI dan CECE SUMANTRI.

Hormon Pertumbuhan (Growth Hormone/GH) merupakan hormon yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis serta memainkan peranan penting dalam laktasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas susu segar (lemak, protein, BJ dan bahan kering), mempelajari karakteristik mentega dari kambing Saanen dan Peranakan Etawah (PE) serta menganalisis pengaruh keragaman gen GH terhadap kualitas susu. Evaluasi DNA dari 89 kambing (Saanen dan PE) menggunakan metoda Single-strand Conformation Polimorphysm (SSCP) untuk mengidentifikasi polimorfisme pada gen hormon pertumbuhan kambing (gGH). Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing perah (Saanen dan PE) menghasilkan ruas DNA sepanjang 200 bp. Berdasarkan hasil SSCP pada gen GH mendapatkan lima pita DNA yang menunjukkan pola migrasi yang berbeda, disebut tipe gen CE, BC, CD, BB dan CC. Gen CD hanya dijumpai pada bangsa kambing Saanen sedangkan tipe gen CC hanya terdapat pada kambing PE. Keragaman genotipe ini tidak berpengaruh terhadap kualitas susu kedua bangsa kambing Saanen dan PE. Keragaman genotipe gen GH juga tidak berpengaruh terhadap karakteristik mentega susu kambing Saanen.

Kata Kunci : Kualitas susu kambing, mentega, gen GH, Saanen, Peranakan Etawah