Model Penduga Biomassa Hutan Alam Lahan Kering Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 M di Areal Kerja PT. Trisetia Intiga

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah meningkatnya gas rumah kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO₂) di atmosfer, dimana penurunan fungsi kawasan hutan (deforestasi) menjadi salah satu penyebab meningkatnya konsentrasi karbon dioksida yang seharusnya tersimpan dalam tumbuhan. Hutan dianggap menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi (mitigasi) karbon jika dilakukan secara lestari karena hutan sebagai sistem yang dinamis sangat besar peranannya terhadap perubahan lingkungan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominansi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Di dalam salah satu fungsinya, hutan berperan sebagai hutan produksi yang merupakan kawasan hutan dengan fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Kementrian Kehutanan 1999).

Pada Bali Road Map:Key Issues Under Negotiation tahun 2007, pengelolaan lestari dari hutan (Sustainable Management of Forest - SFM ) merupakan salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon yang termasuk di dalam upaya Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+). Di negara-negara maju biomassa tegakan antara lain digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi kegiatan pengelolaan hutan lestari, karena jumlah stok biomassa tergantung pada terganggu atau tidaknya hutan, ada atau tidaknya permudaan alam, dan peruntukan hutan (IPCC 1995).

Biomassa merupakan ukuran penting untuk menilai perubahan struktur hutan. Perubahan dalam biomassa hutan bisa disebabkan oleh suksesi alami atau kegiatan manusia seperti silvikultur, pemanenan, dan pendegradasian, serta dampak alami dari kebakaran dan perubahan iklim. Biomassa hutan juga relevan dengan isu perubahan iklim. Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik diatas tanah pada pohon, termasuk daun, ranting, cabang, batang utama, dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997).


(2)

Secara konvensional, informasi biomassa dapat diketahui melalui kegiatan survey lapangan secara langsung atau terestris. Akan tetapi saat ini informasi mengenai komponen hutan serta perubahannya semakin banyak dibutuhkan sehingga pengambilan informasi melalui survey lapangan semakin tidak efisien dan tidak maksimal dalam hal luasan serta jangka waktu yang diperlukan. Pengambilan informasi skala besar dan skala yang luas telah dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh untuk mendukung kebutuhan informasi yang berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini biomassa sebagai parameter yang penting dalam mengukur perubahan struktur hutan dapat diduga dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (Hush et al. 2003). Siregar dan Heriyanto (2010) melakukan penelitian secara terestis dari tahun 2002 sampai tahun 2005 terhadap kandungan biomassa karbon pada skenario hutan sekunder di Maribaya Bogor, studi tersebut menunjukan kandungan karbon rata-rata sebesar 17.25 ton C/ha atau setara dengan kandungan biomassa rata-rata 34.5 ton/ha.

Teknologi penginderaan jarak jauh dapat digunakan melalui teknologi dengan deteksi pasif (optik) dan deteksi aktif (radar). Salah satu satelit yang membawa sensor radar adalah satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) yang merupakan satelit penginderaan jarak jauh milik JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency), diluncurkan pada Januari 2006. Alat yang digunakan dalam penginderaan jarak jauh disebut sebagai alat perekam objek atau sensor. Sensor terdapat pada wahana (platform) dan letaknya jauh dari objek yang dikaji sehingga diperlukan radiasi dan reflektansi tenaga elektromagnetik oleh objek tersebut. Tenaga radiasi objek yang ditangkap oleh sensor baik yang dipancarkan atau dipantulkan dapat menghasilkan citra sesuai dengan wujud aslinya (Purwadhi 2001).

Dahlan (2005) melakukan penelitian model pendugaan kandungan karbon pada tegakan Acacia mangium dengan menggunakan citra optik yaitu Landsat ETM+ dan SPOT-5, hasil studi menunjukan Landsat ETM+ dapat digunakan dalam model pendugaan karbon dengan korelasi sebesar 42,8%. Akan tetapi untuk citra SPOT-5 memiliki nilai model kandungan karbon yang berbeda dengan nilai karbon aktual sehingga tidak dapat digunakan. Citra optik yang tergantung pada tenaga matahari akan membatasi waktu perekaman objek yang direkam, selain itu


(3)

citra optik dipengaruhi kondisi cuaca sehingga adanya awan pada citra hasil perekaman sangat mempengaruhi informasi kualitas data.

Kondisi iklim tropis Indonesia memungkinkan adanya kabut pada musim penghujan dan asap akibat kebakaran pada musim kemarau, sehingga penggunaan citra optik dapat mempengaruhi kualitas data perekaman. Salah satu sensor radar yang terdapat dalam satelit ALOS adalah PALSAR. PALSAR dilengkapi dengan sensor SAR single band dengan polarimetri lengkap yang dapat mengatasi kelemahan citra optik, yaitu dapat menembus awan. Menurut Nurharyati (2008), terdapat hubungan antara NIR (Near Infrared Radiometer) dengan polarisasi HH dan HV ALOS PALSAR sehingga perlu kajian lanjut tentang ALOS dalam mendeteksi kelas biomassa. Awaya (2009) melakukan studi di daerah Palangkaraya mengenai analisis regresi hubungan antara biomassa dan koefisien backscatter dari data PALSAR. Hasil studi tersebut menunjukan bahwa polarisasi HV memiliki hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan polarisasi HH. Divayana (2011) melakukan penelitian terhadap kandungan biomassa pada tegakan karet dan tegakan sawit di Sumatera Utara dengan menggunakan citra Landsat (sensor optik) dan citra ALOS PALSAR (sensor radar). Hasil kajian tersebut menyebutkan bahwa citra ALOS PALSAR menghasilkan model penduga biomassa lebih baik dibandingkan citra Landsat. Rauste et al (2007) melakukan penelitian mengenai pemrosesan dan analisis data citra ALOS PALSAR di daerah Heinavesi, Finlandia. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa polarisasi silang (HV) dari L-band SAR memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan dengan polarisasi searah (HH) dengan nilai saturasi sekitar 150 m3/ha. Pendugaan biomassa dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh merupakan ilmu baru dan memerlukan dukungan simpanan biomassa di lapangan, untuk memperoleh tingkat ketelitian yang tinggi diperlukan pembangunan persamaan alometrik spesifik site (Maulana dan Pandu). Atas ketidakefisienan metode terestris, kelemahan citra optik dalam perekaman wilayah berawan, serta perlunya pendugaan biomassa yang spesifik site maka studi menekankan pada estimasi kandungan biomassa menggunakan citra radar ALOS PALSAR di areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga.


(4)

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk membangun model penduga biomassa pada IUPHHK-HA di PT. Trisetia Intiga Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter.

1.3Ruang Lingkup

Areal kajian meliputi seluruh areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga yang merupakan jenis hutan lahan kering bekas tebangan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh dugaan biomassa hutan alam lahan kering dan menjadi salah satu solusi dalam mitigasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Keluaran dari penelitian ini adalah model penduga biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter dan peta sebaran biomassa di areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga.


(5)

BAB II

METODOLOGI

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di areal kerja PT. Trsisetia Intiga, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah yang terletak antara 01º33‟ dan 02 º00‟ LS, serta antara 111 º28‟21” dan 111 º48‟12” BT (Gambar 2.1). Kegiatan pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Maret-April 2012. Kegiatan pengolahan data dilakukan di Laboratorium SIG dan Remote Sensing Fakultas Kehutanan IPB pada bulan Mei-Oktober 2012.

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian 2.2 Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang diambil langsung di lapangan pada saat penelitian, sedangkan data sekunder merupakan berbagai kumpulan data yang telah tersedia atau telah dikaji sebelumnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini ditabulasikan pada Tabel 2.1.


(6)

Tabel 2.1 Data penelitian

No. Data primer Data sekunder

1 Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter Data berat jenis 2 Data berat basah (BB) tumbuhan bawah dan

serasah

Data Administrasi PT. Trisetia Intiga

3 Data berat kering (BK) tumbuhan bawah dan serasah

Tabel Volume PT. Trisetia Intiga

4 Data dbh pada kelas pancang, tiang, nekromassa, dan pohon

5 Data nama jenis tumbuhan teridentifikasi

6 Koordinat plot di lapangan

2.2.1 Citra ALOS PALSAR

ALOS (Advanced land Observing Sattelite) merupakan satelit yang diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang pada bulan Januari 2006 dari stasiun peluncuran Taneghasima Space Center dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor yaitu PALSAR (Phased Array L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif yang bekerja pada frekuensi band L. Sensor PALSAR mempunyai kemampuan untuk menembus awan, sehingga informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam ataupun siang hari. Data PALSAR ini dapat digunakan untuk pembuatan DEM, inter ferometri untuk mendapatkan pergeseran tanah, maupun kandungan biomassa, monitoring kehutanan, pertanian, tumpahan minyak (oil spill), soil moisture, mineral, dan lain-lain (Rosenqvist et al. 2004). Karakteristik satelit ALOS secara umum di jelaskan pada Tabel 2.2.

Menurut JAXA (2010), terdapat lima misi dari peluncuran satelit ALOS yang terdiri dari:

1. Kartografi: Untuk menyediakan peta wilayah Jepang dan wilayah Asia Pasifik 2. Pemantauan Regional: Melakukan pemantauan regional untuk pengembangan

pembangunan yang berkelanjutan dan harmonisasi antara kesediaan sumberdaya alam pengembangan pembangunan

3. Monitoring Bencana: Melakukan monitoring bencana alam 4. Survei Sumberdaya: Untuk survei sumber daya alam


(7)

5. Pengembangan Teknologi: Mengembangkan teknologi penginderaan jauh yang tepat untuk masa sekarang dan akan datang.

Tabel 2.2 Karakteristik ALOS

Jenis Karakteristik Keterangan

Perekaman Januari 2010

Alat peluncuran Roket H-IIA

Tempat peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima

Berat satelit 4000 Kg

Power 7000 W

Waktu operasional 3-5 Tahun

Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit

Periode perekaman 46 Hari Sub Cycle 2 hari Tinggi lintasan 692 Km di atas Ekuator

Inklinasi 98,2°

Sumber: Jaxa 2010

Gambar 2.2 menggambarkan data citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter pada lokasi penelitian dengan kombinasi polarisasi HH, HV, dan HH/HV.


(8)

Lillesand dan Kiefer (1990) menuliskan bahwa sebagian besar radar penginderaan jarak jauh berwahana udara dilakukan dengan sistem yang menggunakan antena yang dipasang pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping. Sistem semacam ini dinamakan Side Looking Radar (SLR) atau Side Looking Aperture Radar (SLAR). Sistem SLAR menghasilkan jalur citra yang berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. Kenampakan unsur medan pada citra dipengaruhi oleh faktor sifat khas sinyal yang ditransmisikan dan sifat permukaan yang memantulkannya di medan.

Sifat khas sinyal yang ditransmisikan dipengaruhi oleh (a) panjang gelombang dan kemampuan daya tembusnya terhadap atmosfer dan permukaan tanah, (b) sudut depresi antena yang merupakan salah satu aspek geometrik pada citra radar dan penyebab terjadinya efek pantulan balik pulsa radar, efek bayangan pada objek yang tinggi, efek relief (topografi) seperti efek rebah ke dalam, efek pemendekan lereng, (c) polarisasi atau pengarahan vektor elektrik pada gelombang elektromagnetik pulsa radar menurut suatu bidang datar, (d) arah pengamatan antena, erat hubungannya dengan arah objek, yang mempengaruhi pantulan balik pulsa radar (Purwadhi 2001).

2.2.2 Data Lapangan


(9)

Data survey biomassa di lapangan terdiri dari data plot pengamatan, jenis tegakan, dan biomassa. Data plot pengamatan berupa 30 koordinat plot di lapangan. Lokasi ke-30 plot pengamatan tergambarkan dalam Gambar 2.3.

Tabel 2.3 Koordinat plot pengamatan

No ID Plot X Y No ID Plot X Y

1 1012039 562320 9813692 16 1021044 571423 9818254 2 1027039 577373 9813635 17 1025043 575311 9817176 3 1010038 560329 9812790 18 1013041 563327 9815501 4 1020042 570332 9816414 19 1014040 564354 9814605 5 1009036 559404 9811806 20 1026043 576357 9817207 6 1011041 561320 9815490 21 1021043 571331 9817327 7 1013040 563345 9814598 22 1026040 576372 9814745 8 1018043 568320 9817288 23 1017042 567330 9816402 9 1013039 563327 9813710 24 1025040 575335 9814590 10 1027043 577218 9817390 25 1019041 569336 9815506 11 1012041 562320 9815490 26 1022052 572426 9825505 12 1019044 569337 9818188 27 1018040 568319 9814608 13 1011040 561320 9814591 28 1028037 578342 9811803 14 1026042 576398 9816431 29 1012045 562320 9819086 15 1023047 573282 9820714 30 1022046 576140 9818061 Keterangan: ID : identitas, X: koordinat X, Y: koordinat Y

Tabel 2.3 menjelaskan tentang koordinat ke-30 plot pengamatan. Data jenis tegakan merupakan nama-nama jenis tegakan yang masuk ke dalam plot pengamatan. Mengenai data biomassa terbagi menjadi empat kelas besar yaitu data biomassa tegakan, data biomassa tumbuhan bawah (undergrowth), data biomassa serasah (litter), dan data biomassa nekromassa. Data biomassa tegakan berupa data diameter setinggi dada atau diameter at breast height (dbh) pada tingkat pancang, tiang, dan pohon. Data biomassa tumbuhan bawah dan serasah terdiri dari data berat basah dan berat kering tumbuhan bawah dan serasah, sedangkan data biomassa nekromassa merupakan data diameter dan panjang nekromassa ( d ≥ 10 cm). Hairiah dan Subekti (2007) melakukan penelitian pengukuran karbon tersimpan di berbagai penggunaan lahan. Dalam penelitian tersebut dinyatakan terdapat tiga komponen utama karbon tersimpan yang terdiri dari biomassa, nekromassa, dan bahan organik tanah. Berdasarkan keadaannya di alam, karbon tersimpan terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu karbon di atas


(10)

permukaan tanah dan karbon di dalam tanah. Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah, nekromasa, dan serasah. Nekromasa di atas permukaan tanah merupakan masa bagian pohon yang telah mati, yang tegak berupa batang atau tunggul pohon dan yang tumbang/tergeletak di atas permukaan tanah.

2.2.3 Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa data plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010 (Gambar 2.4) sebagai plot validasi, table volume, dan keterangan setiap berat jenis (gr/cm3).

Gambar 2. 4 Peta validasi model

Tabel volume tegakan berdiri (Noor 2009) di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga dibagi menjadi dua jenis kelompok besar yaitu:

- Pengukuran volume kelompok jenis Meranti dapat diukur dengan persamaan: � �= 0.0000562 x dbh 2.87x 10−0.0041 D

- Pengukuran volume kelompok jenis Non Meranti diukur dengan persamaan: � �= 0.0000724 x dbh 2.69 x 10−0.00175 D


(11)

Catatan : Jenis Meranti meliputi Keruing, Mersawa, Bengkirai, Meranti putih, Meranti Kuning, Meranti Merah, Meranti Batu.

Berat jenis setiap jenis tumbuhan yang ditemukan diketahui dengan studi pustaka pada penelitian-penelitian sebelumnya.

2.3 Alat, Software, Hardware

Alat yang digunakan dalam pengambilan data di lapangan berupa phi-band, meteran 20 meter, Geographic Positioning System (GPS), label/pita penanda, kamera digital, timbangan digital, oven dan tallysheet. Penelitian ini didukung beberapa software (perangkat lunak) yang digunakan selama pengolahan data, baik data citra maupun data biomassa berupa software MS Office 2007, Erdas Imagine Version 9.1, ArcView GIS Version 3.2, ArcGIS Version 9.2. Perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat Personal Computer (PC) yang dilengkapi software pemetaan.

2.4 Tahap Pelaksanaan

Tahap penelitian ini meliputi tahap pengambilan data lapangan, pengolahan data lapangan, pengolahan citra, dan tahap yang terakhir merupakan tahap pendugaan model biomassa yang disajikan dalam Gambar 2.5.


(12)

2.4.1 Perencanaan

2.4.1.1Prencanaan Data Lapangan

Pengambilan data lapangan direncanakan pada peta plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga terbitan tahun 2010. Penentuan ke-30 titik plot pengamatan yang diperoleh secara acak (sampling) dan pertimbangan aksesibilitas dari 665 titik plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga yang telah diukur pada tahun 2010. Pemilihan titik plot menyebar di seluruh lokasi penelitian yang didasarkan pada kelas aksesibilitas dan perbedaan kelas tutupan yang ada di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga, Lamandau Kalimantan Tengah.

2.4.1.2Bentuk dan Ukuran Plot Contoh

Plot contoh yang digunakan berbentuk bujur sangkar yang di dalamnya terdiri dari 4 sub - plot pengamatan yaitu plot 20 meter x 20 meter untuk pengukuran tingkat pohon dan pohon mati (nekromass), plot 10 meter x 10 meter untuk pengukuran tingkat tiang, plot = 2,82 � � untuk pengukuran tingkat pancang, dan plot 1 meter x 1 meter untuk pengukuran tumbuhan bawah (undergrowth) dan serasah (litter). Sketsa plot pengamatan disajikan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Sketsa plot pengukuran; (A) Plot 1 m x 1 m; (B) Plot r = 2.82 m; (C) Plot 10 m x 10m; (D) Plot 20 m x 20 m

2.4.2 Pengambilan Data Lapangan

2.4.2.1Pemilihan Titik Pengukuran Lapangan

Perekaman koordinat titik pengamatan diukur dengan GPS (Geographic Positioning System) atau menggunakan koordinat yang ada di peta. Kemudian, dilakukan perekaman posisi titik pengamatan dengan menggunakan GPS sebagai


(13)

titik pengamatan plot biomassa. Plot pengamatan biomassa ditampilkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Plot pengamatan dan plot validasi 2.4.2.2 Identifikasi Jenis

Setiap jenis tumbuhan untuk setiap tingkat pertumbuhan dalam plot pengamatan diidentifikasi nama spesiesnya untuk selanjutnya melakukan penelitian terhadap berat jenis (ρ) yang akan digunakan sebagai dasar pengukuran biomassa di atas permukaan (above ground biomass). Berdasarkan fungsinya, areal penelitian merupakan kawasan hutan produksi tetap yang diusahakan sejak tahun 2006, melalui plot-plot penelitian teridentifikasi sebanyak 59 jenis pohon sedangkan berdasarkan hasil Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB) PT. Trisetia Intiga pada tahun 2010 diketahui terdapat 475 jenis teridentifikasi. Perbedaan jumlah jenis teridentifikasi disebabkan karena perbedaan luasan lokasi kajian dengan 30 plot pada penelitian dan 665 plot pada kegiata IHMB, sehingga variasi jenis yang teridentikfikasi pada lokasi penelitian relative lebih rendah.


(14)

2.4.2.3 Pengukuran Biomassa Lapangan

Pengukuran biomassa atas permukaan tanah meliputi biomassa tegakan (pohon hidup), biomassa nekromassa (pohon kayu mati), biomassa serasah (litter) dan tumbuhan bawah (undergrowth). Parameter tegakan yang diukur adalah diameter setinggi dada/dimeter at breast height (D) pada tingkat pancang, tiang, dan pohon. Parameter biomassa nekromassa yang diukur adalah panjang/tinggi nekromassa, diameter pangkal dan diameter ujung nekromassa pada d > 10 cm. Sedangkan pada pengukuran biomassa serasah (litter), dan tumbuhan bawah (undergrowth) berupa pengukuran total berat basah (BB) sub-plot 1 m x 1 m, dan berat basah (BB) sub-contoh (100 gram). Kemudian dilakukan pengukuran berat kering (BK) contoh setelah dilakukan pengovenan berat basah (BB) sub-contoh pada suhu 105° selama 24 jam. Kegiatan pengukuran biomassa di lapangan dijelaskan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Pengukuran biomassa lapangan; (a) Perekaman koordinat plot, (b) Pengukuran panjang nekromassa, (c) Penimbangan berat basah tumbuhan bawah, (d) Pengambilan sampel plot 1x1

a

c d


(15)

2.4.3 Pengolahan Data Lapangan 2.4.3.1Pendugaan Biomassa Lapangan

Tampungan biomassa (biomass pool) lapangan dibagi ke dalam empat kelas besar yaitu biomassa tegakan, biomassa nekromassa, biomassa tumbuhan bawah (undergrowth), dan biomassa serasah (litter).

a. Pendugaan Biomassa Tegakan

Biomassa tegakan diduga dengan menggunakan persamaan alometrik pendugaan biomassa yang didasarkan pada perbedaan berat jenis (ρ) setiap jenis tegakan yang diukur. Pada penelitian ini digunakan persamaan Ketterings et al. (2001) dengan rumus:

= 0.11� 2.62

dimana: Y : Biomassa di atas permukaan (Above Ground Biomass) ρ : Berat jenis

D : diameter setinggi dada (cm)

b. Pendugaan Biomassa Serasah dan Tumbuhan Bawah

Biomassa serasah (litter) dan tumbuhan bawah (undergrowth) diketahui menggunakan estimasi berat kering dengan rumus:

�= � − ℎ

− ℎ �

Keterangan: BK : Berat Kering (gram) BB : Berat Basah (gram) 2.4.4 Pengolahan Citra

2.4.4.1Pra Pengolahan Citra

Citra yang digunakan pada penelitian ini merupakan citra terkoreksi yang dapat digunakan untuk proses pengolahan selanjutnya. Namun, pada penelitian ini dilakukan pra-pengolahan citra tambahan dengan filering image menggunakan bantuan software ERDAS IMAGINE 9.1 pada menu Radar (Radar Interpreter– Speckle Supression) dengan penggunaan filter Lee. Menurut Purwadhi (2001) filtering image ini dilakukan untuk mengurangi gangguan atau noise yang disebabkan oleh frekuensi saat perekaman. Pada penelitian ini filtering dilakukan dalam rangka mengurangi “speckle” yang disebabkan oleh backscatter radar. Setiap citra model dilakukan filtering dengan kernel 3x3, 5x5, dan 7x7.


(16)

2.4.4.2Pendugaan Biomassa Citra

Hamburan balik (backscatter) pada radar merupakan ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang kembali ke antena. Nilai hamburan balik yang dihasilkan pada sebuah sensor radar dipengaruhi beberapa faktor antara lain kedalaman penetrasi dari gelombang radar, kekasaran permukaan objek dan sifat-sifat dielektrik volume objek (Purwadhi 2001). Michigan Microwave Canopy Scattering Model (MIMICS) telah dikembangkan untuk memberikan pemahaman terhadap hamburan balik (backscatter) radar pada vegetasi. Beberapa bentuk hamburan yang dapat dikalkulasi adalah hamburan pada permukaan dan volume tajuk, hamburan langsung pada permukaan tanah, hamburan langsung pada batang, hamburan dari permukaan tanah ke batang, dan hamburan dari permukaan tanah ke tajuk (Dobson et al. 1992). Beberapa penelitian melakukan pendugaan biomassa dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jarak jauh, Awaya (2009), Riska (2011), dan Syarif (2011) melakukan pendugaan biomassa menggunakan data biomassa yang diukur di lapangan dan kemudian menghubungkan data tersebut dengan data nilai hamburan balik citra. Analisis hubungan tersebut menghasilkan persamaan untuk menduga biomassa citra. Metode ini memiliki akurasi data yang cukup baik, dengan efisiensi waktu dan biaya yang dikeluarkan tidak mahal (Bergen dan Doubson 1999; Lu 2005).

Pendugaan biomassa citra menggunakan nilai hamburan balik yang ditransformasi dari nilai digital number (DN). Nilai hamburan balik diturunkan menggunakan persamaan normalisasi:

NRSC = 10 x log10(DN2) + CF (Shimada et al. 2009)

Keterangan: NRCS: Normalized Radar Cross Section; DN: Digital Number; CF: Calibration Factor, yaitu -83 untuk HH dan HV.

Pada penelitian ini dilakukan analisis pada nilai hamburan balik HH, HV, dan HH/HV (Tabel 2.4). Sinyal radar dapat ditransmisikan dan atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Maksudnya, sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang horizontal (H) ataupun vertikal (V), demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak sehingga ada empat


(17)

kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan.

Tabel 2.4 Nilai hamburan balik setiap polarisasi

No ID Nilai dijital Nilai backscatter

HH HV HH/HV HH HV HH/HV

1 1012039 5387,00 3217,25 1,67441 -7,25 -13,55 0,53 2 1027039 6529,00 3479,00 1,87669 -10,38 -14,53 0,71 3 1010038 6615,00 3648,25 1,81320 -6,70 -12,17 0,55 4 1020042 6253,00 3516,75 1,77806 -9,28 -13,39 0,69 5 1009036 6154,25 2983,25 2,06293 -8,46 -12,92 0,65 6 1011041 5553,75 3169,50 1,75225 -7,15 -12,17 0,58 7 1013040 8079,00 4698,50 1,71948 -7,82 -12,83 0,61 8 1018043 7528,00 4155,00 1,81179 -8,73 -13,79 0,63 9 1013039 5745,00 3224,75 1,78153 -5,48 -10,64 0,51 10 1027043 6631,00 3813,50 1,73882 -6,75 -11,93 0,57 11 1012041 7101,25 3973,25 1,78726 -8,12 -12,99 0,62 12 1019044 7396,00 4612,75 1,60338 -5,23 -10,06 0,52 13 1011040 9973,50 5842,50 1,70706 -6,59 -11,76 0,56 14 1026042 5175,25 2894,50 1,78796 -5,64 -10,36 0,54 15 1023047 9823,00 5500,75 1,78576 -5,11 -10,35 0,49 16 1021044 7741,00 4437,00 1,74465 -6,71 -11,98 0,56 17 1025043 4856,00 3027,25 1,60410 -6,80 -12,63 0,54 18 1013041 8581,75 4422,25 1,94058 -6,60 -11,38 0,58 19 1014040 6581,25 3586,75 1,83488 -6,00 -11,03 0,54 20 1026043 9681,75 5267,25 1,83810 -6,88 -12,19 0,56 21 1021043 7615,50 4148,25 1,83583 -4,37 -10,14 0,43 22 1026040 7851,00 4292,75 1,82890 -6,32 -11,49 0,54 23 1017042 8721,50 4494,50 1,94048 -5,62 -9,72 0,58 24 1025040 6465,50 3299,75 1,95939 -4,20 -9,96 0,42 25 1019041 6952,75 3812,75 1,82355 -3,19 -8,23 0,38 26 1022052 7381,25 4288,50 1,72117 -5,40 -10,67 0,50 27 1018040 6404,75 3474,50 1,84336 -3,05 -7,67 0,39 28 1028037 4280,25 2656,75 1,61108 -4,53 -10,50 0,43 29 1012045 6498,25 3577,50 1,81642 -4,86 -9,58 0,51 30 1022046 8420,50 4231,75 1,98984 -3,31 -8,57 0,39 Keterangan: ID = identitas


(18)

Sifat khas medan atau objek bekerja bersama panjang gelombang dan polarisasi sinyal radar untuk menentukan intensitas hamburan balik (backscatter) radar dari objek. Akan tetapi, faktor utama yang mempengaruhi intensitas hamburan balik dari objek adalah ukuran (geometris) dan sifat khas elektrik objek. Efek geometri sensor/objek dari intensitas hamburan balik radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah dan hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah. Meskipun demikian orientasi objek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat (Lillesand dan Kiefer 1990).

Gambar 2.9 Perbedaan pantulan sinyal radar pada tiga jenis permukaan objek (Purwadhi 2001)

Kekasaran permukaan objek mempengaruhi sinyal balik radar yang terbagi menjadi tiga jenis yaitu pantulan baur, pantulan cermin, dan pantulan sudut. Pantulan baur (diffuse reflection) terjadi pada permukaan objek yang kasar dan menyebabkan rona cerah, seperti daerah berbatuan, vegetasi heterogen, dan air berombak besar. Pantulan cermin (specular reflection) merupakan arah pantulan berlawanan dengan arah datang sensornya yang menyebabkan rona gelap, terdapat pada lokasi permukaan objek yang halus seperti permukaan air tenang, dan permukaan tanah yang diratakan atau diperkeras. Pantulan sudut (corner reflection) merupakan pantulan yang kembali ke arah sensor sehingga menyebabkan rona sangat cerah dan melebar, pantulan sudut terdapat pada objek


(19)

yang bersudut siku-siku seperti gedung bertingkat dan lereng yang terjal. Bentuk pantulan sinyal radar pada setiap permukaan objek dijelaskan dalam Gambar 2.9. 2.4.5 Analisis Data

2.4.5.1Analisis Korelasi

Analisis hubungan antara biomassa lapangan dengan nilai hamburan balik (backscatter) dilakukan dengan menyusun model hubungan antara biomassa atas permukaan dengan nilai backscatter pada citra. Model yang diuji terdiri dari model linear, model logaritmik, ekxponensial, dan model regresi linear berganda. Model tersebut dipilih karena dapat menggambarkan hubungan pertumbuhan antara nilai backscatter terhadap nilai biomassa. Bentuk model persamaan yang digunakan dijelaskan pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Model yang diujicobakan dalam estimasi biomassa

Model Bentuk persamaan

Linear AGB = a + b*HH

AGB = a + b*HV AGB = a + b*HH/HV

Logaritmik AGB = a*ln(HH) + b

AGB = a*ln(HV) + b AGB = a*ln(HH/HV) + b

Eksponensial AGB = a exp b*HH

AGB = a exp b*HV AGB = a exp b*HH/HV Linear Berganda AGB = a + b*HH + c*HV

AGB = a + b*HH + c*HH/HV

AGB = a + b*HV + c*HH/HV

Keterangan: AGB: above ground biomass, HH: polarisasi HH, HV: polarisasi HV

Kemudian akan dilakukan pemilihan model terbaik dengan melihat parameter koefisien determinasi (R2) yang paling tinggi. Koefisien determinasi menunjukan proporsi keragaman total nilai rata-rata peubah Y yang dapat diterangkan oleh model yang digunakan (Walpole 1993). Nilai koefisien determinasi dapat diketahui dengan persamaan:

R² = xᵢyᵢ

n

i=1 − ni=1xᵢ ni=1yᵢ ( n xᵢ²


(20)

Keterangan:

n : Jumlah pengamatan yᵢ : Pengamatan Y xᵢ : Pengamatan X 2.4.5.2Uji Koefisien

Koefisien regresi diuji dengan menggunakan nilai P-value. Nilai P-value menunjukan pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat yang diharapkan, hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : Peubah bebas berpengaruh signifikan terhadap peubah terikat

H1 : Peubah bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap peubah terikat

Kaidah keputusan pada taraf nyata 95% adalah sebagai berikut: Apabila P-value < 0.05 maka Ho diterima.

Apabila P-value > 0.05 maka Ho ditolak 2.4.5.3Uji Verifikasi

Setelah model terbangun dan secara statistik dapat diterima, maka dilakukan verifikasi terhadap hasil dari model tersebut. Pada penelitian ini verifikasi dilakukan menggunakan Root Mean Square Error (RMSE), bias (℮), Simpangan Rata-rata (Mean deviation/SR), Simpangan Agregat (Agregative Deviation/SA), dan Uji-χ². Uji verifikasi dilakukan pada 30 plot IHMB yang di ambil secara acak (sampling) untuk mengetahui pengaruh model yang diberikan. Hubungan antara plot penelitian dan plot validasi (plot IHMB) diketahui dengan mengkorelasikan hasil biomassa pada plot peneltian (dbh > 10up) dan hasil biomassa pada plot IHMB dengan rumus biomassa dan ID plot yang sama. Persamaan korelasi tersebut digunakan untuk mengetahui jumlah di atas permukaan pada plot validasi (plot IHMB). Bentuk persamaan yang digunakan adalah:

= 1,003 + 7,355

Keterangan:

Y : Biomassa di atas permukaan plot IHMB X : Biomassa dbh ≥ 10 cm plot IHMB

Catatan : Persamaan ini diturunkan dari analisis regresi antara volume biomassa dari plot IHMB dan biomassa dari hasil pengamatan plot penelitian.


(21)

Nilai RMSE merupakan akar dari rata-rata jumlah kuadrat sisa antara selisih nilai dugaan dengan nilai aktual. RMSE digunakan untuk mengetahui seberapa besar error yang terjadi pada hasil perhitungan model jika dibandingkan dengan nilai aktual. Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin kecil pula kesalahan yang terjadi pada penggunaan model.

Perhitungan RMSE dilakukan sesuai dengan rumus :

� =

[ ᵢ− ᵢ ᵢ

�=1 ]²

� 100% Keterangan :

RMSE : Root Mean Square Error

: Nilai dugaan

: Nilai aktual

n : Jumlah pengamatan verifikasi.

Bias (℮) merupakan kesalahan sistem yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, kesalahan teknis pengukuran maupun kesalahan karena alat ukur. Bias (℮)dapat bernilai positif dan negatif, nilai bias dikatakan baik apabila mendekati nilai 0. Bias dapat dihitung dengan persamaan:

�=

� − �

100% �=1

Simpangan rata-rata adalah jumlah dari nilai mutlak selisih antara jumlah nilai dugaan (Ht) dan nilai aktual (Ha), proporsional terhadap jumlah nilai dugaan (Ht). Nilai simpangan rata-rata yang baik adalah tidak lebih dari 10% (Spurr 1952). Simpangan rata-rata dapat dihitung dengan persamaan:

=

ᵢ− ᵢ ᵢ �=1

�100%

Simpangan agregat adalah selisih antara jumlah nilai aktual (Ha) dan nilai dugaan (Ht) sebagai presentase terhadap nilai dugaan (Ht). Persamaan yang baik memiliki simpangan agregat (SA) antara -1 sampai +1 (Spurr 1952). Nilai SA dapat diketahui dengan persamaan:

= �=1 �− �=1 � �=1


(22)

Pada penelitian ini, perhitungan Uji-χ² menunjukkan besarnya kecocokan antara hasil perhitungan menggunakan model (nilai harapan) dengan perhitungan data lapangan (nilai observasi/nilai aktual). Jika nilai χ²-hitung lebih kecil dari nilai χ²-tabel pada taraf nyata 95%, maka dapat dinyatakan bahwa hasil dugaan menggunakan model terbangun tidak berbeda dengan perhitungan data lapangan (nilai aktual).

Perhitungan χ² (Walpole 1993) dapat dirumuskan sebagai berikut :

X2 = Oᵢ −Eᵢ 2

Eᵢ �=0

Keterangan :

X2 : Nilai Chi-square

Eᵢ : Nilai ekspetasi/dugaan Oᵢ : Nilai observasi/aktual.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Biomassa Atas Permukaan (BAP) model sama dengan BAP lapangan

H1 : Biomassa Atas Permukaan (BAP) model tidak sama dengan BAP lapangan

2.4.6 Peta Sebaran Biomassa

Setelah diketahui model penduga biomassa, dilakukan pembuatan peta sebaran biomassa di areal kerja PT. Trisetia Intiga dengan menggunakan analisis Modeler pada software Erdas Imagine. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebaran potensi biomassa lapang di seluruh areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga yang dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan hutan selanjutnya.


(23)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Letak Geografis dan Luas

IUPHHK PT. Trisetia Intiga terletak dalam kelompok hutan sungai Mentobi dan sungai Bulik, wilayah pengelolaannya berada di kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Kawasan IUPHHK PT. Trisetia Intiga masuk ke dalam daerah aliran sungai (DAS) Lamandau dan sub DAS Mentobi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.113/Menhut-II/2006 tanggal 19 April 2006 tentang pemberian izin IUPHHK PT. Trisetia Intiga luas areal kerja ± 69.070 ha. Wilayah pengelolaan PT. Trisetia Intiga berada dalam dinas Kabupaten Lamandau dan dinas Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan untuk wilayah administrasinya berada di Kecamatan Bulik, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Sebaran kelas lereng IUPHHK PT. Trisetia Intiga di jelaskan dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Sebaran kelas lereng di areal IUPHHK-HA PT.Trisetia Intiga

No Kondisi Fisiografi Kelas Lereng Luas

Ha %

1 Datar A (0-8%) 54.056 78,3

2 Landai B (9-15%) 10.010 14,5

3 Agak Curam C (15-25%) 3.503 5,1

4 Curam D (25-40%) 1.501 2,2

5 Sangat Curam E (>40%) 0 0,0

Jumlah 69.070 100

Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Menurut Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Provinsi Kalimantan Tengah, kawasan IUPHHK PT. Trisetia Intiga terdiri dari tiga fungsi hutan meliputi Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 24.229 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 10.818 ha, dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 29.540 ha. Kondisi fisiograsi areal kerja PT. Trisetia Intiga bervariasi, mulai dari datar sampai curam. Daerah datar dan landai terdapat dibagian Barat dan Timur Laut, daerah agak curam dan curam terdapat hampir merata di seluruh areal IUPHHK


(24)

PT. Trisetia Intiga. Areal kerja PT. Trisetia Intiga berada di ketinggian 50 – 1.020 mdpl.

3.2 Geologi dan Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Kalimantan Tengah Lembat Tumbang Manjul Skala 1:250.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung Tahun 1978, formasi geologi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga, berada pada kompleks batuan Oligosen dan Eosen Bawah. Tabel 3.2 menjelaskan bahwa formasi geologi terbesar adalah Lava Andesit, Riolit, dan Desit sebesar 56,62%, sedangkan formasi geologi paling kecil sebesar 6,57% yaitu Andesit.

Tabel 3.2 Formasi geologi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga

Kode Formasi geologi Luas (Ha) (%)

Kgm Granit, Granadiorit, Monzonit 26.116 37,81

Rvk Lava Andesit, Riolit, dan Desit 39.11 56,62

Tma Andesit 4.884 6,57

Jumlah 69.07 100,00

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020 Tabel 3.3 Jenis tanah yang terdapat di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga

Kode Formasi tanah Luas(Ha) (%)

HJA Tropodults 29.237 42.33

PLN Tropodults 9.419 13.64

BPD Distropepts 24.92 36.08

JLH Distropepts 5.49 7.95

Jumlah 69.07 100

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Berdasarkan Peta Land System and Suitability lembar Ambalu (1615) Kalimantan Tengah Skala 1: 250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, jenis tanah yang terdapat areal PT. Trisetia Intiga adalah Tropodults dan Distropepts. Jenis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 3.3.

3.3 Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson (1951) iklim di areal IUPHHK Trisetia Intiga termasuk dalam tipe A yang memiliki nilai Q = 0 -14,3%. Berdasarkan hasil pengukuran curah hujan di stasiun meteorologi dan


(25)

Geofisika Pangkalan Bun, curah hujan tahunan rata-rata yang tercatat pada penakar hujan adalah sebesar 2.296 mm/tahun dengan hari hujan sebanyak 193 hari/tahun. Curah hujan bulanan yang tertinggi sebesar 414,3 mm terjadi pada bulan Januari dengan jumlah hari 27 hari. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni yakni sebesar 123,9 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 10 hari.

Kelembaban udara berkisar 77 – 88%, dengan suhu udara maksimum berkisar antara 26o – 29o C dan suhu udara minimum berkisar 21o- 23o C. Data iklim di sekitar areal IUPHHK PT Trisetia Intiga dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Jumlah dan distribusi curah hujan di sekitar areal IUPHHK PT Trisetia Intiga

No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

1 Januari 414,3 27

2 Februari 138,9 16

3 Maret 247,7 25

4 April 275,6 21

5 Mei 200,6 12

6 Juni 123,9 10

7 Juli 193,6 20

8 Agustus - -

9 September 124,8 10

10 Oktober 129,9 12

11 Nopember 147,5 18

12 Desember 289,5 23

Jumlah 2.286,3 193

Sumber : Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020 3.4 Kondisi Sumberdaya Hutan

Kondisi umum areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga sangat beragam, di Sebelah Utara merupakan kawasan yang masih berhutan, potensi kayu yang cukup tinggi, namun topografinya bergelombang hingga curam. Di Sebelah Barat Daya merupakan kawasan yang relatif landai, namun rendah potensi kayunya dan tinggi tingkat penyerobotan lahan. Di Sebelah Tenggara topografi relatif landai, namun banyak areal terbuka dan perkebunan sawit masuk ke dalam kawasan hutan. Berdasarkan kajian spasial pemanfaatan kawasan hutan di dalam areal kerja PT Trisetia Intiga diperoleh gambaran bahwa sekitar 25,3% dari luas wilayah


(26)

kerjanya atau sekitar 17.453 Ha bertampalan (overlap) dengan ijin lokasi perkebunan.

Tabel 3.5 Wilayah IUPHHK yang overlap dengan perkebunan

Perusahaan HP HPT HPK Jumlah Present

ase (%)

PT.Sawit Multi Abadi 168 517 2.809 3.494 5,1

PT.Tanjung Sawit Abadi 4.647 - 31 4.677 6,8

PT.Mentobi Mitra Lestari 5.743 - 314 6.057 8,8

PT.First Lamandau Timber Internasional

- - 247 247 0,4

PT.Kalimantan Sawit Abadi - - 2.978 2.978 4,3

Jumlah Overlap 10.558 517 6.379 17.453 25,3

Tidak Overlap 3.153 23.750 24.714 51.617 74,7

Jumlah 13.711 24.267 31.092 69.070 100

Presentase (%) 19,8 35,1 45 100

Sumber: Rencana Kerja Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga terdapat areal yang overlap dengan hak penggunaan kawasan perkebunan, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit. Areal atau wilayah yang overlap dengan kawasan perkebunan dijelaskan pada Tabel 3.5. Berdasarkan data diketahui perusahaan perkebunan yang memiliki luas overlap terluas adalah PT. Mentobi Mitra Lestari dengan luas 6.057 Ha atau 8,8% dari seluruh kawasan PT. Trisetia Intiga.

Tabel 3.6 Keadaan penutupan vegetasi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga Penutupan Lahan

Fungsi Hutan (ha) Daerah Penyangga (Ha) Jumlah (Ha) Persen (%)

HPT HP HPK

Hutan Primer 1995 0 0 0 1.995 2,9

Hutan Bekas Tebangan

17.271 3.750 19.289 2.731 43.041 62

Non Hutan 3.913 6.770 7.976 1.681 20.34 30

Tertutup Awan 1.050 298 2.275 71 3.689 5

Jumlah 24.229 10.818 29.540 4.483 69.070 100

Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Kondisi penutupan vegetasi berdasarkan fungsi hutan dapat dilihat pada Tabel 3.6. Kondisi penutupan vegetasi areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM band 542 Path/Row 120/61 liputan 18 April 2009 dan 17 Maret 2009, yang telah diperiksa oleh Direktur Inventarisasi dan


(27)

Pemantauan Sumber Daya Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan sesuai No.S.406/IPSDH-2/2009 tanggal 27 Juli 2009, terdiri dari Hutan Primer (VF) seluas 1.995 Ha, Hutan Bekas Tebangan (LOA) seluas 43.041 Ha, Non Hutan (NH) seluas 20.340 Ha dan Tertutup Awan (TA) seluas 3.694 Ha.

Berdasarkan hasil IHMB tersebut diketahui bahwa hutan di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga masih cukup baik dan layak untuk dikelola dan diusahakan secara berkelanjutan, yaitu dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, khususnya dalam hal pengaturan hasil hutan yang didasarkan pada sediaan tegakan dan kemampuan regenerasi dari hutan di areal tersebut. Kondisi umum sediaan tegakan di IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil IHMB dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Data sediaan tegakan di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan hasil IHMB

Kelompok jenis

Sediaan tegakan per kelas diameter

10-19 cm 20-39 cm 40 cm up

N N V (m³) N V(m³)

Meranti 6.575.069 901.58 676.520 776.062 4.887.312 Rimba campuran 20.118.075 4.494.423 884.857 615.937 1.955.659 Kayu indah 1.947.486 36.468 12.687 133.702 346.290 Jumlah 28.640.630 5.432.471 1.574.064 1.525.701 7.189.261 Sumber: Rencana Karya Umum (RKU) IUPHHK PT. Trisetia Intiga tahun 2010-2020

Areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga memiliki keanekaragaman fauna yang cukup tinggi, hal tersebut dilihat dari beberapa fauna yang terlihat saat pengamatan di lapangan. Namun, hingga saat ini belum diketahui seberapa banyak jenis fauna yang berada di dalam areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga karena belum adanya inventarisasi fauna di areal tersebut. Beberapa fauna yang diketahui berada dalam areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga adalah Cervus sp., Neofelis nebulosa, Indotestudo forstenii, Pongo pygmaeus, Accipitridae sp., Buceros bicornis, Argusianus argus, Hylobates muelleri.


(28)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Struktur Tegakan

Berdasarkan kerapatan bidang dasar dan jumlah pohon per hektar, beberapa jenis pohon dominan yang berada di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga adalah Shorea spp., Shorea laevis Ridl, Kayu rimba komersil, Dipterocarpus spp., Eusyderoxylon zwagery,Dacryode ssp., Endospermum spp. Dominansi pohon di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga di jelaskan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Tabel dominansi jenis di IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan luas bidang dasar dan jumlah pohon

No Nama jenis LBDS

(m2/Ha) Nama jenis

∑ Pohon (N/Ha) 1 Shorea spp. 938,62 Shorea spp. 10.675 2 Shorea laevis Ridl 402,45 Kayu rimba komersil 6.550 3 Kayu rimba komersil 300,04 Dipterocarpus spp. 4.375 4 Dipterocarpus spp. 210,61 Shorea laevis Ridl 3.400 5 Eusyderoxylon zwagery 122,47 Dacryodes sp. 2.075 6 Dacryodes sp. 78,70 Endospermum spp. 1.775 7 Endospermum spp. 48,08 Eusyderoxylon

zwagery

1.150

8 Quercus sp. 43,02 Knema sp. 1.150

9 Shorea pinanga 39,07 Cinnamomum

parthenoxylon Meissn

1.100 10 Ochanostachys

amentaceae Mast

37,86 Quercus sp. 850

Keterangan:LBDS = Luas Bidang Dasar, Kayu rimba komersil: kumpulan 34 jenis kayu komersil Sistem permudaan yang diterapkan merupakan sistem permudaan alam dan ditanam pengayaan yang dilakukan sekitar 1(satu) tahun setelah penebangan. Dari ke-10 jenis dominan satu diantaranya merupakan jenis kayu indah yang dilindungi yaitu Eusyderoxylon zwagery atau biasa dikenal dengan kayu ulin. Persebaran kayu ulin di Pulau Kalimantan menjadi salah satu komoditi yang potensial. Akan tetapi, jumlahnya yang semakin menurun akibat deforestasi dan degradasi lahan membuat jenis kayu indah ini masuk ke dalam jenis yang dilestarikan.

Luas bidang dasar dan jumlah pohon dapat mengambarkan kerapatan dan struktur suatu tegakan yang bermanfaat dalam penentuan perencanaan unit


(29)

manajemen. Struktur tegakan hutan alam umumnya membentuk kurva dengan pola J terbalik (eksponensial negatif) yang menggambarkan pola tegakan tidak seumur. Model eksponensial negatif merupakan model yang cukup sederhana tetapi dapat menjelaskan dengan baik hubungan diameter pohon dengan jumlah pohon per hektar. Penggunaan kurva dengan pola J terbalik hanya berlaku pada pengaturan diameter manajemen hutan alam. Pada penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di hutan alam, hutan produksi tetap memiliki kemampuan untuk memanen kayu berdiameter > 50 cm. Hasil penelitian menunjukan pola struktur tegakan di areal tersebut memiliki pohon berdiameter > 50 cm yang relatif sedikit dan slope yang cukup tajam. Pola kemiringan pada Gambar 4.1 menjelaskan terjadi perbedaan jumlah yang signifikan antara pohon berdiameter < 50 cm dan pohon berdiameter > 50 cm dimana jumlah tumbuhan bawah lebih banyak dibandingkan pohon siap tebang atau pohon dengan diameter > 50 cm. Berdasarkan pola tersebut menunjukan bahwa lokasi areal penelitian merupakan hutan sekunder bekas tebangan.

Gambar 4.1 Struktur tegakan IUPHHK PT. Trisetia tahun 2012

Jumlah pohon dapat menggambarkan ketersediaan tegakan di setiap tingkat pertumbuhannya. Pada penelitian ini diketahui pohon berdiameter < 10 cm sebanyak 252.000 pohon, pohon dengan diameter 10-49 cm sebanyak 41.225 pohon, dan pohon berdiameter ≥ 50 cm ada 3.150 pohon. Hal tersebut menunjukan ketersediaan tegakan di areal penelitian relatif tinggi pada kelas tegakan berdiameter < 10 cm atau kelas pandang dan rendah pada kelas tegakan berdiameter ≥ 50 cm. Table 4.2 mensajikan jumlah persen komulatif pohon pada

y = 2482.e-0.04x R² = 0.806

0 1000 2000 3000 4000

0 20 40 60 80 100 120

N

/

H

a


(30)

setiap kelas diameter yang ada, dapat diketahui ketersediaan tegakan konstan pada diameter ≥ 50 cm kurang dari 1% sehingga dapat dikatakan bahwa ketersediaan pohon berdiameter ≥ 50 cm tidak mempengaruhi ketersediaan tegakannya karena jumlahnya yang relatif sedikit.

Tabel 4.2 Dominansi jumlah pohon dan biomassa berdasarkan kelas diameter No Kelas

diameter Jumlah pohon per hektar Perse ntase (%) Persen komulati f (%) Jumlah biomassa per hektar Perse ntase (%) Persen komula tif (%)

1 <10 252000 85.0 85.0 221.51 1.8 1.8

2 10-19 24600 8.3 93.3 998.99 8.3 10.2

3 20-29 9775 3.3 96.6 1522.61 12.7 22.8

4 30-39 4600 1.6 98.2 1484.84 12.4 35.2

5 40-49 2250 0.8 98.9 1553.04 12.9 48.1

6 50-59 1350 0.5 99.4 1720.83 14.3 62.5

7 60-69 675 0.2 99.6 887.43 7.4 69.9

8 70-79 425 0.1 99.8 801.89 6.7 76.5

9 80-89 425 0.1 99.9 1417.76 11.8 88.4

10 90-99 125 0.0 99.9 426.16 3.5 91.9

11 100-109 50 0.0 100.0 382.32 3.2 95.1

12 110-120 100 0.0 100.0 590.23 4.9 100.0

Lain halnya pada nilai proporsi biomassa yang dihasilkan, tidak sepenuhnya bergantung pada kelas diameter karena unsur yang mempengaruhi biomassa dalam hal ini terdiri dari diameter dan berat jenis kayu itu sendiri. Oleh karena itu, pada Tabel 4.2 dijelaskan bahwa biomassa pada masing-masing kelas diameter memiliki proporsi yang berbeda-beda dengan peningkatan yang tidak konstan. Hasil pengukuran menunjukan proporsi biomassa tertinggi berada pada kelas diameter 50-59 cm, dan proporsi biomassa terendah ada pada kelas diameter < 10 cm. Pada kelas diameter < 60 cm terlihat nilai biomassa memiliki trend yang relatif meningkat, sedangkan pada diameter > 60 cm nilai biomassanya memiliki trend yang relatif menurun. Perubahan trend nilai biomassa tersebut disebabkan karena pola pertumbuhan biomassa itu sendiri yang meningkat sampai dengan umur tertentu dan konstan setelah umur pertumbuhannya. Namun, pada kelas diameter 80-89 cm terjadi peningkatan biomassa dengan jumlah pohon per hektarnya yang relatif rendah. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada kelas diameter 80-89 cm merupakan kumpulan jenis pohon dengan berat jenis tinggi


(31)

sehingga nilai biomassa yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa kelas diameter yang lebih rendah.

4.2 Biomassa Tegakan

Tabel 4.3 Hasil statistik kandungan biomassa

No ID Plot Koordinat X Koordinat Y Volume (m3/ha)

Biomassa (ton/ha)

1 1009036 559404 9811806 213,02 100,11

2 1010038 560329 9812790 108,00 93,49

3 1011040 561320 9814591 285,49 227,38

4 1011041 561320 9815490 206,56 135,25

5 1012039 562320 9813692 146,92 68,03

6 1012041 562320 9815490 381,30 212,21

7 1012045 562320 9819086 584,05 599,43

8 1013039 563327 9813710 341,76 179,99

9 1013040 563345 9814598 232,14 135,65

10 1013041 563327 9815501 464,95 287,32

11 1014040 564354 9814605 386,61 296,24

12 1017042 567330 9816402 660,85 357,44

13 1018040 568319 9814608 719,61 443,97

14 1018043 568320 9817288 298,42 171,27

15 1019041 569336 9815506 706,44 382,87

16 1019044 569337 9818188 332,78 215,84

17 1020042 570332 9816414 140,01 97,98

18 1021043 571331 9817327 273,04 318,31

19 1021044 571423 9818254 491,54 259,79

20 1022046 576140 9818061 456,63 296,98

21 1022052 572426 9825505 681,21 411,91

22 1023047 573282 9820714 397,12 248,53

23 1025040 575335 9814590 557,65 367,87

24 1025043 575311 9817176 426,47 267,71

25 1026040 576372 9814745 637,40 333,44

26 1026042 576398 9816431 360,34 247,24

27 1026043 576357 9817207 541,49 316,39

28 1027039 577373 9813635 136,28 80,35

29 1027043 577218 9817390 362,37 200,95

30 1028037 578342 9811803 446,47 546,76

Table 4.3 merupakan data hasil pengolahan nilai biomassa pada 30 plot pengamatan. Keragaman biomassa yang relatif tinggi pada lokasi penelitian yang kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor yaitu umur tegakan, sejarah hutan,


(32)

perbedaan struktur, dan faktor iklim seperti suhu dan curah hujan (Komiyama et al. 1988). Keragaman yang dihasilkan pada hasil biomassa lapangan dilihat berdasarkan nilai koefisien variasinya dengan nilai 50,29%. Nilai tersebut menggambarkan bahwa keragaman biomassa atas lapangan pada lokasi relatif sedang. Menurut Puspijak (2010), nilai biomassa pada hutan bekas tebangan di Kalimantan Timur sebesar 343,6-498,4 ton/ha. Hasil pendugaan biomassa penelitian menunjukan wilayah selang biomassa yang cukup tinggi dengan nilai minimum 68,03 ton/ha dan maksimum 599,43 ton/ha. Areal penelitian termasuk ke dalam tipe hutan lahan kering, yang umumnya memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah besar daripada hutan rawa dan mangrove karena kemampuannya dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai tempat penyimpanan karbon. Kandungan biomassa di beberapa tipe tutupan lahan hutan dan non hutan diketahui berdasarkan data Puspijak (2010) dengan biomassa hutan lahan kering bekas tebangan sebesar 343,6-498,4 ton/ha, biomassa hutan mangrove bekas tebangan 108,2-365 ton/ha, biomassa agroforestry sebesar 91 ton/ha, biomassa tegakan kelapa sawit sebesar 32,68 ton/ha, biomassa semak belukar sebesar 38,8 ton/ha, dan biomassa padang rumput atau savana sebesar 20 ton/ha.

Pada umumnya, nilai R² dikatakan baik jika bernilai ˃ 50%. Hasil pengujian menunjukan nilai R² sebesar 96,4%. Hal tersebut menunjukan bahwa 96,4% biomassa atas permukaan dapat dijelaskan oleh diameter dan berat jenis tegakan yang diamati, sedangkan 3,6% kandungan biomassa di atas permukaan diduga oleh peubah lainnya.

Pada penelitian ini, biomassa tegakan terdiri dari biomassa pohon, tiang, dan pancang. Menurut Istomo (2002) secara proporsional urutan biomassa tumbuhan dari tertinggi sampai terendah adalah biomassa tingkat pohon, biomassa akar sampai kedalamaan 100cm, biomassa tingkat pancang, biomassa serasah lantai hutan, biomassa semak dan tumbuhan bawah, dan biomassa tingkat semai. Hasil penelitian menunjukan jumlah biomassa (rata-rata) pohon sebesar 171,10 ton/ha (64,97%), biomassa nekromassa sebesar 53,01 ton/ha (20,13%), biomassa tiang sebesar 32,01ton/ha (12,16%), biomassa pancang sebesar 7,24 ton/ha (2,75%), biomassa serasah sebesar 8,6x10-5 ton/ha (3,3x10-5%), dan biomassa tumbuhan


(33)

bawah 1,2x10-5 ton/ha (5x10-6). Analisis koefisien variasi (Coefficient of variance/CV) pada setiap kelompok biomassa menunjukan nilai keheterogenan biomassa pada setiap kelas biomassa. Suatu nilai dikatakan heterogen jika memiliki CV antara 65% sampai 85%. Pada penelitian ini diketahui kelas biomassa yang paling heterogen adalah kelas serasah (69,88%) dan tumbuhan bawah (87,57%). Proporsi jumlah biomassa pada setiap kelas biomassa di atas permukaan dijelaskan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Tabel proporsi biomassa setiap kelas biomassa atas permukaan Kelas Biomassa Biomassa (ton/ha) CV (%) Persen (%) Maksimu m Minimu m

Sd. Rata-rata

Pohon 426,16 3,17 42,31 171,10 24,73 64,97

Nekromassa 126,62 0,19 12,83 53,01 24,20 20,13

Tiang 22,46 1,66 5,10 32,01 15,92 12,16

Pancang 12,16 0,00 1,34 7,24 18,46 2,75

Serasah 2,7x10-4 6,9x10-6 5,9x10-5 8,6x10-5 69,88 3,3x10-5 Tumbuhan

bawah

5,9x10-5 1,6x10-6 1,1x10-5 1,2x10-5 87,57 5x10-6 Keterangan: Sd.= simpangan baku, CV= koefisien varian

Biomassa atas permukaan (BAP) yang telah diperoleh dalam satuan ton/ha per plot dikorelasikan dengan nilai biomassa citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter. Biomassa citra dianalisis dengan pendekatan nilai hamburan balik (backscatter) yang merupakan nilai kuantitatif kekuatan sinar balik dari citra radar yang dapat menggambarkan indeks vegetasi suatu citra. Nilai hamburan balik yang dipilih merupakan nilai hasil polarisasi HH, HV, HH/HV, ditampilkan dengan beberapa ukuran sampel plot (ukuran sampel plot) untuk melihat perbedaan nilai hamburan balik pada luasan sampel yang berbeda-beda. Pada penelitian ini digunakan ukuran sampel 1 x 1 pixel, 3 x 3 pixel, dan 5 x 5 pixel, yang artinya secara berurutan sampel degan ukuran 50 m x 50 m, 150 m x 150 m, 250 m x 250 m. Nilai hamburan balik polarisasi HH lebih besar dibandingkan nilai hamburan balik polarisasi HV, hal tersebut disebabkan karena nilai dijital pada polarisasi HH lebih besar dibandingkan nilai dijital pada polarisasi HV.

Secara teoritis, vegetasi mempunyai permukaan yang kasar dan kandungan kelembaban yang tinggi sehingga nilai hamburan balik (backscatter) dari vegetasi memiliki nilai yang lebih tinggi. Pantulan dan hamburan yang kuat dari vegetasi


(34)

akan memberikan rona yang sangat cerah pada citra. Variasi rona yang disebabkan adanya variasi permukaan vegetasi ini dapat menunjukkan perbedaan kekasaran vegetasi sebagai akibat perbedaan lebar tajuk. Semakin kasar vegetasi akan memberikan tone yang cerah, hutan akan tampak cerah karena tajuknya kasar. (Puspitasari 2010).

4.3 Filter Spasial

Nilai hamburan balik yang dihasilkan merupakan nilai yang berasal dari citra asli tanpa perlakukan penajaman citra. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan dari ketiga polarisasi adalah ≤ 50%, sehingga dilakukan penghalusan kontras citra dengan filtering image yang diharapkan dapat meningkatkan nilai koefisien regresi antara biomassa lapangan dengan nilai hamburan balik. Pada penelitian ini dilakukan penajaman spasial (spasial enhancement) dengan penggunaan filter Lee. Hasil filtering image disajikan pada Gambar 4.3.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4.2 Hasil filtering image citra ALOS PALSAR 50 m pada kernel 3x3, 5x5, dan 7x7

Secara visual, hasil filtering menunjukan nilai berbeda pada setiap kernel yang digunakan, semakin tinggi nilai kernelnya maka semakin rendah kekontrasan

A

A A


(35)

antara masing-masing tone atau warna yang ada. Penurunan kontras yang dihasilkan mengurangi kemudahan interpreter dalam mengidentifikasi lokasi tertentu dengan lokasi lainnya. Selain itu, hasil filtering menghilangkan beberapa informasi pada citra asli karena penghalusan kontras. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.2 lahan kosong yang ada di dalam lingkaran merah (Gambar 4.2 (a)) terlihat mempunyai kontras yang lebih tinggi dibandingkan hasil filtering (b), (c), (d) (lihat Gambar 4.2). Oleh karena itu, penggunaan filtering dengan penurunan kontras membuat beberapa infomasi pada data hasil filtering berubah atau dihilangkan.

Nilai backscatter plot pengamatan masing-masing citra, baik citra asli maupun citra hasil filtering dikroelasikan dengan nilai biomassa atas permukaan (above ground biomass). Model yang terbangun pada penelitian ini adalah model logaritmik, yang menggambarkan grafik pertumbuhan dimana terjadi peningkatan secara teratur dan konstant pada waktu tertentu.

4.4 Analisis Korelasi dan Koefisien Regresi

Model yang diujicobakan pada penelitian ini adalah model linear, model logaritmik, model eksponensial, dan model regresi linear berganda. Korelasi antara nilai backscatter HH, HV, dan HH/HV dengan biomassa lapangan digambarkan pada Gambar 4.3.

(a) (b)

y = 2.351ln(x) - 19 R² = 0.555 y = 0.009x - 8.751

R² = 0.511 -12 -10 -8 -6 -4 -2

0 200 400 600 800

H H B ac k sc at te r Biomass (ton/Ha)

y = 2.236ln(x) - 23.45 R² = 0.559 y = 0.009x - 13.70

R² = 0.511

-16 -14 -12 -10 -8 -6

0 200 400 600 800

H V B ac k sc at te r Biomass (ton/Ha)


(36)

(c)

Gambar 4.3 Diagram scatter hubungan antara biomassa atas permukaan (above ground biomass/AGB) dan nilai backscatter, (a) AGB dan Polarisasi HH; (b) AGB dan Polarisasi HV; (c) AGB dan Polarisasi HH/HV. Berdasarkan Tabel 4.5, model korelasi yang tertinggi diantara ketiga model yang diujikan adalah model logaritmik, selanjutnya model yang akan digunakan untuk uji koefisien regresi dan uji verifikasi adalah persamaan dengan model logaritmik. Pada penelitian ini terbangun model sejumlah 108 model yang terdiri dari model logaritmik dan model logaritmik berganda. Model terbaik dipilih berdasarkan nilai koefisien determinasi (R²) dan p-value setiap persamaan terbangun. Nilai (R²) berkisar antara 0-100% dimana semakin tinggi nilai R² maka hubungan antar peubahnya semakin kuat, P-value menunjukan hubungan regresi yang signifikan dengan kriteria p-value < 0,05. Berdasarkan kriteria pemilihan model, diperoleh model terpilih sejumlah 62 model persamaan. Seluruh model persamaan terpilih menunjukan terjadi korelasi yang signifikan antara biomassa dengan nilai backacatter polarisasi HH, polarisasi HV, polarisasi HH/HV, polarisasi HH2, polarisasi HV2, dan polarisasi (HH/HV) 2. Nilai koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan berkisar antara 29% - 61%, nilai (R²) yang mendekati 100% memiliki hubungan antar peubah yang semakin kuat sehingga dilakukan pemilihan nilai koefisien determinasi (R²) di atas 55% dan terpilih sebanyak 16 model persamaan terbaik berdasarkan nilai R² dan P-value, Ke-16 model persamaan terbaik ditampilkan dalam Tabel 4.5.

y = -0.1ln(x) + 1.081 R² = 0.442

y = -0.000x + 0.648 R² = 0.427 y = 0.654e-8E-0x

R² = 0.413 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

0 200 400 600 800

H H B ac k sc at te r Biomass (ton/Ha)

AGB_K vs HH/HV


(37)

Tabel 4.5 Model terbaik berdasarkan R² dan P-value

Jenis citra

Ukuran sampel

plot

No Persamaan R² R P-value

Citra Asli 1x1 1 AGB = 3880,40614 exp (0,25018 HV) 0,56 0,75 Sig

1x1 2 AGB = 1022,27051 exp (-0,011446 HV²) 0,59 0,76 Sig

3x3 3 AGB = 5985,67504 exp (0,288 HV) 0,58 0,76 Sig

3x3 4 AGB = 1241,77807 exp (-0,01295 HV²) 0,60 0,77 Sig

5x5 5 AGB = 1592,66699 exp (-0,01491 HV²) 0,57 0,75 Sig

Speckle Supression Kernel 3x3

1x1 6 AGB = 5280,31468 exp (0,27809 HV) 0,58 0,76 Sig

1x1 7 AGB = 1172,31637 exp (-0,0126 HV²) 0,60 0,78 Sig

3x3 8 AGB = 181,48905 exp (7,88238 HH/HV) exp (0,64797 HH) 0,60 0,77 Sig

3x3 9 AGB = 1381,22322 exp (-0,0139 HV²) 0,59 0,77 Sig

5x5 10 AGB = 119,633512 exp (10,12192 HH/HV) exp (0,77360 HH) 0,56 0,75 Sig

5x5 11 AGB = 1702,11148 exp (-0,01551 HV²) 0,56 0,75 Sig

Speckle Supression Kernel 5x5

1x1 12 AGB = 138,57076 exp (8,99611 HH/HV) exp (0,70627 HH) 0,61 0,78 Sig

1x1 13 AGB = 1430,94365 exp (-0,01426 HV²) 0,59 0,77 Sig

3x3 14 AGB = 97,09194 exp (10,73173 HH/HV) exp (0,79905 HH) 0,59 0,77 Sig 3x3 15 AGB = 224,19659 exp (7,30916 (HH/HV)²) exp (-0,0538 HH²) 0,58 0,76 Sig 5x5 16 AGB = 69,59417 exp (12,46986 HH/HV) exp (0,89461 HH) 0,56 0,75 Sig Keterangan: Sig = Signifikan/ berpengaruh nyata


(38)

Nilai koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan pada setiap ukuran sampel plot dan citra hasil filtering memiliki nilai yang berbeda-beda. Pada ukuran sampel plot 1x1 terlihat terjadi peningkatan nilai koefisien determinasi, hal tersebut menunjukan terjadi hubungan antar peubah yang lebih kuat pada citra dengan melakukan perlakuan speckle suppression. Hal yang berbeda terlihat pada ukuran sampel plot 3x3 dan ukuran sampel plot 5x5 yang memiliki kecenderungan menurun. Nilai biomassa lapang yang dikorelasikan dengan nilai backscatter merupakan nilai biomassa pada plot pengukuran 20 meter x 20 meter di lapangan, sehingga akan lebih relevan jika di korelasikan dengan nilai backscatter pada citra dengan ukuran sampel plot 1x1 (50 meter x 50 meter). Matrix korelasi dijelaskan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Matrix korelasi nilai backscatter dan biomassa lapangan pada setiap ukuran sampel plot

Ukuran Sampel Citra

Citra tanpa Speckle

Filtering Image dengan kernel 3x3

Filtering Image dengan kernel 5x5

1X1 0,585 0,603 0,614

3X3 0,600 0,596 0,590

5X5 0,569 0,559 0,564

4.5 Uji Verifikasi

Model-model yang telah terbangun diverifikasi atau divalidasi dengan melakukan perhitungan Mean Deviation (Simpangan Rata-rata/SR), Agregative Deviation (Simpangan Agregat/SA), Root Mean Square Error (RMSE), bias (℮), dan uji-χ² untuk menguji model terpilih. Uji verifikasi dilakukan pada plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga, dengan jumlah plot verifikasi sebanyak 30 plot. Plot verifikasi dipilih secara acak (sampling) di areal sekitar plot pengamatan dan menyebar. Hal tersebut dilakukan berdasarkan tingkat kehomogenan dan keterwakilan dari plot pengamatan.

Namun, terdapat perbedaan teknis pengukuran antara data penelitian dengan data pengukuran IHMB. Data IHMB merupakan data tegakan berdiameter ≥ 10 cm, sedangkan data penelitian merupakan data keseluruhan biomassa di atas permukaan (above ground biomass) sehingga perlu dilakukan konversi dari nilai biomassa IHMB menjadi nilai keseluruhan biomassa di atas permukaan. Konversi dilakukan dengan menggunakan persamaan yang dibentuk dari korelasi biomassa


(39)

tegakan diameter ≥ 10 cm dari data penelitian, dan biomassa data IHMB pada plot yang sama. Korelasi tersebut menghasilkan persamaan yang digunakan untuk mengkonversi nilai biomassa data IHMB untuk plot verifikasi menjadi nilai keseluruhan biomassa di atas permukaan. Persamaan konversi tersebut digambarkan dalam grafik korelasi pada Gambar 4.4.

Gambar 4.3 Korelasi biomassa penelitian (≥ 10 cm) dan biomassa IHMB Simpangan agregat (aggregative deviation) menunjukan persentase biomassa aktual terhadap biomassa dugaan, persamaan yang baik memiliki nilai simpangan agregat (SA) berkisar antas -1 sampai +1 (Spurr 1952). Hasil penelitian menunjukan keseluruhan model persamaan memenuhi kaidah SA dengan nilai SA berkisar antara -0,13 sampai 0,02. Uji simpangan rata-rata (mean deviation) dilakukan untuk mengetahui rata-rata jumlah dari nilai mutlak selisih antara jumlah biomassa dugaan dengan biomassa aktual, nilai simpangan rata-rata dikatakan baik jika tidak lebih dari 10% (Spurr 1952). Hasil yang diperoleh dari uji verifikasi dengan simpangan rata-rata terdapat empat model persamaan yang SA kurang dari 10%. Dari empat model tersebut, model persamaan berbentuk logaritmik menggunakan citra asli dengan ukuran sampel plot 1x1 dan peubah bebas nilai hamburan balik polarisasi HH, serta polarisasi HV dengan persamaan:

= 995,80944 exp 0,23618 HH ; dengan SR sebesar 9,02% = 3880,40614 exp 0,25018 HV ; dengan SR sebesar 4,00% = 492,56387 exp (−0,018323 HH²) dengan SR sebesar 9,64% = 1022,27051 exp (−0,011446 HV²) dengan SR sebesar 4,27% Keterangan: AGB : Above ground biomass (ton/ha)

y = 1.003x + 7.355 R² = 0.996 0 100 200 300 400 500 600 700

0 200 400 600

B iom as sa K es el ur uh an (t on/ ha)


(40)

Selanjutnya, dilakukan pengujian terhadap model-model yang telah terbangun dengan uji RMSE (Root Mean Square Erorr) yang merupakan kombinasi antara bias dengan ketelitian. RMSE menggambarkan jauh dekatnya nilai -nilai hasil pengamatan terhadap nilai yang sebenarnya. Nilai RMSE yang semakin kecil menunjukan bahwa model penduga biomassa yang terbangun lebih akurat dalam menduga biomassa. Pada penelitian ini dihasilkan nilai RMSE pada selang 0,47% sampai 4,10% , dari nilai tersebut dapat dijelaskan bahwa keseluruah model yang terpilih memiliki nilai kesalahan (error) yang rendah.

Kemudian dilakukan uji bias yang merupakan uji kesalahan sistematis yang dapat terjadi karena kesalahan dalam pengukuran, meliputi kesalahan teknis dan kesalahan karena alat ukur. Suatu model bisa dikatakan akurat apabila nilai biasnya semakin kecil, pengukuran bias yang dilakukan terhadap 62 model persamaan terpilih memiliki bias yang relatif rendah berkisar antara 4,03 - 32,43 sehingga berdasarkan uji bias keseluruhan model persamaan terpilih dapat digunakan. Uji verifikasi terakhir adalah uji-χ², uji-χ² merupakan alat untuk menguji apakah biomassa yang diduga dengan model penduga biomassa (Bt) berbeda dengan biomassa aktualnya (Ba). Uji beda rata-rata chi-square ini digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan model terbaik. Kaidah keputusan dalam uji - χ² adalah apabila χ² hitung ≤ χ²tabel, maka terima Ho artinya biomassa

yang diduga dengan model penduga biomassa tidak berbeda dengan biomassa aktualnya. Hasil uji verifikasi menunjukan bahwa dari 62 model yang terbangun, model persamaan yang memenuhi beda rata-rata tidak signifikan adalah model persamaan pada ukuran sampel plot 1x1 dengan persamaan:

= 3880,40614 exp 0,25018HV = 1022,27051 exp −0,01145 HV2 Hasil uji verifikasi model terpilih dijelaskan dalam Tabel 4.7.


(41)

Tabel 4.7 Verifikasi model persamaan terpilih

Jenis

citra Buffer No Persamaan

X² hitung

tabel RMSE SA Bias SR

Citra Asli

1x1 1 AGB = 3880,40614 exp (0,25018 HV) 12,94* 42,56 0,47 0,01 4,03 4,00** 1x1 2 AGB = 1022,27051 exp (-0,01145 HV²) 17,57* 42,56 0,55 0,02 4,32 4,27** 3x3 3 AGB = 5985,67504 exp (0,288 HV) 969,02 42,56 3,34 -0,03 25,67 28,44 3x3 4 AGB = 1241,77807 exp (-0,01295 HV²) 1002,94 42,56 3,54 -0,02 27,66 29,96 5x5 5 AGB = 1592,667 exp (-0,01491 HV²) 1141,53 42,56 3,44 -0,03 26,90 31,45 Speckle

Supressi on Kernel 3x3

1x1 6 AGB = 5280,31468 exp (0,27809 HV) 940,71 42,56 3,39 -0,03 26,14 28,44 1x1 7 AGB = 1172,31637 exp (-0,0126 HV²) 972,94 42,56 3,60 -0,02 27,98 29,77 3x3 8 AGB = 181,48905 exp (7,88238 HH/HV) exp

(0,64797 HH)

1202,07 42,56 3,93 0,00 30,84 33,47 3x3 9 AGB = 1381,22322 exp (-0,0139 HV²) 1054,19 42,56 3,49 -0,03 27,29 30,67 5x5 10 AGB = 119,63351 exp (10,12192 HH/HV) exp

(0,77360 HH)

1393,84 42,56 3,87 0,00 30,28 34,70 5x5 11 AGB = 1702,11148 exp (-0,01551 HV²) 1174,31 42,56 3,38 -0,04 26,48 31,65 Speckle Supressi on Kernel 5x5

1x1 12 AGB = 138,57076 exp (8,99611 HH/HV) exp (0,70627 HH)

1145,67 42,56 3,92 0,01 30,65 33,16 1x1 13 AGB = 1430,94365 exp (-0,01426 HV²) 1026,83 42,56 3,44 -0,03 26,95 30,40 3x3 14 AGB = 97,09194 exp (10,73173 HH/HV) exp

(0,79905 HH)

1276,46 42,56 3,92 0,01 30,73 34,11 3x3 15 AGB = 224,19659 exp (7,30916 (HH/HV)²) exp

(-0,0538 HH²)

1339,32 42,56 4,10 0,02 32,43 36,29 5x5 16 AGB = 69,59417 exp (12,46986 HH/HV) exp

(0,89461 HH)

1410,96 42,56 3,84 0,01 30,20 34,75 Keterangan: * = Tidak Berbeda Nyata; ** = Simpangan Rata-rata diterima


(42)

Analisis uji verifikasi menghasilkan dua model persamaan yang dapat dijadikan model terbaik. Kedua model persamaan memiliki perbedaan pada nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai RMSE yang dihasilkan, sehingga biomassa hutan lahan kering IUPHHK-HA PT. Trisetia dapat diduga dengan model persamaan:

1. = 3880,40614 exp 0,25018HV

2. = 1022,27051 exp −0,01145 HV2 4.6 Peta Sebaran Biomassa

Berdasarkan model persamaan biomassa terbaik, lebih jauh dibuat dalam peta sebaran biomassa sebagaimana dijelaskan pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.

Gambar 4.4 Peta sebaran biomassa IUPHHK PT, Trisetia Intiga dengan peubah bebas HV model AGB = 3880,40614 exp(0,25018HV)

Jumlah biomassa yang diperoleh dari persamaan dengan peubah bebas polarisasi HV pada areal kerja IUPHHK PT. Trisetia Intiga berkisar antara 0-1.980 ton/ha, sedangkan jumlah biomassa dengan peubah bebas polarisasi HV² berkisar antara 0-939 ton/ha artinya areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga memiliki karakteristik tegakan yang bervariasi mulai dari yang bervegetasi rapat (dilihat dari nilai biomassa yang tinggi) dan daerah yang tidak bervegetasi sangat jarang


(43)

(dilihat dari nilai biomassa yang rendah). Pada persamaan kedua dengan peubah bebas nilai backscatter polarisasi HV² menunjukan selang biomassa lebih sempit yaitu berkisar antara 0 ton/ha dan 939 ton/ha. Menurut Puspijak (2010), setiap tipe kawasan baik hutan maupun non hutan memiliki nilai biomassa yang berbeda-beda. Hutan sekunder bekas tebangan memiliki kandungan biomassa antara 343,6 ton/ha dan 498,4 ton/han. Berdasarkan pada data tersebut, maka diketahui bahwa kondisi biomassa IUPHHK PT. Trisetia Intiga sejalan dengan pemahaman yang dikemukakan oleh Puspijak (2010). Dengan model ke-2 (HV²) terlihat hasil estimasi lebih rasional mengingat biomassa tutupan lahan kelapa sawit dapat dibedakan secara baik dengan biomassa hutan bekas tebangan. Hal yang paling terlihat adalah di Bagian Barat Daya (lihat Gambar 4.5 (a)) yang termasuk ke dalam selang biomassa rendah dimana areal tersebut merupakan areal yang telah overlap dengan kawasan perkebunan sawit, sehingga nilai biomassanya rendah. Selain itu, pada areal yang berlereng tampak peta sebaran biomassa dengan menggunakan persamaan kedua mampu memberikan tekstur topografi yang lebih jelas (lihat Gambar 4.5 (b).

Gambar 4.5 Peta sebaran biomassa IUPHHK PT, Trisetia Intiga dengan peubah bebas HV² (model AGB = 1022,27051 exp(-0,01145HV²)

A


(44)

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Biomassa hutan alam lahan kering dapat diduga menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter.

2. Berdasarkan hasil pengujian statistik diperoleh dua persamaan terbaik yaitu AGB = 3880,40614 exp (0,25018HV) dimana nilai R² = 56%, RMSE = 0,47%, dan AGB = 1022,27051 exp (-0,01145HV²) dengan nilai R² 59%, RMSE = 0,55%.

3. Polarisasi HV memiliki hubungan yang lebih baik dengan nilai hamburan balik (backscatter) dibandingkan polarisasi HH.

5.2 Saran

Hasil penelitian ini menyimpulkan model bisa digunakan untuk menduga biomassa pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter di lokasi IUPHHK-HA PT. Trisetia Intiga. Penelitian serupa perlu dilakukan pada berbagai lokasi penelitian untuk menguji apakah citra ALOS PALSAR bisa digunakan untuk menduga biomassa atas permukaan di lapangan.


(1)

70

Lampiran 9 Contoh perhitungan validasi pada plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga

ID plot B IHMB B Konversi 2 RMSE SA BIAS SR 4 RMSE SA BIAS SR 1010044 185 193,08 193,23 0,00 0,00 0,00 0,00 203,56 0,54 0,00 0,00 0,05 1016043 158 166,04 171,60 0,18 0,00 0,00 0,03 172,44 0,24 0,00 0,00 0,04 1019035 155 162,82 164,17 0,01 0,00 0,00 0,01 168,69 0,20 0,00 0,00 0,03 1029037 218 225,86 240,60 0,90 0,00 0,00 0,06 237,99 0,62 0,00 0,00 0,05 1003036 232 240,43 256,71 1,03 0,00 0,00 0,06 256,68 1,03 0,00 0,00 0,06 1032006 211 219,34 204,67 1,05 0,00 0,00 0,07 229,16 0,42 0,00 0,00 0,04 1015031 212 219,70 223,14 0,05 0,00 0,00 0,02 229,44 0,41 0,00 0,00 0,04 1004031 198 206,09 199,82 0,20 0,00 0,00 0,03 212,06 0,17 0,00 0,00 0,03 1028036 171 179,23 191,10 0,74 0,00 0,00 0,06 179,99 0,00 0,00 0,00 0,00 1011044 218 225,67 223,84 0,01 0,00 0,00 0,01 247,43 1,91 0,01 0,00 0,09 1025046 227 235,11 240,05 0,10 0,00 0,00 0,02 257,31 1,92 0,01 0,00 0,09 1022050 164 171,79 176,83 0,14 0,00 0,00 0,03 166,30 0,18 0,00 0,00 0,03 1020037 113 120,91 127,84 0,38 0,00 0,00 0,05 126,90 0,28 0,00 0,00 0,05 1022041 151 158,73 149,64 0,55 0,00 0,00 0,06 148,88 0,65 0,00 0,00 0,07 1026033 126 133,38 139,26 0,25 0,00 0,00 0,04 117,09 2,27 0,01 0,00 0,14 1018034 278 286,26 280,06 0,14 0,00 0,00 0,02 279,18 0,18 0,00 0,00 0,03 1030008 155 163,32 160,96 0,03 0,00 0,00 0,01 150,72 1,05 0,01 0,00 0,08 1015042 158 165,73 161,68 0,10 0,00 0,00 0,03 192,27 3,66 0,03 0,01 0,14 1009037 300 308,47 325,36 0,88 0,00 0,00 0,05 293,38 0,78 0,00 0,00 0,05 1026023 142 149,95 155,48 0,20 0,00 0,00 0,04 176,78 4,07 0,03 0,01 0,15 1032007 201 208,77 198,06 0,58 0,00 0,00 0,05 247,31 6,00 0,03 0,01 0,16 1024046 216 223,63 223,05 0,00 0,00 0,00 0,00 208,33 1,12 0,00 0,00 0,07


(2)

71

Lampiran 31 Contoh perhitungan validasi pada plot IHMB IUPHHK PT. Trisetia Intiga (lanjutan)

ID plot B IHMB B Konversi 2 RMSE SA BIAS SR 4 RMSE SA BIAS SR 1024038 221 229,11 221,63 0,25 0,00 0,00 0,03 212,91 1,23 0,00 0,00 0,08 1015033 122 129,32 122,18 0,42 0,00 0,00 0,06 160,11 5,92 0,06 0,01 0,19 1024042 151 158,88 145,26 1,28 0,01 0,00 0,09 129,66 6,58 0,03 0,01 0,23 1006041 210 218,29 207,54 0,56 0,00 0,00 0,05 194,16 3,00 0,01 0,00 0,12 1029035 363 371,04 394,10 1,35 0,00 0,00 0,06 391,31 1,05 0,00 0,00 0,05 1013042 220 228,16 220,60 0,26 0,00 0,00 0,03 196,18 5,21 0,02 0,00 0,16 1027034 454 462,58 468,52 0,08 0,00 0,00 0,01 370,20 23,06 0,04 0,01 0,25 1025023 128 136,02 149,54 1,22 0,01 0,00 0,09 198,75 19,80 0,21 0,02 0,32 Nilai total 6336,53 12,94 0,47 0,01 4,03 4,00 6355,20 93,57 1,35 0,01 10,10 9,64

Keterangan: ID = identitas plot IHMB, B IHMB = Biomassa plot IHMB (dgh ≥ 10 cm), B Konversi = Biomassa di atas permukaan plot IHMB yang telah dikonversi, 2 = model ke-2 uji validasi (AGB = 3880,40613930209 exp(0,250184794335192 HV), 4 = model ke-4 uji validasi (AGB = 1022,27050600692 exp (-0,0114464608949151 HV²), X² = uji rata chi square, RMSE = nilai ketepatan (Root Mean Square Erorr), SA = simpangan agregat, SR = simpangan rata-rata


(3)

RINGKASAN

TIA LIA AGUSTINA. Model Penduga Biomassa Hutan Alam Lahan Kering Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 M di Areal Kerja PT. Trisetia Intiga. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA.

Peningkatan gas rumah kaca (GRK), khususnya CO₂ di atmosfer menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemanasan global. Peningkatan tersebut salah satunya disebabkan karena banyaknya emisi karbon yang berasal dari degradasi lahan dan deforestasi. Dalam proses mitigasi untuk pengurangan dampak pemanasan global, pendugaan jumlah karbon yang tersimpan dalam tumbuhan menjadi salah satu kegiatan yang sangat penting. Pada umumnya kandungan karbon yang tersimpan dalam vegetasi dapat diketahui melalui pendugaan biomassa, baik biomassa di atas permukaan tanah maupun biomassa di bawah permukaan. Pada penelitian ini, fokus diberikan pada pendugaan biomassa di atas permukaan tanah, khususnya menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh. Saat ini, perkembangan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing) yang ada telah memadai untuk memberikan informasi kondisi sumberdaya alam. Indonesia yang secara geografis berada di wilayah tropis memiliki banyak kendala dalam menggunakan citra optik, karena terganggu kabut asap pada musim kemarau dan awan pada musim penghujan. Dengan pertimbangan tersebut maka penelitian ini menekankan pada penggunaan teknologi citra radar. Salah satu satelit yang menggunakan sensor radar adalah satelit ALOS (Advanced Land

Observing Sattelite) yang diluncurkan Jepang pada Januari 2006. Salah satu

sensor bawaannya adalah sensor PALSAR (Phased Array L-band Synthetic

Aperture Radar) yang merupakan sensor gelombang mikro aktif pada frekuensi

band L dan memiliki kemampuan menembus awan. Gelombang mikro aktif yang diterima dan direflektasikan dengan beberapa arah atau disebut polarisasi. Polarisasi merupakan arah vektor panjang glombang elektromagnetik dengan posisi vertikal (V) dan/atau horizontal (H).

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyusun model penduga biomassa menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter pada areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga. Model penduga biomassa disusun berdasarkan analisis hubungan antara nilai hamburan balik (backscatter) dan biomassa di lapangan. Nilai backscatter dari tiga polarisasi yaitu polarisasi HH, HV, dan HH/HV dikaji terhadap biomassa lapangan yang diturunkan berdasarkan persamaan alometrik Ketterings.

Pada penelitian ini persamaan struktur tegakan yang dihasilkan (Y = 2482 ℮ -0,04X

) membentuk pola eksponensial negatif atau J-terbalik dengan slope relatif yang cukup tajam. Dari persamaan struktur tegakan tersebut maka kondisi tegakan di areal penelitian termasuk kelas hutan sekunder bekas tebangan, dimana kerapatan pohon-pohon berdiameter > 60 cm relatif sedikit dibandingkan dengan pohon-pohon berdiameter kecil. Hasil penelitian dari 30 plot sampel, diketahui bahwa biomassa lapangan berkisar antara 68,03 ton/ha sampai 599,43 ton/ha dengan keragaman yang relatif tinggi pada koefisien varian (CV) 50,29%. Berdasarkan proporsi biomassanya, proporsi tertinggi dimiliki oleh biomassa pohon (64,97%), proporsi kemudian diikuti secara berturut-turut oleh biomassa nekromassa (20,13%), biomassa tiang (12,16%), biomassa pancang (2,75%), biomassa serasah (3,3x10-5), dan biomassa tumbuhan bawah (5x10-5). Hasil


(4)

analisis korelasi dan regresi antara nilai backscatter dengan biomassa di lapangan terdapat 38 persamaan yang mempunyai hubungan nyata (α=0,05), dengan koefisien determinasi (R²) > 50%. Akan tetapi, setelah dilakukan uji verifikasi hanya dua model yang dianggap cukup layak yaitu:

1) AGB = 3880.40614 exp (0.25018 HV) dimana nilai R² sebesar 56%, RMSE sebesar 0.47%.

2) AGB = 1022.27051 exp (-0.01145 HV²) dengan nilai R² sebesar 59%, RMSE sebesar 0.55%.

Model persamaan yang terbentuk merupakan model penduga biomassa pada areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga.


(5)

SUMMARY

TIA LIA AGUSTINA. Model for Estimating Above Ground Biomass of Dry Land Natural Forest Using 50 M ALOS PALSAR in PT. Trisetia Consession Area. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA.

The increase of Green House Gases (GHG), particularly carbon dioxide in the atmospheric is one factor that affect the global warming. One cause of the increase was due to emission of carbon that came from deforestation and land degradation. In the mitigation process for reducing the impact of global warming, one crusial activity is estimation of carbon sequestered in the vegetation. Commonly, carbon content sequestered at vegetation is derived from biomass estimation either from above ground biomass or below ground biomass. In this study, the focus was on estimation of the above ground biomass using remote sensing technology. Nowdays, the development of remote sensing techniques had been widely used for providing various information related to natural resources. Indonesia which is located in the tropical region, have several handicaps in using optical remote sensing due to cloud covers during wet season and smoke and haze during dry season. For the above reason, this study emphasizes on the use of radar image technology for estimating the above ground biomass. In this study the used radar image is ALOS PALSAR (Advance Land Observing Sattelite – Phase Array L-band Synthetic Aperture Radar), that had been launched in Januari 2006 by the Japanese government. This sensor is an active microwave sensor which has capability to penetrate thick cloud layer. An active microwave sensor be accepted dan reflectanced by several diresction that usually called polarization. Polarization is the vector direction from electromagnetic microwave on vertical line (V) and horizontal line (H).

The main objective of this study is to develop the biomass estimation model using 50 meter resolution of ALOS PALSAR image in concession of PT. Trisetia Intiga, Central Kalimantan. Biomass model was developed by analyzing the relationship between backscatter value and field biomass. Backscatter value from tree polarization images, namely HH, HV, and HH/HV were analyzed simultaneously with field biomassa that derived using Ketterings allometric equation.

In this study the obtained stand structure equation, Y=2482 ℮-0,04X with negative exponential or J-reverse form having realtively steep slope. From the stand structure equation, then it can be concluded that stand condition within the study area is belonged to logged over area secondary forest, where tree density with diameter less or equal to 60 cm is relatively low in comparison with the smaller tree size. From 30 sample plots measured, the above ground biomass is ranged from 68,03 ton/ha to 599,43 ton/ha with coefficient of variation (CV) equal to 50,29%. Proportionaly, the highest biomass is come from tree biomass (64,97%), then followed by biomass of necromass (20,13%), pole biomass (12,16%), sapling biomass (2,75%), litter biomass (3,3x10-5), and undergrowth biomass (5x10-5). The correlation and regretion analyses between backscatter value and field biomass show that there are 38 statistically significant equations having R² ≥ 50%. However, the verification analysis found that only two models


(6)

identified as the best models having no-significant X²-test, low RMSE (Root

Mean Square Error), low bias, and mean deviation < 10%. The best models are:

1) AGB = 3880.40613930209exp (0.250184794335192 HV) with coefficient determination (R²) of 56% and RMSE of 0.47%.

2) AGB = 1022.27050600692 exp (-0.0114464608949151 HV²) with coefficient determination (R²) of 59% and RMSE of 0.55%.

Those models was than use for estimating biomass in PT. Trisetia Intiga consession area.