BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Struktur Tegakan
Berdasarkan kerapatan bidang dasar dan jumlah pohon per hektar, beberapa jenis pohon dominan yang berada di areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga adalah
Shorea spp., Shorea laevis Ridl, Kayu rimba komersil, Dipterocarpus spp., Eusyderoxylon zwagery,Dacryode ssp., Endospermum spp. Dominansi pohon di
areal IUPHHK PT. Trisetia Intiga di jelaskan dalam Tabel 4.1. Tabel 4.1 Tabel dominansi jenis di IUPHHK PT. Trisetia Intiga berdasarkan luas
bidang dasar dan jumlah pohon No
Nama jenis LBDS
m2Ha Nama jenis
∑ Pohon NHa
1 Shorea spp. 938,62 Shorea spp.
10.675 2 Shorea laevis Ridl
402,45 Kayu rimba komersil 6.550
3 Kayu rimba komersil 300,04 Dipterocarpus spp.
4.375 4 Dipterocarpus spp.
210,61 Shorea laevis Ridl 3.400
5 Eusyderoxylon zwagery 122,47 Dacryodes sp.
2.075 6 Dacryodes sp.
78,70 Endospermum spp. 1.775
7 Endospermum spp. 48,08 Eusyderoxylon
zwagery 1.150
8 Quercus sp. 43,02 Knema sp.
1.150 9 Shorea pinanga
39,07 Cinnamomum parthenoxylon Meissn
1.100 10 Ochanostachys
amentaceae Mast 37,86 Quercus sp.
850
Keterangan:LBDS = Luas Bidang Dasar, Kayu rimba komersil: kumpulan 34 jenis kayu komersil
Sistem permudaan yang diterapkan merupakan sistem permudaan alam dan ditanam pengayaan yang dilakukan sekitar 1satu tahun setelah penebangan. Dari
ke-10 jenis dominan satu diantaranya merupakan jenis kayu indah yang dilindungi yaitu Eusyderoxylon zwagery atau biasa dikenal dengan kayu ulin. Persebaran
kayu ulin di Pulau Kalimantan menjadi salah satu komoditi yang potensial. Akan tetapi, jumlahnya yang semakin menurun akibat deforestasi dan degradasi lahan
membuat jenis kayu indah ini masuk ke dalam jenis yang dilestarikan. Luas bidang dasar dan jumlah pohon dapat mengambarkan kerapatan dan
struktur suatu tegakan yang bermanfaat dalam penentuan perencanaan unit
manajemen. Struktur tegakan hutan alam umumnya membentuk kurva dengan pola J terbalik eksponensial negatif yang menggambarkan pola tegakan tidak
seumur. Model eksponensial negatif merupakan model yang cukup sederhana tetapi dapat menjelaskan dengan baik hubungan diameter pohon dengan jumlah
pohon per hektar. Penggunaan kurva dengan pola J terbalik hanya berlaku pada pengaturan diameter manajemen hutan alam.
Pada penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI di hutan alam, hutan produksi tetap
memiliki kemampuan untuk memanen kayu berdiameter 50 cm. Hasil penelitian menunjukan pola struktur tegakan di areal tersebut memiliki pohon berdiameter
50 cm yang relatif sedikit dan slope yang cukup tajam. Pola kemiringan pada Gambar 4.1 menjelaskan terjadi perbedaan jumlah yang signifikan antara pohon
berdiameter 50 cm dan pohon berdiameter 50 cm dimana jumlah tumbuhan bawah lebih banyak dibandingkan pohon siap tebang atau pohon dengan diameter
50 cm. Berdasarkan pola tersebut menunjukan bahwa lokasi areal penelitian merupakan hutan sekunder bekas tebangan.
Gambar 4.1 Struktur tegakan IUPHHK PT. Trisetia tahun 2012 Jumlah pohon dapat menggambarkan ketersediaan tegakan di setiap tingkat
pertumbuhannya. Pada penelitian ini diketahui pohon berdiameter 10 cm sebanyak 252.000 pohon, pohon dengan diameter 10-49 cm sebanyak 41.225
pohon, dan pohon berdiameter ≥ 50 cm ada 3.150 pohon. Hal tersebut menunjukan ketersediaan tegakan di areal penelitian relatif tinggi pada kelas
tegakan berdiameter 10 cm atau kelas pandang dan rendah pada kelas tegakan berdiameter ≥ 50 cm. Table 4.2 mensajikan jumlah persen komulatif pohon pada
y = 2482.e
-0.04x
R² = 0.806 1000
2000 3000
4000
20 40
60 80
100 120 N
H a
D cm
setiap kelas diameter yang ada, dapat diketahui ketersediaan tegakan konstan pada diameter ≥ 50 cm kurang dari 1 sehingga dapat dikatakan bahwa ketersediaan
pohon berdiameter ≥ 50 cm tidak mempengaruhi ketersediaan tegakannya karena
jumlahnya yang relatif sedikit. Tabel 4.2 Dominansi jumlah pohon dan biomassa berdasarkan kelas diameter
No Kelas
diameter Jumlah
pohon per hektar
Perse ntase
Persen komulati
f Jumlah
biomassa per hektar
Perse ntase
Persen komula
tif 1 10
252000 85.0
85.0 221.51
1.8 1.8
2 10-19 24600
8.3 93.3
998.99 8.3
10.2 3 20-29
9775 3.3
96.6 1522.61
12.7 22.8
4 30-39 4600
1.6 98.2
1484.84 12.4
35.2 5 40-49
2250 0.8
98.9 1553.04
12.9 48.1
6 50-59 1350
0.5 99.4
1720.83 14.3
62.5 7 60-69
675 0.2
99.6 887.43
7.4 69.9
8 70-79 425
0.1 99.8
801.89 6.7
76.5 9 80-89
425 0.1
99.9 1417.76
11.8 88.4
10 90-99 125
0.0 99.9
426.16 3.5
91.9 11 100-109
50 0.0
100.0 382.32
3.2 95.1
12 110-120 100
0.0 100.0
590.23 4.9
100.0 Lain halnya pada nilai proporsi biomassa yang dihasilkan, tidak sepenuhnya
bergantung pada kelas diameter karena unsur yang mempengaruhi biomassa dalam hal ini terdiri dari diameter dan berat jenis kayu itu sendiri. Oleh karena itu,
pada Tabel 4.2 dijelaskan bahwa biomassa pada masing-masing kelas diameter memiliki proporsi yang berbeda-beda dengan peningkatan yang tidak konstan.
Hasil pengukuran menunjukan proporsi biomassa tertinggi berada pada kelas diameter 50-59 cm, dan proporsi biomassa terendah ada pada kelas diameter 10
cm. Pada kelas diameter 60 cm terlihat nilai biomassa memiliki trend yang relatif meningkat, sedangkan pada diameter 60 cm nilai biomassanya memiliki
trend yang relatif menurun. Perubahan trend nilai biomassa tersebut disebabkan karena pola pertumbuhan biomassa itu sendiri yang meningkat sampai dengan
umur tertentu dan konstan setelah umur pertumbuhannya. Namun, pada kelas diameter 80-89 cm terjadi peningkatan biomassa dengan jumlah pohon per
hektarnya yang relatif rendah. Hal tersebut dapat disebabkan karena pada kelas diameter 80-89 cm merupakan kumpulan jenis pohon dengan berat jenis tinggi
sehingga nilai biomassa yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan nilai biomassa kelas diameter yang lebih rendah.
4.2 Biomassa Tegakan