tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurunglkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat
melawan hukum. Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan semata-mata diperlukan dalam
pemidanan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah.
1.2 Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsure pertanggungjawaban pidana. Tidaklah mungkin seseorang dapat
dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggungjawab. Dalam KUHP tidak terdapat pengertian tentang hal ini, yang berhubungan dengan hal ini ialah
pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbunya atau
jiwa yang terganggu karena penyakit:. Namun dalam literature hukum pidana dapat ditemui bebrapa pendapat tentang hal ini.
Menurut Roeslan Saleh, mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu
mampu untuk menentukan kehendaknya.
135
Simons memberikan pendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan
adanya penerapan sesuatu upaya pemidanan.
136
Bahwa seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat yakni mampu mengetahui atau
135
Sudarto, op,cit, hal. 93.
136
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menyadari bahwa perbuataanya bertentanagn dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab atas suatu tindakan pidana itu, pada umumnya:
137
a. Keadaan jiwanya: 1 Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara temporair;
2 Tidak cacat dalam pertumbuhan idiot, imbecile, gagu, dan sebagainya; 3 Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,
pengaruh obat sadar, mengigau karena demam, dan lain-lain. b. Kemampuan jiwanya:
1 Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya; 2 Dapat menetukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
dilaksanakan atau tidak; 3 Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Keadaan jiwa yang bagaimana yang disebut dengan jiwa cacat alam pertumbuhannya gebrekkige ontwikkeling dan terganggunya jiwa karena
penyakit ziekelijke storing tidak terdapat penjelasan lebih jauh dalam Undang- undang
Pompe mengatakan bahwa jiwa cacat dalam pertumbuhannya gebrekkige ontwikkeling dan terganggung jiwa karena penyakit ziekelijke storing adalah
bukan pengertian dari sudut kedokteran, tetapi pengertian hukum. Karena yang pokok disini bukan semata-mata pada keadaan jiwa si pembuat, tetapi tentang
bagaimana hubungan jiwa si pembuat itu dengan perbuatan yang dilakukan.
137
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Op. cIt, hal. 249
Universitas Sumatera Utara
Apakah ada hubungan yang sedemikian rupa eratnya, sehingga si pembuat tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Untuk menetapkan
ada atau tidaknya hubungna keadaan jiwa dengan perbuatannya itu adalah wewenang hakim, dan bukan ahli jiwa.
138
Berdasarkan Pasal 44 tersebut diatas dan pendapat-pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa kemampuan bertanggungjawab seseorang ditentukan oleh
faktor akal. Orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menetukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki hukum, meskipun dalam kenyataanya ada orang
yang tidak menyesuaikan kehendaknya dengan ynag dikehendakinya oleh hukum. Sebagaimana Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan
bertanggungjawab harus ada: 1 Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum; 2 Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi.
139
Dalam tindak pidana di bidang teknologi informasi agaknya sulit untuk mengatakan bahwa keadaan jiwa pelakunya gila, tidak dalam keadaan sadar dan
sebagainya seperti yang diuraikan dalam pendapat-pendapat diatas, sebab menurut kami penulis tidaklah mengkin orang gila atau oarng yang tidak sadar mampu
melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi. Oleh karena tindak pidana teknologi informasi sebagian besar dilakukan dengan system teknologi
138
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 23.
139
Sebagaimana dikutif oleh Mahmud Muliyadi dalam tesisnya, op,cit, hal.58.
Universitas Sumatera Utara
yang canggih dan dimana diperlukan suatu kemapuan sedikitnya mengenal bagian dari teknologi walaupun secara dasar saja.
Bentuk-bentuk tindak pidana teknologi informasi dapat dilakukan oleh orang alamiah yaitu oleh para pelaku teknologi informasi itu sendiri dan
berdsarkan hal-hal tersebut diatas dapat dikonstruksikan tentang pemidanan terhadap pelaku nantinya.
1.3 Tidak Ada Alasan Pembenar