dilakukkannya itu sehingga ia patut di pidana. Bertolak dari pengertian demikian, maka dalam arti luas, persyaratan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya
identik dengan persyaratan pemidanaan penjatuhan pidanatindakan. Ini berarti, asas-asas pertanggungjawaban pidana juga identik dengan asas-asas pemidanaan
pada umumnya, yaitu asas legalitas dan asas culpabilitas. Bahkan bahwa system pertanggungjawaban pidana dalam arti luas tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan sistem aturan pemidanan.
124
Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 empat
persyaratan sebagai berikut:
125
1. Ada suatu tindakan commission atau omission oleh si pelaku; 2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang;
3. Dan tindakan itu bersifat “melawab hukum” atau unlawful, serta; 4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
1.1 Unsur Kesalahan
Pelaku disini adalah orang, bukan makhluk lain. Hubungan pelaku dan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku. Ia
menginsyafi hakekat dari tindakan yang dilakukannya, mengetahui ketercelaan dari tindakannya, dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan
124
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.73.
125
Romli Atmasasmita, op,cit, hal.67.
Universitas Sumatera Utara
tersebut ataiu tidak.
126
Penentuan itu bukan karena ada paksan dari luar maupun dari dalam dirinya, sehingga menyebabkan hapusnya kesalahan pada dirinya atau
dengan memakai istilah Roeslan saleh, tiada alasan pemaaf.
127
Perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana materil masih mengandung prinsip pertanggungjawaban karena adanya kesalahan
schuld dan melawan hukum wederechtelijk sebagai syarat untuk pengenaan pidana,
128
sehingga untuk pertnggungjawaban suatu perbuatan diperlukan beberapa syarat yakni:
1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pembuat; 2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealapaan;
3. Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab; dan 4. Tidak ada alasan pemaaf;
5. Tidak ada alas an pembenaran. Unsur untuk dapat dikatakan bahwa adanya perbuatan pidana didasarkan
pada adanya kesalahan berupa kesengajaan dolus, opzet, intention yang diwarnai dengan sifat melawan hukum kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindakan.
126
Jennifer A. Quaid, Corporate Criminal Liability, McGill Law Journal, Canada, 1998, hal. 98, yang menyatakan bahwa…..which Ashworth describes as follow: “criminal liability
should be imposed only on persons who are sufficiently aware of what they are doing, and of the consequences it might have, [such] that can fairly be said to have chosen behavior and its
consequences”.
127
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, op,cit, hal. 251.
128
Sudarto, Hukum Pidana I, Bahan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah FH Undip, Semarang, 19871988, hal. 85, bahwa dipidanya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan an objective bresh of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Unjtuk pemidanaan masi hperlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan
kepada orang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Kesalahan berupa kealapaan atau culpa ayang diartikan sebagai akibat kurang kehati-hatian secara tidak sengaja sesuatu terjadi. Dalam bahasa Belanda asa tiada
pidana tanpa kesalahan dikenal dengan istilah “ Geen Sraf zonder Schuld”.
129
Asas ini tidak ada dalam KUHP atau dalam peraturan lain namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan
apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Adapun mengenai pengertian kesalahan, yang merupakan syarat untuk
menjatuhkan pidana, dijumpai beberapa pendapat antara lain:
130
1. Mezger mengatakan kesalahan adalah keseluruhan syarat yang member dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.
2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-etisch” dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam
hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan psychisch jiwa itu
perbuatannya dicelakan kepada si pembuat”. 3. Van Hamel mengatakan “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psychologis perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan terwujudnya unsure-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum schuld is de verant woordelijk rechtens”. 4. Pompe mengatakan antara lain: ‘pada pelanggaran norma yang dilakukan
karena kesalahannya, biasanya sifat melawan itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang
129
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 1980, hal. 3.
130
M. Hamdan, op,cit, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari sudut: menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan
verwijbaarheid dan menurut hakekatnya ia adalah hal yang dapat dihindarkannya verwijbaarheid perbuatan yna melawan hukum.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa kesalahan itu mengandung unur pencelaan terhadap si pelaku karena telah
melakukan tindak pidan yang telah dirumusakan dalam peraturan perundang- undangan dan menganung unsure pertanggungjawaban dalam hukum pidana.
131
1. Kesengajaan Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Crimineel wetboek tahun
1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemamuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-
undang”. Memorie van Toelichting MvT Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Crimineel Wetboek 1881 yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, dijelaskan: “sengaja” diartikan: “dengan sadar dan kehendak melakukan kejahatan tertentu”.
132
Didalam Memori van Toelichting MvT WvS belanda ada sedikit keterangan mengenai kesengajaan ini, yang menurut Moeljatno menyatakan
“Pidana pada umunya hendaknya dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
133
131
Ibid, hal. 74.
132
Mahmud Mulyadi, Proses Pembuktian dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Studi Kasus Pencenaran Sungai Belumai Kabupaten
Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara, Tesis pada Program Pascasarjana USU, Medan, 2001, hal.59.
133
Adami Chazawi,op,cit, hal. 92
Universitas Sumatera Utara
Kesengajaan terdiri atas tiga 3 bentuk yaitu:
134
a. Kesengajaan sebagai maksud, sama artinya dengan menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuataan tindak pidana aktif, menghendaki untuk tidak
berbuatmelalaikan kewajiban hukum tindak pidana aktif, dan juga menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu tindak pidana meteril.
b. Kesengajaan sebagai kepastian, adalah berupa kesadaran seseorang terhadap suatu akibat yang menurut akal orang pada umumnya pasti terjadi oleh
dilakukannya suatu perbutan tertentu. c. Kesengjaan sebagai kemungkinan, ialah kesengajaan untuk melakukan
perbutan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk
mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan itu.
2. Kealpaan Didalam Undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu
pengetahuan hukum idana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau cirri-cirinya adalah:
a. Sengaja melakukan suatau tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatanotaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-
baiknya, tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataaan lain ia telah melakukan suatu tindakan aktif atau pasif dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya. Sekitanya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk
134
Ibid
Universitas Sumatera Utara
tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurunglkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela karena bersifat
melawan hukum. Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan semata-mata diperlukan dalam
pemidanan dan bukan penghapusan kesalahan. Oleh sebab itu hakikatnya pertanggungjawaban selalu dimintakan terhadap individu yang dianggap bersalah.
1.2 Kemampuan Bertanggungjawab