Tidak Ada Alasan Pembenar

yang canggih dan dimana diperlukan suatu kemapuan sedikitnya mengenal bagian dari teknologi walaupun secara dasar saja. Bentuk-bentuk tindak pidana teknologi informasi dapat dilakukan oleh orang alamiah yaitu oleh para pelaku teknologi informasi itu sendiri dan berdsarkan hal-hal tersebut diatas dapat dikonstruksikan tentang pemidanan terhadap pelaku nantinya.

1.3 Tidak Ada Alasan Pembenar

Alas an pembenar merupakan alas an yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Alas an pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah daya paksa Pasal 48, pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat 1, melakukan ketentuan undang-undang Pasal 50, dan melaksanakan perintah jabatan yang sah Pasal 51 ayat 1. A. Tentang Daya Paksa Pasal 48 berbunyi: “ Barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Khusus mengenai daya paksa overmacht yang diatur dalam pasal 48 KUHP masih terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menagtakan sebagai alas an pembenar dan ada yang menyatakan sebagai alas an pemaaf, bahkan ada yang menyatakan sebagai alas an pembenar dan ada pula sebagai alasan pemaaf. 140 Yang menjadi persoalan sekarang ini ialah, apkah daya paksa yaitu daya yang memaksa itu merupakan paksaan pisik, terhadap nama orang yang terken tak dapat menghindarkan diri, tau merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap 140 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonseia, Bayumedia, Malang, 2004, hal. 114. Universitas Sumatera Utara mana meskipun secara fisik orang masig dapat menghindarkannya, namun daya itu adalah sedemikian besarnya, sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Kekuatan fisik yang mutlak yang tak dapat dihindari dinamakan vis absoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan vis compuslsiva, karena sekslipun tidak memaksa secara mutlak, tetapi memaksa juga. 141 Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi dalam daya paksa dalam arati sempit overmacht in enge zin dimana sumber atau musababnya paksaan keluar dari orang lain, dan keadaan darurat noodtoestand di mana daya tadi tidak disebabkan oleh oaring lain, tetapi timbul dari keadaan-keadaan yang tetentu. Juga dikatakan, bahwa dalam daya paksa yang sempit, inisyatif untuk berbuat kearah perbuatan yang tetentu, ada pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat, orang yang terkena, bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan. Insiatif ada pada dirinya sendiri. 142 B. Pembelaan Terpaksa Pasal 49 ayat 1 KUHP berbunyi: “tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga”. Rumusan diatas tersebut dapat ditarik unsure-unsur sutau pembelaan terpaksa nodweer tersebut: 1 Pembelaan itu bersifat terpaksa, 141 Moeljatno, op,cit, hal. 114. 142 Ibid, hal. 140. Universitas Sumatera Utara 2 Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain, 3 Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu, 4 Serangan itu melawan hukum. Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas kperluan dan keharusan. Asas ini disebut asas subsidiaritas subsidiariteit. Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan car yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Tidak semua alat dapat dipakai. Hanya yang pantas, masuk akal. 143 C. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Dalam memastikan apakah orang sedang berhadapan dengan suatu ketentuan yang “meletakkan suatu kewajiban” ataupun dengan suatu ketentuan yang “memberikan suatu hak”, maka menurut Profesor Noyon, yang sangat menentukan bukannya rumusan ketentuan undang-undang itu sendiri, melainkan “de strekking”, atau “tujuan” ketentuan undang-undang tersebut. Bahwa perbuatan apa yang boleh dilakukan itu batasnya, tidaklah boleh melakukan semua-muanya perbuatan, melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang-undang tersebut. 144 143 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 159. 144 Adami Chazawi,op,cit , hal. 58. Universitas Sumatera Utara D. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah Pasal 51 ayat 1 berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabantan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan undang-undang yang telah diterangkan sebelumnya. Dalam arti pada kedua-duanya dasar penaiadaan pidana itu mengahapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenagan berdasarkan perintah undang-undang maupu perintah jabantan. 145 Perbedaannya ialah pada perintah jabantan ada hubungan public antara orang yang member perintah dan orang yang diberi perintah yang dalam melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenagan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang sah, sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang- undangnya. 146

1.4 Tidak Ada Alasan Pemaaf