Identification Doctrine Tidak Ada Alasan Pemaaf

tersebut secara kontektual sesuai dengan eksplorasi mengenai kecenderungan konsep yang dipakai dalm RUU KUHP. Tujuh konsep tersebut adalah: 171

1. Identification Doctrine

The identification doctrine merupakan perbuatankesalahan “pejabat senior” senior officer diidentifikasi sebagai perbuatankesalahan korporasi. Teori ini disebut juga doktrinteori “alter ego” atau “teori organ”: a. Arti sempit Inggris hanya perbuatan pejabat senior otak korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. b. Arti luas Amerika serikat tidak hanya pejabat seniordirektur, tetapi juga agen dibawahnya. 172 Menurut doktrin ini, bila seorang yang cukup senior dalam struktur Korporasi, atau dapat mewakili Korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Celia Wells: 173 “So far we have assumed that are two routes to blaming a corporation, the all inclusive vicarious principle and the restrictive alter ego theory, indentifying the company only with ats most senior afficers” 171 www.elsam.or.idtanggungjawab pidana korporasi dalam ruu kuhp18april200914.00 WIB 172 Barda Nawawi Arief, Kepita selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 233. 173 Celia Wells, Development in corporate Liability in England and Wales, cardit, hal.222 Universitas Sumatera Utara Dalam kasus semacam ini akan selalu mungkin untuk menuntut keduanya, yaitu Korporasi dan Individu, namun, suatu korporasi tidak dapat diidentifikasikan atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level yang rendah dalam hirarki korporasi itu. Perbuatannya bukan perbuatan korporasi, dan oleh karena itu korporasi tidak daapt bertanggungjawab. Dalam kasus semacam ini tuntutan hanya daapt dilakukan terhadap individu tersebut, tetapi korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya, teori semacam ini menarik untuk mereka yang menyatakan bahwa korporasi tidak daapt berbuat atau melakukan sesuatu kecuali melalui manusia yang mewakili mereka. 174 Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada suatu korporasi,siapa yang melakukan tindak pidana tersebut harus mampu diidentifikasikan oleh penuntut umum. Apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan “directing mind” dari korporasi tersebut, maka pertanggungjawaban tindak pidana itu baru dapat dibebankan kepada korporasi. 175 Namun terdapat keberatan yang cukup signifikan atas identification doctrine ini, khususnya berkaitan dengan korporasi-korporasi besar dimana kemungkinannya sangat kecil seorang senior manager akan melakukan suatu perbuatn secara langsung actus reus atas suatu tindak pidana dengan disertai mens rea. Dalam hal tindak pidana yang menyebabkan orang mati atau luka tanganya berlumuran dengan darah. Lebih lanjut, dalam sejumlah kasus pada korporasi dengan struktur organisasi yang besar dan konpleks, hampir mustahil 174 A.H. Semendawai, Tanggungjawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP, ELSAM- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Hal.9. 175 Sultan Remy Sjadeini, op,cit, hal.100. Universitas Sumatera Utara bagi pihak luar untuk menembus dinding korporasi guna memastikan individu- individu yang sesungguhnya melakukan kejahatan 176

2. Aggregation Doctrine