54
BAB V ANALISIS DATA
5.1 Pengantar
Pada bab ini data-data yang telah didapatkan akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deksriptif-kualitatif yang lebih mementingkan
ketetapan dan kecukupan data, dimana data yang disajikan berupa deskripsi tentang peristiwa dan pengalaman penting dari kehidupan atau beberapa bagian pokok dari
kehidupan seseorang dengan kata-katanya sendiri. Data-data yang didapatkan diperoleh peneliti dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dengan
informan. Analisis data adalah upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga
karakteristik data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Untuk
melihat gambaran yang lebih jelas dan rinci, maka peneliti mencoba menguraikan hasil wawancara dengan informan tentang data-data tersebut.
Adapun informan yang peneliti wawancarai adalah informan kunci, informan utama. Informan kunci yaitu Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan, informan
utama terdiri dari 4 orang nelayan tradisional yaitu 2 orang yang menerapkan kebijakan dan 2 orang yang tidak menerapkan kebijakan di Kelurahan Bagan Deli
Kecamatan Medan Belawan.
Universitas Sumatera Utara
55
5.2 Hasil Temuan
5.2.1 Informan Utama 1
Nama : Ilham
Umur : 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Riwayat pendidikan : SMP Agama
: Islam Suku
: Melayu Ilham merupakan seorang nelayan tradisional, ia sudah menikah selama 5
tahun dan ia mempunyai seorang istri dan seorang anak yang masih balita. Saat peneliti mendatangi lokasi penelitian untuk wawancara beliau sedang duduk di
perahu miliknya. Ilham sudah 18 tahun menjadi nelayan, ia bertahan menjadi nelayan dikarenakan tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Untuk
sekali pergi melaut ia membutuhkan waktu 10 jam, yaitu berangkat pukul 12 malam dan baru pulang pukul 10 pagi. Ilham melaut tidak sendirian tetapi bersama satu
orang temannya. Sebagai nelayan, ilham selalu mendapat kendala-kendala di laut seperti kencangnya angin dan air pasang yang menyebabkan gelombang tinggi.
Ilham mendapatkan pendapatan Rp. 200.000 per minggu nya. Itupun dalam sebulan hanya dua minggu saja ia melaut. Hal ini sesuai yang dikatakan informan
“saya bertahan menjadi nelayan dikarenakan tidak ada lagi pekerjaan lain, sedangkan mau bekerja cari duit malah ngeluarin duit kalau sekarang ini
dek. Jadi, mau tidak mau saya harus menjadi nelayan untuk biaya hidup keluarga. Saat melaut, saya selalu mendapat kendala-kendala seperti
kencangnya angin dan air pasang yang menyebabkan gelombang tinggi.”
Universitas Sumatera Utara
56
Saat menangkap ikan-ikan di laut, ilham menggunakan alat tangkap ambai apung. Berdasarkan kebijakan menteri No. 02 Tahun 2015 tentang larangan alat
tangkap cantrang, ilham mengetahui tentang kebijakan tersebut. Tetapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut
kepada mereka para nelayan dan tidak adanya sanksi yang diberikan kepada nelayan yang melanggar kebijakan tersebut. Dalam mencari mata pencaharian, ia menerapkan
kebijakan ini walaupun tidak adanya sosialisasi dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan maupun dari instansi lainnya. Karena ia memang tidak pernah memakai
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti cantrangpukat layang. Hal ini seperti yang dikatakan informan
“Sehari-hari untuk mendapatkan ikan saya memakai alat tangkap ambai apung dek. Kalau tentang peraturan menteri kelautan itu saya tau dek,
tapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan tidak pernah ada mensosialisasikan kebijakan tentang larangan alat tangkap
cantrangpukat layang itu disini dek dan tidak adanya sanksi yang diterapkan. Tapi walaupun tidak adanya sosialisasi tentang larangan alat
tangkap cantrangpukat layang itu, saya menerapkan kebijakan tersebut dalam mencari mata pencaharian saya sehari-sehari, karena saya dari
dulu tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem laut itu.”
Ilham menyetujui dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, karena dengan kebijakan ini bisa menghentikan
pengoperasian alat tangkap yang merusak biota dalam laut. Kebijakan ini berpengaruh terhadap pendapatan Ilham, karena kebijakan ini tidak diterapkan di
Universitas Sumatera Utara
57
wilayah tersebut. Sehingga alat tangkap cantrangpukat layang masih tetap beroperasi, maka pendapat Ilham menurun. Berikut penuturannya
“saya menyetujui dengan adanya kebijakan ini dek, karena kebijakan ini bisa menghentikan pengoperasian alat tangkap yang merusak ekosistem
laut. Karena masih adanya nelayan modern yang menggunakan pukat layangcantrang, jadi kebijakan ini berpengaruh terhadap pendapatan saya
dek. Apalagi mereka mendapatkan lebih banyak ikan dengan menggunakan alat tangkap itu, sedangkan kami ikan nya tidak tentu dapatnya dek.”
Istri Ilham bernama Santi membantu mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja membuka warung di depan rumah mereka, dari warung itulah
mereka mendapatkan tambahan penghasilan dimana ia menjual jajanan. Pendapatan yang ia dapat dari warungnya berkisar dari 20 ribu hingga 40 ribu per harinya dan
menurutnya dirasa masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia melakukan segala upaya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari hari.
Berikut penuturan Santi saat peneliti mewawancarai : “Karena pekerjaan sebagai nelayan tidak mencukupi kebutuhan sehari-
hari, saya membuka warung kecil-kecilan didepan rumah dek, dari warung inilah saya memperoleh pendapatan yang sebenarnya masih jauh dari
cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tapi saya akan melakukan segala upaya untuk memenuhi kehidupan kami sebagai keluarga nelayan dek.”
Ilham dan Santi memiliki keinginan kuat untuk pendidikan anaknya kelak, walaupun anak mereka sekarang masih usia 4 tahun. Karena menurut mereka
pendidikan sangat penting untuk anaknya kelak. Meskipun dari keluarga nelayan,
Universitas Sumatera Utara
58
tetapi Santi punya keinginan untuk menyekolahkan anaknya sampai Perguruan Tinggi. Berikut penuturan Santi :
”Pendidikan buat anak kami itu penting, walaupun sekarang anak kami masih kecil. Meskipun kami dari keluarga nelayan, tapi kami punya
keinginan menyekolahkan anak kami sampai perguruan tinggi dek. Dan dia harus bisa jadi lebih dari mamak dan bapaknya lah pokoknya dek.”
Rumah yang di tempati Santi merupakan rumah semi permanen hal ini peneliti lihat pada saat wawancara dirumah beliau dimana lantainya dari terbuat dari
semen dan belum di keramik, kemudian dindingnya sebagian sudah di semen dan sebagian lagi masih terbuat dari kayu dan beratapkan genteng. Rumah yang mereka
tempati merupakan rumah orang tua Ilham. Saat adanya pasang air laut rumah mereka terendam air dan harus menguras rumahnya yang terkena air pasang.
Pengeluaran yang dikeluarkan keluarga ini diantaranya ialah untuk membayar uang listrik tiap bulannya juga untuk belanja kebutuhan mereka sehari hari. Disini tidak
tersedianya koperasi untuk para nelayan, jadi jika sewaktu-waktu perlu uang ia meminjam kepada tetangganya ataupun kerabatnya.
Pendapatan yang diterima menjadi nelayan dan dari warung , dirasa masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Keluarga ini tidak mendapatkan
bantuan dari pemerintah melalui program beras untuk rakyat miskin RASKIN. Saat peneliti bertanya apakah penghasilan dari keluarga ini bisa mencukupi jaminan
kesehatan keluarga nya bila nanti ada yang sakit. Keluarga tidak memiliki tabungan khusus untuk kesehatan namun untungnya keluarganya mengikuti program jaminan
kesehatan BPJS dari pemerintah ia mengikuti program ini karena ia ingin kelak jika sakit nanti ia dan keluarga sudah memiliki jaminan kesehatan. Namun bila hanya
Universitas Sumatera Utara
59
sakit biasa seperti demam dan flu mereka hanya mengonsumsi obat obat biasa yang bisa di beli di warung warung tanpa harus ke klinikpuskesmas.
Ilham dan keluarga nya juga jarang membeli pakaian, mereka membeli pakaian biasanya pada saat hari besar seperti hari raya Idul Fitri, mereka berpendapat
bila pakaian mereka masih layak pakai maka tidak perlu beli yang baru karena hal tersebut merupakan pemborosan mengingat kondisi ekonomi yang mereka hadapi.
Menurut Ilham, dampak dari kebijakan ini sebenarnya mengarah positif terhadap sosial ekonomi nelayan-nelayan tradisional jika kebijakan ini dilaksanakan
dengan baik. Tetapi karena tidak dijalankan dengan baik maka kebijakan ini menjadi negatif terhadap para nelayan tradisional. Kemudian nelayan tradisional juga
meminta kepada aparat agar benar-benar melaksanakan kebijakan tersebut. Karena selama ini, nelayan tradisional di kelurahan ini dari tahun ke tahun terus menjadi
korban pembiaran bagi kapal-kapal dengan alat tangkap trawl dan cantrang.
5.2.2 Informan Utama 2
Nama : Yus
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Riwayat pendidikan : SD Agama
: Islam Suku
: Melayu Bapak Yus merupakan seorang nelayan tradisional, ia memiliki istri dan 3
orang anak. Anak pertama sudah tidak bersekolah lagi karena sudah bekerja, anak kedua masih SMA kelas 2 dan anak ketiga SMP kelas 2. Saat peneliti mendatangi
lokasi penelitian untuk wawancara beliau sedang duduk di perahu miliknya sembari
Universitas Sumatera Utara
60
menunggu uang hasil ikannya dari toke. Pak Yus sudah 40 tahun menjadi nelayan, ia bertahan menjadi nelayan dikarenakan tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai dengan
pendidikannya yang hanya tamatan SD. Untuk sekali pergi melaut ia membutuhkan waktu 4 jam, karena tempat ia menangkap ikan tidak terlalu jauh dari darat. Bapak
Yus melaut dengan kapal miliknya yang sudah tua dan tidak pernah ada bantuan perahu dari pemerintah, bapak Yus juga melaut sendirian. Pendapatan yang diterima
bapak Yus tidak tentu, kira-kira ia bisa mendapat 150 ribu sampai 250 ribu perminggu dari hasil ikan kakap yang pak Yus tangkap. Sebagai nelayan, Pak Yus
selalu mendapat kendala-kendala di laut seperti kencangnya angin dan bahkan jaringnya di curi dengan orang. Hal ini sesuai yang dikatakan informan
“Saya sudah lama menjadi nelayan, kira-kira udah 40 tahunan. Saya tetap menjadi nelayan karena tidak ada lagi pekerjaan yang lain didaerah pesisir
gini dek. Walaupun dilaut saya sering mendapatkan kendala-kendala seperti jaring saya dicuri orang tapi saya tetap bertahan menjadi nelayan
disini.” Saat menangkap ikan-ikan di laut, Pak Yus menggunakan alat tangkap jaring
atung. Berdasarkan kebijakan menteri No. 02 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap cantrang, Pak Yus mengetahui tentang kebijakan tersebut. Tetapi dari pihak
Dinas Pertanian dan Kelautan tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada mereka para nelayan dan tidak adanya sanksi yang diberikan kepada nelayan
yang melanggar kebijakan tersebut. Pak Yus pun menyayangkan tidak adanya pergerakan dari instansi yang terkait. Dalam mencari mata pencaharian, ia
menerapkan kebijakan ini walaupun tidak adanya sosialisasi dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan maupun dari instansi lainnya. Karena ia masih menggunakan
Universitas Sumatera Utara
61
jaring untuk menangkap ikan dan ia memang tidak pernah memakai alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti cantrangpukat layang. Hal ini seperti yang
dikatakan informan ” Sehari-hari untuk mendapatkan ikan saya memakai alat tangkap jaring
atung. Kalau tentang peraturan menteri kelautan itu saya tau dek, tapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan tidak pernah ada
mensosialisasikan kebijakan tentang larangan alat tangkap cantrangpukat layang itu disini dek dan tidak adanya sanksi yang
diterapkan. Mereka cuma omongan aja dek tapi tidak pernah diterapkan disini. Meskipun tidak adanya sosialisasi tentang larangan alat tangkap
cantrangpukat layang itu, saya menerapkan kebijakan tersebut dalam mencari mata pencaharian saya sehari-sehari, karena saya cuma
menggunakan jaring tradisional dan dari dulu saya tidak pernah menggunakan alat tangkap yang merusak ekosistem laut itu.”
Bapak Yus menyetujui dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, karena dengan kebijakan ini bisa menghentikan
pengoperasian alat tangkap yang merusak biota dalam laut. Dengan adanya kebijakan ini bukan makin sedikit pengoperasian alat tangkap cantrang pukat layang tetapi
semakin banyaknya alat tangkap ini. Sehingga pendapatan bapak Yus pun berpengaruh karena alat tangkap cantrangpukat layang masih tetap beroperasi.
Berikut penuturannya “Saya sebagai nelayan disini menyetujui dengan adanya kebijakan ini dek,
karena kebijakan ini bisa menghentikan pengoperasian alat tangkap yang merusak ekosistem laut. Dan kebijakan ini berpengaruh terhadap
Universitas Sumatera Utara
62
pendapatan saya dek, karena dengan adanya kebijakan ini bukan makin sedikit pengoperasian alat tangkap cantrang pukat layang tetapi semakin
banyaknya alat tangkap ini.” Istri bapak Yus yaitu ibu Nur membantu perekonomian keluarga dengan
bekerja sebagai penjual sayur di pasar Bagan Deli yang tidak jauh dari rumah mereka. Penghasilan yang tidak tentu berkisar Rp. 1.000.000,00 per bulannya
pendapat tersebut sudah termasuk modal didalamnya, ibu Nur pun masih bisa menabung tetapi tidak tentu berapa yang ia tabung bila ada uang lebih ia tabung
namun jarang tersimpan karena tabungannya sering habis untuk membayar kebutuhan lainnya. Jika sewaktu-waktu ia kekurangan biaya, ia meminjam kepada
kerabat atau tetangganya. Sebab disini tidak tersedianya koperasi untuk keluarga para nelayan. Ia juga tidak memiliki keterampilan lain yang dapat membantu ekonomi
keluarga nya. Ia berjualan sayur dari pagi hingga habis dagangannya. Berikut penuturan ibu Nur saat diwawancarai ditempat berbeda:
“Untuk membantu ekonomi keluarga saya kerja jualan sayur di pasar Bagan Deli dari pagi sampai habis dagangan saya namun kadang sering juga tidak
habis jadi saya bawa pulang karena tidak mungkin saya paksakan juga harus sampai habis saya harus mengurus anak saya dirumah”
Rumah yang mereka tempati merupakan milik pribadi yang termasuk tipe rumah semi permanen dengan dinding yang sebagian terbuat dari semen juga
sebagian lagi masih terbuat dari papan lantai yang sudah di plester juga atap yang terbuat dari genteng. Mereka juga jarang membeli baju untuk keluarganya mereka
membeli baju biasanya pada saat hari raya Idul Fitri saja, keluarga ini tidak punya tabungan khusus untuk membeli pakaian untuk keluarganya. Berikut penuturannya:
Universitas Sumatera Utara
63
“Saya jarang beli pakaian, paling kalo beli pakaian pas hari raya Idul Fitri saja kadang diluar itu juga namun sangat jarang, saya tidak punya tabungan
khusus untuk membeli pakaian paling kalau ada uang lebih baru saya belanjakan untuk pakaian”.
Keluarga ini juga ikut kedalam program jaminan kesehatan BPJS dari pemerintah hal ini juga membantu mereka karena mereka punya jaminan kesehatan
bila ada keluarganya yang sakit mereka bisa berobat. Namun bila hanya sakit biasa seperti demam dan flu keluarga ini hanya minum obat obat biasa yang bisa dibeli di
apotik dan warung warung. Mereka juga tidak menyediakan tabungan khusus untuk kesehatan.
Bapak Yus dan keluarganya makan 3 kali sehari, anak anaknya juga jarang jajan diluar mereka lebih memilih makan dirumah daripada jajan dikarenakan
mereka juga menasehati anak anaknya kalau bisa jangan banyak jajan diluar karena tidak baik untuk kesehatan mereka juga nantinya. Ibu Nur tidak memahami tentang
gizi mereka juga belum pernah mengikuti sosialisasi tentang gizi, pengetahuan soal gizi yang mereka dapat hanya melalui televisi dan dari saran yang didapat saat
kumpul dengan tetangga tetangga. Kendala yang mereka hadapi dalam memenuhi gizi keluarganya ialah kondisi ekonomi atau penghasilannya yang kurang untuk
membeli multivitamin dan lainnya. Bapak Yus dan istrinya memiliki keinginan kuat untuk pendidikan anaknya,
karena menurut mereka pendidikan sangat penting untuk anaknya kelak. Meskipun dari keluarga nelayan, tetapi mereka punya keinginan untuk menyekolahkan anaknya
sampai Perguruan Tinggi. Mereka juga sudah mulai menabung untuk pendidikan anaknya yang kedua, untuk masuk Sekolah Menengah Pertama SMP.
Universitas Sumatera Utara
64
Menurut Pak Yus sebagai nelayan tradisional tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama
makin langka semenjak adanya alat tangkap cantrang yang digunakan oleh nelayan modern, dan hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun.
5.2.3 Informan Utama 3
Nama : Budi Harianto
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Riwayat pendidikan : SMP Agama
: Islam Suku
: Melayu Bapak Harianto merupakan seorang nelayan, ia sudah menikah selama 16
tahun dan ia mempunyai 3 orang anak yaitu anak pertama masih SMP kelas 3, anak kedua SD kelas 5 dan anak yang ketiga masih berumur 4 tahun. Saat peneliti
mendatangi lokasi penelitian untuk wawancara beliau baru saja datang dari melaut. Pak Harianto sudah 16 tahun menjadi nelayan, ia bertahan menjadi nelayan
dikarenakan memang ini pekerjaan yang ada didaerah pesisir. Untuk sekali pergi melaut ia membutuhkan waktu 2 hari, karena tempat ia menangkap ikan jauh dari
darat dan ia harus membawa banyak bekal makanan untuk dikonsumsinya selama melaut, bahkan ia membawa gas untuk memasak diatas perahunya. Perahu yang
digunakan bukan milik pribadi karena ia hanya nelayan pekerja saja. Saat melaut ia tidak sendirian tetapi ditemani oleh dua orang temannya. Hasil yang ia peroleh dibagi
dua dengan patron dengan sistem 50 untuk patron dan 50 untuk nelayan. Pendapatan bapak Harianto sekitar 200 ribu per minggu, itupun belum mencukupi
Universitas Sumatera Utara
65
menghidupin keluarganya. Sebagai nelayan, Pak Harianto selalu mendapat kendala- kendala di laut seperti kencangnya angin, ombak, perahunya pernah mengalami
kerusakan dan bahkan ia harus tidak melaut dikarenakan pasang yang tinggi. Hal ini sesuai yang dikatakan informan
“Saya menjadi nelayan, selama 16 tahun. Saya tetap menjadi nelayan karena tidak ada lagi pekerjaan yang lain didaerah pesisir gini dek.waktu
saya sekali melaut itu 2 hari baru balik ke darat. Dilaut saya sering mendapatkan kendala-kendala seperti perahu saya yang rusak saat
menangkap ikan dilaut.” Saat menangkap ikan-ikan di laut, Pak Harianto menggunakan alat tangkap
pukat layangcantrang. Berdasarkan kebijakan menteri No. 02 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap cantrang, Pak Harianto mengetahui tentang kebijakan tersebut.
Tetapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada mereka para nelayan dan tidak adanya sanksi yang
diberikan kepada nelayan yang melanggar kebijakan tersebut. Pak Harianto pun tetap menggunakan alat tangkap ini yang jelas-jelas di larang pengoperasiannya. Dalam
mencari mata pencaharian, ia tidak menerapkan kebijakan ini karena tidak adanya sosialisasi dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan maupun dari instansi
lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan informan ” Sehari-hari untuk mendapatkan ikan saya memakai alat tangkap pukat
layangcantrang. Kalau tentang peraturan menteri kelautan itu saya tau dek, tapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan tidak
pernah ada mensosialisasikan kebijakan tentang larangan alat tangkap cantrangpukat layang itu disini dek. Jadi, saya ya tetap aja memakai
Universitas Sumatera Utara
66
pukat layangcantrang ini. Dengan pukat ini saya bisa dapat banyak ikan dilaut dek, mumpung tidak adanya sanksi dari pemerintah dek.”
Bapak Harianto tidak menyetujui dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, karena dengan kebijakan ini akan membuat
pendapatan ikannya menurun. Dengan menggunakan alat tangkap ini ia bertahan hidup menjadi nelayan. Walaupun banyak yang menyetujui dengan adanya kebijakan
menteri ini. Berikut penuturan bapak Harianto : “Walaupun banyak yang menyetujui dengan kebijakan pelarangan alat
tangkap cantrangpukat layang tetapi saya tidak menyetujuinya, karena disini lah pendapatan saya sehari-hari untuk keluarga.”
Istri bapak harianto yaitu ibu mega juga membantu suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah
satu rumah di daerah Kecamatan Labuhan. Ia bekerja pukul 8.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB, sebelum pergi bekerja ia selalu memasak makanan untuk keluarga.
Penghasilan ibu Mega menjadi Pembantu Rumah Tangga ialah Rp. 800.000bulan nya. Namun, jika ia sewaktu-waktu membutuhkan uang. Ia meminjam kepada
kerabatnya ataupun tetangganya sebab disini tidak adanya koperasi untuk para nelayan tradisional. Berikut penuturan ibu Mega yang saat diwawancarai beliau baru
pulang bekerja: “Karena tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, saya juga bekerja
menjadi pembantu rumah tangga di daerah kecamatan Labuhan dek. Saya memperoleh pendapatan yang sebenarnya masih jauh dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan. Tapi saya tetap bersyukur walaupun kami serba kekurangan sebagai keluarga nelayan.”
Universitas Sumatera Utara
67
Rumah yang di tempati oleh keluarga ini merupakan rumah milik pribadi, rumah nya merupakan rumah semi permanen dengan pondasi dinding berbahan
campuran sudah di semen dan setengah lagi masih papan, lantainya juga sudah di plester namun belum di keramik, atapnya juga terbuat dari genteng. Namun ia tetap
bersyukur karena masih memiliki tempat bernaung untuk keluarganya. Keluarga bapak Harianto tidak terlalu sering membeli pakaian untuknya dan
anak anaknya, ia tidak bisa memastikan seberapa sering karena ia juga tidak memiliki tabungan khusus untuk membeli pakaian namun biasanya mereka membeli
pakaian pada saat hariraya Idul Fitri, terkadang juga bila ada rejeki berlebih ia juga membeli pakaian untuknya dan keluarganya diluar saat lebaran. Berikut
penuturannya “saya jarang beli pakaian untuk anak anak tidak pasti seberapa sering saya
beli, namun biasanya saat hari raya Idul Fitri saya belikan mereka pakaian, kalo diluar itu ya kalo ada rejeki lah kadang saya belanjakan
juga”. Bapak Harianto dan istri tidak memiliki tabungan khusus untuk kesehatan
bila mana kelak ada yang sakit. Untungnya Ia dan keluarganya sudah ikut dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat JAMKESMAS guna melindungi
keluarganya bila sakit. Bila sakitnya hanya sakit biasa seperti demam dan batuk ia hanya memberikan keluarganya obat obat yang bisa di beli di warung atau klinik
namun jika dirasa cukup parah maka ia membawa anaknya ke puskesmas. Ia merasa terbantu dengan adanya program ini, dikarenakan bila mana nanti ada yang sakit di
keluarganya pasti membutuhkan biaya yang besar, oleh karena itu ia merasa bersyukur dengan adanya program ini.
Universitas Sumatera Utara
68
Ibu Mega tidak banyak mengetahui mengenai gizi, ia tidak pernah mendapatkan sosialisasiinfo soal gizi, ia hanya mengetahui sedikit mengenai gizi. Ia
tidak memberikan anaknya multivitamin namun ia sering memasak sayur dan ikan hasil melaut bapak Harianto untuk anak-anaknya. Berikut penuturannya saat
diwawancarai: “Saya kurang mengetahui soal gizi karena tidak pernah dapat informasi
paling saya sering masak sayur dan ikan hasil dari melaut suami saya buat mereka.”
Saat peneliti bertanya untuk pendidikan anak anaknya ibu Mega mengatakan bahwa ia memang tidak memiliki tabungan yang pasti untuk anak-anaknya namun ia
pasti akan bekerja semaksimal mungkin berjuang agar anaknya bisa sekolah sampai ke bangku kuliah. Dan menjadi orang yang lebih dari orang tuanya. Bapak Harianto
dan ibu Mega juga menanam nilai-nilai agama kepada anak-anaknya agar tidak terjebak kepergaulan yang tidak benar nantinya.
Bapak Harianto mengatakan menjadi nelayan bukan nya pekerjaan yang mudah. Ia harus bermasalah dengan alat tangkap yang digunakannya untuk mencari
ikan di laut. Disisi lain ia harus menghidupin keluarganya dengan penghasilan yang minim.
5.2.4 Informan Utama 4
Nama : Darma
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Riwayat pendidikan : SMP Agama
: Islam
Universitas Sumatera Utara
69
Suku : Melayu
Bapak Darma merupakan seorang nelayan, ia mempunyai seorang istri dan 2 orang anak. Anak pertama masih SMP kelas 2 dan anak kedua SD kelas 4. Saat
peneliti mendatangi lokasi penelitian untuk wawancara beliau lagi mengobrol dengan nelayan lainnya. Bapak Darma sudah 25 tahun menjadi nelayan di daerah Bagan
Deli, ia bertahan menjadi nelayan dikarenakan memang ini pekerjaan yang ia kerjakan dari dulu dan tidak adanya pekerjaan lain di daerah pesisir. Untuk sekali
pergi melaut ia membutuhkan waktu 2 hari, ia pun harus membawa banyak bekal makanan untuk dikonsumsinya selama melaut. Ia melaut tidak sendirian melainkan
ditemani oleh 1 orang temannya. Perahu yang ia gunakan merupakan milik pribadi yang ia peroleh dari mencicil pada toke. Pendapatan yang di peroleh bapak Darma
sekitar 300 ribu sampai 350 ribu. Sebagai nelayan, bapak Darma selalu mendapat kendala-kendala di laut seperti kencangnya angin, ombak yang tinggi dan bila hujan
ia harus kebasahan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan informan : “Saya kira-kira sudah 25 tahunan bekerja sebagai nelayan. Untuk sekali
melaut saja saya membutuhkan waktu 2 hari. Banyak kendala yang saya alami di laut dek, misalnya aja kalau udah hujan angin laut kencang kali dek
apalagi ombaknya yang tinggi.” Sehari-hari Pak Darma menggunakan alat tangkap pukat layangcantrang
untuk menangkap ikan dilaut. Berdasarkan kebijakan menteri No. 02 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap cantrang, Pak Darma mengetahui tentang kebijakan
tersebut. Namun dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada mereka para nelayan dan tidak adanya
sanksi yang diberikan kepada nelayan yang melanggar kebijakan ini. Pak Darma pun
Universitas Sumatera Utara
70
tetap menggunakan alat tangkap ini yang jelas-jelas di larang pengoperasiannya. Dalam mencari mata pencaharian, ia tidak menerapkan kebijakan ini karena tidak
adanya adanya sanksi dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan maupun dari instansi lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan informan :
”Saya memakai alat tangkap pukat layangcantrang. Kalau tentang peraturan menteri kelautan itu saya tau dek, tapi dari pihak Dinas
Pertanian dan Kelautan Kota Medan tidak pernah ada mensosialisasikan kebijakan tentang larangan alat tangkap cantrangpukat layang itu disini.
Mereka pun tidak ada memberikan sanksi kepada kami yang masih menggunakan alat tangkap cantrang pukat layang ini.”
Bapak Darma tidak menyetujui dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, karena ia cuma mempunyai alat tangkap
cantrangpukat layang untuk mendapatkan ikan. Apalagi pemerintah belum memberi solusi tentang akat tangkap yang harus digunakan. Berikut penuturan bapak Darma :
“Saya tidak menyetujui dengan adanya kebijakan tentang larangan penggunaan alat tangkap cantrang ini. Karena dari alat inilah saya bisa
menafkahi keluarga saya.” Bapak Darma mempunyai istri yang berkerja. Istrinya yaitu ibu Herlina dan ia
bekerja sebagai penjual sayur keliling untuk membantu perekonomian keluarganya. Ia bekerja pukul 8.00 WIB hingga sayurnya habis terjual, kadang sayurnya yang
tidak habis terjual ia membawanya pulang kembali. Penghasilan ibu Herlina menjadi penjual sayur keliling ialah Rp.500.000bulan nya. Berikut penuturan ibu Herlina
yang saat diwawancarai beliau baru pulang berjualan:
Universitas Sumatera Utara
71
“Pekerjaan sebagai nelayan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, saya istri Ilham bekerja menjadi penjual sayur keliling. Saya memperoleh
pendapatan sekitar 500 ribu perbulannya, yang sebenarnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tapi kami tetap bersyukur walaupun
serba kekurangan sebagai keluarga nelayan.” Rumah yang di tempati keluarga ini ialah rumah semi permanen hal itu
peneliti lihat saat melakukan wawancara dirumah informan, dinding rumahnya setengahnya sudah di semen dan setengahnya lagi masih kayu, dan lantainya sudah
disemen namun tidak di keramik, juga atapnya yang terbuat dari genteng. Rumah yang mereka tempati merupakan bukan rumah milik mereka pribadi, mereka
menyewa rumah tersebut dengan sewa Rp.2.000.000 per tahunnya. Bapak Darma masih belum memiliki Rumah sendiri milik pribadi, ia dan keluarganya ingin
memiliki rumah pribadi kelak agar mereka tidak menyewa lagi. Berikut penuturan istrinya :
“iya dek rumah kami sekarang ini kami sewa, pengen sih punya rumah sendiri kayak orang lain tapi kondisi sekarang yang belum memungkinkan,
nanti kalo saya sudah ada uang lebih kepengen saya bantu suami saya untuk membeli rumah biar bisa punya rumah sendiri buat keluarga kami.”
Meskipun begitu bapak Darma dan keluarga tetap merasa bersyukur karena masih diberikan tempat untuk bernaung.
Ibu Herlina tidak memahami tentang gizi mereka juga belum pernah mengikuti sosialisasi tentang gizi, pengetahuan soal gizi yang mereka dapat hanya
melalui televisi dan dari saran yang didapat saat kumpul dengan tetangga tetangga.
Universitas Sumatera Utara
72
Kendala yang mereka hadapi dalam memenuhi gizi keluarganya ialah kondisi ekonomi atau penghasilannya yang kurang untuk membeli multivitamin dan lainnya.
Ibu Herlina dan keluarga mengikuti jaminan kesehatan dari pemerintah, ia tidak memiliki tabungan khusus untuk kesehatan keluarganya, untungnya hingga saat
ini keluarga nya tidak pernah sakit yang berat, biasanya kalau sakit hanya demam dan flu atau pilek, jika begitu mereka hanya mengonsumsi obat obatan yang bisa di
beli di warung atau klinik. Keluarga bapak Darma jarang membeli pakaian baru biasanya mereka
membeli pakaian hanya pada saat Hari Raya Idul Fitri karena menurut mereka pakaian yang mereka pakai masih layak dan nyaman untuk dipakai dan juga
merupakan hal yang terlalu boros melihat kondisi ekonomi keluarga mereka. Saat peneliti menanyakan tentang pentingnya pendidikan untuk keluarganya, bapak darma
mengatakan bahwa pendidikan sangat penting untuk keluarganya ia sebisa mungkin berjuang guna pendidikan anak anaknya ia tidak ingin anak anaknya sampai tidak
sekolah, menurut nya pendidikan yang membuat pola pikir anak anaknya baik dalam berpikir dan berprilaku ia ingin anak anaknya berpendidikan lebih darinya.
Menurut bapak Darma menjadi nelayan itu tidaklah mudah. Ia harus berhadapan dengan pemerintah jika kebijakan larangan penggunaan alat tangkap
cantrangpukat layang ini dilaksanakan di tempat ia mencari ikan. Sebab dari alat tangkap itulah ia mencari nafkah untuk keluarganya.
5.2.5 Informan Kunci
Nama : Rakhmawati
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Universitas Sumatera Utara
73
Jabatan : Kepala Seksi Peningkatan Produksi Perikanan Tangkap
Ibu Rakhmawati merupakan kepala seksi yang mempunyai tugas untuk peningkatan produksi perikanan tangkap. Menurutnya, kebijakan larangan
penggunaan alat tangkap cantrang ini mempunyai tujuan untuk menjaga sumber daya laut yang berkelanjutan. Karena alat tangkap ini telah mengakibatkan menurunnya
sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan. Mereka juga sudah mensosialisasikan tetapi hanya kepada pengusaha-pengusaha perikanan di
Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan saja tidak turun langsung ke laut sehingga para nelayan tradisional tidak mengetahui adanya sosialisasi. Mereka
mensosialisasikan kebijakan ini dengan cara mengadakan pertemuan saja lalu mereka menerangkan kepada lainnya. Sumber daya manusiapegawai untuk melaksanakan
kebijakan ini belum sesuai dengan kebutuhan, jadi mereka memerlukan kerjasamanya agar kebijakan ini bisa terlaksana dengan baik. Orang-orang yang
terlibat atau instansi yang terlibat dalam pencapaian kebijakan menteri ini adalah Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
dan Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan. Pengawasan dan pengontrolan kebijakan ini belum ada dari Dinas Pertanian
dan Kelautan karena ini tugas dari PSDKP. Dukungan dari masyarakat terhadap kebijakan ini ada. Tetapi mereka cuma bisa menyalurkannya dengan cara mendemo
saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak semuanya kebijakan ini dipatuhi, masih banyak nelayan yang tidak mematuhi kebijakan ini tetapi mereka yang tidak
mematuhi kebijakan ini belum mendapatkan sanksi dari pemerintah. Kendala- kendala dalam pelaksanaan kebijakan ini ialah belum cukupnya sumber daya
Universitas Sumatera Utara
74
manusiapegawai untuk melaksanakan nya dan masih banyaknya nelayan yang masih nakal tidak mematuhi peraturan ini.
5.3 Analisis pelaksanaan kebijakan larangan penggunaan alat tangkap
cantrang di kelurahan Bagan Deli kecamatan Medan Belawan
Alat penangkapan ikan sebagai salah satu input usaha perikanan memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan perikanan. Kementerian kelautan dan
perikanan menerbitkan peraturan nomor 2PERMEN-KP2015, dimana cantrang merupakan salah satu alat tangkap yang dilarang. Pelarangan cantrang dilakukan
karena pengoperasiannya mengancam ekosistem dan sumberdaya ikan. Di sisi lain, cantrang merupakan alat tangkap ikan tradisonal yang sebagian besar digunakan oleh
nelayan Bagan Deli. Kebijakan ini tidak berjalan dengan baik di kelurahan ini. Hal ini disebabkan
pihak pemerintah tidak melakukan sosialisasi langsung terhadap nelayan-nelayan di kelurahan ini. Melainkan mereka hanya mensosialisikan kepada pengusaha-
pengusaha perikanan yang merupakan orang pantai. Hal ini di ungkapkan oleh informan kunci :
“kami juga melakukan sosialisasi tetapi hanya kepada pengusaha-pengusaha perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan saja. Tidak turun langsung
ke laut untuk mensosialisasikannya” Rakhmawati, 53 tahun Nelayan di Kelurahan Bagan Deli juga merasakan tidak adanya sosialisasi
langsung dari pemerintah terhadap mereka terkait pelarangan alat tangkap cantrang ini. Dengan tidak adanya sosialisasi mereka yang tidak menggunakan alat tangkap
cantrang merasa rugi dengan hasil penangkapan yang sedikit dibandingkan mereka yang menggunakan alat tangkap ini. Seperti penuturan mereka yang sama:
Universitas Sumatera Utara
75
“kami disini tidak pernah ada sosialisasi dari pihak dinas atau instansi terkait tentang kebijakan menteri larangan penggunaan alat tangkap cantrang ini”
Yus, 50 tahun. Dengan tidak berjalannya kebijakan dengan baik, para nelayan meminta
kepada aparat agar benar-benar melaksanakan ini, karena nelayan tradisional di kelurahan ini dari tahun ke tahun terus menjadi korban pembiaran bagi kapal-kapal
dengan alat tangkap trawl dan cantrang.
5.4 Analisis dampak implementasi kebijakan larangan penggunaan alat