64
Menurut Pak Yus sebagai nelayan tradisional tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama
makin langka semenjak adanya alat tangkap cantrang yang digunakan oleh nelayan modern, dan hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun.
5.2.3 Informan Utama 3
Nama : Budi Harianto
Umur : 36 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Riwayat pendidikan : SMP Agama
: Islam Suku
: Melayu Bapak Harianto merupakan seorang nelayan, ia sudah menikah selama 16
tahun dan ia mempunyai 3 orang anak yaitu anak pertama masih SMP kelas 3, anak kedua SD kelas 5 dan anak yang ketiga masih berumur 4 tahun. Saat peneliti
mendatangi lokasi penelitian untuk wawancara beliau baru saja datang dari melaut. Pak Harianto sudah 16 tahun menjadi nelayan, ia bertahan menjadi nelayan
dikarenakan memang ini pekerjaan yang ada didaerah pesisir. Untuk sekali pergi melaut ia membutuhkan waktu 2 hari, karena tempat ia menangkap ikan jauh dari
darat dan ia harus membawa banyak bekal makanan untuk dikonsumsinya selama melaut, bahkan ia membawa gas untuk memasak diatas perahunya. Perahu yang
digunakan bukan milik pribadi karena ia hanya nelayan pekerja saja. Saat melaut ia tidak sendirian tetapi ditemani oleh dua orang temannya. Hasil yang ia peroleh dibagi
dua dengan patron dengan sistem 50 untuk patron dan 50 untuk nelayan. Pendapatan bapak Harianto sekitar 200 ribu per minggu, itupun belum mencukupi
Universitas Sumatera Utara
65
menghidupin keluarganya. Sebagai nelayan, Pak Harianto selalu mendapat kendala- kendala di laut seperti kencangnya angin, ombak, perahunya pernah mengalami
kerusakan dan bahkan ia harus tidak melaut dikarenakan pasang yang tinggi. Hal ini sesuai yang dikatakan informan
“Saya menjadi nelayan, selama 16 tahun. Saya tetap menjadi nelayan karena tidak ada lagi pekerjaan yang lain didaerah pesisir gini dek.waktu
saya sekali melaut itu 2 hari baru balik ke darat. Dilaut saya sering mendapatkan kendala-kendala seperti perahu saya yang rusak saat
menangkap ikan dilaut.” Saat menangkap ikan-ikan di laut, Pak Harianto menggunakan alat tangkap
pukat layangcantrang. Berdasarkan kebijakan menteri No. 02 Tahun 2015 tentang larangan alat tangkap cantrang, Pak Harianto mengetahui tentang kebijakan tersebut.
Tetapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut kepada mereka para nelayan dan tidak adanya sanksi yang
diberikan kepada nelayan yang melanggar kebijakan tersebut. Pak Harianto pun tetap menggunakan alat tangkap ini yang jelas-jelas di larang pengoperasiannya. Dalam
mencari mata pencaharian, ia tidak menerapkan kebijakan ini karena tidak adanya sosialisasi dari Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan maupun dari instansi
lainnya. Hal ini seperti yang dikatakan informan ” Sehari-hari untuk mendapatkan ikan saya memakai alat tangkap pukat
layangcantrang. Kalau tentang peraturan menteri kelautan itu saya tau dek, tapi dari pihak Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan tidak
pernah ada mensosialisasikan kebijakan tentang larangan alat tangkap cantrangpukat layang itu disini dek. Jadi, saya ya tetap aja memakai
Universitas Sumatera Utara
66
pukat layangcantrang ini. Dengan pukat ini saya bisa dapat banyak ikan dilaut dek, mumpung tidak adanya sanksi dari pemerintah dek.”
Bapak Harianto tidak menyetujui dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, karena dengan kebijakan ini akan membuat
pendapatan ikannya menurun. Dengan menggunakan alat tangkap ini ia bertahan hidup menjadi nelayan. Walaupun banyak yang menyetujui dengan adanya kebijakan
menteri ini. Berikut penuturan bapak Harianto : “Walaupun banyak yang menyetujui dengan kebijakan pelarangan alat
tangkap cantrangpukat layang tetapi saya tidak menyetujuinya, karena disini lah pendapatan saya sehari-hari untuk keluarga.”
Istri bapak harianto yaitu ibu mega juga membantu suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah
satu rumah di daerah Kecamatan Labuhan. Ia bekerja pukul 8.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB, sebelum pergi bekerja ia selalu memasak makanan untuk keluarga.
Penghasilan ibu Mega menjadi Pembantu Rumah Tangga ialah Rp. 800.000bulan nya. Namun, jika ia sewaktu-waktu membutuhkan uang. Ia meminjam kepada
kerabatnya ataupun tetangganya sebab disini tidak adanya koperasi untuk para nelayan tradisional. Berikut penuturan ibu Mega yang saat diwawancarai beliau baru
pulang bekerja: “Karena tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, saya juga bekerja
menjadi pembantu rumah tangga di daerah kecamatan Labuhan dek. Saya memperoleh pendapatan yang sebenarnya masih jauh dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan. Tapi saya tetap bersyukur walaupun kami serba kekurangan sebagai keluarga nelayan.”
Universitas Sumatera Utara
67
Rumah yang di tempati oleh keluarga ini merupakan rumah milik pribadi, rumah nya merupakan rumah semi permanen dengan pondasi dinding berbahan
campuran sudah di semen dan setengah lagi masih papan, lantainya juga sudah di plester namun belum di keramik, atapnya juga terbuat dari genteng. Namun ia tetap
bersyukur karena masih memiliki tempat bernaung untuk keluarganya. Keluarga bapak Harianto tidak terlalu sering membeli pakaian untuknya dan
anak anaknya, ia tidak bisa memastikan seberapa sering karena ia juga tidak memiliki tabungan khusus untuk membeli pakaian namun biasanya mereka membeli
pakaian pada saat hariraya Idul Fitri, terkadang juga bila ada rejeki berlebih ia juga membeli pakaian untuknya dan keluarganya diluar saat lebaran. Berikut
penuturannya “saya jarang beli pakaian untuk anak anak tidak pasti seberapa sering saya
beli, namun biasanya saat hari raya Idul Fitri saya belikan mereka pakaian, kalo diluar itu ya kalo ada rejeki lah kadang saya belanjakan
juga”. Bapak Harianto dan istri tidak memiliki tabungan khusus untuk kesehatan
bila mana kelak ada yang sakit. Untungnya Ia dan keluarganya sudah ikut dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat JAMKESMAS guna melindungi
keluarganya bila sakit. Bila sakitnya hanya sakit biasa seperti demam dan batuk ia hanya memberikan keluarganya obat obat yang bisa di beli di warung atau klinik
namun jika dirasa cukup parah maka ia membawa anaknya ke puskesmas. Ia merasa terbantu dengan adanya program ini, dikarenakan bila mana nanti ada yang sakit di
keluarganya pasti membutuhkan biaya yang besar, oleh karena itu ia merasa bersyukur dengan adanya program ini.
Universitas Sumatera Utara
68
Ibu Mega tidak banyak mengetahui mengenai gizi, ia tidak pernah mendapatkan sosialisasiinfo soal gizi, ia hanya mengetahui sedikit mengenai gizi. Ia
tidak memberikan anaknya multivitamin namun ia sering memasak sayur dan ikan hasil melaut bapak Harianto untuk anak-anaknya. Berikut penuturannya saat
diwawancarai: “Saya kurang mengetahui soal gizi karena tidak pernah dapat informasi
paling saya sering masak sayur dan ikan hasil dari melaut suami saya buat mereka.”
Saat peneliti bertanya untuk pendidikan anak anaknya ibu Mega mengatakan bahwa ia memang tidak memiliki tabungan yang pasti untuk anak-anaknya namun ia
pasti akan bekerja semaksimal mungkin berjuang agar anaknya bisa sekolah sampai ke bangku kuliah. Dan menjadi orang yang lebih dari orang tuanya. Bapak Harianto
dan ibu Mega juga menanam nilai-nilai agama kepada anak-anaknya agar tidak terjebak kepergaulan yang tidak benar nantinya.
Bapak Harianto mengatakan menjadi nelayan bukan nya pekerjaan yang mudah. Ia harus bermasalah dengan alat tangkap yang digunakannya untuk mencari
ikan di laut. Disisi lain ia harus menghidupin keluarganya dengan penghasilan yang minim.
5.2.4 Informan Utama 4