2.2 Kondisi Mayarakat Kota Sibolga Pada Masa Kolonial
Sibolga merupakan sebuah kota bahari yang terletak di pantai barat Sumatera. Dahulu, Sibolga hanyalah sebuah dusun kecil yang berada di pinggir sungai Aek
Doras. Tetapi seiring perjalanan waktu, Sibolga tumbuh dan berkembang menjadi pusat perdagangan. Adapun hasil bumi yang diperdagangkan meliputi, karet, kopi,
kemenyan, rotan, rempah-rempah dan komoditi lainnya. Barang-barang perdagangan ini berasal dari Sibolga maupun dari daerah di sekitarnya. Wilayah ini merupakan
suatu tempat yang sering dikunjungi oleh para pelaut yang datang dari dalam maupun luar pulau Sumatera untuk melakukan perdagangan. Jelasnya Sibolga merupakan
sebuah kota pelabuhan. Perdagangan yang terjadi di wilayah Sibolga tidak hanya dengan orang-orang
yang berasal dari wilayah Sibolga atau luar wilayah Sumatera, akan tetapi juga dengan bangsa asing yang datang ke Sibolga. Perdagangan itu semakin berkembang
dan ramai dengan singgahnya kapal-kapal asing dari Eropa, di antaranya, Portugis, Inggris, Tiongkok, Siam, dan Birma untuk membeli rempah-rempah dan komoditas
pertanian lainnya.
17
17
Syahril Alam, Bandar Dagang Di Pantai Barat Sumatera, Jakarta : Bumi Akasara. 1993, hlm. 38
Universitas Sumatera Utara
Untuk lebih jelas data penduduk Sibolga pada tahun 1930 adalah sebagai berikut :
Masyarakat pribumi berjumlah 839.515 orang yang terdiri dari laki-laki 421.365 orang dan perempuan 418.150 orang
Asing Timur berjumlah 3.307 orang yang terdiri dari laki-laki 2.001 orang
dan perempuan 1.306 orang
Eropa berjumlah 763 orang yang terdiri dari laki-laki 302 orang dan perempuan 461 orang
18
Perdagangan yang terjadi antara orang Sibolga dan masyarakat yang berasal dari pedalaman Sumatera telah terjadi sejak lama. Orang-orang yang berasal dari
wilayah pedalaman membutuhkan hasil laut seperti garam dan ikan yang didapatkan dari masyarakat di sekitar pantai Sibolga. Sebaliknya, masyarakat pesisir pantai
memerlukan hasil petanian seperti buah-buahan, sayuran dan hasil hutan lainnya.
19
Rute perjalanan yang ditempuh oleh orang-orang dari Batak Toba ke daerah Pantai Barat Sumatera yaitu dengan melakukan perjalanan dari Silindung-Aek Raisan-
Bonan Dolok-Mela-Poncan-Mursala dengan pulang pergi.
20
Perdagangan inilah yang menyebabkan banyaknya masyarakat Batak, Aceh, Minang dan lainnya yang datang
ke daerah Sibolga, sehingga mendapat julukan Negeri Berbilang Kaum.
18
Landsdrukkerij wekteureden, Regerings-Alamak voor Nederlandsch indie 1930 wilayah dan stuktur penduduk dari pemerintahan Hindia Belanda, Jakarta : Arsip Nasional Indonesia, hlm. 17
19
Wawancara dengan Bpk. Zulkifli pada tangal 10 April 2011
20
Panitia Hari Jadi Kota Sibolga ke-307, Sibolga Dalam Lintasan Sejarah, 2007, dalam makalah tanggal 2 April 2007, hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
Julukan “Negeri Berbilang Kaum” menggambarkan kondisi masyarakatnya yang majemuk. Ada beberapa etnis yang terdapat di wilayah Sibolga, sehingga kota
tersebut mendapat julukan itu. Etnis yang terdapat di Sibolga antara lain Toba, Mandailing, Melayu, Nias, Jawa, Minang, Bugis, Aceh, dan suku-suku lain dari
Indonesia bagian timur. Selain itu, terdapat beberapa pendatang asing seperti etnis Tionghoa, India, dan Arab yang hidup berdampingan secara damai dan saling
menghormati adat istiadat masing-masing. Akan tetapi masyarakat di kota Sibolga lebih dominan adalah orang Batak. Hal ini juga menggambarkan bahwa kota Sibolga
merupakan suatu wilayah yang multi-etnik. Etnik Batak yang pertama seperti yang telah disebutkan di atas berasal dari
Silindung yang bernama Tuanku Dorong dan bermarga Hutagalung. Diperkirakan bahwa marga inilah yang memasuki Sibolga pada tahun 1700. Hal ini berdasarkan
bukti bahwa keturunan marga Hutagalung masih berdiam di Sibolga hingga saat ini dan telah sampai sembilan keturunan. Selain marga-marga Hutagalung, marga Batak
lainnya datang secara bergerombol dan bermukin di sebahagian wilayah Sibolga.
21
Marga-marga Batak lain yang pertama sekali mendiami kota Sibolga antara lain Simatupang, Panggabean, Hutabarat, Pohan, Batubara, Nadeak, Pasaribu dan marga
Tambunan.
22
21
Wawancara dengan Bpk. L. Simbolon pada tanggal 24 Maret 2011
22
Pemko Sibolga, Keberagaman Etnik Kota Sibolga, Sibolga : Tanpa Penerbit, 2007, hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sibolga bahasa daerah atau bahasa Batak sangatlah jarang dipergunakan untuk pengucapan sehari-hari, khususnya masyarakat yang berada di
pesisir pantai. Masyarakat lebih cenderung menggunakan bahasa pesisir. Bahasa pesisir ini adalah suatu alat komunikasi masyarakat pesisir dalam menyampaikan
maksud dan tujuan, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa pesisir tersebut banyak digunakan oleh masyarakat yang berada di Tapanuli Tengah dan Sibolga. Peranan
bahasa pesisir telah menjadi bahasa pengantar dalam berbagai kegiatan masyarakat Sibolga, seperti dalam upacara pernikahan adat Sumando.
Pada saat terjadinya perdagangan yang dilakukan antara orang-orang pedalaman dan masyarakat pesisir pantai Sibolga seorang Ompu Hurinjom
Hutagalung yang berasal dari Silindung membentuk suatu permukimam di daerah Simaminggir. Simaminggir merupakan suatu kawasan yang dekat dengan Bonan
Dolok yang terletak 10 km dari sebelah utara Sibolga. Tempat tersebut berada pada ketinggian 1.266 meter di atas permukaan laut sehingga secara langsung dapat
melihat ke Teluk Tapian Nauli. Pada akhirnya tempat tersebut berfungsi sebagai tempat persinggahan bagi orang yang melakukan perjalanan dari Silindung ke Pantai
Barat. Ompu Datu Hurinjom Hutagalung berperawakan besar yang dalam bahasa Batak disebut balga, para pedagang pribumi sering berkata : ‘Beta singga tu inganan
ni si Balga-I’ Mari singgah singgah ke tempat si besar itu, maka julukan itu
Universitas Sumatera Utara
kemudian melekat hingga ke anak cucunya. Inilah yang kemudian menjadi asal kata Sibolga yang diambil dari kata Balga besar.
23
Sejak ditetapkannya Sibolga menjadi sebuah ibukota keresidenan Tapanuli pada tanggal 7 Desember 1842
24
, maka penduduk Pulau Poncan Ketek
25
beserta dengan tokoh masyarakatnya pindah ke wilayah Sibolga. Penduduk yang berada di
Sibolga sebelum kedatangan penduduk dari Pulau Poncan Ketek disebut sebagai orang “daratan”.
26
Masyarakat Sibolga pada saat itu masih banyak yang menganut agama Palbegu yaitu suatu kepercayaan yang banyak mengandung unsur-unsur
animisme ataupun dinamisme. Sebaliknya masyarakat yang datang dari Pulau Poncan Ketek telah cukup lama menganut agama Islam. Demikian pula masyarakat
pendatang ke wilayah Sibolga dari kawasan Minangkabau dan pesisir Pantai Barat Sumatera lainnya.
Pada awal kedatangan masyarakat Pulau Poncan Ketek sebagai pendatang dan masyarakat Sibolga sebagai yang lebih dahulu menetap, mengalami berbagai masalah
dalam adat istiadat yang menimbulkan perbedaan-perbedaan. Selain dari perbedaan agama yang dianut oleh kedua masyarakat tersebut, terdapat perbedaan dalam
pemakaian atribut-atribut kebesaran adat. Dalam hal ini hanya penduduk penetap
23
Ibid., hlm. 18
24
Sultan Parhimpunan, Kerajaan Sibolga 1700-1842, Depok: Tanpa Penerbit, 2008, Hlm.63
25
Dalam bahasa Sibolga ketek berarti kecil
26
Lukman Ahmadi dkk.,Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Medan: Diklat Propsu,1991, hlm. 256
Universitas Sumatera Utara
yang dibenarkan memakai atribut kebesaran adat
27
. Apabila seorang masyarakat dari Pulau Poncan Ketek ingin memakai atribut kebesaran adat tersebut harus terlebih
dahulu meminta izin kepada para tokoh-tokoh adat setempat. Pada perkembangan selanjutnya antara masyarakat penetap dan masyarakat
pendatang ini kemudian telah menyatu dalam adat istiadat yang mempunyai ciri tersendiri yaitu adat pesisir.
28
Penyatuan adat pesisir ini selanjutnya lebih ditopang setelah masyarakat penetap yang berasal dari pedalaman Tapanuli menganut agama
yang sama dengan masyarakat pendatang, yaitu agama Islam. Kemudian antara masyarakat pendatang dan penetap terjalin perkawinan, di mana pemuda pendatang
mengawini wanita penetap, atau sebaliknya yang senantiasa memakai adat istiadat pesisir atau yang lebih dikenal dengan nama “Adat Sumando”.
29
Selanjutnya, kebudayaan tersebut menjadi sebuah ciri penduduk yang berdiam di kawasan pesisir
atau Pantai Barat Tapanuli. Keindahan dari pulau-pulau, riak laut serta keadaan alam Sibolga sering menjadi inspirasi masyarakat dalam berkesenian atau melakukan
perkawinan. Berpantun atau bertalibun sering menggambarkan cara kecintaan masyarakat Sibolga terhadap dunia kebaharian itu.
30
27
Ibid.,hlm. 257
28
A. H. Hamid Panggabean,op.cit. ,hlm. 228
29
Sultan Parhimpunan, 0p.cit., hlm. 258
30
Wawancara dengan Bpk. Syahril Pasaribu pada tanggal 22 Maret 2011
Universitas Sumatera Utara
BAB III
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAMIYAH SEBELUM
TAHUN 1942
3.1 Komunitas Islam di Wilayah Sibolga