Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya tertuju pada transaksi pembelian barang dan atau jasa saja. Hal ini tentu saja disebabkan
karena bagi konsumen kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha,
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang diproduksi oleh produsen pelaku usaha.
Kewajiban konsumen menbayar sesuai dengan nilai ukur yang disepakati dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan semestinya demikian.
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Kewajiban ini di anggap sebagai hal baru sebab sebelum diundangkan UUPK hampir tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus
seperti dalam perkara perdata. Adanya kewajiban seperti ini dianggap tepat sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen dalam mendapatkan
upaya penyeselaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini bisa saja menjadi tidak cukup efektif jika tidak diikuti
oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.
D. Hak dan Kewajiban Produsen 1. Hak Produsen
Suatu perkembangan baru dalam masyarakat dewasa ini, khususnya di Negara-negara maju, adalah makin meningkatnya perhatian terhadap masalah
perlindungan konsumen. Apabila di masa-masa yang lalu pihak produsen dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian Negara mendapat
Universitas Sumatera Utara
perhatian yang lebih besar, maka dewasa ini perlindungan konsumen lebih mendapat perhatian sesuai dengan makin meningkatnya perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia. Namun hingga sekarang masalah hak dan terutama kewajiban produsen tetap menarik perhatian dimana hak dan kewajiban produsen
mempermudah pemberian kompensasi bagi yang menderita kerugian akibat produk yang diedarkan di masyarakat.
Dalam Pasa 6 UUPK, dituangkan beberapa hal yang menjadi hak dari pelaku usaha yaitu:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak
beritikad baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lainnya.
Dalam teori let the buyer beware, pelaku usaha adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi konsumen. Tentu
saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapatkan akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, tetapi terlebih-lebih lagi
Universitas Sumatera Utara
banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkan.akhirnya, konsumen pun di dikte oleh pelaku usaha. Jika konsumen
mengalami kerugian, pelaku usaha dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian konsumen itu sendiri. Namun hal itu tidak dapat dibiarkan terjadi.
Pelaku usaha harus memenuhi kewajibannya untuk menjadi pelaku usaha yang terbuka terhadap produk yang ditawarkannya.
Sedangkan dalam the due care theory mengatakan, bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak akan dapat dipersalahkan. Maka untuk mempermasalahkan si pelaku usaha, seseorang harus
dapat membuktikan, pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian. Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti guna
memperkuat gugatannya. Sebaliknya, si pelaku usaha dengan berbagai keunggulannya secara ekonomis, sosial, psikologis dan politik, relatif lebih
mudah berkelit, menghindar dari gugata yang demikian. Prinsip The Privity Of Contract mengatakan, bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal ini baru dilakukan jika diantara mereka yrlah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Ditengah minimnya peraturan
perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit mengugat dengan dasar perbuatan melawan hukum. Seandainya sudah terdapat hubungan hukum,
persoalan tidak begitu saja selesai. Walaupun secara yuridis dinyatakan, antara pelaku usaha dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya, konsumen
Universitas Sumatera Utara
adalah pihak yang biasanya selalu didikte menurut kemampuan si pelaku usaha. Kurangnya kesadaran akan kewajiban sebagai pelaku usaha akan berakibat fatal
dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup kredibilitas usaha. Rendahnya produk atau adanya cacat pada produk yang dipasarkan sehingga menyebabkan
kerugian bagi konsumen, disamping akan menghadapi tuntutan kompensasi ganti rugi.
2. Kewajiban Produsen
Mengenai kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut:
“ kewajiban pelaku usaha adalah: a.
Beritikad baik dalam melakukan usahanya; b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan standar ketentuan mutu barang dan atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi barang yang dibuat dan atau diperdagangkan;
Universitas Sumatera Utara
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pergantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.”
26
Kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan suatu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang
itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yaitu bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, begitu pentingnya itikad baik
tersebut, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam satu hubungan khusus yang
dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini akan membawa akibat lebih lanjut yaitu bahwa kedua belah pihak itu dalam bertindak harus dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan bagi
konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. Namun dalam UUPK bahwa tampak itikad baik lebih
ditekankan pada pelaku usaha karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beritikad baik dimulai sejak barang dirancangkan atau diproduksi sampai tahap penjualan dan sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang atau diproduksi oleh produsen pelaku usaha, sedangkan bagi
26
Undang-undang No. 8 Tahun 1999, Pasal 7
Universitas Sumatera Utara
konsumen sendiri kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.
Mengenai kewajiban kedua dari pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa
serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan disebabkan karena informasi di samping peranannya sebagai hak konsumen juga
karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk cacat informasi yang akan sangat
merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian yang benar terhadap konsumen terhadap suatu produk ditujukan agar konsumen tidak salah terhadap gambaran
mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan maupun berupa instruksi.
Disamping berbagai ketentuan kewajiban pelaku usaha tersebut diatas, masih banyak lagi larangan bagi pelaku usaha dalam menawarkan barangnya
kepada konsumen, namun secara garis besar kesemuanya adalah mengenai kualitas kondisi, harga, kegunaan, jaminan atas barang tersebut serta pemberian
hadiah kepada pembeli.
E. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Kata konsumen pertama kali masuk melalui Tap MPR Nomor IIMPR1993
27
27
Shidarta, Ibid, hal 47
. Pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan ekonomi pada khususnya, menurut Tap MPR Nomor IIMPR1993 harus
menguntungkan konsumen. Lima tahun kemudian kata-kata ini dirasakan tetap
Universitas Sumatera Utara
relevan untuk dimuat kembali sehingga dalam Tap MPR Nomor IIMPR1993 dikatakan, pembangunan ekonomi harus menjamin kepentingan konsumen.
Selanjutnya dalam Tap MPR Nomor IIMPR1993 kembali dinyatakan, pembangunan ekonomi ini harus dilindungi kepentingan itu pada hakikatnya
merupakan rumusan yang sangat abstrak dan normatif. Ada dari beberapa kalangan di pemerintah yang menyatakan, Rancangan
Undang-undang Perlindungan Konsumen yang sejak 1980 disusun diprioritaskan untuk dibahas di DPR. Terbukti 19 tahun kemudian keinginan itu terealisasi,
yakni dengan lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sejumlah peraturan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai prioritas,
dalam kenyataannya justru lebih banyak didahulukan pengesahan daripada UUPK. Hal ini memperkuat dugaan yang beredar selama ini, pemerintah biasanya
mendahulukan peraturan-peraturan yang menguntungkan pihaknya. Contoh peraturan di bidang perpajakan daripada peraturan yang membebaninya dengan
kewajiban yang besar seperti di bidang perlindungan konsumen sekarang ini. Terlepas dari kekurangan yang ada prinsip-prinsip pengaturan
perlindungan konsumen di Indonesia bukan berarti sama sekali sebelum UUPK. Mengingat luasnya area cakupan hukum perlindungan konsumen itu,
pembahasannya bersifat lebih umum, tidak mencakup kepada produk undang- undang tertentu. Maka untuk itu ada tiga bidang hukum yang memberikan
perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana dan administrasi negara
28
28
Ibid, hal 74
.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan di bidang keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang merasa
dirugikan oleh warga masyarakat, tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara
mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian dilapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya sama sekali tidak ada
hubungan demikian, akan tetapi perikatan itu dapat muncul dari perjanjian atau karena undang-undang. Jika seorang sebagai konsumen mempunyai hubungan
hukum berupa perjanjian dengan pihak lain dan konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan Wanprestasi cidera janji. Jika
sebelumnya tidak ada perjanjian maka konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum
onrechtmatigedaad. Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum seseorang diberi kesempatan untuk menggugat sepanjang terpenuhi tiga unsur, yaitu ada
kesalahan yang dilakukan pihak lain atau tergugat, ada kerugian yang diderita sipenggugat dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.
Secara pidana tuntutan tidak lagi semata-mata karena pihak lain melanggar perjanjian. Filosofi dari penuntutan secara pidana lebih luas daripada itu, yaitu
untuk melindungai masyarakat dari tindak pidana tertentu. Perlindungan demikian diberikan oleh Negara kepada warga masyarakatnya. Untuk itu penuntutan secara
pidana tidak dibebankan kepada perorangan tetapi kepada suatu instansi pemerintah tepatnya kejaksaan.
Dalam lapangan hukum administrasi Negara, perlindungan yang diberikan biasanya lebih bersifat tidak langsung, preventif dan proaktif. Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
biasanya mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku usaha dengan kewajiban tertentu. Sebagai contoh, hasil produksi harus memenuhi
standar kualitas yang ditetapkan, limbah polutan nya harus dibawah ambang batas, harga jual dikendalikan oleh pemerintah dengan melakukan operasi pasar.
Karena pemerintah sebagai instansi pengeluar perizinan, maka dalam bidang administrasi, pemerintah berwenang meninjau kembali setiap izin yang dinilai
disalahgunakan. Menurut Prof. Hans W. Micklitz, dalam perlindungan konsumen secara
garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat komplementar , yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan
informasi yang memadai kepada konsumen hak atas informasi. Kedua, kebijakan kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap
kepentingan ekonomi konsumen hak atas kesehatan dan keamanan
29
Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perlindungan konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat
prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. Undang-undang . Dalam
berbagai kasus, konsumen tidak cukup dilindungi hanya berdasrkan kebijakan komplementer memberikan informasi, tetapi harus juga ditindaklanjuti dengan
kebijakan kompensatori meminimalisasi resiko yang harus ditanggung konsumen, misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai
pasar sebelum lulus pengujian oleh suatu lembaga perizinan pemerintah kontrol pra pasar atau menarik dari peredaran produk berbahaya yang sudah beredar di
pasaran kontrol pasca pasar.
29
Shidarta menurut Hans W. Micklitz, Ibid, hal 49
Universitas Sumatera Utara
perlindungan konsumen menyebutkan lima prinsip pengaturan-pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum. Ada beberapa kepentingan-kepentingan konsumen menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-
bangsa No. 39 248 Tahun 1955 tentang Guidelines for Costumer Protection, sebagai berikut:
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya; b.
Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen; c.
Tersedia informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi; d.
Pendidikan konsumen; e.
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; f.
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Adanya undang-undang perlindungan konsumen memberikan dampak ekonomi positif bagi dunia usaha, yakni dunia usaha dipacu untuk meningkatkan
kualitas produk barang dan jasa sehingga produk memiliki keunggulan kompetitif. Kekuatiran adanya undang-undang perlindungan konsumen bisa menghancurkan
perkembangan industri, perdagangan dan pengusaha kecil. Hal ini tidak masuk akal, pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan
Universitas Sumatera Utara
konsumen di Indonesia hampir seperempat abad yang lalu sampai saat ini tidak bangkit, bahkan tergilas dari pengusaha-pengusaha besar.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan juga mengandung
sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Secara universal berdasarkan berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar ternyata konsumen umumnya
berada pada posisi yang lebih lemah dalam hubungannya dengan pengusaha. Kedudukan konsumen ini, baik yang tergabung dalam suatu organisasi apalagi
secara individu dibandingkan dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dibutuhkan perlindungan kepada
konsumen. Hukum perlindungan dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak
seimbang. Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar itu sangat lemah dibandingkan dengan para penyedia kebutuhan konsumen,
baik penyedia swasta maupun pemerintah. Dalam Pasal 2 UUPK dinyatakan bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Sedangkan dalam Pasal 3 undang-undang ini disebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; b.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
Universitas Sumatera Utara
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen
30
Masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus .
31
. Hal ini juga tampak dari pengaturan UUPK Pasal 3 yang mengatur tujuan khusus perlindungan
konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan diatas bila dikelompokkan ke dalam tiga
tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e, sementara tujuan untuk memberikan
kemanfaatan dapat terlihat dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d serta huruf f. terakhir, tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat
dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f
terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda
32
Dari uraian di atas secara umum untuk mendasari hubungan antara produsen dengan konsumen yang merupakan hubungan yang terus menerus dan
.
30
Undang-undang No. 8 Tahun 1999, Pasal 3
31
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hal 96
32
Ahmad Miru, Sutarman Yoda, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 34
Universitas Sumatera Utara
berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara
yang satu dengan yang lain. Produsen sangat membutuhkan dan bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak
mungkin produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen.
Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan hubungan yang terus menerus dan yang berkesinambungan sepanjang masa,
sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak putus-putus. Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses
produksi, distribusi dipemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum baik
terhadap semua pihak maupun hanya kepada pihak-pihak tertentu saja. Hal tersebut secara sitematis dimanfaatkan oleh produsen dalam suatu sistem
distribusi dan pemasaran produksi barang guna mencapai suatu tingkat produktivitas dan efektivitas tertentu dalam rangka mencapai sasaran usaha.
Sampai pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal. Karena sifatnya yang massal
tersebut peran negara sangat dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya. Untuk itu perlu diatur perlindungan konsumen
berdasarkan undang-undang antara lain mutu barang, cara dan prosedur produksi, syarat pengemasan, syarat lingkungan dan sebagainya. perlunya UUPK tidak lain
karena lemahnya posisi konsumen dibanding dengan posisi produsen karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
tanpa campur tangan konsumen sedikitpun. Bertolak dari luas dan kompleksnya hubungan antara konsumen dan produsen, serta banyaknya mata rantai
penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari produksi barang dan jasa membutuhkan berbagai aspek hukum agar benar-
benar dapat dilindungi dengan adil. Sejak awal produksi perlindungan konsumen harus sudah dimulai. Pada
masa sekarang ini hubungan antara produsen dan konsumen makin dekat, oleh karena itu camput tangan negara sangat dibutuhkan yaitu guna mengatur pola
hubungan antara produsen, konsumen dan sistem pelindungan konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut,
hubungan antara pihak secara individu personal dapat menciptakan hubungan- hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat
bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain: a.
Kondisi harga dari suatu jenis komoditas tertentu b.
Penawaran dan syarat perjanjian c.
Fasilitas yang ada d.
Kebutuhan para pihak pada rentang waktu tetentu Keadaan-keadaan seperti di atas, pada dasarnya sangat mempengaruhi dan
menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Meskipun demikian di dalam praktek hubungan hukum yang terjadi bahkan sangat melemahkan posisi
konsumen karena secara sepihak para produsen distributor sudah menyiapkan suatu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku yang syarat-syaratnya
sepihak ditentukan oleh produsen atau jaringan distributornya. Bertolak dari keadaan demikian, maka perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh satu sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan komprehensif
sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN BPOM
Pelayanan kesehatan tidak bisa terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi. Penyakit terus berkembang dan teknologi pengobatan pun harus
berkembang lebih maju.
A. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan