produk tersebut dalam waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dan dengan sistem jaringan distribusi yang sangat luas akan mampu
menjangkau seluruh strata masyarakat di dunia. Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk terus cenderung meningkat
seiring dengan perubahan gaya hidup manusia termasuk pada pola konsumsinya, sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat
memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di sisi lain pihak produsen menggunakan iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen
untuk mengkonsumsi secara berlebihan dan sering kali tidak rasional. Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya hidup konsumen
tersebut pada realitasnya meningkatkan resiko dengan aplikasi yang luas pada kesehatan dan keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standart atau
terkontaminasi oleh bahan berbahaya maka resiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta berlangsung secara amat cepat. Untuk itu di Indonesia harus
memiliki sistem pengawasan obat dan makanan SISPOM yang efektif dan efesien, mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termasuk
untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri. Maka telah di bentuk Badan POM yang memiliki
jaringan nasional maupun internasional serta kewenangan penegakan hukum dan kredibilitas profesionalan yang tinggi.
2. Sejarah Berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan
Namun sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan apoteker yang berperan
dalam pelayanan kesehatan di bidang kefarmasian yang membantu pemerintah
Universitas Sumatera Utara
dalam melindungi masyarakat dalam pengawasan obat yang beredar di masyarakat. Berikut ini adalah sejarah terbentuknya Badan Pengawas Obat dan
Makanan: 1.
Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan
pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hidia Belanda. Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di apotik oleh apoteker
yang mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka
diadakan ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh
Devanahalli Venkataramanaiah Gundappa DVG yang merupakan seorang penulis dan jurnalis. Dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan
dengan surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 Stb No. 50 tanggal 28 Januari
1923 dan No. 45 Stb. No. 392 tanggal 28 juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-
assistenschool”. Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja di atur dalam
Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512 F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian di ubah lagi dengan Surat Keputusan No. 27817 F tanggal 8 September 1936 dan
No. 11161 F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijasah
MULO bagian B, memiliki surat keterangan bahwa calon telah melakukan
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau
telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi
di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah
menjadi Yaku Daigaku. 2.
Periode Setelah Perang Kemerdekaan sampai dengan tahun 1958 Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten
apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun 1953 tenaga apoteker kekurangan sehingga pemerintah mengeluarkan Undang-
undang No. 3 tentang Pembukuan Apotek. Sebelum dikeluarkannya undang- undang ini, untuk membuka apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak
memerlukan izin dari pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru
karena jumlahnya sudah cukup dianggap memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerah-daerah yang belum ada atau belum memadai jumlah
apoteknya. Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang
apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termaktub dalam undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa undang-
undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasikan oleh
Universitas Sumatera Utara
Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, undang-undang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan
perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770 Ph 63 b tanggal 29 Oktober 1983.
3. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak dirintis dalam kenyataan industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan
kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah
industri yang dapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar
berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak
memenuhi standar. Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah
kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat. Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148 Kab 176 tanggal 8 Juni
1962, antara lain: a
Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter b
Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963
Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Sutat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770 Ph 63 b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara
lain:
Universitas Sumatera Utara
a Tidak lagi dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat
b Semua izin apotek darurat ibukota daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku
lagi sejak tanggal 1 Februari 1964 c
Semua izin apotek darurat di ibukota daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964
Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional Surat Keputusan Menteri No. 39521 Kab
199 tanggal 11 Juni 1963. Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga
Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Ispektorat Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal
Farmasi. 4.
Periode Orde Baru Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah
semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian
integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta
jangkauan yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting,
antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti.
Pada periode Orde Baru pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 1975, institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk
melanjutkan pembangunan di masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980
34
5. Periode tahun 2000
.
Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan namun
sekarang setelah terjadinya perubahan maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pengawasan Obat dan
Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami
perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003. Badan Pengawasan Obat dan Makanan mempunyai Visi dan Misi dalam
melaksanakan tugas pokoknya yaitu: Visi dari Badan POM:
Menjadikan sebuah institusi terpercaya secara nasional maupun internasional dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat. secara efektif dan
34
Midian Sirait, Tiga Dimensi Farmasi. Jakarta, Instansi Darma Mahardika. 2001, hal 2-12
Universitas Sumatera Utara
pemahaman tentang konsep dasar sistem pengawasan produk obat dan makanan secara nasional dan internasional
35
a. Melindungi kesehatan masyarakat dari risiko peredaran produk terapetik, alat
kesehatan, obat tradisional, produk komplemen dan kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat kemanfaatan serta produk
pangan yang tidak aman dan tidak layak dikonsumsi .
Sedangkan Misi Badan POM:
b. Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan dan penggunaan yang
salah satu dari produk obat, narkotik, psikotropik dan zat adiktif serta risiko akibat penggunaan produk dan bahan berbahaya
c. Mengembangkan obat asli Indonesia dengan mutu, khasiat, keamanan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
d. Memperluas akses obat bagi masyarakat luas dengan mutu yang tinggi dan
harga yang terjangkau
36
C. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan
Pemerintah melindungi konsumen dengan cara mengatur pengendalian mengawasi produksi, distribusi dan pengedaran produk makanan sehingga
konsumen tidak dirugikan baik kesehatan maupun keuangannya. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pihak produsen bertujuan untuk
35
Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan
36
Profile Badan POM National Agency of Drugs and Food Control Republik of Indonesia Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Universitas Sumatera Utara
membina dan mengembangkan usaha dibidang produksi dan distribusi serta menciptakan usaha perdagangan yang jujur. Intinya yaitu setiap kegiatan
pengawasan oleh pemerintah merupakan upaya untuk melindungi konsumen terhadap produk makanan kadaluarsa yang tidak memiliki syarat dan untuk
melindungi produsen dari persaingan perdagangan yang tidak sehat.
Badan pengawasan obat dan makanan BPOM yang dahulunya adalah Direktrorat Jenderal pengawasan obat dan makanan di bawah departemen
kesehatan yang tugas dan fungsinya menjalankan sebagian kewenangan di bidang obat dan makanan, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 130MenkesSKI2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan.
Sesuai dengan perundang-undangan yang ditetapkan bahwa Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan peraturan yang berlaku, yaitu: 1.
Ordonansi tentang Obat Keras 2.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan 3.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan 4.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 5.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Setelah era reformasi berjalan, Badan POM ditetapkan menjadi LPND
yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, agar lebih terarah pengawasan tersebut, maka tentunya akan dilakukan pemisahan antara fungsi dan kewenangannya sebagai LPND harus lebih jelas dan
Universitas Sumatera Utara
terfokus dan lebih untuk ditekankan kepada kebijakan dalam pengawasan di bidang pemerintahan di bidang obat dan makanan, maka Badan POM sebagai
LPND mempunyai fungsi dan kewenangan di dalam membentuk regulasi di bidang pengawasan obat dan makanan baik yang berbentuk undang-undang
maupun ketentuan yang secara hirarkis berada di bawahnya untuk dapat efektif berlaku, jelas embutuhkan sumber daya yang mampu menjalankan perintah dan
melaksanakan penegakan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut.
Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan, dibentuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Badan POM. Keberadaan Badan POM didasarkan pada keputusan presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun
2005 sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Dalam Pasal 67 disebutkan bahwa fungsi Badan POM meliputi
sebagai berikut: 1.
Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan
2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan
3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM
4. Pemantauan pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan
instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan obat dan makanan
Universitas Sumatera Utara
5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, karsipan, hukum, persandingan, perlengkapan
dan rumah tangga Tugas dari BPOM diatur dalam Kepres no. 1662000, yaitu dalam Pasal 73
yang menyebutkan bahwa BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai tugas dan wewenang dari BPOM yang lebih spesifik diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Kesehatan
dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 264AMENKESSKBVII 2003 dan Nomor 02SKBM.PAN72003 tentang Tugas, Fungsi, dan
Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan Makanan. Namun dalam menjalankan tugas pokok tersebut BPOM mendapatkan hambatan, baik itu dari
pelaku usaha, konsumen maupun pemerintah. Hambatan dari pemerintah tersebut ialah masih adanya campur tangan dari pemerintah yang melindungi kepentingan
pribadi maupun golongan, yang mengakibatkan terkekangnya BPOM sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan semestinya. Padahal dengan adanya 2
peraturan terebut di atas, seharusnya BPOM memiliki wewenang sepenuhnya untuk menjalankan tugasnya tanpa campur tangan dari pihak lain. Tetapi kedua
peraturan tersebut rupanya masih kurang kuat dalam menunjang BPOM.
37
37
http:adln.lib.unair.ac.idgo.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-faisalboy-7614. Diakses tanggal 15 Februari 2011.
Demikian juga halnya dengan kewenangan Badan POM sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 tahun 2001 bahwa
kewenangan Badan POM meliputi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Penyusunan secara nasional secara makro di bidangnya
2. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan
secara makro 3.
Penetapan sistem informasi di bidangnya 4.
Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan zat adiktif tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan
makanan 5.
Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi
6. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan pengawasan
tanaman obat Kewenangan Badan POM sebagai lembaga pemerintah non departemen
LPND dipertegas lagi dan dijabarkan lebih rinci dalam Keputusan Presiden Nomor 110 tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2005. Pasal 44 Keputusan Presiden Nomor
110 tahun 2001 menetapkan Badan POM terdiri dari tiga ke Deputian yang membidangi:
1. Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika dan zat adiktif
2. Pengawasan obat tradisional, kosmetik produk komplemen suplemen
makanan serta 3.
Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Badan POM secara hukum sudah mempunyai kedudukan yang kuat di
dalam membuat suatu kebijakan di bidang obat dan makanan dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pengawasan obat dan makanan yang beredar di wilayah Indonesia. Kedudukan Badan POM sebagai lembaga Pemerintah Non Departemen bila
ditinjau dari segi pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia maka sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab langsung
kepada presiden, diperintahkan oleh Undang-Undang untuk mengajukan prakarsa kepada presiden dalam hal pengajuan pembentukan peraturan perundang-
undangan sepanjang menyangkut di bidang pemerintah, di bidang obat dan makanan dalam rangka mengambil suatu kebijakan yang mengacu kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
38
A. Pengawasan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan terhadap Kelayakan dan Keamanan Produk Makanan