STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN KONSEP PEMBUKAAN RAHASIA BANK (BANK SECRECY DISCLOSURE) DALAM PENYIDIKAN PERKARA MONEY LAUNDERING MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(1)

commit to user

STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN KONSEP

PEMBUKAAN RAHASIA BANK (BANK SECRECY DISCLOSURE)

DALAM PENYIDIKAN PERKARA MONEY LAUNDERING

MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG DENGAN

REPUBLIC OF THE PHILIPPINES

CODE NO. 9160 ON ANTI MONEY LAUNDERING ACT OF 2001

Oleh :

EKA WINARNI

E. 1106024

SKRIPSI

ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan

memperoleh gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user

x ABSTRAK

EKA WINARNI. E. 1106024. 2010. STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN KONSEP PEMBUKAAN RAHASIA BANK (BANK SECRECY DISCLOSURE) DALAM PENYIDIKAN PERKARA MONEY LAUNDERING MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN REPUBLIC OF THE PHILIPPINES CODE NO. 9160 ON ANTI MONEY LAUNDERING ACT OF 2001. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi).2010.

Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclosur) dalam penyidikan perkara money laundering menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan

Rebuplic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money Loundering act of 2001 dan

mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut. Dilihat dari tujuan penelitian, penulisan hukum ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatife bersifat preskriptif. Sumber data sekunder yang digunakan berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi yaitu dokumen peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara money loundering baik yang ada di Indonesia maupun di Philipina. Dalam hal ini sumber data yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Anti Money Laundering Act of 2001 dan juga bahan-bahan kepustakaan lainnya. Tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dengan cara menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, tulisan-tulisan dan dokumen yang berhubungan dengan masalah yang penulis teliti. Tehnik analisis data dengan model kualitatif.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Rebuplic of

the Philippenes code No. 9106 on Anti Money Loundering act of 2001 persamaan konsep

pembukaan rahasia bank dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka memberikan mekanisme kepada penegak hukum untuk dapat membuka rekening setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang. Kewenagan ini diserahkan kepada penegak hukum untuk membuka rekening setiap orang yang telah dilaporkan, tersangka atau terdakwa dengan tujuan memudahkan dalam penanganan perkara. Perbedaan diantara keduanya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dibentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Laporan Keuangan (PPATK), sedangkan di Filipina dibentuk sebuah dewan yang disebut dengan Anti

Money Laundering Council (AMACL). Faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan

diantara kedua Negara tersebut karena adanya kepentingan bangsa dan rakyat dalam rangka pencegahan dan penanganan tindak pidana money laundering yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi kepentingan umum. Sedangkan faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan dan pengaturan pembukaan rahasia bank karena adanya mekanisme hukum dan prosedur dalam penanganan hukum dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana money laundering yang berbeda diantara kedua Negara tersebut.


(3)

commit to user

x ABSTRACT

EKA WINARNI. E. 1106024. A COMPARATIVE STUDY ON THE REGULATION OF BANK SECRECY DISCLOSURE IN INVESTIGATING THE MONEY LAUNDERING CASE ACCORDING TO ACT NO. 15 OF 2003 ABOUT THE MONEY LAUNDERING CRIMINAL ACTION AND REPUBLIC OF PHILIPPINE CODE NO. 9160 ON ANTI MONEY LAUNDERING ACT OF 2001. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Thesis. 2010.

This research aims to find out the regulation similarity and the difference bank secrecy disclosure regulation in investigating the money laundering case according to Act No. 25 of 2003 about Money Laundering Criminal Action and Republic of the Philippines code no. 9160 on Anti Money Laundering Act of 2001 and to find out the factors causing such similarity and difference. Viewed from the objective of research, this study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature. The secondary data sources used were public document and official notes, namely, the legislation document relating to good money laundering case emerging in both Indonesia and Philippine/ in this case the data source used was Act No. 25 of 2003 about Money Laundering Criminal Action and Anti Money Laundering Act of 2001, as well as other literature. Technique of collecting data used was secondary data documentation. Technique of collecting data employed was library study by collecting and ordering data relevant to the problem studied, by inventorying and leaning the legislation, books, writing and document relevant to the problem the writer studied. Technique of analyzing data used was qualitative model.

Considering the research it can be found that according to Act No. 25 of 2003 about Money Laundering Criminal Action and Republic of the Philippines code no. 9160 on Anti Money Laundering Act of 2001, the similarity of bank secrecy disclosure concept in investigating the money laundering criminal action is basically conducted in the attempt of providing the mechanism to the law enforcer to be able to open every one’s account assumed committing the money laundering criminal action. This authority is given to the law enforcer to open the account of everyone reported, the accused in the purpose of facilitating the case handling. The difference between them is that in the attempt of preventing and eradicating the money laundering criminal action in Indonesia it has been established the Reporting and Financial Report Transaction Analysis Centre (PPATK), while in Philippine it has been established a council called Anti Money Laundering Council (AMACL). The factors causing the similarity and difference among the two countries is because the presence of the nation’s and people’s interest in the attempt of preventing and eradicating the money laundering criminal action that can result in big lost for the public interest. While the factors causing the difference and the regulation of bank secrecy disclosure is the presence of law mechanism and procedure of dealing with the law in preventing and eradicating the money laundering criminal action that is different among the two countries.


(4)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 dengan sangat jelas menerangkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembukaan (mukadimah) UUD 1945 ini mengandung banyak dimensi kehidupan bangsa, antara lain meliputi kemanusiaan, sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum dan tata pergaulan internasional yang harus dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan nasional. (Tim Penyusun, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006, hlm. 1).

Sampai saat ini, setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, tujuan negara untuk menyejahterakan rakyat belum tercapai. Banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuan negara tersebut. Sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, pemerintah belum juga mampu untuk mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis, bahkan kita semakin terpuruk ke dalam penderitaan. Banyak pakar berpendapat bahwa keterpurukan bangsa ini terutama disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum khususnya dalam penanganan perkara pidana. (Tim Penyusun, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 2006, hlm. 2)

Penegakan hukum yang banyak disorot oleh dunia internasional adalah penegakan dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering). Penanganan perkara ini dinilai masih bersifat tebang pilih,


(5)

commit to user

kurangnya political will dan moral hazard dari pemegang kekuasaan, serta belum ada harmonisasi dari seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Diakui atau tidak, pemberantasan tindak pidana pencucian uang menghadapi kendala baik bersifat teknis maupun non teknis. Pemikiran agar Indonesia membuat suatu undang-undang tentang pencucian uang telah ada sejak Orde Baru mulai berkuasa. (Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004. hlm. ix)

Perhatian dunia internasional terhadap praktek pencucian uang semakin meningkat setelah Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) menyusun dan mengeluarkan the Forty Recommendations, yaitu sebuah kerangka dasar bagi upaya pemberantasan pencucian uang dan dirancang sebagai pedoman yang dapat di-implementasikan secara universal. FATF adalah sebuah lembaga antar pemerintah (intergovernmental body) yang dibentuk oleh G-7 Summit di Paris pada Juli 19 89, yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas praktek pencucian uang di dunia. (Siahaan, NHT, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002. hlm. 111).

Bulan Juni 2001, secara mengejutkan Indonesia ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas praktek-praktek pencucian uang oleh FATF. Sebagai konsekuensinya Indonesia dimasukan dalam NCCT list (non-cooperative countries and territories) bersama 16 belas negara lainnya. Dimasukannya Indonesia ke dalam FATF blacklist berdasarkan pada berbagai pertimbangan, yaitu belum adanya peraturan perundang-udangan yang menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana, terdapat loopholes (kekosongan hukum) dalam pengaturan lembaga keuangan terutama lembaga keuangan non-bank, terbatasnya sumber daya dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, serta minimnya kerjasama internasional dalam upaya memerangi kejahatan pencucian uang. (Yunus


(6)

commit to user

Husein, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Prosiding,Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005, hlm. 35).

Berbagai kelemahan yang dimiliki Indonesia pada saat itu, permasalahan ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengkriminalisasi praktek pencucian uang merupakan kelemahan dasar dan fatal, karena tanpa adanya kriminalisasi terhadap pencucian uang maka tindakan menyembunyikan dan/atau menyamarkan harta kekayaan hasil dari suatu kejahatan merupakan tindakan yang dibenarkan menurut hukum di Indonesia. Oleh karena itu FATF menganggap bahwa Indonesia belum eligible untuk dapat masuk dalam pergaulan antar bangsa. Reaksi yang terjadi di dalam negeri atas dimasukannya Indonesia ke dalam NCCT list bermacam-macam. Beberapa pakar berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu menghiraukan desakan internasional, dengan alasan bahwa Indonesia bukan anggota dari FATF, karena FATF sendiri bukan sebuah organisasi internasional atau badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk tunduk terhadap badan ini. Secara formal hal demikian dapat diterima, bahwa memang FATF bukan suatu badan atau organisasi internasional yang dapat memaksakan kebijakan-kebijakannya terhadap negara diluar anggota.

Pengesahan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai perbaikan-perbaikan atas kekurangan dari Undang-Undang No.15 Tahun 2002, sekali lagi tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar negara-negara dan wilayah yang tidak kooperatif dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang (NCCT list). Dikeluarkannya Indonesia dari daftar hitam (balcklist) adalah sangat tergantung dari pelaksanaan dan penegakan undang-undang tersebut. Implementasi UU TPPU sangat penting, bukan saja guna menghindari sanksi (counter measures) dari FATF, tetapi juga bertujuan agar berbagai predicate offences (tindak pidana awal) yang merupakan sumber uang haram dapat diberantas atau paling tidak dikurangi.


(7)

commit to user

Telah diketahui, bahwa melalui pencucian uang pelaku tindak pidana dapat menyembunyikan dan menyamarkan, lalu pada tahap selanjutnya dapat menggunakan hasil dari tindak pidana itu secara bebas. Sifat dari tindak pidana pencucian uang adalah sulit di lacak (untraceable), tidak ada bukti tertulis (paperless), tidak kasat mata (discernible), dillakukan dengan cara yang rumit (intricrate) dan karena didukung oleh teknologi canggih, maka juga bersifat sophisticated. Dengan adanya sifat -sifat tersebut, maka menjadi sangat sulit untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ini.

Usaha untuk mencegah dan memberantasan tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan pelacakan, pembukaan, pembekuan, dan penyitaan atas aset atau rekening dari tersangka atau terdakwa pelaku pencucian uang. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang telah memberikan suatu mekanisme dan aturan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di persidangan ter hadap kasus atau perkara tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi sampai saat ini masih terdapat kendala dan hambatan dalam penerapannya.

Kendala-kendala dalam rangka penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, antara lain menyangkut:

1. Pembukaan rahasia bank, pemblokiran dan permintaan keterangan mengenai rekening nasabah;

2. Penyitaan dana yang diduga berasal dari tindak pidana; 3. Pemeriksanaan atau penyelidikan;

4. Perlindungan saksi, ahli dan pelapor (whistle blower); 5. Tukar-menukar informasi antara pihak terkait;

6. Mengenai alat bukti, dan pembuktian di persidangan; 7. Proses hukum pemberian sanksi administratif;

8. Pemberkasan perkara dan tata cara pembuatan dakwaan;

Berbicara mengenai kendala dan hambatan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian di Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir, maka perlu dikemukakan mengenai pembukaan rahasia bank


(8)

commit to user

guna mencari atau melacak harta kekayaan serta menggunakan rahasia bank tersebut dalam pembuktiaan kesalahan terdakwa di persidangan. Pembukaan rahasia bank menjadi elemen penting dalam proses penyidikan dan pembuktian dalam rangka pemeriksaan perkara pencucian uang.

Rahasia bank dan pengecualiannya diatur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Walaupun demikian, pembukaan rahasia bank bukanlah suatu perkara yang mudah dilakukan. Adanya beragam penafsiran atas beberapa aturan dalam UU TPPU, menjadikan pembukaan transaksi atau rekening milik tersangka atau terdakwa sering menghadapi masalah.

Aturan tentang pengecualian rahasia bank yang diatur dalam UU TPPU belum jelas dan mengandung pengertian yang ambigu, sehingga sangat menyulitkan penyidik atau hakim dalam memeriksa perkara. Selain itu, pengaturan pembukaan rahasia bank yang diatur dalam UU TPPU menimbulkan pertentangan antara UU TPPU dengan UU Perbankan. Juga perlu dipertanyakan apakah pembukaan rahasia bank yang diatur dalam UU TPPU dapat mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

Berbeda dengan penanganan tindak pidana pencucian uang yang ada di negara lain seperti Philipina, di negara tersebut penanganan terhadap tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan dengan baik. Di Philipina juga mempunyai dasar hukum sebagai pedoman dalam pelaksanaan penanganan terhadap tindak pidana pencucian uang (money loundering) yaitu Republik Of The Philippines Code No. 9160 On Anti Money Laundering Act Of 2001.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini penulis ingin mengangkat permasalahan yang terkait dengan penangan terhadap tindak pidana pencucian uang yang ada di Indonesia dan di Philipina sebagai bagan pembahasan dalam penelitian ini. Untuk itu dalam penelitian ini penulis memberikan judul : “STUDI KOMPARASI HUKUM PENGATURAN KONSEP PEMBUKAAN RAHASIA BANK (BANK SECRECY


(9)

commit to user

DISCLOSURE) UNTUK KEPENTINGAN PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN REPUBLIK OF THE PHILIPPINES CODE NO. 9160 ON ANTI MONEY LAUNDERING ACT OF 2001”.

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, tegas, terarah, serta tercapainya sasaran yang diharapkan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis akan merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah persamaan dan perbedaan pengaturan konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclouser) dalam pemeriksaan perkara pencucian uang menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money Loundering Act of 2001 ?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan hal-hal yang hendak dicapai oleh penulis melalui penelitian yang berhubungan dengan rumusan masalah yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan yang terbagi dua, yaitu:

1. Tujuan obyektif

a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclouser) dalam penyidikan perkara money laudering menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang


(10)

commit to user

Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money loundering act of 2001.

b. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data yang lebih lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas dan mengembangkan pengetahuan serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek di lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis.

c. Untuk lebih meningkatkan serta mendalami berbagai teori yang telah penulis dapatkan di Fakultas Hukum, khususnya di bidang Hukum Acara Pidana.

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

1) Hasil penelitian dapat menyumbangkan pemecahan-pemecahan atas permasalahan dari sudut teori.

2) Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.

3) Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah penegatahuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

b. Manfaat praktis

1) Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

2) Dapat memberikan data dan informasi mengenai pengaturan prinsip mengenal nasbah dalam Perundang-undangan yang menagtur


(11)

commit to user

mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang yang berlaku di Indonesia dan Filipina.

3) Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung dalam penelitian ini.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum doctrinal. Penelitian yang digunakan bersifat normative, yaitu penelitian yang difokuskan pada bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan dengan pengaturan konsep pembukaan rahasia bank (Bank Secrecy Disclosure) dalam penyidikan perkara money laundering menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republik of the Philippines code No. 9106 anti money laundering act of 2001 ( Peter Mahmud Marzuki. 2006 : 35 ).

2. Sifat Penelitian

Berdasarkan dengan masalah yang diajukan penulis, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian yang bersifat preskriptif, maka penelitian ini mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22).

Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh gambaran yang nyata dan jelas tentang komparasi hukum pengaturan konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclosure) dalam penyidikan perkara money laundering menurut Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money Laundering Act of 2001.


(12)

commit to user

3. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder berupa dokumen publik dan catatan-catatan resmi (public documents and official records), yaitu dokumen peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah money loundering baik yang ad di Indonesia maupun di Philipina. Disamping sumber data yang berupa leteratur-literatur baik berupa artikel, jurnal penelitian maupun hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh data yang diperoleh dari bahan pustaka, seperti dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang dibahas.

Dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat digolongkan ke dalam :

a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara yuridis, adapun yang penulis gunakan adalah :

1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2) Kitab Undang Undang Hukum Pidana.

3) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

4) UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang 5) Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money

Loundering Act of 2001

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, hasil karya ilmiah para sarjana yang terkait dalam penelitian ini, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.


(13)

commit to user

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, internet dan seterusnya. 5. Teknik Pengumpul Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data sekunder berupa peraturan perundangan, artikel maupun dokumen lain yang dibutuhkan untuk kemudian dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik studi pustaka untuk mengumpulkan dan menyusun data yang diperlukan.

6. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan logika deduktif. Dalam hal ini sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan menggunakan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik dari sumber penelitian yang diolah sehingga pada akhirnya dapat diketahui persamaan dan perbedaan pengaturan konsep pembukaan rahasia bank dalam penyidikan perkara money laundering menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9106 in Anti Money Loundering act of 2001 dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut.

Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud motede deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor (pernyataan besifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus) dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau counclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47). Dalam logika deduktif untuk penalaran umum yang bersifat premis mayornya adalah


(14)

commit to user

hukum sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Sedangkan menurut Johny Ibrahim, mengutip pendapat Bernard Arief Shiharta logika deduktif merupakan suatu tehnik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (Johnny Ibrahim, 2006: 249).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian yang digunakan dalm penyusunan penulisan hukum ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini. Adapun mengenai teori-teori tersebut antara lain mengenai tinjauan umum tentang perbandingan hukum, tinjauan umum tentang konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclouser) dalam penyidikan perkara money laudering, tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang, tinjauan umum tentang ketentuan hukum tentang Undang-Undang Anti Pencucian Uang, dan tinjauan umum tentang Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money loundering act of 2001


(15)

commit to user

BAB III : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu yang pertama mengenai ruang lingkup perbandingan konsep pembukaan rahasia bank (bank secrecy disclouser) dalam penyidikan perkaran money laudering menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9160 on Anti Money loundering act of 2001. Yang kedua mengenai faktor-faktor yang menyebabkan persamaan dan perbedaan tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.


(16)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum

Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan:

comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai conflict law atau dialihbahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia (Romli Atmasasmita, 2000: 6).

Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata, yaitu perbandingan hukum perdata. Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal.

Rudolf B. Schlesinger, seperti yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (Romli Atmasasmita, 2000: 7). Winterton, seperti yang dikutip oleh Romli Atmasasmita mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut


(17)

commit to user

menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan (Romli Atmasasmita, 2000: 7).

Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah: Frederik Pollock, Gutteridge, Rene David, dan George Winterton (Romli Atmasasmita, 2000: 8).

Lemaire mengemukakan, seperti yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan) mempunyai lingkup: (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya (Romli Atmasasmita, 2000: 9).

Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal science, or like other branches of science it has a universal humanistic outlook ; it contemplates that while the technique nay vary, the problems of justice are basically the same in time and space throughout the world. (Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia) (Romli Atmasasmita, 2000: 9).

Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metoda perbandingan (Romli Atmasasmita, 2000: 12).


(18)

commit to user

b. Karakteristik Sistem “Common Law” dan sistem “Civil Law

1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.

Pertama. Sistem hukum Inggris bersumber pada :

a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di Inggris. Lahir dan berasal dari (sebagian) hukum Romawi. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 Custom melahirkan “common law” dan kemudian digantikan dengan precedent.

b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk melalui parleman. undang-undang yang dibentuk itu disebut statutes. Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di inggris. Pada masa itu undang-undang dikeluarkan oleh Raja dan “Grand-Council” (terdiri dari kaum bangsawan terkemuka dan Penguasa Kota London). Selama abad ke 13 dan 14 Grand Council kemudian dirombak dan terdiri dari dua badan yaitu, Lords dan Common; kemudian dikenal sebagai Parlemen (Parliament). Sampai abad ke 17, Raja dapat bertindak tanpa melalui Parlemen. Akan tetapi sesudah abad ke 17 dengan adanya perang saudara di Inggris, telah ditetapkan bahwa di masa yang akan datang semua undang-undang harus memperoleh persetujuan Parlemen sejak tahun 1832 dengan Undang-Undang Pembaharuan (Reformasi Act), House of Common merupakan suatu badan yang demokratis dan mewakili seluruh penduduk Inggris dan karena itu merupakan wakil perasaan keadilan seluruh rakyat Inggris. Sejak saat itu Legislation merupakan salah satu sumber hukum yang penting sejak Code Napoleon (1805) dikembangkan, Inggris telah mengambil manfaat dari apa yang terjadi di


(19)

commit to user

Perancis, dan legislation dipergunakan sebagai alat pembaharuan hukum di Inggris.

c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan hakim di Inggris merupakan precedent bagi hakim yang akan datang, sehingga lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.

Kedua. Sebagai konsekwensi dipergunakannya case-law

dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.

Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.

Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti: “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem


(20)

commit to user

hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum

Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan:

“In order that an act should be punishable it must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa

Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act forbidden by penal law”. (Roeslan Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita, 2000: 37)

Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris) pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a)

actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penunt`utan (Roeslan Saleh,1982:28). Dewasa ini dalam peraturan perundangan modern unsur “mens-rea” ini tidak lagi dianggap sebagai syarat utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.

Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut:


(21)

commit to user

a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan yang disebut Crown Court.

b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan (magistrate court) tanpa dengan sistem Juri.

c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada seorang pelaku kejahatan yang belum pernah melakukan kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku tersebut dilakukan tanpa surat perintah penangkapan. Klasifikasi terbaru mengenai tindak pidana dalam sistem hukum pidana Inggris dicantumkan dalam

criminal law act tahun 1977 yang akan diuraikan secara khusus dalam bab mengenai klasifikasi Tindak Pidana.

Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary sistem

menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi.

Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat komulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.


(22)

commit to user

2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana

Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) bersumber pada :

a) Undang-Undang Dasar; b) Undang-undang;

c) Kebiasaan case-law;

d) Doktrin

Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau

Wetboek van Strafrecht).

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering).

c) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan (Judicial Act

atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).

Kedua. Karakateristik kedua dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut:

a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana, kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari perundingan Pemerintah Parlemen.

b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu penafsiran


(23)

commit to user

analogis untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.

c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.

d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.

Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48)

Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat) dilakukan seseorang.

b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup definisi pelanggaran.

c) Bersifat melawan hukum.

Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban


(24)

commit to user

pidana. Dalam soal pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda (Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya (dodex-strafrecht).

Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik-delik baru.

Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan antara mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang dikenal dalam hukum Yunani. Mala in se adalah perbuatan yang disebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan

Mala prohibita, suatu perbuatan yang dilarang. Pembedaan antara kejahatan karena undang-undang menetapkan sebagai perbuatan yang dilarang. Pembedaan anatara kejahatan dan pelanggarab tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari pelanggaran.

Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.


(25)

commit to user

Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas minimum dan maksimum anaman pidana yang diperkenankan menurut Undang-Undang.

Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sistem hukum Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme (Romli Atmasasmita, 2000: 50).

2. Tinjauan Umum Tentang Rahasia Bank

a. Rumusan Pengertian Rahasia Bank dan Tindak Pidana Rahasia Bank Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula ialah Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tetapi kemudian telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Pengertian rahasia bank oleh Undang-undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 angka 16 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan


(26)

commit to user

keuangan dan hal-hal dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Pengertian ini telah diubah yang baru oleh Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-undang itu rumusan yang baru diberikan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Selain dari memberikan rumusan dari pengertiannya Undang-undang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai delik rahasia bank. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 memberikan rumusan delik rahasia bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 Tahun 1992 ialah bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal dari nasabahnya yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 42, 43 dan 44.

Rumusan delik rahasia bank tersebut diatas telah diubah dengan rumusan yang baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dari Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Rumusan yang baru ini lengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A. Kedua rumusan itu sangat berbeda. Tindak pidana rahasia bank menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 51 ialah kejahatan. Sanksi tindak pidana rahasia bank ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2) yaitu pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah).


(27)

commit to user

b. Rahasia Bank Berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang Salah satu faktor penghalang bagi penegak hukum untuk dapat berhasil mengungkapkan tindak pidana pencucian uang adalah ketentuan rahasia bank yang terlalu ketat di Negara yang bersangkutan. Menyadari hal tersebut maka Tim yang merancang Undang-undang No. 25 Tahun 2003 telah memberikan pengecualian kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya dengan cara menyimpang dari ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tersangka, atau terdakwa Pasal 33 ayat (2) Undang-undang tersebut menentukan bahwa dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.

Yang dimaksud dengan Penyedia Jasa Keuangan dalam Pasal 33 ayat (1) adalah Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga penyimpanan dan penyelesaian pedagang valuta asing, dana pensiun perusahaan asuransi dan kantor pos. Sedangkan yang dimaksud dengan Harta Kekayaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) adalah Harta Kekayaan sabagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 4 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu


(28)

commit to user

semua benda bergerak atau tidak bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Dengan demikian ketentuan Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut merupakan tambahan pengecualian terhadap berlakunya ketentuan rahasia bank yang telah ditentukan dalam Undang-undang Perbankan.

Agar penggunaan fasilitas pengecualian yang diberikan oleh Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tidak digunakan secara serampangan atau disalahgunakan, maka Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) dari Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut memberikan rambu-rambu bagi penyidik, penuntut umum atau hakim dalam mengajukan permintaan keterangan kepada penyedia jasa keuangan. Ditentukan oleh Pasal 33 ayat (3).

Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai:

1. Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim

2. Identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa

3. Tindak Pidana yang bersangkutan atau didakwakan, dan 4. Tempat harta kekayaan benda

Sementara itu Pasal 33 ayat (4) menentukan: Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh:

1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik 2. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi

dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum

3. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan Dari ketentuan Pasal 33 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam rangka pemberantasan dan penindakan tindak pidana pencucian uang hanya dapat diberikan


(29)

commit to user

apabila pemeriksaan tindak pidana pencucian uang yang telah memasuki tahap penyidikan. Artinya, nasabah penyimpan harus menjadi tersangka. Apabila masih dalam tahap penyelidikan, maka keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya tidak boleh diungkapkan oleh bank.

c. Tindak Pidana yang menyangkut Rahasia Bank

Secara eksplisit ada dua jenis tindak pidana yang ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang berkaitan dengan rahasia bank yang pertama ialah tindak pidana yang dilakukan oleh mereka tanpa membawa perintah atau izin dari Pemimpin Bank Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisasi untuk memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal itu ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2). Kedua ialah tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank. Tindak Pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47 ayat (2). Untuk lebih jelasnya dikutip bunyi lengkap Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 sebagai berikut:

1. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,- (dua ratus milyar rupiah) 2. Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank ataupun pihak

terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana


(30)

commit to user

sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah)

Sehubungan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (1) tersebut diatas, yang perlu dipermasalahkan apakah pihak yang memaksa dapat dituntut telah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 47 ayat (1) sekalipun pihak yang memaksa tidak sampai berhasil membuat pihak bank atau pihak teralifiliasi memberikan keterangan yang diminta secara paksa. Ataukah pihak yang memaksa dapat dikenai pidana karena melakukan percobaan tindak pidana Pasal 47 ayat (1)

3 Tinjauan Umum Tentang Pengaturan Pencucian Uang (Money Laundering)

a. Pengertian Pencucian Uang (Money Laundering)

Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai pencucian uang. Pihak penuntut dan lembaga penyidik kejahatan, kalangan perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun berkembang, atau negara negara dunia ketiga masing masing mempunyai definisi atau pengertian tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan perspektif yang berbeda. Definisi untuk tujuan penuntutan lebih sempit dibandingkan dengan definisi untuk tujuan penyidikan. Dalam hal ini,

a) Welling mengemukakan bahwa, Money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana. seseorang menyembunyikan keberadaan dari sumber yang tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan


(31)

commit to user

menjadikannya seolah-olah uang tersebut berasal dari pendapatan yang sah). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)

b) Fraser mengemukakan bahwa, Money Laundering is quite simply the process through which dirty money (proceed of crime), is washed through dean or legitimate sources and interprices so that the bad guys may more safety enjoy their ill'golten gains (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana seseorang menyembunyikan atau menyimpan uang yang kotor (berasal dari kejahatan) kemudian dicuci menjadi bersih, atau dalam hal ini menjadikan atau merubah sumber yang tidak sah menjadi bersih atau sah, sehingga mereka bisa menikmati keuntungan yang mereka peroleh dari itu). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)

c) Menurut Pamela H. Busy dalam bukunya yang berjudul "White

Collar Crime, Cases and Materials", menyatakan Money Laundering is the concealment of the existance, nature or illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate of discovered (Pencucian Uang adalah suatu perbuatan merahasiakan atau menyembunyikan atau menyimpan uang yang berasal dari sumber yang tidak sah, dalam hal ini uang kotor, sehingga uang kotor tersebut dijadikan seolah olah berasal dari sumber yang sah). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)

d) Chaikin memberikan defnisi pencucian uang sebagai The process by wich conceals or disguises that true nature, source, disposil ion, movement or ownerships of money for whatever reason (Pencucian Uang adalah suatu proses di mana perbuatan merahasiakan atau menyembunyikan baik dalam hal asal usul, sumber, pergerakan, maupun kepemilikan uang dengan cara ataupun alasan yang dibuat sedemikan rupa untuk menghilangkan jejak uang tersebut). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 2)


(32)

commit to user

e) Financial Action Task Force on Money Laundering atau FATF yang dibentuk oleh G 7 Summit di Paris tahun 1982 juga tidak memberikan definisi mengenai pencucian uang, akan tetapi memberikan uraian mengenai pencucian uang sebagai The goal of the large number of criminal act is to generate ofprofilfor the individual or group that carries out the act. Money Laundering is the processing. of this criminals proceeds to disguise their illegal origin. This process is of critical importance, as it enables that criminals to enjoy this profits whitout the joepardissing their course. Illegal arm sales, smugling, and the activities of organized crime induding for example drug traficking and prostitution rings can generate huge sums. Embezlement, insider trading, bribery, and computer fraud schems can also produce large profits and create the intensive to legitimise the ill'gotten through money laundering (Pencucian Uang adalah suatu proses yang merupakan perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau merahasiakan, atau menyimpan hasil dari sebagian besar tindak kejahatan, dengan menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap, penyelundupan, ataupun tindak kejahatan terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang sangat besar dari kegiatan tersebut).

f) When a criminals activity generate substancial profits, the individuals or groups involved must find away to control the fund whitout attracting attention to the underlaying activity or the persons involved Criminals do this by disguising the source,

changing the form, or moving the funds to a place where they are les fikely to attract attention (Ketika aktivitas ataupun tindak kejahatan tersebut menghasilkan sebuah keuntungan, baik secara individu maupun kolektif terlibat ternyata keberadaannya tidak


(33)

commit to user

dapat terdeteksi. Tindak kejahatan pencucian uang dapat dilakukan dengan berbagai macam metode antara lain dengan menyembunyikan sumber, merubah format, maupun dengan cara memutar dana atau uang kotor tersebut dari suatu tempat ke tempat yang lain sehingga tidak dapat terdeteksi). (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 3)

g) Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa, The United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances of 1988 mengartikan tindak pidana pencucian uang sebagai The convention or transfer of property,

knowing that such property is derived from any serious offence or offences, or from act of perticipation in such offence or offences, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such and offence or offences to evade the legal consequences of his action, or the concealment or disguise of the true neture, source, location, disposition, movement, right with respect to or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such an offence or offences (Pencucian Uang adalah suatu proses penyerahan maupun perpindahan harta kekayaan, di mana diketahui bahwa harta kekayaan tersebut didapatkan dari tindak kejahatan atau dalam hal ini diperoleh dari keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut, dengan tujuan untuk merahasiakan atau menyembunyikan baik sumber ataupun pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi atas undang undang atas tindakannya itu, maupun dengan cara penyamaran dari sumber aslinya, asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang berkenaan dengan harta kekayaan tersebut, dengan diketahui sebelumnya bahwa harta kekayaan tersebut


(34)

commit to user

diperoleh dari tindak kejahatan, maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut).

h) Menurut Black’s Law Dictionary, Money Laundering is term used to describe invesement or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction and other illegal sources into legitimate channels so that its originals source can not be traced

(Pencucian Uang adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal menguraikan atau memindahkan asal usul yang tidak sah menjadi seolah olah sah, sehingga sumber asalnya tidak dapat diusut ataupun dideteksi).

i) Hal demikian berbeda dengan Undang undang Pencucian Uang Malaysia atau Anti Money Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa money laundering means the act of a person who :

(a) engages, directly or indirectly, in a transaction that nvolves proceeds of any unlawful activity;

(b) acquires, receives, possesses, disguises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; or

(c) conceals, disguises or impedes the establishment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity;

Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang yang :

(a) melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi harta kekayaan yang berasal dari perbutan melawan hukum

(b)Memperoleh, menerima, memiliki, menyemnyikan, mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan, menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke Malaysia,


(35)

commit to user

harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum

(c) Menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum).

j) Kemudian dalam amandemen UU TPPU yang baru lalu, definisi pencucian uang adalah Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, mengaburkan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas bahwa yang dimaksud sebagai pencucian uang dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal dari kegiatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal. b. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang

Sebenarnya tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu tindakan pencucian uang yang sangat kompleks, namun para pakar


(36)

commit to user

telah berhasil menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga tahap, yaitu:

1) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil kejahatan menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan suatu tahapan atau proses menempatkan uang hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang dilakukan berupa pergerakan fisik dari uang tunai dengan maksud untuk mengaburkan atau memisahkan sejauh mungkin uang hasil kejahatan dari sumber perolehannya.

2) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku kejahatan setelah uang hasil kejahatan itu masuk ke dalam sistem keuangan (bank) dengan cara melakukan transaksi lebih lanjut dengan maksud untuk menutupi asal usul uang. Proses ini juga dapat berupa penggunaan uang baik di dalam negeri ataupun di negeri manapun di luar negeri melalui electronic funds transfer.

3) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa aman bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa berhubungan dengan aktivitas ilegal sebelumnya.

Kemudian selain hal- hal di atas yang merupakan tahapan-tahapan proses pencucian uang, karakteristik yang selanjutnya dapat dijelaskan bahwa tindak pidana pencucian uang melibatkan penjahat kelas atas atau kejahatan kerah putih, yang pelakunya mempunyai kedudukan tinggi secara politik maupun dalam hubungan ekonomi. Di samping adanya sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar Crime adalah sebagai berikut (Hazel Croall, 1992 sebagaimana dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo, 2001: 4) :


(37)

commit to user

1) Low Visibility, bahwa kejahatan kerah putih yang memang super canggih sangat dimungkinkan tidak kasat mata, sehingga akan sangat sulit diraba.

2) Complexity, dimana kejahatan kerah putih sangat kompleks, hal tersebut dimungkinkan dengan banyaknya campur tangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3) Diffusion of Responsibility, dalam perkara perkara kejahatan kerah putih selalu terjadi ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana, yang hal ini juga tidak terlepas dari sifat kejahatan kerah putih yang memang sangat terselubung dengan rapi. 4) Diffusion of Victims, berawal dari pemanfaatan teknologi yang

super canggih, kemudian dengan metode kejahatan yang terselubung, maka akan mengakibatkan pula ketidakjelasan korban yang memang sangat luas akibatnya.

Selain itu juga, tindak kejahatan pencucian uang sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, dan terjadinya dapat melintasi batas negara sebagai kejahatan transnasional, dimana menggunakan sepenuhnya kemajuan teknologi dan informasi sebagai modus operandi kejahatan berdimensi baru. c. Modus Kejahatan Pencucian Uang

Pencucian uang dimulai dengan perbuatan secara memperoleh uang kotor, dalam hal ini terdapat dua cara utama (Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 120) :

1) Tax Evasion, atau pengelakan pajak, dengan cara ini seseorang memperoleh uang dengan legal, akan tetapi kemudian melaporkan jumlah keuangan yang tidak sebenarnya supaya didapatkan perhitungan pajak yang lebih sedikit dari yang sebenarnya. Yang kemudian cara ini mengembang kepada


(38)

commit to user

variasi yang bersifat collusion, dimana sangat dimungkinkan ditempuhnya jalan terobosan secara ilegal, mengingat rumitnya birokrasi di negara kita, maka tindakan-tindakan yang termasuk kategori penyuapan sungguh merajalela. Modus tersebut juga timbul sebagai akibat dari mekanisme ilegal dengan cara memotong sejumlah pajak, sehingga akan menimbulkan dua segi kriminalisasi pencucian uang, yakni wajib pajak dan petugas pajak (Robert Klitgaard dan Kimberly Ann Elliot, 1998).

2) Melalui cara-cara kriminal, atau yang jelas-jelas melanggar hukum. Cara seperti ini sangat beragam jumlahnya, seperti dalam hasil amandemen UU TPPU, yaitu korupsi (corruption),

penyuapan (bribery), penyelundupan barang (smuggling),

penyelundupan imigran (people smuggling), perbankan, pasar modal, asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, (women and children trafficking), perdagangan senjata gelap (arms trafficking), penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, perpajakan, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, serta tindak pidana lain yang diancam pidana penjara 4 tahun atau lebih.

Perolehan uang secara kriminal di atas dilakukan secara bawah tanah (underground business), bahkan di bidang perdagangan umum juga termasuk sebagai praktik yang tergolong

dirty money.

d. Metode Pencucian Uang

Selanjutnya perlu pula diketahui bagaimana para pelaku pemutihan uang melakukan pencucian uang, sehingga bisa dicapai hasil dari uang ilegal menjadi uang legal. Sebenarnya di atas sudah


(39)

commit to user

dijelaskan beberapa hal mengenai modus modus pencucian uang, tetapi secara metodiknya dapat dikenal tiga metode dalam kejahatan pencucian uang, yang terdiri sebagai berikut (Business News, 2001):

1) Metode Buy and Sell Conversions, metode ini dilakukan melalui transaksi barang barang dan jasa. Katakanlah suatu aset dapat dibeli dan dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual secara lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan laba ataupun diskon. Selisih harga dibayar dengan uang ilegal dan kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa itu dapat diubah seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank.

2) Metode Offshore Conversions, dengan cara ini uang kotor, dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat aman bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering center) untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di negara negara yang termasuk atau bercirikan seperti tersebut di atas memang terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, terdapat sistem rahasia, bank yang sangat ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung kegiatan demikian, para pelakunya biasanya memakai jasa-jasa pengacara, akuntan atau konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang ada di negara itu.

3) Metode Legitimate Business Conversions, metode ini dilakukan dengan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan dari sesuatu hasil uang


(40)

commit to user

kotor. Hasil uang kotor hu kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank lainnya. Biasanya para pelaku bekerjasama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor. 4 Tinjauan Umum Tentang Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran harta kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan. Undang-undang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.

Sebelum dikeluarkannya undang-undang no. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, undang-undang yang berlaku adalah undang-undang no. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terdiri dari 10 Bab, 46 Pasal. UU ini berisi ketentuan umum mencakup subjek hukum, harta kekayaan, penyedia jasa keuangan, transaksi, transaksi keuangan yang mencurigakan, dokumen dan tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan atau PPATK.

Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dirasakan belum memenuhi standar internasional


(41)

commit to user

serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.

Perubahan dalam undang-undang tersebut antara lain meliputi : a) Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak

hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyeampaikan laporan transaksi keuanagn dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 .

b) Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c) Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung kepada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh. d) Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk

mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana.

e) Jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari


(42)

commit to user

kerja menjadi tidak lebih dari tiga hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.

f) Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

g) Ketentuan kerjasama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakkan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerjasama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerjasama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisasi.

Namun demikian, pelaksanaan kerjasama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(1)

commit to user

6) Untuk membekukan instrumen moneter atau properti diduga hasil

kegiatan yang melanggar hukum;

7) Untuk melaksanakan tindakan yang dianggap perlu dan

dibenarkan di bawah Undang-undang ini untuk melawan pencucian uang;

8) Untuk menerima dan mengambil tindakan sehubungan dengan, setiap permintaan dari negara asing untuk bantuan dalam operasi mereka sendiri anti pencucian uang yang disediakan dalam Undang-undang ini;

9) Untuk mengembangkan program pendidikan tentang efek merusak

pencucian uang, metode dan teknik yang digunakan dalam pencucian uang, berarti layak untuk mencegah pencucian uang dan cara yang efektif untuk mengadili dan menghukum pelaku dan 10) Untuk meminta bantuan dari setiap cabang, departemen, biro,

kantor, badan atau perangkat dari pemerintah, termasuk BUMN dan dikendalikan, dalam melakukan setiap dan semua operasi anti-pencucian uang, yang mungkin termasuk penggunaan nya personil, fasilitas dan sumber daya untuk pencegahan yang lebih tegas, deteksi dan penyidikan tindak pencucian uang dan penuntutan pelanggar.

Terdapat perbedaan waktu dan besarnya nominal dalam penyelidikan dan penuntutan terhadap adanya indikasi tindak pidana pencucian uang yang pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001.

Pembukaan rahasia bank yang ada pada ketentuan hukum yang ada di Indonesia melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001 pada dasarnya merupakan pengecualian dari pengecualian terhadap berlakunya ketentuan rahasia bank yang telah diatur dalam ketentuan hukum yang


(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

berlaku. Dimana ketentuan terhadap rahasia bank dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang hanya dapat diberikan apabila pemeriksaan tindak pidana pencucian uang telah memasuki tahap penyidikan. Apabila masih dalam tahap penyelidikan, maka keterangan tentang nasabah tidak boleh diungkap oleh pihak bank.

4. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis terhadap perbedaan dan persamaan antara Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pencucian Uang dan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001. Faktor yang menyebabkan terjadinya persamaan dalam pengaturan tentang pembukaan rahasia bank dalam penyelidikan tindak pidana money loundering antara Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pencucian Uang dan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001 pada dasarnya pembukaan rahasia bank merupakan tindakan pengecualian karena ditujukan untuk pencegahan dan penangan tindak pidana money loundering, karena akan dihasilkan dampak yang merugikan terhadap kepentingan bangsa dan masyarakat terhadap adanya tindak pidana mony loundering apabila tidak diindetifikasi secara lebih cepat, karena hal ini menyangkut kepentingan negara dan rakyat. Sedangkan faktor yang menyebabkan terjadimya perbedaan dalam pengaturan tentang pembukaan rahasia bank dalam penyelidikan tindak pidana money loundering antara Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan dan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001 pada dasarnya dikarenakan adanya perbedaan mekanismen dalam prosedur peradilan diantara kedua negara tersebut.


(3)

commit to user

B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Pembukaan Rahasia Bank

Kepentingan Pemeriksaan Perkara Money Laudering menurut UU No. 25

Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the Philippines Code No. 9160 on Anti Money Loundering Act of 2001

a. Kelebihan dan Kelemahan UU Pencucian Uang Indonesia

Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada dasarnya tidak mengatur secara tegas sanksi hukum baik sanksi pidana maupun denda yang dikenakan pada tindak pidana pencucian uang. sehingga dalam hal ini penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang yang ada di Indonesia menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terkesan belum ditegakkan secara tegas. Berbeda dengan ketentuan hukum yang ada di Filipina tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang di mana di dalam ketentuan Republic of the Philippines Code No. 9160 on Anti Money Loundering Act of 2001 secara tegas menetapkan sanksi pidana maupun denda terhadap pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini, sehingga dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang terkesa telah dilaksanakan dengan tegas.

b. Kelebihan dan Kelemahan UU Pencucian Uang Philipina

Dalam ketentuan Republic of the Philippines Code No. 9160 on Anti Money Loundering Act of 2001 secara tegas menetapkan sanksi pidana maupun denda terhadap pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini, sehingga dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang terkesa telah dilaksanakan dengan tegas. Berbeda dengan ketentuan hukum yang ada dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada dasarnya tidak mengatur secara tegas sanksi hukum baik sanksi pidana maupun dendan yang dikenakan pada tindak pidana pencucian uang. sehingga dalam hal ini penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang yang ada di Indonesia


(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang terkesan belum ditegakkan secara tegas.


(5)

commit to user

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Persamaan terhadap konsep pembukaan rahasia bank dalam penyelidikan

tindak pidana pencucian uang antara Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Republic of the Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001 pada dasarnya dilakanakan dalam rangkan memberikan mekanisme atau fasilitas kepada penegak hukum untuk dapat membuka rekening setiap orang yang diduga atau didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang ada di Indonesia dan di Filipina diserahkan kepada penegak hukum untuk membuka rekening setiap orang yang telah dilaporkan, tersangka atau terdakwa, dengan tujuan selain memudahkan dalam penanganan perkara, juga dimaksudkan untuk mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melakukan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan Filipina apabila terjadi indikasi adanya tindak pidana pencucian uang, maka akan segera dilakukan pemblokiran atau pembekuan terhadap rekening nasabah tersebut. Pembukaan rahasia bank merupakan pengecualian terhadap ketentuan pemberlakuan rahasia bank menyangkut kepentingan adanya tindakan pencucian uang karena dianggap bahwa pencucian uang akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat.

2. Terdapat perbedaan dalam prosedur penuntutan dan penyelidikan antara ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2003

Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Republic of the

Philippines code No. 9160 in Anti Money Loundering Act of 2001. Dimana


(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

jangka waktu dan besar nominal yang dapat dijadikan batasan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana pencucian yang ada di Indonesia dan di Filipina. Dalam pengawasan terhadap pencegahan dan penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dilaksanakan olh PPATK sendangkan di Filipina dilaksankan oleh AMLC.

3. Faktor yang mempengaruhi adanya persamaan dalam pengaturan tindak pidana money loundering diantara kedua negara tersebut pada dasarnya karena adanya kepentingan bangsa dan rakyat dalam rangka pencegahan dan penangan tindak pidana money loundering dapat menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar bagi kepentingan umum. Sedangkan faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan dalam pengaturan pembukaan rahasia bank karena adanya mekanisme hukum dan prosedur dalam penanganan hukum dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana money loundering yang berbeda diantara kedua negara tersebut..

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan dalam penelitian ini, maka dapat berikan kesimpulan berkaitan dengan penelitian ini yaitu :

1. Perlu perbaikan terhadap ketenuan dalam rahasia bank, baik yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku maupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk dapat memersempin ruang gerak terhadap kemungkinan terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan.

2. Perlu adanya peningkatan kinerja, partisipasi dan koordinasi antar pihak terkait dalam pelaksanaan pengawasan seperti PPATK yang aeda di Indonesia dan AMLC di Filipina terhadap pencegahan dan penanganan tindak pidana pencucian uang khususnya yang melalui lintas batas teritorial untuk menjaga komitmen negaranya masing-masing.

3. Pembukaan rahasia bank diharapkan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya agar tetap dapa menjaga kredibilitas bank terkait keperayaan nasabah terhadap lembaga perbankan yang ada.