72
5.2. Penilaian Dampak Kebijakan Pergulaan Nasional Terhadap Kondisi Pergulaan Indonesia
Analisis perkembangan kebijakan pergulaan nasional yang telah diuraikan pada bab 5.1 memberikan informasi dalam menilai dampak kebijakan pergulaan
nasional terhadap kondisi pergulaan Indonesia. Tujuan menilai dampak kebijakan pergulaan nasional dengan menggambarkan sisi positif dan negatif adalah
memberikan penjelasan secara deskriptif pengaruh dari masing-masing kebijakan pergulaan Indonesia, khususnya periode proteksi dan promosi terhadap kondisi
pergulaan nasional. Dengan demikian, adanya analisis penilaian dampak kebijakan pergulaan nasional terhadap kondisi pergulaan Indonesia ini secara
tidak langsung memperlihatkan perkembangan harga gula domestik yang merupakan gambaran proyeksi dari daya saing gula domestik.
5.2.1. Periode Bulog 1975-1998
Dampak kebijakan pergulaan pada masa Bulog tahun 1975 hingga 1998 yang ditandai dengan program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI melalui Instruksi
Presiden No. 9, tanggal 22 April 1975, yaitu produksi gula nasional meningkat rata-rata 4,3 persen per tahun dalam kurun waktu 1975 sampai 1994. Produksi
gula nasional sebesar 1 juta ton tahun 1975 meningkat menjadi 2,4 juta ton tahun 1994. Hal ini disebabkan karena luas areal yang cenderung meningkat sekitar 6
persen per tahun dalam periode yang sama Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006. Peningkatan produksi dan luas areal tebu ini menunjukkan bahwa program
pemerintah dalam perubahan struktural organisasi industri tebu beserta kebijakan yang mendukungnya, seperti penyediaan kredit lunak, bimbingan teknis untuk
petani, penetapan harga provenue, rehabilitas pabrik-pabrik gula di Jawa, penetapan target areal dan produksi serta mekanisme operasional dalam
pengaturan Bimas memberikan dampak positif terhadap animo petani dalam
73
menanam tebu. Perubahan struktural organisasi industri tebu terletak pada penghapusan sistem sewa lahan petani oleh pabrik gula menjadi sistem
penanaman tebu oleh petani yang hasilnya diolah pabrik gula dengan sistem bagi hasil. Kondisi ini memperlihatkan bahwa petani tebu diikutsertakan dalam
peranan kegiatan sektor perkebunan tebu. Sistem TRI ini menyebabkan peningkatan pada penawaran gula yang jumlahnya besar dan tidak dapat dikontrol
oleh Bulog pada tahun 1975 hingga 1998 sehingga mengakibatkan fluktuasi harga gula di pasar domestik. Fluktuasi harga gula domestik ini merespon pemerintah
dalam menetapkan seluruh produksi gula dalam negeri dibeli oleh Bulog mulai tahun 1981 dan menetapkan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor
tahun 1982. Dengan kata lain, harga gula domestik ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Penetapan harga ini menimbulkan adanya perbedaan yang besar
antara harga provenue dan harga gula domestik dapat dilihat pada Gambar 1.6. Perbedaan antara harga provenue dan harga gula domestik seharusnya dinikmati
oleh petani tebu dan pabrik gula. Namun, menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB 2002, perbedaan harga ini
justru dinikmati oleh Bulog dan pedagang perantara. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya kepentingan ekonomi politik negara yang berbeda dengan tujuan
kebijakan pergulaan nasional di masa orde baru. Keadaan ini menunjukkan rendahnya insentif yang diterima petani sehingga animo petani untuk menanam
tebu rendah.
Sumber : Sekretariat Dewan Gula Indonesia 2006
Gambar 1.6. Perkembangan Harga Provenue dan Harga Gula Domestik 1981-1998
1 0 0 0 2 0 0 0
3 0 0 0 4 0 0 0
5 0 0 0
1981 1983
1985 1987
1989 1991
1993 1995
1997
T a h u n R
p kg
H a r g a P r o v e n u e H a r g a G u l a D o m e s t i k
74
Dampak dari pelaksanaan sistem TRI mengakibatkan tidak terkontrolnya sistem produksi tebu ditandai dengan penurunan hasil tebu dengan produksi dan
rendemen yang mencapai angka terendah yaitu dibawah 7 persen. Pada tahun 1994 hingga 1998 memperlihatkan bahwa produksi gula nasional cenderung
menurun sekitar -9,4 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pada periode Bulog produksi gula nasional bersifat fluktuatif. Perkembangan produksi
gula nasional selama tahun 1994 hingga 1998 dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Perkembangan Luas Areal, Rendemen dan Produksi Gula, 1994-1998
Tahun Luas Areal ha
Rendemen Produksi ton
1994 428.152 8,03
2.448.833 1995 420.630
6,97 2.096.472
1996 403.266 7,32
2.094.195 1997 385.666
7,84 2.189.967
1998 378.293 5,49
1.488.268
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006
Pada periode Bulog juga menggambarkan adanya fluktuasi impor gula. Hal ini dapat ditunjukkan oleh impor yang cenderung meningkat rata-rata berkisar
5,7 persen per tahun selama 1984 sampai 1990 dan cenderung menurun tahun berikutnya sampai titik terendah 128.399 ton tahun 1994. Pada tahun 1995 hingga
1997, dimana impor meningkat sebesar 523.988 ton tahun 1995 dan 1.364.563 ton tahun 1997. Adanya fluktuasi impor dan perbedaan harga provenue dan harga
domestik di tingkat eceran masih menggambarkan posisi petani yang lemah. Ringkasan analisis positif dan negatif periode Bulog 1975-1998 dapat dilihat
pada Tabel 5.5.
75
Tabel 5.5. Analisis Positif dan Negatif Periode Bulog 1975-1998
Penerima
Positif Negatif
Produsen - Adanya sistem TRI dan perubahan struktural organisasi
industri gula menggambarkan bahwa peranan petani tebu
diikutsertakan dalam sektor perkebunan tebu
- Tingginya peranan petani tebu menimbulkan animo petani
dalam menanam tebu sehingga produksi meningkat tahun 1975
hingga 1994 dan menurunkan impor gula
- Kepastian harga gula ditingkat petani karena pemerintah
menerapkan kebijakan yang mendukung TRI yaitu penetapan
harga provenue - Adanya sistem TRI mengakibatkan
tidak terkontrolnya sistem produksi sehingga menyebabkan penurunan
hasil tebu dengan produksi dan rendemen yang mencapai angka
terendah yaitu dibawah 7 persen
- Adanya monopoli Bulog menimbulkan adanya kepentingan ekonomi politik
negara yang berbeda dengan tujuan kebijakan pergulaan nasional sehingga
perbedaan antara harga provenue dan harga gula domestik hanya dinikmati
oleh Bulog dan pedagang perantara
- Adanya kepentingan ekonomi politik yang menyimpang mengakibatkan
rendahnya insentif yang diterima petani sehingga animo petani untuk
menanam tebu rendah
- Rendahnya animo petani mengakibatkan produksi gula nasional
turun dan impor meningkat Konsumen
- Adanya sistem TRI menyebabkan peningkatan penawaran gula yang
jumlahnya lebih besar dan tidak dapat dikontrol sehingga terjadi fluktuasi
harga gula domestik
- Adanya monopoli Bulog menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih
tinggi
5.2.2. Periode Bebas dan Transisi 1999-2002 Periode bebas ditandai dengan penetapan tarif sebesar nol persen dan
pelaksanaan impor dilakukan oleh Importir Umum. Dampak dari kebijakan liberalisasi perdagangan ini adalah banyaknya impor gula yang masuk di pasar
domestik yaitu mencapai 2.187.133 ton Tahun 1999. Keadaan ini didukung oleh harga gula dunia yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah berkisar US
200,6 per ton atau setara dengan Rp 1.861kg pada tahun 1999 sedangkan harga gula domestik di tingkat eceran sebesar Rp 2.640kg pada tahun yang sama.
Terlebih, biaya produksi gula nasional yang relatif tinggi sebesar US 32,00 cent sementara biaya produksi gula dunia hanya mencapai US 20,00 cent tahun 1999.
76
Hal ini mengindikasikan bahwa gula domestik yang dihasilkan tidak mampu bersaing dengan gula impor. Dengan adanya liberalisasi perdagangan
menunjukkan bahwa fluktuasi harga gula dunia secara langsung dapat mempengaruhi harga gula domestik sehingga penurunan harga gula dunia akan
menyebabkan harga gula domestik juga ikut mengalami penurunan. Di sisi lain, petani belum siap menghadapi perdagangan bebas karena selama ini harga gula
ditetapkan oleh pemerintah sehingga tidak merasakan adanya fluktuasi harga gula dunia. Keadaan ini membuat industri gula mengalami masa kemunduran dengan
ditunjukkan oleh produksi gula nasional yang menurun sebesar 2 juta ton pada periode Bulog menjadi 1,4 juta ton pada periode liberalisasi.
Pemerintah mengatasi masalah ketidaksiapan petani dan industri gula dalam menghadapi liberalisasi perdagangan dengan mengeluarkan kebijakan
penetapan harga provenue sebesar Rp 2.500kg. Adanya kebijakan ini berarti menandakan periode transisi telah dimulai. Namun, kebijakan ini tetap tidak
memperbaiki petani dan kinerja industri gula. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan
penetapan harga provenue sehingga kebijakan ini menjadi tidak efektif. Situasi ini membuat pemerintah untuk membatasi importir dengan importir produsen dan
penetapan tarif impor gula putih sebesar 25 persen. Dampak dari penetapan tarif ini mampu mengatasi pengaruh perdagangan global karena mampu menaikkan
harga impor gula dari Rp 2.019kg tanpa penetapan tarif menjadi Rp 2.525kg dengan tarif 25 persen tahun 2000. Kebijakan ini berarti mampu menaikkan harga
impor gula di tingkat eceran sebesar Rp 4.332kg diatas harga eceran tertinggi gula domestik Rp 4.126kg. Peningkatan harga provenue gula petani sebesar Rp
2.600kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp 859 milyar hanya diberikan dalam periode dua tahun. Kondisi ini menyebabkan rendemen menurun
77
dari 7 persen menjadi 6 persen sehingga nilai jual dari gula yang dihasilkan menjadi kecil. Hal ini disebabkan karena pembongkaran tanaman keprasan
dilakukan lebih dari tiga kali tanpa peremajaan tanaman sesuai dengan dana yang diberikan oleh pemerintah. Kebijakan penetapan harga provenue ini berakhir
menjadi penetapan harga minimal yang disepakati oleh pelaku bisnis. Konsep dari kebijakan ini adalah harga dasar sudah ditetapkan terlebih dahulu kemudian
melakukan mekanisme lelang dengan pedagang. Bila harga lelang di bawah harga harga dasar maka investor membeli sebesar harga dasar dan bila di atas harga
dasar kelebihannya 60 persen untuk petani dan 40 persen untuk investor. Dampak dari kebijakan ini adalah petani terlindungi dari fluktuasi harga gula domestik.
Namun, pada pertengahan tahun 2002 harga gula dunia kembali menurun dari US 249,3ton tahun 2001 menjadi US 221,5ton Juli 2002. Harga jual gula
domestik hanya Rp 2.650kg sementara biaya produksi mencapai Rp 3.200kg pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan kebijakan tarif 25 persen tidak
lagi efektif untuk meningkatkan harga impor gula. Pemerintah menetapkan tarif spesifik sebesar Rp 700kg dan mengatur tataniaga impor gula hanya oleh
Importir Terdaftar IT dan bahkan memasukkan gula pada jalur merah. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengendalikan impor
maupun mengangkat harga gula petani dari rata-rata Rp 2.600kg tahun 2003 menjadi Rp 3.250kg tahun 2004, yang berarti berada di atas harga dasar yang
menjadi kesepakatan petani tebu dan investor sebesar Rp 3.410kg serta di atas biaya produksi. Tataniaga gula ini tidak merubah distribusi gula dalam negeri,
artinya distributor dan pedagang tetap mempunyai peran. Kelemahan dari kebijakan ini adalah belum mampu meningkatkan harga impor gula di atas harga
gula domestik. Keadaan ini mengakibatkan banyak impor gula ilegal di pasar domestik. Menurut data yang diperoleh, ditemukan 710 ton gula putih impor
78
ilegal oleh petugas Bea Cukai Tanjung Balai akan diselundupkan ke daerah jambi pada Januari 2003, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menemukan
penimbunan gula sebanyak 28 ribu ton di pabrik gula Ngadirejo Jawa Timur pada Februari 2003 dan menemukan sekitar 33 ribu ton gula impor ilegal di gudang
Hobros. Ditambah, masih adanya kelemahan dalam kebijakan pengendalian impor ini seperti belum jelasnya mengatur waktu importasi sehingga menyebabkan
distribusi gula tidak berjalan dengan baik. Ringkasan analisis positif dan negatif periode bebas dan transisi 1999-2002 dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Analisis Positif dan Negatif Periode Bebas dan Transisi
1999-2002
Penerima Positif Negatif
Produsen - Penetapan
harga minimal tahun
2001 melindungi petani dari fluktusi
harga gula domestik
- Penetapan tarif
spesifik Rp 700kg, pengaturan
tataniaga impor oleh IT, dan gula
masuk dalam jalur merah mampu
mengangkat harga gula di tingkat
petani - Adanya liberalisasi perdagangan menyebabkan terjadi
peningkatan impor gula dengan harga impor gula yang lebih rendah dibandingkan dengan harga gula domestik
- Penurunan harga impor gula akan secara langsung menurunkan harga gula domestik sehingga memberikan
dampak yang besar dalam insentif industri gula. - Adanya liberalisasi perdagangan
yang menyebabkan berkurangnya insentif industri gula menggambarkan
kemunduran industri gula karena animo petani untuk menanam tebu rendah
- Akibat rendahnya animo petani, produksi gula nasional menurun
- Penetapan tarif 25 persen untuk mengatasi kemunduran industri gula menjadi tidak efektif akibat harga gula dunia
menurun drastis sehingga angka rendemen menurun dari 7 persen menjadi 6 persen
- Adanya adanya kelemahan dari kebijakan pengaturan tataniaga impor yang diberlakukan tahun 2002 seperti, belum
jelasnya spesifikasi mutu, waktu impor dan jaminan harga untuk petani sehingga menimbulkan ketidakpastian tataniaga
impor dan tataniaga ini tidak merubah distribusi gula dalam negeri, artinya distributor dan pedagang tetap mempunyai
peran
- Ketidakpastian tataniaga impor ini mengakibatkan banyaknya impor gula ilegal yang masuk ke pasar domestik
Konsumen - Adanya liberalisasi
perdagangan menyebabkan
konsumen dapat membeli gula
dengan harga yang lebih murah
- Adanya pengendalian impor pada periode transisi menyebabkan konsumen membeli harga gula domestik
dengan harga yang lebih mahal
79
5.2.3. Periode Proteksi dan Promosi 2003-2005