Kebijakan Pergulaan Negara Produsen dan Konsumen Utama Gula Dunia

57 Kondisi areal perkebunan dan produksi tebu secara umum masih terpusat di daerah Jawa dilihat dari penyebarannya. Hal ini sesuai dengan jumlah perusahaan gula dan pabrik-pabrik gula yang sebagian besar terletak di Jawa. Pabrik gula yang beroperasi di daerah Jawa adalah 46 buah sedangkan di luar jawa berjumlah 12 pabrik gula pada tahun 2005 Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006. Menurut Susila 2005, kondisi pabrik gula terutama di Jawa secara umum sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Perkembangan pabrik gula nasional mengalami penurunan dari 62 pabrik gula pada tahun 1998 menjadi 58 pabrik gula pada tahun 2005. Data tahun 20052006 menunjukkan dari 46 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Terlebih, sebanyak 20 pabrik gula nasional tidak memenuhi standar kriteria minimum kapasitas giling 2000 ton tebu per hari. Kondisi ini berbeda dengan perusahaan swasta, perusahaan swasta memiliki rata-rata total hari penggilingan di atas 180 hari giling per tahun dan kapasitas giling di atas 2000 ton tebu per hari bahkan di atas 10.000 ton tebu per hari. Perkembangan lama hari giling dan kapasitas giling beberapa pabrik gula dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan demikian, perkembangan pabrik gula dari tahun ke tahun menggambarkan adanya inefisiensi di tingkat pabrik gula.

4.3. Kebijakan Pergulaan Negara Produsen dan Konsumen Utama Gula Dunia

Perkembangan ekonomi yang mengarah pada liberalisasi perdagangan diimplementasikan melalui berbagai komitmen untuk mencegah proteksionisme di negara-negara maju yang dikenal sebagai Puturan Uruguay dalam Sistem 58 GATT General Aggrement on Tariffs and Trade. Liberalisasi perdagangan di sektor pertanian melalui Puturan Uruguay Desember 1993 menghasilkan dua hal, yaitu pertama, pelaksanaan liberalisasi perdagangan dengan menerapkan aturan permainan GATT di bidang pertanian dan kedua, setiap negara menyusun besaran tarif yang akan diterapkan, serta melakukan konversi terhadap hambatan non tarif ke dalam ekivalen tarif Malian, 2004. Komitmen tarif dari negara-negara pelaku pergulaan dunia yang telah disepakati pada forum GATT dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Komitmen Tarif Beberapa Negara dalam GATT Ad valorem Basic 1 Negara Base Final 2 Indonesia 110 95 Australia 28 14 Brazil 85 35 China 100 76 Cuba 0 40 EU 182 146 India 0 150 Jepang 333 283 US 125 106 Thailand 104 94 Sumber: Hafsah, 2002 Komitmen tarif dalam GATT di atas ternyata tidak sepenuhnya dipenuhi oleh negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia. Beberapa negara masih memberikan proteksi yang tinggi pada industri gula. Dengan kata lain, komitmen pada Putaran Uruguay tidak banyak berpengaruh pada tingakat distorsi perdagangan dan industri gula. Negara-negara produsen dan konsumen utama gula dunia yang menerapkan kebijakan proteksi dan promosi terhadap industri gula antara lain, Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Thailand. Salah satu instrumen kebijakan proteksi yang dilakukan Uni Eropa yaitu pemberlakuan 59 tingkat tarif impor yang tinggi berupa penerapan binding tariff sebesar 146 persen dengan pendekatan fixed tariff. Di samping itu, Uni Eropa juga memberikan bantuan domestik berupa subsidi input dan jaminan harga. Kebijakan ini diimplementasikan dengan membagi produksi menjadi tiga kategori, yaitu kuota A, kuota B, dan kuota C. Kuota A yang menerima harga penuh pasar internal supported internal market place, kuota B adalah produksi untuk ekspor yang menerima refund subsidi atas selisih harga pasar gula dunia dan intervention price dan kuota C produksi ekspor yang menerima harga gula gula dunia. Uni Eropa menjaga pasar internal dengan cara menjaga harga gula internal tetap di atas harga gula dunia melalui penetapan target price dan intervention price. Di samping itu, pemerintah Uni Eropa menetapkan minimum akses sebesar 1,3 juta ton dengan memberlakukan duty Free Tariff. Uni Eropa juga menerapkan special safeguard untuk memproteksi gula di pasar domestik. Kebijakan subsidi harga diperkirakan mencapai sekitar 41 persen dari pendapatan petani. Di sisi lain, konsumen menerima beban sekitar US 3,8 Milyar per tahun sebagai akibat harga gula domestik yang tinggi Noble, 1997 dalam Susila. Kebijakan pemerintah Amerika Serikat dalam melindungi industri gula dapat dilihat dari penetapan bea masuk impor di atas 100 persen, menerapkan beberapa kebijakan seperti kebijakan bantuan domestik price support loan, Kebijakan tariff-rate quota TRQ merupakan suatu kebijakan pengendalian harga domestik dengan instrumen pengendalian impor, subsidi ekspor export subsidy, program re-eksporre-ekspor programs, dan kebijakan pembayaran dalam bentuk natura atau payment-in-kind. Pemerintah AS juga mengalokasikan subsidi untuk 60 sektor pertanian dalam negerinya sebesar 18 Milyar US setara dengan Rp 178 Triliun per tahun. Pemerintah Jepang menerapkan tarif bea impor gula sebesar Y 10kg untuk gula kualitas rendah dan kualitas lebih tinggi adalah Y 41kg. Jepang mengenakan pungutan berupa dana regulasi yang cukup tinggi terhadap gula impor dan menyalurkan dana hasil pungutan ini untuk menfasilitasi produsen gula, sehingga harga domestiknya mampu bersaing dengan gula impor. Pemerintah Jepang juga mengambil kebijakan dengan memberikan dana promosi produksi kepada perusahaan gula dan bantuan untuk gula produksi dalam negeri Jepang mencapai 93,6 milyar yen. Pemerintah Jepang membentuk ALIC Agriculture and Livestocks Industries Corporation sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang mengendalikan harga gula di pasaran Jepang. Harga gula domestik ditetapkan pada harga target pasar domestik dan seluruh gula produksi domestik dibayar oleh Agriculture and Livestocks Industries Corporation ALIC dan dijual kembali pada processor pada harga stabilisasi. Di samping itu, ALIC membayar semua gula impor dan menjual kembali sejumlah yang sama kepada importir pada harga target pasar domestikyang besar ditetapkan sama dengan harga impor + levy + surcharge. Jika harga impor lebih rendah dari harga target, maka levy dan surcharge menghilangkan perbedaan itu. Kebijakan ini merupakan mekanisme yang paling efektif dalam mendukung harga gula di pasar domestik Jepang. Kebijakan agribisnis gula di Thailand dijalankan oleh Cane and Sugar Board. Badan ini memiliki tugas berdasarkan Undang-Undang Gula, antara lain, 61 merumuskan kerangka kebijakan pemasaran gula domestik dan ekspor, mengatur pendapatan petani dan pabrik gula, mengawasi tingkat produksi gula dan mendorong peningkatan kualitas gula, meningkatan efisiensi usahatani tebu dan produksi gula dan membatasi penanaman tebu hanya dalam wilayah 100 km dari pabrik gula. Pemerintah memberikan subsidi suku bunga kredit usahatani bagi petani tebu dengan bunga di bawah harga pasar melalui Bank of Agricultural Cooperatives BAAC. Besarnya kredit sesuai dengan nilai kontrak penyerahan tebu ke pabrik. Petani mendapat 70 persen pendapatan dari penjualan gula di pasar domestik dan internasional, sementara pabrik menerima 30 persen. Pemerintah menjalankan program mortgage gadai dimana 80 persen dari nilai produksi petani dibayar awal pada tingkat harga dasar. Pemerintah Thailand menetapkan kebijakan pemasaran gula di pasar domestik dan luar negeri berdasarkan sistem kuota. Ada tiga jenis kuota yang diterapkan, yaitu kuota A berarti penetapan kuota gula pasir yang diperuntukan bagi konsumsi domestik sekitar 1,9 juta ton per tahun, kuota B, yaitu penetapan kuota gula mentah raw sugar yang ditujukan untuk keperluan ekspor ditetapkan sekitar 800 ribu ton per tahun, sedangkan kuota C, yaitu kuota yang ditetapkan untuk perusahaan swasta yang akan mengekspor gula, baik primer quality of sugar maupun raw sugar, setelah pabrik gula memenuhi kewajiban melaksanakan kuota A dan kuota B. Perlindungan petani dan industri gula dalam negeri yang diterapkan oleh pemerintah Thailand adalah menerapkan kuota tarif impor sebesar 13.700 ton. Tarif impor dalam kuota ditetapkan sebesar 65 persen, sedangkan untuk diluar kuota sebesar 96 persen, baik untuk white sugar maupun raw sugar.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Nasional