53
Menurut Arianto 2003, Industri gula merupakan salah satu industri yang mempunyai keterkaitan yang besar terhadap sektor-sektor lain dalam penyediaan
input, hal ini terlihat dari dominasi input antara dalam struktur input industri gula. Hal ini menunjukkan industri gula memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat
dengan sub sektor tebu. Akan tetapi, industri gula memiliki keterkaitan ke depan yang rendah karena output yang dihasilkan industri gula lebih banyak dikonsumsi
langsung oleh rumah tangga daripada digunakan sebagai input antara oleh sektor- sektor lain. Dari hasil analisis koefisien penyebaran dapat disimpulkan bahwa
industri gula merupakan industri yang memiliki kemampuan dalam mendorong pertumbuhan sektor hulunya. Analisis kepekaan penyebaran menunjukkan bahwa
industri gula tidak memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Hal ini sesuai dengan analisis keterkaitan, dimana keterkaitan ke
belakang lebih besar daripada keterkaitan ke depan. Berdasarkan analisis multiplier industri gula memiliki nilai multiplier yang cukup tinggi baik dari segi
output, pendapatan maupun tenaga kerja. Hal ini menunjukkan bahwa industri gula salah satu industri penting yang mampu meningkatkan output, pendapatan
dan lapangan kerja di sektor-sektor lainnya. Hasil perbandingan nilai multiplier antara transaksi domestik dengan transaksi total menunjukkan bahwa gula impor
akan mengurangi peningkatan output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada industri gula.
4.2. Perkembangan Industri Gula
Perkembangan industri gula tebu tergantung kepada perkembangan perkebunan tebu. Hal ini disebabkan karena gula tebu di Indonesia merupakan
54
hasil pengolahan pabrik-pabrik gula yang ada. Dengan kata lain, industri gula merupakan usaha yang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan tebu
Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002.
Usaha perkebunan tebu termasuk salah satu usaha perkebunan tertua yang dikembangkan Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari perkembangan industri gula
yang telah ada sejak abad ke 17 pada zaman penjajahan Belanda. Perkebunan tebu Indonesia pernah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930, dimana jumlah
pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas berkisar 14,8 persen dan rendemen mencapai 11,0 persen hingga 13,8 persen. Era kejayaan ini
juga ditandai dengan tingkat produksi sekitar 3 juta ton dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton. Kondisi ini tercapai karena didukung oleh
manajemen dan sistem bercocok tanam yang tepat serta efisiensi pabrik yang tinggi.
Perkembangan usaha perkebunan tebu selanjutnya mengalami penurunan sejak masuknya penjajah Jepang sampai pemerintah Indonesia melakukan
nasionalisasi perusahaan gula. Kinerja pergulaan nasional semakin menurun hingga industri gula tidak mampu mencukupi kebutuhan gula dalam negeri. Hal
ini ditunjukkan dari penurunan produksi dari 2,9 juta ton pada tahun 1930 menjadi 660.000 ton pada tahun 1967 dengan jumlah pabrik gula yang beroperasi hanya
55 buah. Perkembangan industri gula dapat dilihat pada Tabel 4.2.
55
Tabel 4.2.
Perkembangan Produksi, Ekspor, Impor, Konsumsi dan Pabrik Gula Indonesia, 1930-1967
Tahun Produksi ribu ton
Ekspor ribu ton
Impor ribu ton
Konsumsi Domestik
ribu ton Pabrik gula
buah
1930 2.900 2.222 678
179 1940 1.472 1.102
370 92
1960 652 35
617 53
1967 660 37
697 55
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1963 dalam Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB 2002
Penurunan kinerja industri gula disebabkan oleh penyediaan lahan yang terbatas karena adanya kebijakan umum yang dilakukan pemerintah dalam
penggunaan lahan untuk beras pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah melakukan impor agar pemenuhan
konsumsi terpenuhi. Oleh karena itu, pada masa ini Indonesia memulai sebagai negara importir.
Peningkatan produksi dan produktivitas gula domestik dilakukan oleh pemerintah melalui program Tebu Rakyat Intensifikasi TRI pada tahun 1975.
Namun, adanya program TRI menyebabkan tingkat produksi nasional berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Hal ini dapat ditunjukkan oleh peningkatan
produksi gula nasional sebesar 1,3 juta ton pada tahun 1979 menjadi 2,5 juta ton pada tahun 1990, tetapi pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 1,5 juta ton.
Terlebih rendemen gula menunjukkan kecenderungan terus merosot dari rata-rata 10 persen menjadi rata-rata 6 sampai 7 persen hingga saat ini.
Penurunan areal tanam yang cukup besar terjadi pada tahun 1999 dengan laju sebesar -9,9 persen, yaitu dari 378.293 ha tahun 1998 menjadi 340.800 ha
tahun 1999. Penurunan areal juga diikuti dengan menurunnya produktivitas tebu
56
mencapai -12,26 persen tahun 1999. Hal ini menyebabkan penurunan hasil produksi gula dari 1.488.268 ton hablur pada tahun 1998 menjadi 1.466.620 ton
hablur pada tahun 1999. Rendahnya produksi ini juga terutama disebabkan karena rendahnya rendemen gula yang hanya mencapai sekitar 5 persen. Kondisi ini
berbeda pada tahun 2000, produksi gula meningkat sebesar 1.685.826 ton hablur meskipun luas areal cenderung menurun sebesar 340.660 ha. Hal ini disebabkan
karena tingginya rendemen gula yang mencapai 7 persen. Pada tahun 2001 hingga 2005 luas areal cenderung meningkat dengan laju rata-rata 2,12 persen per tahun
jika dibandingkan tahun 1998 dan 1999. Rendemen gula juga masih tetap bertahan pada tingkat sekitar 7 persen pada tahun 2005. Kondisi ini menimbulkan
dampak yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi gula yang mencapai sekitar 2 juta ton. Akan tetapi, peningkatan produksi ini belum cukup untuk
memenuhi kebutuhan gula yang cenderung meningkat sebesar 2,6 juta ton pada tahun 2005 Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006. Perkembangan ini dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Perkembangan Luas Areal, Produktivitas Tebu, Rendemen,
Produksi Gula dan Produktivitas Gula
Tahun Luas Areal
ha Produktivitas tebu
tonha Rendemen
Produksi Gula ton
Produktivitas Gula
tonha
1998 378.293 71,8
5,49 1.488.268 3,75
1999 340.800 62,8
5,96 1.466.620 4,38
2000 340.660 70,5
7,04 1.685.826 4,96
2001 344.441 73,1
6,85 1.725.467 5,01
2002 350.722 72,8
6,88 1.755.433 5,01
2003 335.724 67,4
7,21 1.631.918 4,86
2004 344.793 77,6
7,67 2.051.643 5,95
2005 381.785
81,6 7,84
2.241.742 6,04
Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006
57
Kondisi areal perkebunan dan produksi tebu secara umum masih terpusat di daerah Jawa dilihat dari penyebarannya. Hal ini sesuai dengan jumlah
perusahaan gula dan pabrik-pabrik gula yang sebagian besar terletak di Jawa. Pabrik gula yang beroperasi di daerah Jawa adalah 46 buah sedangkan di luar
jawa berjumlah 12 pabrik gula pada tahun 2005 Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006. Menurut Susila 2005, kondisi pabrik gula terutama di Jawa
secara umum sudah tua sehingga tidak dapat mencapai efisiensi yang maksimal. Perkembangan pabrik gula nasional mengalami penurunan dari 62 pabrik gula
pada tahun 1998 menjadi 58 pabrik gula pada tahun 2005. Data tahun 20052006 menunjukkan dari 46 pabrik gula di Jawa, 17 perusahaan memiliki total hari
penggilingan di bawah standar nasional yaitu 150 hari giling per tahun. Terlebih, sebanyak 20 pabrik gula nasional tidak memenuhi standar kriteria minimum
kapasitas giling 2000 ton tebu per hari. Kondisi ini berbeda dengan perusahaan swasta, perusahaan swasta memiliki rata-rata total hari penggilingan di atas 180
hari giling per tahun dan kapasitas giling di atas 2000 ton tebu per hari bahkan di atas 10.000 ton tebu per hari. Perkembangan lama hari giling dan kapasitas giling
beberapa pabrik gula dapat dilihat pada Lampiran 1. Dengan demikian, perkembangan pabrik gula dari tahun ke tahun menggambarkan adanya inefisiensi
di tingkat pabrik gula.
4.3. Kebijakan Pergulaan Negara Produsen dan Konsumen Utama Gula Dunia