Hasil Estimasi Model Hasil Estimasi Model Struktural Harga Gula di Tingkat Petani 1. Uji Ekonometrika

88 sebesar 10 persen α = 10, artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas.

5.3.3.2. Hasil Estimasi Model

Hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula di tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani Variabel Coefficient t-Statistik Probabilitas Intersep -0,723979 -4.191395 0,0004 LNPNE 0,800646 10.06613 0,0000 LNHRIG 0,027012 0.478063 0,6373 LNRR 0,541054 4.083669 0,0005 LNHP 0,192260 1.908682 0,0694 TIN 0,003395 1.959557 0,0628 D1 0,163989 1.918987 0,0681 D2 0,144340 1.894727 0,0713 R-squared 0,995760 Adjusted R-squared 0,994411 Durbin-Watson stat 1,424252 ProbF-statistic 0,000000 Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10 α =10 Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 5.10, persamaan memiliki koefisien determinasi R-squared sebesar 0,995760, artinya bahwa keragaman dari variabel dependent mampu diterangkan oleh variabel-variabel independent di dalam persamaan sebesar 99,57 persen dan sisanya sebesar 0,43 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Hasil uji F didapatkan bahwa variabel independent secara bersama-sama mampu menerangkan variabel dependent. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P-Value = 0,000000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa persamaan telah mendukung keabsahan model. Dengan kata lain, pengaruh yang ditimbulkan oleh keseluruhan variabel independent terhadap variabel dependent adalah baik. 89 Uji t menunjukkan bahwa variabel harga impor gula tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap harga gula di tingkat petani dengan taraf nyata 10 persen sedangkan variabel lainnya berpengaruh nyata atau signifikan terhadap harga gula di tingkat petani dengan taraf nyata 10 persen. Variabel- variabel independent yang berpengaruh nyata dalam persamaan ini adalah harga gula domestik di tingkat eceran, rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah, harga pupuk, tingkat inflasi, Dummy kebijakan bebas dan transisi dan Dummy kebijakan proteksi dan promosi. Berdasarkan Tabel 5.10, dapat diketahui bahwa harga gula domestik di tingkat eceran berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,800646, artinya jika harga gula domestik di tingkat eceran meningkat sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,800646 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan petani tebu ditentukan oleh harga gula domestik di tingkat eceran karena setiap perubahan pada harga gula domestik di tingkat eceran sebesar satu persen akan menyebabkan perubahan harga gula di tingkat petani sebesar 0,800646 persen. Harga impor gula tidak berpengaruh nyata terhadap harga gula di tingkat petani. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan konsep yang ada. Hal ini diduga disebabkan karena harga impor gula tidak termasuk dalam perhitungan dalam menentukan harga gula di tingkat petani. Walaupun secara tidak langsung salah satu penentuan harga gula di tingkat petani menggunakan perspektif pasar global. Pendekatan perspektif pasar global ini digunakan agar industri gula Indonesia 90 dapat bersaing pada pasar gula dunia yang kompetitif. Harga gula pada pasar dunia yang kompetitif akan mendekati rata-rata biaya produksi gula dunia. Rasio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,541054, artinya kenaikan rasio sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,541054 persen, ceteris paribus. Hal ini menunjukkan bahwa harga gula di tingkat petani dapat menciptakan persaingan yang sehat antara tanaman tebu dan padi khususnya di lahan sawah adalah sebesar ratio harga gula di tingkat petani terhadap harga dasar gabah misalnya, 2,4 kali, artinya ketika harga dasar gabah sekitar Rp 1.740kg maka harga gula di tingkat petani dapat ditetapkan menjadi 2,4 kali harga dasar gabah Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2006. Harga pupuk mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,192260, artinya kenaikan harga pupuk sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,192260 persen, ceteris paribus. Hal ini disebabkan karena harga pupuk merupakan salah satu komponen yang mewakili biaya produksi yang menentukan harga gula di tingkat petani. Tingkat inflasi sebagai representasi biaya produksi berpengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,003395, artinya jika terjadi kenaikan inflasi sebesar satu persen maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,003395 persen, ceteris paribus. Tingkat inflasi sebagai representasi biaya produksi merupakan indikator dalam 91 perhitungan harga gula di tingkat petani baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun disepakati oleh pelaku bisnis. Tingkat inflasi yang merupakan representasi biaya produksi mempunyai keterkaitan dengan penentuan harga gula di tingkat petani dengan nilai koefisien yang relatif kecil sebesar 0,003 persen. Hal ini disebabkan karena indikator-indikator penentuan harga gula di tingkat petani masih dikendalikan oleh pemerintah dan penyediaan bibit selama ini dilakukan oleh pabrik gula. Menurut Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB 2002, dalam subsistem hulu dari sistem agribisnis gula, agroinput yang paling menentukan adalah penyediaan bibit dan pupuk. Selama ini pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian telah ditetapkan sejak tahun 1969 melalui Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 1969 tentang kebijaksanaan pengadaaan dan penyaluran pupuk buatan dan obat-obatan pemberantas hama. Walaupun dalam pelaksanaannya terjadi distorsi pada pasar pupuk, dimana petani terikat pada perdagangan pupuk karena membeli pupuk dengan sistem pembayaran setelah panen sehingga harga yang ditetapkan pedagang pupuk lebih besar dari harga seharusnya Widyastutik, 2005. Namun, petani tebu sendiri selama ini mendapatkan dana penyangga dari pemegang modal dengan perjanjian yang telah disepakati. Menurut wawancara informal secara langsung dengan instansi terkait, adanya dana penyangga tersebut meringankan beban yang ditanggung petani dalam menanam tebu. Terlebih, sejak pemerintah menerapkan kebijakan pupuk Desember 1998 terjadi perbaikan pada distribusi pupuk. Hal ini mengakibatkan tidak ada lagi perbedaan pupuk yang dialokasikan untuk tanaman 92 pangan ataupun tanaman perkebunan. Kondisi ini menunjukkan dibebaskan tataniaga pupuk yang mendorong persaingan lebih sehat antar pelaku bisnis pupuk dan harga pupuk lebih ditentukan oleh mekanisme pasar. Hal ini terlihat dari tersediannya pupuk dalam jumlah yang cukup di tingkat kios-kios Lini IV Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan dan Lembaga Penelitian IPB, 2002. Keadaan ini menunjukkan bahwa seharusnya petani tebu tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk bagi usahatani tebu. Selama ini penyediaan bibit dibebankan kepada pabrik gula sehingga kurangnya keterlibatan petani dalam penyediaan bibit, baik dari proses penyediaan pupuk maupun biaya yang diperlukan dalam penyediaan pupuk tersebut. Terlebih adanya fasilitas pemerintah dalam penyediaan Kredit Ketahanan Pangan KKP bagi petani tebu. Kebijakan bebas dan transisi mempunyai pengaruh positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien sebesar 0,163989, artinya ketika kebijakan bebas dan transisi diterapkan maka akan menyebabkan kenaikan harga gula di tingkat petani sebesar 0,163989 kali dibandingkan pada saat penerapan kebijakan monopoli Bulog, ceteris paribus. Kondisi ini tidak sesuai dengan teori dan konsep, dimana penerapan periode bebas dan transisi seharusnya berpengaruh negatif terhadap harga gula di tingkat petani. Terlebih hasil analisis menunjukkan bahwa nilai koefisien penerapan kebijakan bebas dan transisi lebih besar dibandingkan koefisien penerapan kebijakan proteksi dan promosi. Hal ini diduga penerapan kebijakan bebas dilakukan dalam waktu singkat sehingga pengaruh kebijakan transisi lebih terlihat jelas pada periode 1999 hingga 2002. Ketidaktepatan pada persamaan ini memerlukan adanya re-estimasi dengan 93 periode transisi yang dimasukan dalam selang waktu yang sama dengan periode proteksi dan promosi menjadi tahun 1999 hingga 2005. Perubahan periode bebas dan transisi tahun 1999 hingga 2002 menjadi periode proteksi dan promosi pada tahun 1999 hingga 2005 menyebabkan perubahan pada dummy dinamika kebijakan pergulaan nasional untuk melihat pengaruh kebijakan terhadap harga gula domestik. Periode proteksi dan promosi tahun 1999 hingga 2005 dilambangkan dengan satu sedangkan periode Bulog tahun 1975 hingga 1998 dilambangkan dengan nol. Keterangan dummy ini dapat dilihat sebagai berikut. Dummy dinamika kebijakan pergulaan: a. 0 = Periode Bulog 1975-1998 b. 1 = Periode proteksi dan promosi 1999-2005 Dengan adanya perubahan dummy ini maka persamaan struktural harga gula domestik juga mengalami perubahan, sebagai berikut. Ln PNE t = a + a 1 Ln HTP t + a 2 Ln HRIG t + a 3 Ln IMG t + a 4 Ln ER t + a 5 Ln PNE t-1 + a 6 D 1 + e 7....................................... 3.9 Ln HTP t = b + b 1 Ln PNE t + b 2 Ln HRIG t + b 3 Ln RR t + b 4 Ln HP t + b 5 TINt + b 6 D 1 + e 7............................................................. 3.10 1. Hasil estimasi model struktural harga gula domestik di tingkat eceran a. Uji ekonometrika Pengujian autokorelasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas ObsSquared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah 0,135401 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen α = 94 10, artinya persamaan ini bebas autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas memperlihatkan bahwa nilai probabilitas ObsSquared dari persamaan harga gula domestik di tingkat eceran adalah 0,269702 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen α = 10, artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. b. Hasil estimasi Perubahan hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula domestik di tingkat eceran dapat dilihat pada Tabel 5.11. Tabel 5.11. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula Domestik di Tingkat Eceran Variabel Coefficient t-Statistik Probabilitas Intersep 0,682382 3,245813 0,0056 LNHTP 0,560131 6,188010 0,0000 LNHRIG 0,108330 1,849700 0,0772 LNIMG -0,109345 -1,435909 0,0670 LNER -0,091010 -1,399047 0,0751 LNLAGPNE 0,442302 5,471714 0,0000 D1 0,127799 2,295086 0,0312 R-squared 0,995699 Adjusted R-squared 0,994577 Durbin-Watson stat 2,319652 ProbF-statistic 0,000000 Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10 α =10 Berdasarkan Tabel 5.11, interpretasi baik pada uji kriteria statistik maupun hasil setiap variabel independent terhadap variabel dependent menunjukkan kesamaan dengan hasil estimasi persamaan harga gula domestik di tingkat eceran sebelumnya. 2. Hasil estimasi model struktural harga gula di tingkat petani a. Uji ekonometrika Pengujian autokorelasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas ObsSquared dari persamaan harga gula di tingkat petani adalah 0,126919 95 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen α = 10, artinya persamaan ini bebas autokorelasi. Pengujian heteroskedastisitas memperlihatkan bahwa nilai probabilitas ObsSquared dari persamaan harga gula di tingkat petani adalah 0,272602 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan sebesar 10 persen α = 10, artinya persamaan ini tidak memiliki masalah heteroskedastisitas. b. Hasil estimasi Perubahan hasil estimasi model dari parameter persamaan harga gula di tingkat petani dapat dilihat pada Tabel 5.12. Tabel 5.12. Perubahan Hasil Estimasi Parameter Persamaan Harga Gula di Tingkat Petani Variabel Coefficient t-Statistik Probabilitas Intersep -0,747258 -4,494371 0,0002 LNPNE 0,797668 11,20921 0,0000 LNHRIG 0,003973 0,067034 0,9471 LNRR 0,572628 4,814737 0,0001 LNHP 0,222292 2,524682 0,0189 TIN 0,003731 2,269419 0,0329 D1 0,147078 2,269419 0,0512 R-squared 0,995700 Adjusted R-squared 0,994578 Durbin-Watson stat 1,420142 ProbF-statistic 0,000000 Keterangan: Nyata pada taraf nyata 10 α =10 Berdasarkan Tabel 5.12, interpretasi baik pada uji kriteria statistik maupun hasil setiap variabel independent terhadap variabel dependent menunjukkan kesamaan dengan hasil estimasi persamaan harga gula di tingkat petani sebelumnya. Pada dummy kebijakan pergulaan nasional periode proteksi dan promosi tahun 1999 hingga 2005 menunjukkan pengaruh yang positif terhadap harga gula di tingkat petani dengan koefisien 0,147078, artinya jika pemerintah menerapkan kebijakan proteksi dan promosi maka 96 akan menaikkan harga gula di tingkat petani sebesar 0,147078 kali dibandingkan kebijakan monopoli Bulog. Interpretasi ini menimbulkan dugaan bahwa penerapan periode proteksi dan promosi telah dimulai pada periode transisi meskipun secara bertahap.

5.4. Rekomendasi Kebijakan