1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi banyak terjadi di Negara berkembang yang mempunyai kondisi sosial ekonomi rendah. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah penyakit kusta. Penyakit kusta pada
umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Laporan WHO 1997 menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3
dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia, namun pada tahun 2001 kondisi Indonesia dalam penanggulangan kusta sudah lebih baik, hal ini
ditunjukan dengan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah India, Brazilia, dan Nepal. Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sampai bulan desember 2001 telah
berhasil menunjukan angka kesakitan kusta sekitar 85 yaitu dari 107,271 orang menjadi 17,137 orang Kompas, 2003 dan Swaranet, 2003.
Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita pada tahun 2006 meningkat
menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007Koran Tempo, 26 Juni 2008. Indonesia telah
mencapai eliminasi penyakit kusta sejak bulan juni tahun 2000. Namun penyakit infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti, terbukti dengan adanya
kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 2000-2007. Bahkan pada tatanan global, Indonesia menjadi Negara penyumbang kusta terbesar setelah India dan Brasil.
Strategi global WHO menetapkan indikator eliminasi kusta yaitu angka penemuan penderita NCDR yang menggantikan indicator utama sebelumnya yaitu angka penemuan
penderita terdaftar prevalensi rate 110.000 penduduk. Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008 Pada tahun 2000 NCDR menampilkan tren yang meningkat. Namun sejak tahun 2005, NCDR turun
dari 0,9 menjadi 0,83 pada tahun 2006 kembali turun, pada tahun 2007 menjadi 0,78 per 10.000 penduduk. Jumlah penderita baru yang ditemukan sepanjang tahun 2007 sebesar 17.726 dengan
rincian Pausi Basiler PB sebanyak 3.643 penderita dan Multi Basiler MB sebanyak 14.083 penderita. Sedangkan prevalensi kusta menunjukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun
2000 prevalensi sebesar 0,86 per 10.000 penduduk menjadi 1,05 per 10.000 penduduk pada tahun 2007. Berdasarkan distribusi per provinsi, prevalensi kusta tertinggi terdapat di provinsi
Papua Barat sebesar 9,69 diikuti oleh Maluku Utara sebesar 6,66 dan Papua sebesar 4,42 per 10.000 penduduk.
Dalam upaya penanggulangan penyakit kusta di Indonesia digunakan angka proporsi cacat tingkat II kecacatan yang dapat dilihat dengan mata dan proporsi anak diantara kasus
baru, angka proporsi cacat tingkat II digunakan untuk menilai kinerja petugas dalam upaya penemuan kasus. Angka proporsi cacat tingkat II yang tinggi mengindikasikan adanya
keterlambatan dalam penemuan penderita yang dapat diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta. Sedangkan
indikator proporsi anak diantara kasus baru mampu mempresentasikan penularan kusta yang masih terjadi di masyrakat.
Pada tahun 2007 kecacatan tingkat II di Indonesia mencapai 8,8. Angka ini masih berada diatas indikator program sebesar 5. Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan
presentasi kecacatan tingkat II tertinggi sebesar 19,3 yang diikuti oleh Riau sebesar 18,7 dan Sumatera Utara sebesar 17,8. Masih adanya penularan kusta pada masyrakat di Indonesia yang
yang tercermin oleh proporsi penderita berumur 0-14 tahun menunjukan angka 10,2. Presentase ini juga masih diatas indicator program sebesar 5. Presentase tertinggi berada pada
provinsi Riau sebesar 40. Diikuti oleh Maluku Utara sebesar 20 dan Papua Barat 16,3. Angka penemuan penderita baru, kecacatan dan proporsi pada umur 0-14 tahun menurut provinsi
di Indonesia tahun 2007 Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008. Menurut Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008 bagian Subdit Kusta bahwa pada tahun 2007 di
kota Tangerang provinsi Banten terdapat penderita cacat kusta tingkat II yang terdaftar dengan tipe MB sebanyak 26 orang dari 1.412.539 penduduk dan penderita baru dengan tipe MB
sebanyak 15 orang dari 1.412.539 penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3, antara usia 0-15 tahun.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, tentang status disabilitas penduduk provinsi Banten yang berumur 15 tahun keatas tampak secara garis besar status disabilitas pada penduduk
di provinsi Banten sangat baik 80, meliputi kondisi penglihatan, pendengaran, emosi, mobilitas dan kondisi kesehatannya. Di provinsi Banten rata-rata status disabilitas dengan
kriteria “sangat bermasalah” adalah sebesar 2,1 dan “bermasalah” 21,5. Riskesdas, 2007. Prevalensi disabilitas “sangat bemasalah” tertinggi terdapat di kota Cilegon 2,8, sedangkan
kota Tangerang dengan prevalensi disabilitas “sangat bermasalah” terendah. Prevalensi
disabilitas “bermasalah” tertinggi ditemukan di kabupaten Pandeglang 28,5, sedangkan prevalensi disabilitas “bermasalah” terendah adalah kota Serang.
Sementara itu berdasarkan umur tampak bahwa status disabilitas yang merupakan sangat masalah presentasinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Status disabilitas “sangat
masalah” dan menjadi “masalah” lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya presentasi “tidak masalah” pada laki-laki lebih tinggi. Status disabilitas di pedesaan
lebih tinggi dari pada di perkotaan. Berdasarkan tingkat pendidikan, presentasi status disabilitas “sangat masalah” yang
paling tinggi tampak pada penduduk dengan pendidikan terendah kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya tingkat pendidikan. Berdasarkan pekerjaan, status disabilitas “sangat
masalah” persentase tertinggi tampak pada penduduk yang tidak bekerja, jenis pekerjaan lainnya, dan ibu rumah tangga. Persentase tertinggi status disabilitas “sangat masalah” dirasakan oleh
penduduk dengan status ekonomi pada kuintil 1, yaitu rumah tangga dengan tingkat pengeluaran perkapita terkecil, dan menurun dengan bertambah meningkatnya status ekonomi. Riskesdas
Provinsi Banten, 2007 Peneliti belum mendapatkan penelitian yang khusus meneliti tentang gambaran konsep
diri pada klien dengan cacat kusta. Adapun penelitian yang yang berkaitan dengan penyakit kusta disampaikan oleh Tarusaraya dan Halim 1996 dengan judul penelitian kecacatan pasien kusta
di RSK Sitanala Tangerang. Hasil penelitian dari 1153 penderita kusta di unit rawat jalan RSK Sitanala Tangerang selama bulan maret 1996 adalah sebagai berikut : pasien baru yang cacat
adalah 84 dari 113 orang 74,34 , pasien lama yang cacat adalah 761 dari 1040 orang 73,17 , laki-laki lebih banyak cacat 618 dari 809 orang 76,39 dan wanita 227 dari 344 orang
65,99 . Hasil yang didapatkan menurut klasifikasi cacat WHO 1988 adalah cacat mata:
tingkat 0 95,32 , tingkat I 3,56 , tingkat II 1,12 , cacat tangan: tingkat 0 54,90 , tingkat I 12,58 , tingkat II 32,53 dan cacat kaki: tingkat 0 50,99 , tingkat I 30,36 ,
tingkat II 18,65 . Selain itu juga berdasarkan abstrak penelitian yang disampaikan oleh Unarat 2000
dengan judul Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra pada daerah pusat lepra lima Nakhon Ratchasima di daerah pusat lepra lima provinsi Nakhon Ratchasima. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dari jumlah responden yang berjumlah 54 orang terdapat sekitar 98,18 pasien lepra mempunyai hal konsep diri positif dan 72,2 tingkat mutu hidup lemah atau miskin
dalam hal hubungan sosial. Wawancara yang mendalam mengungkapkan tekanan pada pasien akibat dari kelainan bentuk fisik akibat penyakit dan cacat diri pasien lepra akan mengakibatkan
kekurangan dalam berinteraksi sosial. Korelasi antara konsep diri dan mutu hidup kuat dan positif yaitu dengan nilai r = 0,30 dan p = 0,028. Rehabilitasi mental dan pendidikan kesehatan
dapat mempromosikan mutu hidup. Penelitian di Madura tahun 2001 menunjukan seorang penderita kusta sub klinik manifes
menjadi kusta baru pada tahun ke 4, latihan dapat memperbaiki fungsi anggota gerak yang mengalami deformitas. Penelitian di Liponsos tahun 1977 mengungkapkan bahwa senam
pernafasan Satria Nusantara memperbaiki fungsi saraf perifer sehingga mengurangi hipoanestesi dan titik luka. Di indonesia studi penderita kusta dengan kecacatan masih kurang. Buletin
penelitian kesehatan, 2006 Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang masih belum dapat diatasi secara
tuntas, salah satu kendalanya adalah masih adanya anggapan yang keliru dari masyarakat yang menganggap penyakit kusta sebagai kutukan Tuhan, penyakit keturunan akibat guna-guna,
sangat menular, dan tidak dapat disembuhkan sehingga banyak penderita kusta tidak mau
melakukan pengobatan atau apabila sudah pernah berobat penderita kurang disiplin dalam menjalani perawatan dan pengobatannya Kompas, 2003.
Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial, dan ekonomi. Hal ini biasanya timbul akibat pasien kusta tidak ingin berobat dan terlambat berobat
sehingga menimbulkan cacat yang menetap dan mengerikan. Hal ini disebabkan karena biasanya manifestasi klinis yang terlihat pada kulit pasien adalah bercak-bercak putih kemerahan,
benjolan-benjolan, hidung pelana, telinga memanjang, jari tangan dan jari kaki terputus, terdapat luka-luka, dan adanya bekas amputasi, sehingga memberikan gambaran yang menakutkan,
manifestasi klinis tersebut akan menimbulkan perasaan malu, rendah diri, depresi, menyendiri, atau menolak diri, serta masyarakat akan mengucilkan pasien kusta sehingga sulit mencari
pekerjaan akhirnya akan menimbulkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.
+ ,
+- . +
, 01
2 +- .
3445 6
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH