Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015

(1)

i

TANGERANG TAHUN 2015

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh : AL KAHFI 1111101000112

PEMINATAN GIZI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H / 2015 M


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Oktober 2015


(3)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN GIZI

Skripsi, Oktober 2015

Al Kahfi, NIM: 1111101000112

Gambaran Pola Asuh pada Baduta Stunting Usia 13-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang Tahun 2015

xix + 188 halaman, 4 tabel, 2 bagan, 1 diagram, 1 gambar, 5 lampiran

ABSTRAK

Stunting adalah bentuk dari proses pertumbuhan yang terhambat dan merupakan masalah gizi yang perlu mendapat perhatian serta menjadi salah satu masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Pola asuh merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan masalah gizi seperti stunting karena balita masih tergantung terhadap pola asuh yang diterapkan keluarga dalam pemenuhan makanan dan perawatan kesehatannya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran pola asuh balita stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2015 dengan melakukan wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah pengasuh utama, informan keluarga, kader posyandu, dan TPG puskesmas.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar ibu tidak memberikan ASI eksklusif. Hal menarik yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu, terdapat ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada anaknya karena sering mendapatkan nasihat dari saudaranya yang merupakan kader posyandu. Pemberian makan balita kurang baik dari variasi, porsi, dan frekuensi makan ditambah lagi dengan kebiasan jajan anak yang jika tidak dituruti akan menangis. Hal menarik juga ditemukan dalam perilaku pemberian makan dimana ketika jadwal makan anak, ibu belum menyiapkan makanan tersebut sehingga anak menangis dan diberikan jajan oleh ibu atau pengasuhnya. Ketika ibu memberikan makan kepada anak, anak menjadi tidak mau karena sudah merasa kenyang dengan jajanan yang lebih


(4)

banyak mengandung karbohidrat dan penyedap rasa. Penyiapan dan penyimpanan makanan secara umum kurang baik mulai dari penyajian makan, kebersihan individu dalam menyiapkan makanan, pemasakan, penyimpanan, dan kebiasaan membeli makanan dari luar untuk anak. Namun terdapat perilaku baik yaitu peralatan masak dan makan selalu dicuci terlebih dahulu kemudian ada yang merebusnya sebelum digunakan. Perilaku pencegahan anak terhadap penyakit kurang baik karena sebagian besar informan membiarkan anaknya main begitu saja tanpa pengawasan. Pemberian imunisasi sudah baik namun ketika anak sakit masih ada informan yang melakukan cara sederhana untuk mengobati anak. Perilaku pencarian layanan kesehatan sudah baik dimana Sebagian besar informan rutin membawa anaknya ke posyandu. Perilaku higiene dan sanitasi lingkungan terlihat kurang baik dari sisi membersihkan kotoran anak, cuci tangan sebelum makan, keberadaan kakus, hewan peliharaan di sekitar rumah, pengelolaan sampah, upaya ibu menjaga anak tetap bersih, dan lingkungan anak bermain. Namun untuk sumber air bersih, seluruh informan sudah memilikinya walaupun ada yang tidak bisa diminum. Untuk minum, seluruh informan menggunakan air isi ulang. Perawatan ibu ketika hamil secara umum sudah baik dalam hal pemeriksaan kandungan, konsumsi tablet Fe, dan imunisasi TT. Terdapat informan yang memiliki aktivitas berat selama kehamilan, seperti biasa, dan tidak melakuakan aktivitas apapun.

Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada ibu atau pengasuh yang memiliki baduta atau balita untuk rutin datang ke posyandu dan memberikan makanan dengan memperhatikan variasi, porsi dan frekuensi yang sesuai dengan umur anak. Ibu atau pengasuh perlu memperhatikan jadwal makan anak agar tidak berbarengan ketika anak sedang jajan. Untuk mengatasi sulit makan pada anak, ibu atau pengasuh perlu membuat warna dan bentuk yang menarik pada makanan. Selain itu ibu atau pengasuh juga harus memperhatikan cara menyimpan makanan agar tidak tercemar debu atau bakteri serta memperhatikan kebersihan anak baik ketika bermain, makan, tidur, ataupun yang lainnya. Dalam mengatasi masalah sampah yang masih banyak berserkan dan dibuang sembarangan, Pihak puskesmas perlu berkoordinasi dengan kelurahan setempat dan masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut. Disarankan kepada pihak puskesmas untuk memberikan pengetahuan mengenai stunting kepada kader posyandu. Dibutuhkannya peran aktif kader posyandu dalam mensosialisasikan jadwal posyandu kepada masyarakat. Selain itu kader juga perlu memberika pengetahuan kepada masyarakat tentang apa itu ASI eksklusif dan manfaatnya baik bagi anak ataupun ibu sendiri dengan cara penyampaian pesan yang ramah.


(5)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM

NUTRITION DEPARTEMENT

Undergraduate Thesis, October 2015

Al Kahfi, NIM : 1111101000112

A Picture Of Parenting Pattern Stunting Toddler Age 13-24 Months in Puskesmas Neglasari Tangerang City in 2015

xix + 188 pages, 4 tables, 2 charts, 1 diagram, 1 picture, 5 attachments

ABSTRACT

Stunting is a form of stunted growth process and a nutritional problems that need attention and become one of the major public health problem in Indonesia. Parenting is one of the factors that can cause nutritional problems such as stunting for children under five that still depend on the upbringing applied to the family in the fulfillment of food and medical care.

This study aims to determine a picture of stunting parenting toddlers aged 13-24 months in Puskesmas Neglasari. This study used a qualitative approach conducted from May to July 2015 with in-depth interviews, observation and document analysis. Informants of this study are primary caregivers, family informants, posyandu cadres, and TPG health centers.

The results showed most mothers do not breastfeeding exclusively. Interesting things found in this research, there are mothers who exclusively breastfed to their children as they often get advice from a cadre's brother. Feeding infants less well than variety, portions, and the frequency of eating habits plus a snack children will cry if not obeyed. Another interesting thing is also found in feeding behavior whereby when the child's eating schedule, the mother had not prepared the food so that the child was crying and no allowance is given to mothers or guardians. When the mother feeding the child, the child becomes unwilling because they feel full with snacks that contain more carbohydrates and flavorings. Preparation and storage of food in general are not good from the presentation of food, the cleanliness of the individual food preparation, cooking, storage, and their habit by buying food from outside to their children. But there is good behavior, namely cookware and eating always washed first and then there are boiling before use. Prevention behaviors of children against the disease is less, because most of the


(6)

informants let their children plays it out of from their sight. Immunizations are good, but when the child is sick, informants need to perform a simple way to treat a child.

Healthcare-seeking behavior has been well, whereas the majority of informants routinely bring their children to Posyandu. Environmental hygiene and sanitation behavior looks less, in terms of cleaning up the child, washes the hands before eating, where latrines, pets around the house, waste management, efforts to keep the child's mother kept clean, and the neighborhood where the children plays. But for a clean water source, the entire informant already have it eventhough is not drinkable. To drink, all informants using water refills. Nursing mothers during a pregnancy in general has been well, in terms of prenatal consumption of iron tablet, and TT. There are informants who have heavy activity during pregnancy, as usual, and not doing any activity.

Based on the research results suggested to the health centers and neighborhood health center to provide counseling about the Cleanliness and Healthyness Behavior to the public.

Based on the research, suggested to the mother or caregiver who has baduta or toddler to regularly come to Posyandu and provide food to look at the variation, the portion and frequency appropriate to the child's age. Mothers or caregivers need to pay attention to the meal schedule so as not to coincide child when the child is eating snacks. To overcome the difficulty eating in children, mother or caregiver needs to make colors and interesting shapes on food. Besides the mother or caregiver must also consider how to store food that is not contaminated with dust or bacteria as well as observing good hygiene when children play, eat, sleep, or the other. In addressing the problem of waste is still a lot of scattered and discarded carelessly, Parties health centers need to coordinate with the local village and community to resolve the issue. Suggested to the clinic to provide knowledge about the cadre's stunting. Cadre's need for an active role in disseminating to the public posyandu schedule. In addition cadres also need about providing knowledge to the public about what it is and the benefits of exclusive breastfeeding for a child or a mother herself with a friendly way of delivering messages.


(7)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Skripsi

GAMBARAN POLA ASUH PADABADUTA STUNTING USIA 13-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS NEGLASARI KOTA

TANGERANG TAHUN 2015

Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, September 2015

Oleh Al Kahfi

NIM : 1111101000112

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ratri Ciptaningtyas, MHS Catur Rosidati, MKM NIP. 19840404 200912 2 007 NIP. 197502102 0081 2 013


(8)

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Al Kahfi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat Tanggal Lahir : Tangerang, 04 Oktober 1992

Agama : Islam

Alamat : Jalan Mushollah Al Hidayah Kampung Dongkal RT 007/03 Kelurahan Cipondoh Indah Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang

PENDIDIKAN FORMAL

1. 1999-2005 : MI Jamiatul Gulami Gondrong, Cipondoh 2. 2005-2008 : MTsN 8 Jakarta Barat

3. 2008-2011 : SMAN 94 Jakarta Barat

4. 2011-Sekarang : Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa yang senantiasa memberikan limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Gambaran Pola Asuh pada Baduta stunting usia 13-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari

Kota Tangerang Tahun 2015 ”. Shalawat dan salam penulis mohonkan kepada

Allah Subhaanahuu Wata‟aalaa, semoga selalu diberikan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu „Alaihi Wasallam beserta keluarga dan umatnya. Aamiin.

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya laporan ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan kebaikan untuk anaknya 2. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Ib Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, P.hD selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Febrianti, Msi, selaku penanggung jawab peminatan gizi

5. Ibu Ratri Ciptaningtyas, SKM, MHS, selaku dosen pembimbing I yang sangat banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Catur Rosidati, MKM, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan dengan sangat baik.


(11)

7. Ibu Ratna Juwita, AMG, yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi dalam dalam proses penelitian ini.

8. Semua staff Puskesmas Neglasari yang telah membantu penulis selama kegiatan magang.

9. Semua baduta dan kelauarganya yang telah bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini.

10. Teman-teman yang telah membantu mulai dari pembuatan surat izin sampai penyusunan skripsi ini.

11. Semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangat kurang dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang diberikan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin.

Jakarta, Oktober 2015


(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR DIAGRAM ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 11

1.4 Tujuan Penelitian ... 12

1.4.1 Tujuan Umum ... 12

1.4.2 Tujuan Khusus ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13


(13)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting ... 15

2.1.1 Pengertian ... 15

2.1.2 Dampak Stunting ... 15

2.1.3 Penyebab ... 15

2.2 Pola Asuh ... 18

2.2.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 20

2.2.2 Pemberian MP ASI ... 21

2.2.3 Peyiapan dan Penyajian Makan ... 27

2.2.4 Praktik Kesehatan dasar ... 30

2.2.5 Pencarian Layanan Kesehatan... 33

2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 35

2.2.7 Perawatan Ibu ketika Hamil ... 39

2.2.8 Perawatan Psikososial dan Stimulasi Kognitif ... 44

2.3 Argumentasi Pemilihan Desain dan Analisis Informan ... 45

2.4 Kerangka Teori ... 46

BAB III KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH 3.1 Kerangka Pikir ... 48

3.1 Definisi Istilah ... 50

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Metode Penelitian ... 52


(14)

4.3 Informan Penelitian ... 52

4.4 Pengumpulan Data ... 54

4.4.1 Sumber Data ... 54

4.4.2 Instrumen Penelitian ... 55

4.5 Analisis Data ... 55

4.6 Validasi Data ... 56

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 58

5.2 Karakteristik Informan ... 60

5.2.1 Informan Utama ... 60

5.2.2 Informan Pendukung ... 62

5.3 Gambaran Pola Asuh ... 63

5.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 63

5.3.2 Pemberian MP-ASI ... 67

5.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ... 75

5.3.4 Praktik Kesehatan Dasar ... 81

5.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ... 87

5.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 91

5.3.7 Perawatan Ibu ketika Hamil ... 100

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian ... 111


(15)

6.3 Pola Asuh

6.3.1 Pemberian ASI Eksklusif ... 117

6.3.2 Pemberian MP-ASI ... 124

6.3.3 Penyiapan dan Penyimpanan Makanan ... 132

6.3.4 Praktik Kesehatan Dasar ... 141

6.3.5 Pola Pencarian Layanan Kesehatan ... 149

6.3.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan ... 157

6.3.7 Perawatan Ketika Ibu Hamil ... 163

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 172

7.2 Saran ... 175

DAFTAR PUSTAKA ... 180


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Validasi Data 57

Tabel 5.1 Karakteristik Informan Utama 61

Tabel 5.2 Informan Keluarga 62


(17)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori 47


(18)

DAFTAR DIAGRAM


(19)

DAFTAR GAMBAR


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Pedoman Wawancara Mendalam

3. Pedoman Observasi

4. Matriks Wawancara Mendalam


(21)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan bentuk dari proses pertumbuhan yang terhambat, dan merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian (Picauly dan Toy, 2013). Masalah pendek (stunting) pada anak akan menghambat perkembangan, dampak negatif ini akan berlanjut dalam kehidupan setelahnya. Hal ini karena sekitar 70% pembentukan sel otak terjadi sejak janin masih dalam kandungan hingga anak berumur 2 tahun. Jika otak mengalami gangguan pertumbuhan maka jumlah sel otak, serabut sel dan penghubung sel otak akan berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan intelegensia, bila mencari pekerjaan maka peluang gagal tes wawancara menjadi lebih besar, tidak mendapat pekerjaaan yang baik dan akan menyebabkan penghasilan yang rendah serta tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. Selain itu, dari aspek estetika, anak yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari anak yang pendek (Depkes, 2012).

Stunting merupakan indikator keberhasilan, kesejahteraan, pendidikan dan pendapatan masyarakat (Depkes, 2012). Faktor asupan makanan, pola asuh dan kesehatan yang diperoleh ibu dan anak-anaknya memiliki dampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan mereka di masa mendatang (Bappenas, 2013). Stunting memiliki dampak yang sangat luas


(22)

mulai dari sisi ekonomi, kecerdasan, dan kualitas yang berpengaruh terhadap masa depan anak. Studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa anak yang pendek sangat erat hubungannya dengan prestasi di sekolah yang buruk. Anak – anak yang pendek memiliki risiko yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular (Unicef Indonesia, 2012).

Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Secara nasional prevalensi pendek pada tahun 2013 mencapai 37.2%. Angka ini lebih besar dari tahun 2010 sebesar 35.6% dan tahun 2007 sebesar 36.8%. Di Provinsi Banten, pada tahun 2007, 2010 dan 2013 prevalensi stunting masih berada diatas 30% (Depkes, 2013). Sementara itu berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten tahun 2007, di Kota Tangerang prevalensi stunting sebesar 30.1% (Depkes, 2007). Jika dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan WHO untuk masalah kependekan sebesar 20%, maka Kota Tangerang masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2010).

Penelitian Hanum dkk (2014), menunjukkan bahwa stunting lebih banyak terjadi pada usia 48-59 bulan dengan proporsi sebesar 29.8%. Keadaan ini mengindikasikan semakin bertambahnya umur anak, maka akan semakin jauh dari pertumbuhan linear normal. Keadaan ini diduga karena semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi semakin meningkat. Pertumbuhan anak akan semakin menyimpang dari normal jika umur terus bertambah dan penyediaan makanan baik kuantitas


(23)

maupun kualitas tidak memadai. Sementara itu penelitian Zottarelli dkk (2007), menunjukkan bahwa anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan memiliki peluang lebih besar terkena stunting daripada anak yang berusia dibawah 12 bulan.

Masalah gizi khususnya stunting pada balita disebabkan asupan makan yang kurang memadai dan penyakit yang merupakan penyebab langsung masalah gizi pada anak. Keadaan tersebut terjadi karena praktik pemberian makan yang tidak tepat, penyakit infeksi yang berulang, perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Pada intinya, semua ini disebabkan karena faktor kurangnya pendidikan dan pengetahuan pengasuhan anak, penggunaan air yang tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat, pendapatan yang rendah dan keterbatasan akses terhadap pangan (Unicef Indonesia, 2012).

Proporsi balita stunting lebih besar terjadi pada anak yang mengalami diare. Anak yang pernah mengalami diare memiliki hubungan yang bermakna dengan status gizi berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB. Pada balita yang mengalami diare akan berpeluang pendek, kurus dan gizi kurang 1 kali lebih besar pada anak yang normal atau balita dengan status gizi baik (Hidayat dan Fuada, 2011). Penelitian Adi dan Andrias (2011), menunjukkan secara umum balita yang berada pada rumah tangga miskin mempunyai persentase masalah gizi yang lebih besar. Hasil analisis memperlihatkan hubungan yang signifikan antara status gizi stunting pada balita dengan tingkat kemiskinan rumah tangga. Hasil ini diperkuat dengan


(24)

penelitian Ulfani dkk (2011) yang mengatakan semakin tinggi tingkat kemiskinan maka prevalensi stunting semakin meningkat.

Hasil lain menunjukkan bahwa balita yang berada pada wilayah kerawanan pangan mempunyai persentase lebih besar terhadap gangguan gizi. Terdapatnya hubungan yang signifikan antara stunting dan

underwight dengan kategori wilayah kerawanan pangan, menunjukkan bahwa semakin meningkatnya status kerawana pangan di suatu wilayah, maka persentase balita stunting dan underweight semakin meningkat (Adi dan Andrias, 2011).

Penelitian Rosha dkk (2012) menunjukkan, tingkat pendidikan ibu dapat mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi sehingga anak berada pada status gizi yang baik. Hasil analisis menunjukkan tingkat pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap statsu gizi dimana ibu yang pendidikannya kurang dari SMP berpeluang 1.56 kali memiliki anak

stunting. Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi dan dapat digunakam sebagai tolak ukur dalam menentukan derajat kesehatan anak. Dengan diketahuinya angka harapan hidup, maka dapat pula diketahui sejauh mana perkembangan status kesehatan anak. Angka harapan hidup di suatu wilayah dapat menunjukkan baik atau buruknya status kesehatan yang saling terkait dengan bergagai faktor, seperti sosial, ekonomi dan budaya (Litbang Kota Tangerang, 2011).

Pola asuh merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan


(25)

dengan pola asuh yang kurang atau rendah memiliki peluang lebih besar anaknya terkena stunting dibandingkan ibu dengan pola asuh baik. Berdasarkan penelitian Sab‟atmaja dkk (2010), di Lampung, Aceh, Yogyakarta, dan Papua, peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. Hal ini karena, ibu yang memiliki karakteristik baik dan dapat mengelola pendapatan dengan baik, cenderung mempraktikkan pola asuh yang baik dan akhirnya akan meningkatkan status gizi balita. Terdapat asumsi bahwa semakin tinggi pendapatan maka akan meningkatkan pola asuh dan kesehatan masyarakat. Pola asuh kesehatan berhubungan langsung dengan status gizi dan pola asuh kesehatan juga berhubungan dengan status kesehatan. Artinya, pola asuh kesehatan dapat mempengaruhi status kesehatan dan status gizi (Sab‟atmaja dkk, 2010).

Pola asuh adalah praktik di rumah tangga yang dilihat dengan tersedianya pangan dan perwatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kepentingan hidup, pertumbuhan dan perkembangan (Zeitlin, 2000). Menurut Engle dkk (1997) dan Zeitlin (2000), pola asuh terdiri dari perawatan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI, pengasuhan psikososial dan stimulasi kognitif, penyajian dan penyimpanan makanan, praktik kesehatan dasar di rumah, pola pencarian layanan kesehatan, praktik higiene dan sanitasi lingkungan.

Penelitian yang dilakukan Renyoet dkk (2013) tentang hubungan pola asuh dengan kejadian stunting, menunjukkan bahwa praktik pemberian makan, rangsangan psikososial, higiene dan sanitasi


(26)

lingkungan, serta pemanfaatan layanan kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita. Sementara itu, penelitian Arifin dkk (2012) tentang analisis sebaran dan penyebab stunting

menunjukkan, pemberian ASI eksklusif mempunyai hubungan yang signifikan dan merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian

stunting. BBLR merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting, karena seringkali terjadi pada masa pertumbuhan janin terutama pada ibu yang belum cukup umur dan kekurangan gizi selama masa kehamilan (Bappenas, 2013). Penelitian Candra dkk (2011), menunjukkan bahwa BBLR merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting selain faktor tinggi ayah dan riwayat berat badan rendah.

Keadaan gizi balita dipengaruhi oleh pola asuh keluarga karena balita masih tergantung dalam memenuhi asupan makan dan perawatan kesehatannya. Sementara itu, kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga (Martianto dkk, 2011). Peran ibu dalam pengasuhan sangat penting karena merupakan

orang terdekat kepada anak. Pemberian makan ibu dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak baik secara positif maupun negatif (Fitriana dkk,

2007).

Penelitian Riyadi dkk (2011) tentang faktor faktor yang mempengaruhi status gizi balita di Kabupaten Timor Tengah Utara menunjukkan, pengasuhan ibu kepada anak merupakan kemampuan ibu untuk memberikan stimulasi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan balita.


(27)

Hasil penelitian ini menunjukkan 27 % ibu memiliki kualitas pengasuhan dalam kategori kurang. Secara umum terlihat bahwa ibu masih cukup banyak melakukan kekerasan pada saat marah kepada anak dengan mencubit, memukul dan berkata negatif.

Peranan karakteristik ibu dan pola asuh sangat menentukan pengaruhnya terhadap status gizi balita (Sab‟atmaja dkk, 2010). Umumnya orang tua memberikan makanan yang kurang teratur dan terkadang memaksakan suatu makanan kepada anak. Selain itu tidak ada usaha dari keluarga agar anak mau makan dan lebih membiarkan anak jajan sembarangan (Lubis, 2010). Sebagian besar ibu berperilaku kurang seperti memberikan bentuk makanan, frekuensi pemberian makanaan yang kurang dari usia balita dan adanya anak usia 1 bulan yang diberikan nasi. Selain itu masih ditemukan ibu yang kurang setuju gizi buruk harus segera ditangani, memperkenalkan makanan semi cair pada bayi dan anak usia 12-24 bulan diberikan makanan lunak (Sofiyana dan Noer, 2013).

Pola asuh pemberian makan yang diterapkan juga kurang baik dan tidak memenuhi gizi. Biasanya anak hanya diberikan makanan yang kurang bervariasi dan hampir sama setiap harinya serta porsi yang kurang. Makanan yang diberikan berupa nasi, tim atau bubur dengan kuah sayur atau bumbu saja seperti kecap dan garam serta anak jarang diberikan sayur dan buah (Veriyal, 2010). Padahal, masyarakat telah diberikan informasi bagaimana pola asuh makan yang baik, baik melalui penyuluhan ataupun klinik gizi melalui konseling. Tetapi karena kurangnya pemahaman dan


(28)

pengetahuan yang dilatar belakangi pendidikan dan ekonomi yang rendah, keadaan tetap seperti itu dan sulit untuk merubahnya (Lubis, 2010).

Penelitian observasional yang dilakukan Adriani dan Kartika (2013) menunjukkan, di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, perilaku ibu dalam pemberian makan kepada bayi kurang baik. Ibu mempunyai kebiasaan memberikan air dengan kelapa hijau yang dicampur dengan madu. Selain itu pada saat bayi berusia 0-6 bulan anak sudah diberikan makanan lain seperti biskuit dan telur. Konsumsi makanan balitanya pun tidak sesuai dengan pola makan balita yang baik karena sebelum anak berusia satu tahun sudah diberikan makanan ringan. Ketika anak tidak mau makan, ibu hanya menggantinya dengan mie instan karena mengaku lebih disukai balita dan lebih mengutamakan keinginan anak. Sedangkan di Kota Semarang, ibu-ibu tidak segera memberikan ASI setelah bayi lahir, tetapi memberikan madu atau tajin (Adriani dan Kartika, 2013).

Dalam hal pola asuh kesehatan, berdasarkan penelitian kualitatif di Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang, terlihat ada perbedaan antara apa yang dikatakan orang tua dengan dengan keadaan sebenarnya. Dimana beberapa anak masih dibiarkan main ditempat yang kotor atau bergaul dengan anak lain yang terkena penyakit infeksi, serta adanya orang tua dan anak balitanya tidak mencuci tangan sebelum makan. Selain itu sebagian besar orangtua tidak memberikan imunisasi kepada anaknya karena anak dalam keadaan sakit ketika imunisasi diberikan. Ada pula orang tua yang membawa anaknya berobat ke Puskesmas namun obat dan vitamin yang diberikan hanya disimpan di rumah. Perilaku kurang baik


(29)

lain yang terjadi yaitu ibu tidak membasuh anak ketika buang air kecil dan membiarkan anak buang air besar di halaman rumah (Veriyal, 2010).

Pada tahun 2007, berdasarkan Riskesdas Provinsi Banten, di Kota Tangerang tercatat 30.1% balita mengalami stunting, yang berarti masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2008). Kecamatan Neglasari dipilih menjadi tempat penelitian dengan pertimbangan prevalensi diare pada anak di Kecamatan Neglasari paling tinggi di Kota Tangerang yaitu 20% (Usfar dkk, 2010) dan kecamatan paling tinggi balita gizi buruknya (Andriany dkk, 2008). Selain itu, pemilihan Kecamatan Neglasari karena merupakan kecamatan yang jumlah penduduk miskinnya paling besar yaitu 20.03%, kecamatan paling besar jumlah perempuan buta hurufnya yaitu 7.64%, kecamatan dengan angka harapan hidup terendah, dan merupakan kecamatan paling rawan pangan di Kota Tangerang (Litbang Kota Tangerang, 2011).

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap data sekunder mengenai pengukuran status gizi yang dilakukan di Puskesmas Neglasari pada tahun 2014, prevalensi balita umur 13-24 bulan yang mengalami stunting sebesar 27.15%. Berdasarkan hasil wawancara kepada TPG Puskesmas Neglasari, penyebab utama masalah gizi pada balita yaitu asupan makanan dan penyakit infeksi. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif, praktik pemberian makan yang kurang teratur, kurangnya keaktifan kunjungan ke posyandu dimana rata-rata hanya mencapai 50%. Sementara itu berdasarkan hasil observasi atau kunjungan rumah kepada beberapa balita yang mengalami masalah gizi, perilaku ibu dalam


(30)

kebersihan masih kurang dan lingkungan rumah yang kurang mendukung untuk pertumbuhan anak. Dengan demikian, perlu diteliti lebih lanjut mengenai praktik pola asuh yang dilakukan ibu terhadap balita yang mengalami stunting.

Mengetahui perilaku atau praktik keluarga dalam pola asuh balita yang memiliki status gizi stunting merupakan suatu hal yang berguna untuk merencanakan dan melakukan intervensi. Praktik atau perilaku seseorang merupakan sesuatu yang unik, berbeda, dan tidak dapat diukur secara kuantitatif. Agar perilaku atau praktik tersebut dapat dipahami, maka penelitian kualitatif perlu untuk dilakukan untuk mengetahui informasi mendalam jika dibandingkan dengan penelitian kuantitatif. Penelitian dengan menggunakan desain kualitatif dapat mengetahui cara pandang informan penelitian secara lebih mendalam yang mungkin tidak bisa diwakili dengan angka-angka statistik.

Selain itu dengan metode ini peneliti dapat mengenal subyek penelitian, bagaimana ia mengembangkan sendiri definisi atau pendapat mereka tentang suatu masalah. Peneliti juga dapat merasakan apa yang mereka alami ketika bergaul dengan masyarakat sehari-hari. Peneliti sebagai instrumen dapat menilai apakah keberadaanya di suatu masyarakat menjadi pengganggu, sehingga apabila ini tetrjadi peneliti dapat menyadari dan mengatasinya.


(31)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan studi pendahuluan, kejadian stunting baduta usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Negalasari masih cukup tinggi dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Pola asuh merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Penelitian ini dilakukan untuk menggali informasi mendalam bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua balita stunting. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti memfokuskan penelitian untuk mengetahui gambaran pola asuh pada baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

2. Bagaimana gambaran pemberian makanan pendamping ASI baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

3. Bagaimana gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

4. Bagaimana gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?


(32)

5. Bagaimana gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

6. Bagaimana gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan baduta

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

7. Bagaimana gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015 ?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran pola asuh baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pemberian ASI eksklusif baduta stunting

usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

2. Mengetahui gambaran pemberian makanan pendamping ASI baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.


(33)

3. Mengetahui gambaran penyiapan dan peyimpanan makanan bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

4. Mengetahui gambaran praktik kesehatan dasar di rumah bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

5. Mengetahui gambaran pola pencarian layanan kesehatan bagi baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

6. Mengetahui gambaran praktik higiene dan sanitasi lingkungan baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

7. Mengetahui gambaran perawatan bagi ibu baduta stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Puskesmas

Sebagai masukan bagi puskesmas di tempat penelitian, sehinggga dapat dijadikan pedoman perencanaan dalam melakukan intervensi dan menentukan prioritas program gizi.


(34)

1.5.2 Bagi Masyarakat

Untuk menambah pengetahuan pada masyarakat bagaimana pola asuh yang baik dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1.5.3 Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan gambaran bagaimana pola asuh di tempat penelitian dan dapat dijadikan bahan penelitian yang lebih baik.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pola asuh balita

stunting usia 13-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Neglasari Kota Tangerang tahun 2015. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2015 dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian ini adalah pengasuh utama, keluarga, kader posyandu dan TPG puskesmas. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, telaah dokumen dan wawancara mendalam.


(35)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stunting

2.1.1. Pengertian

Menurut WHO (1997), stunting merupakan proses pertumbuhan linear yang terhambat karena status kesehatan yang kurang optimal dan atau masalah gizi. Menurut UNICEF stunting

adalah keadaan dimana tinggi seorang anak kurang dari -2 standar deviasi dari ketinggian rata-rata untuk umur berdasarkan standar yang ditetapkan. Menurut Onis dkk (2012), stunting didefinisikan sebagai proporsi anak-anak yang memiliki panjang atau tinggi badan dibawah -2 SD berdasarkan standar WHO.

2.1.2. Dampak Stunting

Masalah kurang gizi termasuk stunting dapat menyebabkan kerusakan permanen. Hal ini terjadi bila seorang anak kehilangan berbagai zat gizi yang penting untuk tumbuh kembangnya, kekebalan tubuh, dan perkembangan otak yang optimum. Anak yang mengalami gizi kurang akan menjadi kurang berprestasi di sekolah dan kurang produktif pada saat dewasa (Depkes, 2012).


(36)

Stunting terjadi akibat kekurangan gizi berulang dalam waktu lama pada masa janin hingga 2 tahun pertama kehidupan seorang anak. Tingginya prevalensi BBLR akibat tingginya prevalensi KEK pada ibu hamil. BBLR dapat meningkatkan angka kematian bayi dan balita, gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak, serta penurunan kecerdasan. Anak yang stunting mempunyai resiko kehilangan IQ 10-15 poin (Bappenas, 2013).

Ancaman rendahnya produktivitas dan kualitas sumber daya manusia ke depan akibat stunting merupakan hal yang tidak bisa diremehkan. Namun yang disayangkan, masyarakat belum menyadari masalah ini karena anak yang pendek atau stunting

terlihat sebagai anak dengan aktivitas yang normal, tidak seperti anak yang kekurangan gizi (Depkes, 2012).

2.1.3. Penyebab

Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah stunting. Menurut WHO (1997), secara populasi stunting

berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk dan peningkatan risiko seringnya anak terkena penyakit serta praktik pemberian makan yang kurang baik. Sedangkan menurut Depkes (2012), anak yang mengalami stunting lebih banyak disebabkan karena rendahnya asupan gizi dan penyakit yang berulang akibat lingkungan yang tidak sehat. Masalah gizi kronis pada balita dapat disebabkan karena asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu


(37)

yang lama karena orang tua atau keluarga tidak tahu atau belum memberikan makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizi anak (Depkes, 2012).

Masalah gizi disebakan banyak faktor yang saling terkait. Penyebab yang sering terjadi karena kurangnya makanan, distribusi pangan yang kurang baik, rendahnya praktik menyusui dan penyapihan, praktik pengasuhan yang kurang, sanitasi, dan penyakit (CORE, 2003). Secara garis besar masalah gizi disebabkan karena kurangnya asupan makanan dan penyakit infeksi. Asupan makan yang kurang dapat disebabkan karena tidak tersedianya makanan, anak yang tidak mendapatkan makanan bergizi seimbang dan pola asuh yang salah (Nency, 2005).

a. Tidak tersedianya makanan

Keadaan sosial ekomoni berkaitan langsung dengan masalah ini. Data di Indonesia menunjukkan adanya hubungan yang timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan.

b. Anak yang tidak mendapat gizi seimbang

ASI adalah makanan yang terbaik bagi bayi usia 0-6 bulan. Setelah itu anak perlu diberikan makanan pendamping agar kebutuhan gizinya terpenuhi.

c. Pola asuh makan yang salah

Pola pengasuhan berpengaruh terhadap keadaan gizi balita. Anak yang diasuh oleh ibunya sendiri yang paham


(38)

akan pola asuh yang baik maka gizi anak pun akan ikut menjadi baik.

Kaadan sakit atau penyakit infeksi pada balita menjadi penyebab lain masalah gizi, keduanya saling terkait dan ada hubungan timbal balik. Penyakit infeksi akan menyebabkan masalah gizi dan masalah gizi akan memberikan pengaruh kepada sistem ketahanan tubuh dan akhirnya memudahkan terjadinya infeksi (Nency, 2005).

2.2. Pola Asuh

Pola asuh anak ikut berperan terhadap timbulnya masalah gizi, hanya saja selama ini banyak anggapan di masyarakat bahwa masalah gizi hanya dialami oleh balita dari keluarga miskin. Anggapan itu tidak sepenuhnya benar, masalah gizi juga disebabkan karena pola asuh anak (Nisa, 2013). Balita yang besar dalam keluarga miskin akan tumbuh sehat apabila diasuh oleh orang tua yang memahami pentingnya kesehatan. Salah satu contohnya, ada anak gizi buruk berasal dari orang tua yang bekerja sepagai PNS yang berkecukupan. Hal tersebut ternyata terjadi karena pengasuhan anak diserahkan pada nenek yang memiliki keterbatasan pengetahuan akan pentingnya pemberian makanan bergizi (Nisa, 2013).

Berdasarkan studi positive diviance yang dilakukan Soekirman, diperoleh kesimpulan bahwa pola asuh berpengaruh signifikan terhadap


(39)

timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh sendiri oleh ibunya dengan kasih sayang, mengerti tentang pentingnya ASI, posyandu, dan kebersihan, meski dalam kondisi miskin, namun anak tetap sehat (Indriyan, 2013).

Pola asuh adalah praktik-praktik pengasuhan dan segala interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak. Interaksi ini meliputi segala hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya dalam proses pengasuhan dan pendidikan (Ulfah, 2008). Menurut Engle dkk (1997), pola asuh adalah perawatan dalam rumah tangga yang menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan perkembangan sosial anak. Sedangkan menurut Zeitlin, pola asuh adalah praktik di rumah tangga yang dilihat dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kepentingan hidup, pertumbuhan dan perkembangan (Zeitlin, 2000).

Upaya pencegahan terhadap masalah gizi sangat penting. Hal yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan kualitas makanan dan perawatan kesehatan (WHO, 2007). Aspek kunci dalam pola asuh terdiri dari perawatan dan perlindungan bagi ibu, pemberian ASI dan MP-ASI, pengasuhan psikososial, penyiapan makanan, praktik higiene dan sanitasi lingkungan, dan praktik kesehatan di rumah (Zeitlin, 2000). Menurut Engle dkk (1997), pola asuh terdiri dari perawatan bagi ibu, pemberian ASI, pemberian makan untuk anak, pengasuhan psikososial, penyajian makanan, praktik higiene, dan perawatan kesehatan dirumah yang merupakan upaya preventif berupa pemberian imunisasi dan dan perawatan kesehatan anak.


(40)

2.2.1. Pemberian ASI Eksklusif

Menyusui merupakan tanggung jawab seorang ibu, kebiasaan menyusui dan cara menyapih yang baik memegang peranan penting dalam kesejahteraan serta pertumbuhan anak. Banyak ahli sepakat bahwa air susu ibu lebih baik dari susu formula. Anak yang diberikan ASI lebih rendah terhadap risiko kesakitan dan kematian dibandingkan dengan anak yang diberikan susu formula (Mandl, 1981). ASI memiliki banyak sekali keuntungan untuk bayi, yaitu mendapatkan status gizi optimal, meningkatkan kemampuan kognitif, mengurangi risiko kegemukan, pencegahan terhadap infeksi, mengurangi risiko terhadap alergi, dan menurunkan risiko morbiditas pada anak (Almatsier, 2011).

ASI adalah makanan tebaik bagi bayi, pemberian minuman dan makanan selainnya sampai usia 6 bulan dapat mengganggu percernaan pada bayi. Hal ini dapat menyebabkan bayi sakit perut ataupun diare. Jika bayi sakit, dapat membuat asupan gizi, variasi dan ragam makanan berkurang yang akhirnya akan mengganggu pertumbuhan balita (Adriyani dan Kartika, 2013).

Pemberian ASI mempunyai hubungan yang signifikan dengan status gizi balita usia 6-24 bulan. Ibu yang memberikan anaknya ASI eksklusif cenderung memiliki balita dengan status gizi baik. Sedangkan ibu yang tidak memberikan anaknya ASI eksklusif sebagian besar balitanya mempunyai status gizi dibawah garis merah (Giri dkk, 2013). Penelitian Arifin dkk (2012),


(41)

menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian stunting pada balita dimana 76% balita yang mengalami stunting tidak diberikan ASI eksklusif. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3.7 kali lebih besar terkena

stunting dibandingkan balita dengan ASI eksklusif (Arifin dkk, 2012)

Penelitian Rahayu (2011) menunjukkan, kurangnya ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat dapat meningkatkan risiko

stunting pada periode pasca kelahiran awal. Dimana, anak yang awalnya stunting dan tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki risiko 3.7 kali lebih besar untuk tetap stunting. Hal ini diduga karena pengaruh ASI eksklusif terhadap perubahan

stunting kemungkinan disebabkan karena fungsi ASI sebagai anti infeksi (Rahayu, 2011).

Pengambilan data terkait pemberian ASI dilakukan dengan cara wawancara mendalam menggunakan instrumen pedoman wawancara mendalam.

2.2.2. Pemberian MP ASI

Setelah berumur 6 bulan keatas, kebutuhan gizi bayi semakin tinggi dan bervariasi. Pemberian ASI saja hanya dapat memenuhi 60-70% kebutuhan gizinya. Oleh karena itu, selain pemberian ASI dubutuhkan pula makanan lain sebagai pendamping untuk


(42)

menunjang asupan gizi bayi. Jika makanan pendamping ASI tidak cepat diberikan, maka masa kritis untuk mengenalkan makanan padat yang memerlukan keterampilan mengunyah yang mulai dilakukan pada usia 6-7 bulan dikhawatirkan akan terlewati. Akibat yang akan dialami bayi dalam keadaan seperti ini adalah kesulitan untuk menelan atau menolak saat diberikan makanan padat (Khomsan dan Ridhayani, 2008).

Secara alamiah, bayi dilahirkan dengan kemampuan refleks terhadap makanan, seperti menghisap, menelan dan mengunyah. Pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan organ pencernaan bayi. Pertama-tama makanan yang diberikan bertekstur cair, kental, semi padat dan terakhir makanan padat (Khomsan dan Ridhayani, 2008). Menurut Khomsan dan Ridhayani (2008), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah :

a. Makanan pendamping ASI dibuat dengan makanan yang berkualitas, sehingga kualitas gizinya terjamin.

b. Pemberian MP-ASI harus diberikan bertahap. Pada awalnya bayi diberikan makanan cair seperti sari buah atau bubur susu. Setelah itu, dilanjutkan dengan makanan kental seperti bubur tepung. Kemudian dilanjutkan dengan makanan semi padat seperti nasi tim saring dan akhirnya diberi makanan padat seperti nasi tim.

c. Pada tahap permulaan, bayi hendaknya diperkenalkan satu persatu jenis makanan sampai ia dapat mengenalnya


(43)

dengan baik dan setelah itu baru diberikan makanan lain. Hal ini dimaksudkan agar bayi benar-benar dapat mengenal dan menerima jenis makanan baru.

d. Orang tua perlu mengetahui ada atau tidaknya alergi terhadap suatu jenis makanan dengan memperhatikan respon bayi setelah makan makanan tersebut.

e. Selama masa perkenalan makanan, jangan memaksakan bayi untuk menghabiskan makanannya, hal ini karena bayi membutuhkan proses adaptasi. Dengan meningkatnya usia bayi akan mendapatkan porsi yang lebih besar.

f. Waktu pemberian makan harus disesuaikan dengan kondisi bayi. Hal ini karena pada saat lapar saluran pencernaan bayi lebih siap untuk menerima dan mencerna makanan.

g. Lakukan jarak pengaturan antara pemberian susu, jangan memberikan makanan pendamping setelah bayi minum susu atau sebaliknya. Hal ini karena bayi akan merasa kenyang dan tidak mau menerima makanan atau susu yang diberikan.

Banyak penelitian yang mengatakan bahwa pemberian MP-ASI mempunyai peran penting dalam perbaikan status gizi anak, terutama sejak usia bayi. Pemberian MP-ASI selama 90 hari


(44)

menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap energi dan zat gizi balita. Penelitian Krisnatuti dkk (2006) tentang analisis status gizi anak dibawah dua tahun menunjukkan bahwa pemberian MP-ASI dapat meningkatkan status gizi baduta. Pada baduta dari jaring pengaman sosial bidang kesehatan berpeluang 4.461 kali berstatus gizi normal berdasarkan indikator BB/TB didandingkan dengan baduta yang tidak mendapatkan MP-ASI (Krisnatuti dkk, 2006).

Orang tua berperan dalam perilaku makan anak, secara sadar ataupun tidak, orang tua telah membentuk kesukaan dan gaya makan anak. Interaksi orang tua dengan anak berpengaruh terhadap pilihan makanan dan pengembangan pola makan anak (Soetardjo, 2011). Pemberian makanan tambahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu, pemberian makanan diperlukan untuk menumbuhkan sikap positif terhadap makanan sejak usia dini (Hermina, 1992).

Gizi seimbang adalah susunan makan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebtuhan tubuh dengan memperhatikan keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Dalam memberikan makanan kepada anak variasi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bosan sehingga dapat menghindarkan anak dari kesulitan makan pada usia berikutnya. Makanan yang diberkan meliputi bahan pokok, lauk-pauk, sayur,


(45)

dan buah-buahan. Protein yang diberikan kepada anak diusahakan secara bergantian sehingga semua zat gizi dapat terpenuhi (Auliana, 2011). Variasi makanan sangat diperlukan dalam memberikan makan kepada anak karena tidak ada satu jenis makanan pun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan tubuh (Muharyani, 2012).

Dalam pemberian makanan, selain memperhatikan variasi makanan untuk anak, orang tua perlu memperhatikan porsi yang diberikan kepada anak. Hal ini karena anak-anak seringkali memerlukan waktu makan yang lebih lama daripada orang dewasa. Untuk itu anak perlu dibujuk agar dapat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup, sesendok demi sesendok (CORE, 2003). Menurut (CORE, 2003), menu yang diberikan harus :

a. Terdiri dari makanan yang bergizi dan tidak langsung mengenyangkan anak.

b. Ikut sertakan buah, sayur, udang, minyak atau kacang-kacangan.

c. Penyiapan makanan yang beragam kepada anak.

d. Menggunakan bahan lokal yang tersedia, sesuai musim dan terjangkau.

e. Menggunakan bahan yang kaya akan vitamin A, besi, dan mikronutrien lain.


(46)

g. Memastikan bahwa semua kelompok makanan ada dalam tiap hidangan makanan, sehingga anak mendapatkan makanan yang seimbang.

Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan frekuensi pemberian makan yang sedikit tetapi sering. Hal ini karena, Sebagian besar balita khususnya umur 3-5 tahun makan lebih dari tiga kali sehari. Memberikan makanan 5-6 kali perhari lebih baik karena balita memiliki perut yang kecil. Anak yang makan kurang dari 4 kali sehari, asupan energi dan zat gizi lainnya lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata anak lain yang makan 4 kali sehari atau lebih (Soetardjo, 2011).

Jenis suatu makanan sangat menentukan status gizi balita. Makanan yang berkualitas adalah makanan yang memberikan komposisi yang beragam, bergizi dan seimbang. Menu yang memadai baik secara kualitas ataupun kuantitas sangat menunjang tumbuh kembang anak. Hal ini karena balita merupakan kelompok rawan gizi sehingga makanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan alat pencernaannya (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012).

Pengambilan data terkait pemberian makan anak dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi menggunakan instrumen pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.


(47)

2.2.3. Peyiapan dan Penyajian Makan

Susah makan pada anak merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua ibu. Terkadang anak menolak makan yang diberikan tanpa tahu apa penyebabnya. Susah makan dapat juga terjadi karena pemberian makan kepada anak yang sudah salah sejak awal. Contohnya seperti pengenalan MP-ASI yang terlambat, tidak diberikan ragam makanan, atau karena anak banyak diberikan jajan. Mengatasai anak susah makan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah memberikan suasana makan yang menyenangkan, kemudian biarkan anak makan sendiri dengan alat makannya (Auliana, 2011).

Proses penyiapan makanan mempunyai peran penting terhadap gizi anak. Di Mali, ditemukan bahwa anak yang makan dari piring atau mangkuk sendiri lebih baik daripada anak yang makan bersama dari piring anggota keluarga yang lainnya (CORE, 2003).

Anak yang sudah belajar makan sendiri perlu mendapat dukungan dari orang tua. Pada tahap ini biasanya anak akan menghambur-hamburkan dan memainkan makanan. Bentuk dukungan orang tua dalam membantu anak melewati tahap perkembangan perilaku makan adalah dengan menyiapkan alat makan khusus dengan warna dan bentuk yang menarik. Selain itu orang tua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk makan


(48)

sendiri dengan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan karena hal tersebut merupakan proses belajar bagi anak (Muharyani, 2012).

Dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah makanan untuk anak adalah keamanan pangan dan keutuhan zat-zat gizi (Almatsier, 2011). Menurut Almatsier (2011) beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Makanan hendaknya digunakan dari bahan yang bermutu dan seimbang.

2. Alat pengolahan dan alat-alat lain yang digunakan hendaknya dalam keadaan bersih.

3. Sayur dan buah dicuci, sesudah itu dimasak dengan air secukupnya sampai lunak.

4. Bila makanan tidak segera dimakan, makanan dibungkus dan disimpan dalam lemari pendingin atau lemari pembeku.

5. Makanan yang dibekukan, bila hendak dimakan maka dicairkan terlebih dahulu ke lemari pendingin.

Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab terjadinya keracunan adalah makanan atu minuman yang tidak memenuhi syarat higiene. Higienenya makanan atau minuman dapat dipenagruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah higiene alat masak dan makan yang digunakan dalam proses penyediaan makan atau minuman tersebut. Alat makan menjadi salah satu faktor dalam hal penularan penyakit, hal ini disebabkan


(49)

karena alat makan yang tidak bersih dan mengandung mikroorganisme (Cahyaningsih dkk, 2009).

Selain kebersihan peralatan memasak dan makan, kebersihan individu juga perlu diperhatikan karena merupakan salah satu faktor penyebab timbulanya penyakit pada anak (Tjukarni dkk, 2011). Kebersihan individu yang dimaksud seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan untuk anak. Penggunaan sabun saat mencuci tangan sebelum makan akan membantu mengurangi jumlah kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh dengan cara melarutkan lemak dan menurunkan tegangan partikel kotoran yang menempel di kulit (Sandy dkk, 2015).

Penyimpanan makanan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dengan baik. Penyimpanan makanan yang kurang baik dapat menjadi sumber penyakit dengan berkembang biaknya bakteri dalam makanan tersebut. Bakteri berkembang biak dengan membelah diri menjadi 2 bagian. Pada temperatur 30˚ sampai 40˚ Celcius jumlahnya akan bertambah 2 kali lipat setiap 15 menit dan dalam waktu 5 jam dapat mencapai 1 juta. Bakteri akan berhenti berkembang biak pada suhu diatas 74˚ dan dibawah 4˚ Celcius. Bakteri patogen berkembang biak pada suhu 37˚ Celcius sama dengan suhu tubuh manusia. Bakteri ini dapat ditularkan melalui makanan yang tersentuh oleh tangan kotor, lap kotor dan berdebu, meja ataupun peralatan dapur yang kotor (Prihastuti, 2013).


(50)

Pengambilan data terkait penyiapan dan penyajian makanan dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.

2.2.4 Praktik Kesehatan Dasar

Orang tua dapat mencegah anak-anaknya menderita penyakit dengan cara menjaga kebersihan rumah, memberikan imunisasi atau vaksinasi, membawa anak yang sakit ke puskesmas, menimbang anak secara teratur untuk mengetahui kekurangan gizi sedini mungkin (CORE, 2003). Praktik kesehatan bagi anak dapat berupa upaya preventif seperti pemberian imunisasi. Imunisasi adalah cara meningkatkan kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dan sehingga apabila seseorang terpapar penyakit tersebut ia tidak menjadi sakit (Matondang dkk, 2011).

Dalam rangka menurunkan kejadian penyakit pada anak, Departemen Kesehatan melakukan program pengembangan imunisasi. Program ini dilakukan dengan memberikan 1 kali imunisasi BCG, 3 kali DPT, 4 kali imunisasi polio, 1 kali imunisasi campak dan 3 kali imunisasi hepatitis B (Luciasari dkk 2011). Imunisasi memiliki pengaruh tidak langsung terhadap status gizi namun berkaitan penyakit infeksi (Mulyati dkk, 2008). Imunisasi mempunyai peran meningkatkan daya tahan tubuh anak terhadap penyakit infeksi. Anak yang tidak mendapatkan imunisasi akan


(51)

lenbih mudah terkena penyakit. Anak yang terkena penyakit dapat mengalami kehilangan nafsu makan sehingga berakibat terhadap status gizinya (Luciasari dkk, 2011).

Dari hasil analisis data Riskesdas, dapat dilihat bahwa balita yang diimunisasi lebih banyak yang sehat jika dibandingkan dengan balita yang tidak pernah diimunisasi (Hidayat dan Jahari, 2012). Imunisasi diberikan oleh orang perorang atau ibu yang membawa anaknya untuk diberikan imunisasi. Tindakan seorang ibu dalam memberikan imunisasi merupakan bentuk tanggung jawab terhadap keluarga untuk melindungi anaknya dari serangan penyakit menular (Achmadi, 2006).

Bagi seorang ibu, memberikan imunisasi kepada anak merupakan hal biasa, namun memiliki makna yang mulia. Dengan membawa anaknya untuk imunisasi seorang ibu telah memberikan sumbangan bagi kekebalan kelompok. Dengan kata lain, imunisasi memiliki dimensi tanggung jawab ganda, yaitu memberikan perlidungan kepada anak agar tidak terkena penyakit menular juga telah berkontribusi sosial yang tinggi, yaitu anak yang telah diberikan imunisasi dan mendapat kekebalan maka akan menghambat perkembangan penyakit di masyarakat (Achmadi, 2006).

Diare dan ISPA merupakan penyakit yang sering diderita oleh balita dalam waktu yang lama jika tidak segera diobati. Timbulnya masalah stunting bukan hanya terjadi karena makan


(52)

yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makan cukup tetapi sering mengalami diare atau demam, akhirnya akan menyebabkan kurang gizi. Demikian pula anak yang makanannya tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya akan melemah. Dalam keadaan seperti ini akan mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan yang akhirnya dapat menderita kurang gizi (Welasasih dan Wirjatmaja, 2012).

Praktik perawatan kesehatan anak dalam keadaan sakit merupakan satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak. Praktik perawatan kesehatan meliputi pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap timbulnya suatu penyakit. Praktik perawatan kesehatan yang baik dapat dilakukan dengan memantau status gizi anak, kelengkapan imunisasi, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam mencari pengobatan terhadap anak yang sakit seperti ke rumah sakit, klinik, dan puskesmas (Zeitilin, 1990 dalam Husin, 2008). Selain itu, pengobtan penyakit pada masa kanak-kanak dan mendapatkan bantuan profesional pada waktu yang tepat mempunyai peran penting dalam menjaga kesehatan anak (CORE, 2003).

Menurut CORE (2003), perilaku perawatan anak yang sedang sakit dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan anak yang sedang sakit dan perawatan selama masa penyembuhan di rumah secara tepat.


(53)

b. Pemberian makanan dan cairan yang sesuai ketika anak sedang sakit dan dalam masa penyembuhan.

c. Pengobatan yang tepat di rumah terhadap penyakit ringan seperti batuk, pilek, dan demam.

d. Melanjutkan pemberian ASI dan makanan yang sesuai ketika anak mengalami diare.

e. Penggunaan LGG (Larutan Gula Garam) atau cairan lain di rumah untuk mencegah dehidrasi selama anak mengalami diare.

f. Mencari bantuan tenaga kesehatan untuk pengobatan penyakitdan luka.

Pengambilan data terkait praktik kesehatan dasar dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan instrumen pedoman wawancara mendalam. Selain itu, pengambilan data juga dengan cara telaah dokumen dengan istrumen seperti KIA dan pencatatan di posyandu.

2.2.5. Pola Pencarian Layanan Kesehatan

Aspek terhadap informasi gizi dan kesehatan dapat dilihat dari keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan sarana pelayanan kesehatan dan gizi terutama posyandu dan puskesmas. Pada umumnya terdapat hubungan antara pendidikan dan


(54)

pengetahuan ibu terhadap akses terhadap informasi dan layanan kesehatan dan gizi (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008).

Pelayanan kesehatan adalah akses anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan. tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan, kurang pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga dalam memanfatkan pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini akan berdampak pada status gizi anak. Makin rendah jangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, maka makin tinggi risiko terjadinya gizi kurang (Amir, 2009).

Upaya pemeliharaan status gizi balita dapat dilakukan dengan memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus secara benar dan tepat waktu dengan cara memonitor pertumbuhan balita setiap bulan secara rutin dan teratur (Hidayat dan Jahari, 2012). Aktifnya balita ke posyandu mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemantauan kesehatannya. Balita yang aktif ke posyandu akan mendapatkan penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan, pemberian makanan tambahan dan penyuluhan gizi. Kehadiran ke posyandu merupakan indikator terjangkaunya pelayanan kesehatan bagi balita. Karena dengan hadir ke posyandu balita akan mendapatkan imunisasi, dan pemberian yang lain seperti kapsul vitamin A (Welasasih & Wirjatmadi, 2012).


(55)

Penelitian Hidayat dan Jahari (2012) yang menganalisis data Riskesdas terhadap 70210 rumah tangga, didapatkan informasi bahwa rumah tangga balita yang memanfaatkan pelayanan kesehatan di posyandu memiliki lebih banyak balita yang berstatus gizi baik menurut indikator BB/U. Selain itu, didapatkan pula informasi bahwa berdasarkan indikator BB/TB, rumah tangga yang memanfaatkan posyandu memiliki lebih banyak balita yang tidak kurus dibandingkan dengan balita yang tidak pernah ke posyandu.

Pengambilan data terkait pola pencarian layanan kesehatan dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan telaah dokumen. Instrumen yang dugunakan yaitu pedoman wawancara mendalam tentang pola pencarian layanan kesehatan dan buku KIA serta pencatatan di posyandu.

2.2.6 Praktik Higiene dan Sanitasi Lingkungan

Masalah gizi dapat disebabkan karena perilaku tidak higienis yang dapat menyebabkan penyakit infeksi (WHO, 2007). Praktik higiene anak biasanya tergantung pada perilaku yang dicontohkan oleh ibu maupun lingkungannya. Kebiasaan higiene yang baik perlu dibiasakan dari kecil yang diharapkan akan terus dilakukan sampai dewasa (Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008). Kebersihan tubuh, makanan, dan lingkungan berperan penting dalam pemeliharaan kesehatan anak dan upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan


(56)

setelah buang air besar, menjadi fokus WHO untuk mengurangi timbulnya penyakit infeksi seperti diare (CORE, 2003).

Faktor perilaku higiene dapat berpengaruh penting terhadap masalah gizi meskipun faktor ini bukan merupakan faktor langsung. Perilaku higiene berpengaruh terhadap penyakit infeksi yang umumnya dialami oleh sebagian besar balita, seperti diare dan ISPA. Kedua penyakit ini mempunyai pengaruh langsung terhadap status gizi balita. Jika balita mengalami penyakit ini maka nafsu makannya akan berkurang yang menyebabkan asupan gizinya ikut berkurang. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dengan frekuensi berkali-kali maka akan berdampak pada masalah gizi kurang (Ulfani dkk, 2011).

Faktor lingkungan sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Peran orang tua dalam perilaku kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang sehat sangat diperlukan balita dalam proses pertumbuhannya (Azis dan Muzakkir, 2014). Pola asuh anak dalam higiene perorangan, kesehatan lingkungan dan keamanan anak berkaitan dengan kemampuan ibu menjaga anak agar tetap bersih, mendapat lingkungan yang sehat, dan terhindar dari cedera dan kecelakaan. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan orang tua untuk memandikan anak, kebersihan pakaian dan bagian tubuh anak, ganti popok ketika akan tidur. Selain itu dibutuhkan pula kemampuan ibu untuk menjaga kebersihan pada tempat tidur anak, kamar anak dan lingkungan anak bermain (Ayu, 2008).


(57)

Selain dipengaruhi kurangnya asupan gizi, masalah gizi dipengaruhi oleh buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri. Sanitasi lingkungan yang sehat secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan balita yang pada akhirnya dapat mempengaruhi status gizinya. Berdasarkan penelitian (Hidayat dan Fuada, 2011), proporsi balita yang mengalami masalah gizi, lebih besar tumbuh di lingkungan yang tidak sehat. Penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan sanitasi lingkungan. Dimana, balita yang tumbuh di lingkungan yang tidak sehat berpeluang 1 kali lebih besar mengalami gizi buruk dibandingkan dengan balita yang bergizi baik. Penelitian Riyadi dkk (2011) menunjukkan, status gizi anak bedasarkan indikator TB/U memiliki hubungan yang signifikan dengan lingkungan fisik rumah, pengetahuan dan perilaku gizi ibu.

Jika keadaan lingkungan fisik dan sanitasi keluarga baik, maka kondisi kesehatan orang yang ada di dalamnya pun akan ikut baik, demikian juga sebaliknya. Selama kebersihan sumur dan sumber air terjaga dengan baik maka risiko untuk penyebaran penyakit menular akan semakin kecil. Keberadaan MCK yang baik juga berperan penting untuk mencegah penyakit seperti diare dan cacingan (Riyadi dkk, 2011). Hasil analisis data Riskesdas menunjukkan bahwa balita yang tinggal di sanitasi lingkungan yang sehat dan meminum air yang dimasak, memiliki status gizi


(58)

yang lebih baik berdasarkan indikator BB/U (Hidayat dan Jahari, 2012).

Menurut Begin dkk (1999) dalam Sab‟atmaja dkk (2010), berkaitan dengan masalah penyakit infeksi, perhatian harus banyak ditunjukkan pada kesehatan rumah, penyediaan air bersih, jamban keluarga, sarana dan prasarana kesehatan serta ada tidaknya dukungan program gizi atau kesehatan. Sanitasi lingkungan dapat menjadi faktor pendukung berkembanganya penyakit menular (Hidayat dkk, 2011). Sanitasi lingkungan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makanan (Ernawati, 2006).

Dalam upaya menjaga kebersihan anak agar terhindar dari penyakit hal yang perlu dilakukan menurut Depkes (2008), yaitu : 1. Mandikan anak setiap hari dua kali pada pagi dan sore hari

menggunakan sabun mandi.

2. Mencuci rambut anak dengan sampo 2-3 kali dalam satu minggu.

3. Cuci tangan anak dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar.

4. Gunting kuku anak ketika panjang.

5. Bersihkan rumah setiap hari dari sampai dan genangan air. 6. Jauhkan anak dari asap rokok dan asap dapur.


(59)

Ketersediaan tempat sampah pada suatu rumah tidak kalah penting dibandingkan dengan sarana fisik lainnya. Setiap rumah seharusnya memiliki tempat sampah yang memadai sebelum dibuang ke penampungan atau dibakar. Rumah tangga yang tidak memilki tempat sampah biasanya memasukkan sampah ke dalam kantong plastik, karung, atau yang lainnya baru kemudian dibuang. Tempat sampah yang tidak memadai dapat menjadi sarang penyakit karena bau yang dikeluarkan dapat mengundang binatang atau bakteri untuk berkembang biak dan kemudian dapat menjadi sumber penyakit (Ersiyoma, 2012).

Pengambilan data terkait perilaku higiene dan sanitasi lingkungan dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Instrumen yang digunakan yaitu pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.

2.2.7. Perawatan Ibu ketika Hamil

Perawatan ibu terhadap anaknya dapat dilakukan selama masa kehamilan dengan menyediakan lebih banyak waktu untuk istirahat dan penambahan asupan makanan (Engle dkk, 1997). Dalam masyarakat tradisional, diet wanita selama masa kehamilan dan menyusui sering dihadapkan pada masalah pantangan terhadap suatu jenis makanan. Hal ini akan menyebabkan asupan yang tidak seimbang ditambah lagi jika makanan yang dianjurkan sulit untuk didapat (Range dkk, 1997).


(60)

Proses tumbuh seorang anak yang mengalami gangguan pertumbuhan dimulai ketika dalam rahim hingga usia 2 tahun. Ketika anak melewati usia 2 tahun, maka sudah terlambat untuk memperbaiki kerusakan atau kekurangan pada tahun-tahun awal tersebut. Oleh karena itu, status kesehatan ibu merupakan penentu penting dalam proses pertumbuhan anak. Berat anak saat lahir adalah akibat langsung dari status kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan.

Begitu pentingnya masa kehamilan dalam menentukan kualitas manusia, terutama pada dua tahun pertama kehidupan. Oleh karena itu pemerintah memberikan perhatian pada anak dibawah usia 2 tahun. Periode pertama terjadi selama 270 hari ketika seseorang mengandung. Jika dalam peride ini sampai anak berusia 2 tahun tidak diperbaiki maka akibat yang ditimbulkan akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Pertumbuhan bayi pada 2 tahun pertama dapat disebabkan karena status gizi anak ketika lahir. Untuk mencegah masalah tersebut, ibu hamil perlu mendapat asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup (Ernawati dkk, 2013)

Selama masa kehamilan seseorang perlu konsumsi energi dan zat-zat gizi yang cukup untuk menopang pertumbuhan dan kesehatan janin serta dirinya sendiri. Banyak perubahan tubuh yang terjadi ketika masa kehamilan. Perubahan yang terjadi seperti volume darah yang bertambah, ukuran dan kekuatan rahim


(1)

Informan Pendukung (Kader Posyandu)

variabel

Informan Kader Posyandu

SM/Sh W/Nh T/Rh/Yu SY/Y/S

Pemberian ASI eksklusif oleh ibu balita

Tadinya eksklusif, berhubung berat badannya kurang jadi

diberikan susu formula

Kurang begitu tahu

Kalau disini jarang, tapi kalau ibu Rh semoga aja, soalnya

ininya(wawasan) lebih terbuka, apalagi saudaranya

kader

Kalau disini cukup tinggi, kalau untuk ibu S atau Y tidak

tahu

Penyakit yang Paling Sering Dialami oleh balita

Pilek, panas Pilek, batuk Sekarang lagi demam berdarah, diare ada tapi ga seperti dulu, kalau anak ibu Rh

kurang begitu tahu

Disini paling batuk dan pilek, untuk diare jarang

Anak diberikan imunisasi sebelum satu tahun

Alhamdulillah dia lengkap

imunisasinya Imunisasi dia lengkap kayanya

Alhamdulillah lengkap, kan kalaau baru lahir harus cepat-cepat dibawa ke posyandu, iya

dia selalu

Tidak tahu, tetapi kalau disini kalau pembagian vitamin dan imunisasi yang biasanya gak

pernah datang dia datang

Pergi ke posyandu/puskesmas

Dia ke posyandu rutin setiap bulan

Rutin datang ke posyandu, bulan ini datang, bulan besok

lagi

Dia selalu ke posyandu

Tidak pernah dibawa ke posyandu, saya tidak kenal

dengan ibu dan anak serta bapaknya tersebut, saya tidak

punya data anak itu

Yang dilakukan untuk mendapatkan informasi

kesehatan bagi anak

Dia sering tanya-tanya ke bidan, kadang ke TPG

Tidak, dia Cuma datang, nimbang dan lihat pertumbuhan anaknya

Tanya-tanya sih tidak, tapi

kalau ke posyandu rutin Tidak pernah

Keadaan lingkungan disekitar

Lingkungannya kurang baik, kebersihannya juga

Begitu, tempat tinggalnya juga begitu, buat saya kasihan aja

Lingkungan rumah dia, rada seperti inilah, rada kumuh, kurang bersihbanyak ternak

Lingkungan disini variasi, sepertinya kesadaran lingkungan masih kurang, masih banyak sampah-sampah

yang berserakan

Memeriksa kehamilan

Waktu hamil Alhamdulillah rutin ke posyandu setiap bulan,

periksa hamil, timbang badan

Dia pernah ke bidan, ke posyandu juga iya

Kalau hamil yang kemarin dia agak lama periksanya, tapi dia

selalu ke posyandu

Tidak tahu, tidak ada data ibu tersebut


(2)

Konsumsi tablet penambah darah ketika hamil

Tablet Fe dikasih setiap bulan, tapi ga tahu diminum apa

engga

Dikasih, tapi tidak tahu diminum atau tidak

Diberikan dari posyandu

sebulan sekali Tidak tahu

Imunisasi ketika hamil Dia diimunisasi juga Sepertinya dia diimunisasi, dia

sering periksa ke posyandu Alhamdulillah dia imunisasi Tidak tahu

Masalah yang ditemui pada

pola asuh balita Tidak menjawab

Paling jadi masalah itu makanan, lingkungan, ekonomi, keadaannya begitu,

tapi yang pentingh dia mau rutin ke posyandu

Disini pengetahuannya yang kurang, kadang ibu malas, yang penting kasih makan aja,

tidak dilihat lagi bergizi atau tidak

Kalau disini ibu kerja dari pagi sampai sore anaknya dititipkan, ibu tidak telaten menyuapi anak, anak dikasih

jajan sembarangan

Karakteristik pengasuh/ibu di wilayah ini

Banyak yang bekerja, kadang anak diasuh olehtetangga atau neneknya, pendidikan ada sampai SD, SMP, dan SMA

Kebanyakan ibu kerja disini, jadi nenek yang asuh, pendidikana disini masih

dibawah

Kalau disini 50;50 yang kerja sama yang ibu rumah tangga, pendidikan minimal SMP,

kebanyakan SD

Banyak ibu yang menjadi tukang sapu disini, bisa dikatakan 20 anak dimomong

oleh orang lain

Faktor yang paling berpengaruh terhadap masalah gizi di wilayah ini

Tidak menjawab Dari perekonomiannya Ekonomi, lingkungan, dan wawasan

Ekonomi, lingkungan, pola asuh

Apa yang dilakukan ketika menemukan masalah gizi

pada balita

Dipantau, seminggu sekali disuruh datang ke puskesmas, akan diadakan pos gizi

dekat-dekat ini

Ada penyuluhan dan rumah gizi

Dibawa ke puskesmas, kemudia ibu itu yang rutin

datang ke puskesmas

Dipantau terlebih dahulu, kalau keadaan masih seperti itu baru dibawa ke puskesmas, melakukan pendekatan kepada

orang tua balita

Pernakah ibu mendengar istilah stunting/pendek, adakah program untuk

mengatasinya


(3)

Informan Pendukung (TPG puskesmas)

variabel Informan Kader Posyandu

RJ Pemberian ASI eksklusif oleh ibu

balita

ASI eksklusif itu di Puskesmas Neglasari dari F1 gizi rendah kenyataannya, Disini mah asi ekslusif rendah, D/S rendah, Fe rendah

Penyakit yang Paling Sering Dialami oleh balita

ISPA, diare

Pergi ke posyandu/puskesmas Cakupannya sudah naik sekitar 60% karena untuk saat ini sangat digembar-gemborkan melalui penyuluhan

Perilaku memeriksa kehamilan Sekarang ini rutin datang ke KIA atau posyandu karena ada maunya yaitu guna medapatkan rujukan

Keadaan lingkungan disekitar

Seandainya ada 8 anak, yang tidak bersih sekali sebnyak 2 orang, Lingkungan masing-masing beda, Penelitian PHBS rumah tangga di Karang Sari sistemnya random kita ambil 7 RW, setiap RW kita ambil 3 RT kalo ga salah. Rata-rata tidak ber-PHBS salah satu penyebabnya karena merokok di dalam rumah. Selain itu sampah juga merupakan salah satu

masalah yang ditemui di wilayah kerja Puskesmas Neglasari karena kurangnya koordinasi dari RT sampai kelurahan. Sampah biasanya tidak segera diangkut, banyak yang berserakan, kalau yang di pojok-pojokan karena tidak ada tempat

sampah maka dibuang ke sungai

Masalah yang ditemui pada pola

asuh balita Pemberian makan tidak sesuai jadwal, jumlah, dan jenis serta faktor ekonomi Faktor yang paling berpengaruh

terhadap masalah gizi di wilayah ini

Pola asuh pemberian makan yang tidak tepat, ke posyandu ya, dapat buku ya, menimbang anak ya, tetapi kalau anak nangis tetap saja diberikan jajan sehingga anak makan tidak teratur

Apa yang dilakukan ketika menemukan masalah gizi pada

balita

Kunjungan rumah kemudian disuruh datang ke posyandu dan puskesmas dengan rutin

Pernakah ibu mendengar istilah

stunting/pendek, adakah program

untuk mengatasinya


(4)

Lampiran 5

HASIL OBSERVASI

DAFTAR OBSERVASI

KETERANGAN

Ra Ai La Al

Pemberian variasi makanan beragam kepada anak

Anak makan dengan nasi dan sayur saja seperti sayur

sop, anak makan dengan nasi dan lauk saja seperti ayam dan bakso, anak diberikan susu formula yang

didapat dari puskesmas

Anak makan dengan nasi dan sayur sop, anak makan

dengan nasi, sayur kangkung dan tahu, anak

masih diberikan ASI

Anak makan dengan sayur sop yang ditambahkan bakso, anak makan dengan telur dan ayam yang ditambahkan kecap, anak

diberikan susu formula

Anak makan dengan nasi dan telur, anak makan dengan sayur jagung dan ikan, anak ikut memakan mie bersama ayahnya, anak makan nasi

dengan tempe goreng

Pemberian porsi makan yang sesuai umur anak

Anak diberikan nasi sekitar 10 sendok makan dan sayur sekitar 3-4 sendok makan ada yang pakai lauk dan ada

yang tidak, tetapi tidak dihabiskan

Anak diberikan makan sekitar 1 centong nasi, 2

sendok sayur, dan sepotong lauk seperti tahu

Anak diberikan makan sekitar 1 centong nasi, sepotong lauk

seperti telur dan 1 kali diberikan sayur tetapi tidak dihabiskan karena anak pergi

bermain

Anak makan sekitar 1 centong lebih sedikit nasi, ditambahkan lauk seperti sepotong telur, tempe dan ikan, anak juga diberikan

sayur

Frekuensi pemberian makan sedikit tetapi sering (5-6 kali)

Ketika observasi anak 2 kali makan 1 kali menyusui

Ketika observasi anak diberikan 2 kali makan dan

2 kali ASI

Ketika observasi anak 2 kali makan 2 kali minum susu

Ketika observasi anak 2 kali makan tetapi kadang ikut makan lagi ketika ada anggota

rumah tangga yang makan

Makanan selingan anak Tidak diberikan Tidak diberikan Tidak diberikan Tidak diberikan

Jajan anak Tidak jajan Jajan dari penjual keliling dan warung nenek

Diberikan jajan permen oleh

teman-temannya Jajan es, kerupuk berbumbu

Penggunaan peralatan masak dan makan yang bersih

Dicuci sebelum digunakan,


(5)

dicuci kemudian direbus

Tempat menyimpan makanan Makanan disimpan dalam

rak, tidak ditutupi

Makanan ditaruh diatas meja, ditutupi

Makanan disimpan didalam rak, tidak ditutupi

Makanan ditaruh diatas meja, tidak ditutupi

Penyajian makanan yang menarik

Ditaruh biasa diatas piring, ketika peneliti melakukan

observasi ibu berusaha mencari pencetak makanan

yang berbentuk hewan

Makanan ditaruh biasa saja diatas piring

Makanan ditaruh biasa saja diatas piring

Makanan ditaruh biasa saja diatas piring

Pemberian makanan dari luar untuk

anak - - - -

Penyiapan makan untuk anak

Anak makan dengan piringnya sendiri, masih

disuapi

Anak makan dengan piringnya sendiri, anak

makan sendiri, tetapi disuapi juga

Anak makan dengan piringnya sendiri, masih disuapi, terlihat sekali makan sendiri tetapi

tidak dihabiskan

Anak makan dengan piringnya sendiri, masih disuapi

Pencucian makanan mentah seperti

buah dan sayur Dicuci Dicuci Dicuci Dicuci

Memasak makanan sampai matang Sampai matang Sampai matang Dimasak sampai matang Dimasak sampai matang sekali

Perilaku cuci tangan sebelum

menyiapkan makanan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan Tidak mencuci tangan

Pengawasan ketika anak bermain

Diawasi, tetapi ibu terkadang lengah karena setiap hari bekerja di depan

rumah, anak terlihat main tanah dan berada dekat selokan, anak juga terlihat

memasukkan jarinya ke dalam mulut ketika bermain,

ibu sekali terlihat memberikan makanan yang jatuh ke lantai kepada anak, anak terlihat sedikit kotor

Anak bermain dengan ibunya karena takut dengan peneliti, tetapi terlihat anak dibiarkan main tanah di depan rumah

dengan teman-temannya, anak sekali terlihat tidak memakai alas kaki ketika

bermain

Anak main tanpa pengawasan dari orang tua atau saudaranya. Anak selalu tidak

memakai alas kaki ketika bermain dan sering terlihat memasukkan jarinya ke dalam

mulut

Anak beberapa kali terlihat main dekat kandang unggas,

anak sering tidak memakai alas kaki ketika bermain, tubuh anak terlihat sedikit

kotor dan keluar keringat


(6)

Perilaku BAB di jamban Di dalam rumah Di luar rumah, dipakai

bersama dengan kontrakan Di MCK umum

Di luar rumah, dipakai bersama dengan kontrakan

Perilaku cuci tangan setelah membasuh kotoran anak

Dibersihkan hanya dengan air saja, ketika anak buang air kecil, anak hanya di lap dengan celana yang terkena air seni, kemudian celana itu kembali digunakan untuk

mengelap lantai yang terkena air seni anak tersebut

Dibersihkan dengan air, kemudian ibu mencuci tangan pakai sabun tetapi

anak tidak, ketika anak buang air kecil, anak hanya

dilap dengan celana yng terkena air seni, kemudian

celana itu digunakan kembali untuk mengelap lantai yang terkena air seni

anak

-

Dibersihkan dengan air, setelah itu ibu mencuci tangan

pakai sabun tetapi anak tidak

Sumber air bersih

Air minum dari galon isi ulang sedangkan untuk mencuci, mandi dari PAM

Air minum dari galon isis ulang sedangkan untuk mencuci dan mandi dari

sumur pompa

Air minum dari galon isi ulang sedangkan untuk mencuci dan

mandi

Air minum dari galon isi ulang sedangkan untuk mandi dan

mencuci dari sumur pompa

Air dalam keadaan baik Baik Bagus Agak keruh Bagus

Keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah

Tidak ada, namun tedapat unggas yang terlihat bermain

di sekitar rumah

Terdapat kandang unggas dibelakang rumah dekat dengan penampungan air

Terdapat kandang unggas di depan dan samping dekat

rumah

Terdapat kandang unggas di depan rumah

Adanya tempat pembuangan sampah

Sampah ditaruh di tempat sampah dalam rumah kemudian setelah penuh

dibuang ke kebun

Sampah ditaruh dalam karung atau kantong plastik yang digantung di

pohon depan rumah, setelah beberapa hari diambil oleh petugas kebersihan setempat

Sampah ditaruh di tempat sampah di dalam dan luar rumah, setelah penuh dibuang

ke kebun dekat rumah kemudian dibakar

Sampah diataruh ditempat sampah yang dilapisi plastik,

dalam beberapa hari diambil oleh petugas kebersihan

setempat

Lingkungan bermain anak

Anak bermain di depan rumah yang yang terdapat

selokan

Anak bermain di depan rumah tetapi ketika observasi anak lebih sering

dengan ibunya di dalam rumah

Anak bermain di depan rumah yang banyak terdapat kotoran hewan serta asap pembakaran

sampah

Anak bermain di depan rumah yang terdapat gundukan pasir, ada hewan seperti kucing yang

membuang kotorannya di dalam pasir


Dokumen yang terkait

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 12-36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANDUAGUNG KABUPATEN LUMAJANG

4 21 22

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH GIZI DAN KONSUMSI MAKANAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 6-24 BULAN (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Randuagung Kabupaten Lumajang Tahun 2014)

7 30 193

Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012

17 271 140

Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006

2 7 86

Hubungan Pola asuh makan dan Status gizi dengan Perkembangan anak usia 6-24 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Plus, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.

0 0 4

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI TAHUN 2016

0 0 12

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018

1 5 10

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOSARI I SKRIPSI

0 0 13

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PATTINGALLOANG KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2010

0 0 102

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING ANAK USIA 24-59 BULAN DI POSYANDU ASOKA II WILAYAH PESISIR KELURAHAN BAROMBONG KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR TAHUN 2014

0 0 113