Gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009

(1)

SKRIPSI

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG

TAHUN 2009

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana

Keperawatan ( S.Kep )

Oleh

Rohmatika

NIM : 105104003482

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF


(2)

PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan judul

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG

TAHUN 2009

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 26 Oktober 2009

Pembimbing I Pembimbing II

Jamaludin, S.Kep, M.Kep Bambang P. Cadrana, SKM, M.KM NIP. 150409469 NIP. 19690205199403 1 003

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, Nopember 2009

Penguji I NIP. Penguji II

NIP. Penguji III


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rohmatika

Tempat / tanggal lahir : Serang, 5 februari 1987 Agama : Islam

Alamat : Jl.raya Serang-Pandeglang, kp. Warung, Ds. Panyirapan Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173

Telp : (0254) 250 125

Riwayat pendidikan : MI Nurul Huda Baros (1993-1999) MTS Nurul Huda Baros (2000-2002) MAN 2 Model Serang (2003-2005)

Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)


(4)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1430 H/2009

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya : Nama : Rohmatika NIM : 105104003482 Mahasiswa program : Ilmu keperawatan Tahun akademik : 2005

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang berjudul :

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG TAHUN 2009.

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Jakarta, Nopember 2009


(5)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, 28 Oktober 2009

Rohmatika

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI

KELURAHAN KARANGSARI RW13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG TAHUN 2009.

xxi + 136 halaman, 4 tabel, 6 gambar, 12 lampiran

ABSTRAK

Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang belum dapat diatasi secara tuntas, salahsatu kendalanya adalah adanya anggapan yang keliru dari masyarkat yang menganggap penyakit kusta adalah penyakit kutukan, keturunan dan menimbulkan kecacatan yang menetap. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa dan tidak tekun berobat. Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi sehingga masalah tersebut beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Laporan WHO (1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3 dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia. Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007. Penyakit infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti, terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 2000-2007. Konsep diri klien kusta terbentuk dari penerimaan masyarakat terhadap penderita kusta. Namun sampai saat ini sangat sedikit penelitian yang menggali masalah konsep diri panderita cacat kusta. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular, dan tidak dapat diobati.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW13, kecamatan Neglasari, Tangerang. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang pengetahuan, persepsi konsep diri, sikap masyarakat terhadap penderita kusta yang berhubungan dengan terjadinya Leprofobia. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Karangsari RW13, Kodya Tangerang dengan menggunakan metode kualitatif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Informan kunci adalah klien cacat kusta tingkat II


(6)

sebanyak 5 orang dan informan terdiri dari petugas puskesmas Neglasari dan kelurahan Karangsari.

Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep diri klien cacat kusta terjadi karena persepsi masyarakat tentang kusta dan sikap masyarakat yang takut tertular ketika melihat kecacatan yang ditimbulkan oleh penyakit kusta. Ditemukan juga bahwa sikap negatif terhadap kehadiran penderita kusta adalah pernikahan dengan keluarga penderita kusta, namun dalam kegiatan sosial seperti syukuran dan kegiatan agama umumnya menunjukan sikap positif dari masyarakat. Umumnya informan memiliki konsep diri positif, mereka menerima kecacatannya dan mampu mengungkapkan kepribadiannya melalui wawancara. Dengan demikian disarankan untuk Melakukan promosi kesehatan dan upaya preventif secara terpadu melalui program pelatihan khusus perawatan cacat kusta bagi petugas puskesmas dengan pemeriksaan kecacatan tingkat II atau POD (Prevention Of dissability). Meningkatkan pengetahuan melalui penyuluhan serta melibatkan penderita cacat kusta sebagai role model dalam pendidikan kesehatan. Sebaiknya dibuat data surveilance untuk memudahkan puskesmas dalam menemukan kasus secara dini bagi pasien terdaftar dan baru segera ditulis dalam sensus data pasien terdaftar dan baru karena dapat mempermudah telaah dokumen. Serta penyuluhan imunisasi BCG. Lebih lanjut, pencegahan dan perawatan cacat kusta secara dini oleh petugas kesehatan dan peran serta masyarakat merupakan hal yang terpenting.


(7)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES NURSING PROGRAM STUDY

STATE ISLAMIC UNIVERSITY (UIN) OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduate Thesis, October 28th 2009 Rohmatika

SELF-IMAGE CONCEPTS TO CLIENTS WITH DISABILITIES OF LEPROSY IN THE VILLAGE DISTRICT KARANGSARI, NEGLASARI RW 13, TANGERANG 2009

xxi+136 pages, 4 tables, 6 picture, 12 appendixes

ABSTRACT

In Indonesia leprosy is a disease that can not completely resolve yet, one of the main problems is the mistaken assumption that the community thinks of leprosy is a disease of heredity and permanent disability. As a result of this erroneous assumption lepers feel desperate and do not diligently seek treatment. Leprosy patients will experience some physical problems, psychological, social and economic change so that the issue of health issues to social issues. WHO report (1997) showed that Indonesia was on the order of the 3rd world as a country that had the most leprosy patients after India and Brazil. Based on data from 2006-2007 according to the Planning Section Chief Medical Record Sintanala Leprosy Hospital, Tangerang, 279 patients were recording in 2006 increased to 296 people until the year 2007. This infectious disease is still a public health problem which means, as evidenced by the trend of increased prevalence rate of leprosy during the period 2000-2007. Self-concept is formed from leprosy client community acceptance of people with leprosy. However, there is very little research that explores the concept of sufferer self problem leprosy disability. Social impact of leprosy is so great, causing deep anxiety. Not only the patient themselves, but on families, communities and countries. This is the underlying concept of patient acceptance behavior of the disease, which for this condition is still a lot of people think that leprosy is a contagious disease, and can not be treated.

The general objective of this research is to determine the concept of self-image of clients with disabilities in leprosy in Karangsari RW13, Neglasari district, Tangerang. Specific objectives of this research is to obtain in-depth information about the knowledge, perception of self concept, attitudes toward leprosy patients associated with the occurrence Leprofobia. This research was conducted in Karangsari RW13, Tangerang municipality using qualitative methods, where data collection is done by in-depth interviews and observation. Key informants are disabled leprosy client level II were 5 people and informants consisted of health workers and Karangsari Neglasari village.


(8)

The results showed that the concept of self-leprosy disabled clients because the public perception of leprosy and attitudes are afraid of contracting when he saw the disability caused by leprosy. Also found that negative attitudes toward the presence of leprosy patients is the family wedding with lepers, but in social activities such as Thanksgiving and religious activity generally showed a positive attitude from the community. Generally informants have a positive self-concept, they receive a disability and able to express her personality through interviews. Thus advisable to conduct health promotion and preventive efforts in an integrated manner through a special training program for the treatment of leprosy disability health officers with inspection level II disability or POD (Prevention Of disability). Increased knowledge through counseling and involve people with disabilities of leprosy as a role model in health education. Surveillance data should be made to facilitate the clinic in early case finding for patients newly registered and immediately recorded in the census data and newly registered patient as it can facilitate the study of documents. BCG immunization and counseling. Furthermore, the prevention and treatment of leprosy disabilities at an early stage by health workers and community participation is the most important thing.


(9)

SKRIPSI

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG

TAHUN 2009

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana

Keperawatan ( S.Kep )

Oleh

Rohmatika

NIM : 105104003482

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF


(10)

PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi dengan judul

GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG

TAHUN 2009

Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi

Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 26 Oktober 2009

Pembimbing I Pembimbing II

Jamaludin, S.Kep, M.Kep Bambang P. Cadrana, SKM, M.KM NIP. 150409469 NIP. 19690205199403 1 003


(11)

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Jakarta, Nopember 2009

Penguji I

NIP. Penguji II

NIP. Penguji III


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rohmatika

Tempat / tanggal lahir : Serang, 5 februari 1987 Agama : Islam

Alamat : Jl.raya Serang-Pandeglang, kp. Warung, Ds. Panyirapan Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173

Telp : (0254) 250 125

Riwayat pendidikan : MI Nurul Huda Baros (1993-1999) MTS Nurul Huda Baros (2000-2002) MAN 2 Model Serang (2003-2005)

Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)


(13)

PERSEMBAHAN

Tentang Waktu

Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.

Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi. Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.

Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.

Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan.

Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan. Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah musik yang menggetarkan hati. Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah membuat hidup terasa bererti.

Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan. Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju syurga.

Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR. Teman yang paling akrab adalah AMAL. Pengawal peribadi yang paling waspada DIAM. Bahasa yang paling manis

SENYUM. Dan ibadah yang paling indah tentunya KHUSYUK.

Wanita yang cantik tanpa peribadi yang mulia ,umpama kaca mata yang bersinar-bersinar, tetapi tidak melihat apa-apa

Jangan sekali-kali kita meremehkan sesuatu perbuatan baik walaupun hanya sekadar senyuman.

Anda bukan apa yang anda fikirkan tentang anda, tetapi apa yang anda fikirkan itulah anda

Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan.

Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan. Perjuangan memerlukan ketabahan.

Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan kejayaan. Kejayaan pula akan menentukan kebahagiaan.

Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan. Oleh itu jika anda memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha


(14)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Gambaran Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009”. Shalawat dan salam senantiasa kita junjungkan kehadirat Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Adapun skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak dan ibu saya yang selalu mendoakan dan memberi semangat dalam setiap waktunya.

2. Terimakasih untuk bapak dekan FKIK Prof.DR.Dr.MK Tadjudin, Sp. And

3. Pak Bambang, yang dengan sabar membimbing, memotivasi dan memberi masukan untuk proses pengerjaan skripsi ini.

4. Pak jamaludin, terimakasih telah bersedia membimbing dan memberikan masukan untuk skripsi ini.

5. Terimakasihku yang tak terhingga untuk ibu Tien Gartinah dan seluruh dosen program studi ilmu keperawatan yang telah mentransfer ilmunya dan membimbing kami dalam segala hal.

6. Terimakasih buat ibu Sri Dian (Kasi kemasyarakatan kelurahan Karangsari), ibu Alin (Surveilance TB, kusta Puskesmas Neglasari), ibu Sri dan pak RW 13 sebagai pembimbing lapangan, yang telah bersedia memberikan data-data untuk kelancaran penelitian.


(15)

7. Terimakasihku buat pak W, D, M, S, Su, yang telah memberikan waktunya untuk wawancara demi kelancaran penelitian ini.

8. Adek saya satu-satunya Mubdi Hasan yang selalu memotivasi saya, semangat ya dek lanjutkan sampai kuliah.

9. Terimakasih juga buat Edi yang telah meminjamkan buku dan memberikan semangat dalam menyusun skripsi.

10. Teman-teman sekelasku PSIK angkatan 2005 yang kompak yang memberikan warna warni kehidupan dan banyak memberi inspirasi.

11. Teman sekosanku yang baik dan care Neneng, Herna, Fauziah, Intan, Nisa, Ipa, Pipit, Solehah, ka Hasni, Lita terimakasih sudah memberikan tumpangan ngprintnya, jaga kebersamaan kita, I Love You Full…..

Demikian yang dapat penulis sampaikan, insya Allah skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh skripsi dan dapat dijadikan pelajaran bagi adik-adik kami selanjutnya.

“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7).”

Tim Penyusun


(16)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

KATA PENGANTAR………i

DAFTAR ISI……….iii

DAFTAR TABEL………...viii

DAFTAR GAMBAR………...ix

DAFTAR SINGKATAN………x

DAFTAR LAMPIRAN………xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang……….1

1.2 Identifikasi masalah……….8

1.3 Perumusan masalah………..8

1.4 Tujuan dan manfaat penelitian……….9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian konsep diri atau citra diri………..11

a. Dimensi-dimensi citra diri………..12

b. Peranan citra diri……….13

2.2 Pembentukan konsep diri………14


(17)

1. Citra tubuh (Body image)………20

2. Ideal diri (Self ideal)………23

3. Harga diri (Self esteem)………...24

4. Peran diri (Self role)………27

5. Identitas diri (Self identity)……….30

2.4 Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri………...31

2.5 Tindakan pada gangguan konsep diri………33

2.6 Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan………..34

2.7 Pengertian cacat tubuh………..38

a. Jenis-jenis cacat tubuh………..39

b. Derajat kelainan fisik………40

c. Cacat tubuh pada penderita kusta……….41

d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta…………....43

2.8 Pengertian penyakit kusta……….43

a. Jenis-jenis penyakit kusta……….44

b. Penyebab penyakit kusta………..45

c. Tanda dan gejala penyakit kusta………..47

d. Pengobatan………..51

e. Pencegahan cacat kusta dan perawatannya………..59

f. Pelayanan rehabilitasi………...61


(18)

BAB III KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka konsep………..64

3.2 Pertanyaan penelitian………65

3.3 Definisi istilah………..66

BAB IV METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN 4.1 Desain penelitian………68

4.2 Lokasi penelitian………68

4.3 Populasi……….68

4.4 Sampel………...69

4.5 Prosedur pengumpul data………...71

4.6 Instrumen data………....72

4.7 Pengolahan dan analisis data………..74

4.8 Validasi data………74

4.9 Sarana penelitian……….75


(19)

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran umum wilayah penelitian………..76

5.2 Gambaran penederita penyakit kusta……….76

5.3 Karakteristik sosio demografi informan……….77

5.4 Pengetahuan tentang penyakit kusta………..78

5.5 Persepsi klien kusta tentang konsep diri………89

5.6 Persepsi tentang bahaya kusta……….119

5.7 Sikap masyarakat terhadap klien kusta………119

5.8 Penyuluhan tentang kusta………123

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan penelitian………. 126

6.2 Pengetahuan tentang penyakit kusta………..126

6.3 Persepsi konsep diri klien kusta……….127

6.4 Persepsi tentang bahaya kusta………128

6.5 Sikap masyarakat terhadap kusta………129

6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada klien kusta………129


(20)

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan……….134 7.2 Saran-saran………..136 DAFTAR PUSTAKA


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman 1.1 Jumlah penderita cacat kusta menurut tipe dan angka penemuan penderita

(NCDR) per 100.000 penduduk tahun 2000-2007 di kota Tangerang ……….3 2.1 Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya………58

4.1 Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria, dan tempat…………70 5.1 Frekuensi penderita cacat kusta di RW 13 kelurahan karangsari tahun 2009...77


(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman 1.1 Grafik 1 : Prevalensi dan angka penemuan penderita baru di Indonesia tahun

2007………..2 1.2 Angka penemuan penderita baru (NCDR) di Idonesia tahun 2007……..2 1.3 Grafik 2 : Proporsi cacat tingkat II dan proporsi anak diantara kasus baru di

Indonesia tahun 2007………...3 2.1 Diagram 1 : Hirarki Maslow tentang kebutuhan………32 2.2 Diagram 2 : Variabel dalam Health Belief Model (HBM)………..62 3.1 Diagram 3 : Kerangka konsep……….65


(23)

DAFTAR SINGKATAN

3M : Melindungi mata, Melindungi tangan, Melindungi kaki BB : Borderline-Borderline

BL : Borderline Lepromatous BT : Borderline Tuberkuloid BTA : Bakteri Tahan Asam COT : Completion Of Treatment

DADDS : Diasetil-Diamino-Difenil-Sulfon DDS : Diamino Difenil Sulfon

DNA : Deoxyribonucleic acid

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Dinkes : Dinas Kesehatan

Ditjen : Direktur Jendral

FK UI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia I : Indeterminate

LL : Lepromatous-Lepromatous LI : Lepromatosa Indefinite M.Leprae : Myobacterium Leprae MB : Multi Basiler


(24)

NCDR : New Case Detection Rate p : Proporsi

PB : Pauci Bacillary

PABA : Para Amino Benzoic Acid

PPM & PL : Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengendalian Lingkungan Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

r : Rasio

RFT : Release From Treatment RFC : Release From Control RNA : Ribonucleic acid RW : Rukun Warga

TEN : Toksik Epidermal Nekrolisis TI : Tuberkuloid Indefinitif TT : Tuberkuloid-Tuberkuloid SD : Sekolah Dasar

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas WHO : World Health Organization WM : Wawancara Mendalam


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor lampiran

1. Lembar chek list

2. Pedoman wawancara mendalam informan petugas puskesmas

3. Pedoman wawancara mendalam informan petugas kelurahan Karangsari 4. Pedoman wawancara mendalam informan klien cacat kusta

5. Lembar persetujuan responden 6. Lampiran 6

7. Matriks pengetahuan informan tentang penyakit kusta 8. Matriks persepsi informan tentang penyakit kusta

9. Matriks persepsi konsep diri klien kusta, petugas puskesmas dan kelurahan 10. Matriks sikap masyarakat terhadap penderita kusta

11. Matriks penyuluhan penyakit kusta 12. Kesimpulan matriks


(26)

1.1LATAR BELAKANG

Penyakit infeksi banyak terjadi di Negara berkembang yang mempunyai kondisi sosial ekonomi rendah. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah penyakit kusta. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Laporan WHO (1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3 dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia, namun pada tahun 2001 kondisi Indonesia dalam penanggulangan kusta sudah lebih baik, hal ini ditunjukan dengan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah India, Brazilia, dan Nepal. Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (sampai bulan desember 2001) telah berhasil menunjukan angka kesakitan kusta sekitar 85 % yaitu dari 107,271 orang menjadi 17,137 orang (Kompas, 2003 dan Swaranet, 2003).

Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007(Koran Tempo, 26 Juni 2008). Indonesia telah


(27)

mencapai eliminasi penyakit kusta sejak bulan juni tahun 2000. Namun penyakit infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti, terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 2000-2007. Bahkan pada tatanan global, Indonesia menjadi Negara penyumbang kusta terbesar setelah India dan Brasil.

Strategi global WHO menetapkan indikator eliminasi kusta yaitu angka penemuan penderita (NCDR) yang menggantikan indicator utama sebelumnya yaitu angka penemuan penderita terdaftar (prevalensi rate <1/10.000 penduduk). (Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008) Pada tahun 2000 NCDR menampilkan tren yang meningkat. Namun sejak tahun 2005, NCDR turun dari 0,9 menjadi 0,83 pada tahun 2006 kembali turun, pada tahun 2007 menjadi 0,78 per 10.000 penduduk. Jumlah penderita baru yang ditemukan sepanjang tahun 2007 sebesar 17.726 dengan rincian Pausi Basiler (PB) sebanyak 3.643 penderita dan Multi Basiler (MB) sebanyak 14.083 penderita. Sedangkan prevalensi kusta menunjukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2000 prevalensi sebesar 0,86 per 10.000 penduduk menjadi 1,05 per 10.000 penduduk pada tahun 2007. Berdasarkan distribusi per provinsi, prevalensi kusta tertinggi terdapat di provinsi Papua Barat sebesar 9,69 diikuti oleh Maluku Utara sebesar 6,66 dan Papua sebesar 4,42 per 10.000 penduduk.

Dalam upaya penanggulangan penyakit kusta di Indonesia digunakan angka proporsi cacat tingkat II (kecacatan yang dapat dilihat dengan mata) dan proporsi anak diantara kasus baru, angka proporsi cacat tingkat II digunakan untuk menilai kinerja petugas dalam upaya penemuan kasus. Angka proporsi cacat tingkat II yang tinggi mengindikasikan adanya keterlambatan dalam penemuan penderita yang dapat diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta. Sedangkan


(28)

indikator proporsi anak diantara kasus baru mampu mempresentasikan penularan kusta yang masih terjadi di masyrakat.

Pada tahun 2007 kecacatan tingkat II di Indonesia mencapai 8,8%. Angka ini masih berada diatas indikator program sebesar 5%. Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan presentasi kecacatan tingkat II tertinggi sebesar 19,3% yang diikuti oleh Riau sebesar 18,7% dan Sumatera Utara sebesar 17,8%. Masih adanya penularan kusta pada masyrakat di Indonesia yang yang tercermin oleh proporsi penderita berumur 0-14 tahun menunjukan angka 10,2%. Presentase ini juga masih diatas indicator program sebesar 5%. Presentase tertinggi berada pada provinsi Riau sebesar 40%. Diikuti oleh Maluku Utara sebesar 20% dan Papua Barat 16,3%. Angka penemuan penderita baru, kecacatan dan proporsi pada umur 0-14 tahun menurut provinsi di Indonesia tahun 2007 (Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008).

Menurut Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008 bagian Subdit Kusta bahwa pada tahun 2007 di kota Tangerang provinsi Banten terdapat penderita cacat kusta tingkat II yang terdaftar dengan tipe MB sebanyak 26 orang dari 1.412.539 penduduk dan penderita baru dengan tipe MB sebanyak 15 orang dari 1.412.539 penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3%, antara usia 0-<15 tahun.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, tentang status disabilitas penduduk provinsi Banten yang berumur 15 tahun keatas tampak secara garis besar status disabilitas pada penduduk di provinsi Banten sangat baik (>80%), meliputi kondisi penglihatan, pendengaran, emosi, mobilitas dan kondisi kesehatannya. Di provinsi Banten rata-rata status disabilitas dengan kriteria “sangat bermasalah” adalah sebesar 2,1% dan “bermasalah” 21,5%. (Riskesdas, 2007). Prevalensi disabilitas “sangat bemasalah” tertinggi terdapat di kota Cilegon (2,8%), sedangkan kota Tangerang dengan prevalensi disabilitas “sangat bermasalah” terendah. Prevalensi


(29)

disabilitas “bermasalah” tertinggi ditemukan di kabupaten Pandeglang (28,5%), sedangkan prevalensi disabilitas “bermasalah” terendah adalah kota Serang.

Sementara itu berdasarkan umur tampak bahwa status disabilitas yang merupakan sangat masalah presentasinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Status disabilitas “sangat masalah” dan menjadi “masalah” lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya presentasi “tidak masalah” pada laki-laki lebih tinggi. Status disabilitas di pedesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan.

Berdasarkan tingkat pendidikan, presentasi status disabilitas “sangat masalah” yang paling tinggi tampak pada penduduk dengan pendidikan terendah kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya tingkat pendidikan. Berdasarkan pekerjaan, status disabilitas “sangat masalah” persentase tertinggi tampak pada penduduk yang tidak bekerja, jenis pekerjaan lainnya, dan ibu rumah tangga. Persentase tertinggi status disabilitas “sangat masalah” dirasakan oleh penduduk dengan status ekonomi pada kuintil 1, yaitu rumah tangga dengan tingkat pengeluaran perkapita terkecil, dan menurun dengan bertambah meningkatnya status ekonomi. (Riskesdas Provinsi Banten, 2007)

Peneliti belum mendapatkan penelitian yang khusus meneliti tentang gambaran konsep diri pada klien dengan cacat kusta. Adapun penelitian yang yang berkaitan dengan penyakit kusta disampaikan oleh Tarusaraya dan Halim (1996) dengan judul penelitian kecacatan pasien kusta di RSK Sitanala Tangerang. Hasil penelitian dari 1153 penderita kusta di unit rawat jalan RSK Sitanala Tangerang selama bulan maret 1996 adalah sebagai berikut : pasien baru yang cacat adalah 84 dari 113 orang (74,34 %), pasien lama yang cacat adalah 761 dari 1040 orang (73,17 %), laki-laki lebih banyak cacat 618 dari 809 orang (76,39 %) dan wanita 227 dari 344 orang (65,99 %). Hasil yang didapatkan menurut klasifikasi cacat WHO (1988) adalah cacat mata:


(30)

tingkat 0 (95,32 %), tingkat I (3,56 %), tingkat II (1,12 %), cacat tangan: tingkat 0 (54,90 %), tingkat I (12,58 %), tingkat II (32,53 %) dan cacat kaki: tingkat 0 (50,99 %), tingkat I (30,36 %), tingkat II (18,65 %).

Selain itu juga berdasarkan abstrak penelitian yang disampaikan oleh Unarat (2000) dengan judul Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra pada daerah pusat lepra lima Nakhon Ratchasima di daerah pusat lepra lima provinsi Nakhon Ratchasima. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari jumlah responden yang berjumlah 54 orang terdapat sekitar 98,18 % pasien lepra mempunyai hal konsep diri positif dan 72,2 % tingkat mutu hidup lemah atau miskin dalam hal hubungan sosial. Wawancara yang mendalam mengungkapkan tekanan pada pasien akibat dari kelainan bentuk fisik akibat penyakit dan cacat diri pasien lepra akan mengakibatkan kekurangan dalam berinteraksi sosial. Korelasi antara konsep diri dan mutu hidup kuat dan positif yaitu dengan nilai r = 0,30 dan p = 0,028. Rehabilitasi mental dan pendidikan kesehatan dapat mempromosikan mutu hidup.

Penelitian di Madura tahun 2001 menunjukan seorang penderita kusta sub klinik manifes menjadi kusta baru pada tahun ke 4, latihan dapat memperbaiki fungsi anggota gerak yang mengalami deformitas. Penelitian di Liponsos tahun 1977 mengungkapkan bahwa senam pernafasan Satria Nusantara memperbaiki fungsi saraf perifer sehingga mengurangi hipoanestesi dan titik luka. Di indonesia studi penderita kusta dengan kecacatan masih kurang. (Buletin penelitian kesehatan, 2006)

Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang masih belum dapat diatasi secara tuntas, salah satu kendalanya adalah masih adanya anggapan yang keliru dari masyarakat yang menganggap penyakit kusta sebagai kutukan Tuhan, penyakit keturunan akibat guna-guna, sangat menular, dan tidak dapat disembuhkan sehingga banyak penderita kusta tidak mau


(31)

melakukan pengobatan atau apabila sudah pernah berobat penderita kurang disiplin dalam menjalani perawatan dan pengobatannya (Kompas, 2003).

Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial, dan ekonomi. Hal ini biasanya timbul akibat pasien kusta tidak ingin berobat dan terlambat berobat sehingga menimbulkan cacat yang menetap dan mengerikan. Hal ini disebabkan karena biasanya manifestasi klinis yang terlihat pada kulit pasien adalah bercak-bercak putih kemerahan, benjolan-benjolan, hidung pelana, telinga memanjang, jari tangan dan jari kaki terputus, terdapat luka-luka, dan adanya bekas amputasi, sehingga memberikan gambaran yang menakutkan, manifestasi klinis tersebut akan menimbulkan perasaan malu, rendah diri, depresi, menyendiri, atau menolak diri, serta masyarakat akan mengucilkan pasien kusta sehingga sulit mencari pekerjaan akhirnya akan menimbulkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.

!

" # #

!

$ %

& # #


(32)

# (

" $

" '

) "

# !

" ' #

"

#

* +

, " # "

#

" "

) * +- ./

! + )

* )

" $ ! # # ,


(33)

* * 2 # * * * +- ./

* # 3445 6

1.2IDENTIFIKASI MASALAH

1. Jelaskan gambaran karakteristik demografi pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang, meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan

2. Jelaskan gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

3. Jelaskan gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

4. Jelaskan gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

5. Jelaskan gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

6. Jelaskan gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

7. Jelaskan gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.


(34)

1 *

* 2 # * * * +- ./ * #

3445

1.4TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN a. Tujuan

1. Tujuan Umum: "

# # * +- ./ * #

3445

2. Tujuan Khusus:

a) Mengidentifikasi gambaran karakteristik demografi pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang. Meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan

b) Mengidentifikasi gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

c) Mengidentifikasi gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

d) Mengidentifikasi gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

e) Mengidentifikasi gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.


(35)

f) Mengidentifikasi gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.

g) Mengidentifikasi gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan cacat kusta dikelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari Tangerang Tahun 2009. b. Manfaat Penelitian

1) Untuk klien :

Penelitian ini dapat memberikan dorongan dan masukan kepada pasien kusta untuk meningakatkan konsep diri dan mengatahui aspek positif yang dimilikinya 2) Untuk institusi :

Hasil penelitian yang dilakukan ini dapat memberikan gambaran konsep diri pada pasien cacat kusta di dikelurahan Karang Sari RW 13, Neglasari Tanggerang. 3) Untuk peneliti :

Penelitian ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk melakukan penelitian lain pada masa yang akan datang.

4) Untuk penelitian akan datang :

Hasil penelitian dapat dijadikan data dasar dalam pengembangan penelitian lain dengan ruang lingkup yang sama.

5) Untuk program

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinkes kota Tangerang dalam upaya menanggulangi dan mengurangi masalah cacat kusta.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

3 . #

3 . #

3 . #

3 . #

02 6 '$# # $ '$

"

' # ! # $

"

'

# 6 '$# # # ' '$ #

' # # '$ 7 6 "

! # ' '

# # ' # #

* #

7 7

%) ) 3448& 7

' $

" " )


(37)

7 # '

* # 7 #

' % !

344:& ; "

7 #

! !

' 7

7 # 7

7 #

$ #

$

a. Dimensi-dimensi citra diri #

! " $ ; 0 6 0

'6

7 ) # 7 %

& #

# $

# 0

6 0


(38)

#

# $ # 0

6 $ " $

# 6

" 6 # $

# " "

" #

' #

7 '

#

b. Peranan citra diri

Citra diri secara umum memberikan gambaran tentang siapa seseorang itu, ini tidak hanya meliputi perasaan terhadap diri seseorang melainkan mencakup tatanan moral dan sikap idea dan nilai-nilai yang mendorong orang bertindak atau sebaliknya tidak bertindak. Oleh karena citra diri itu berebeda dari orang ke orang maka citra diri dapat dianggap sebagai penunjuk pokok keunikan individu dalam bertingkah laku. Citra diri sebagai system sikap pandang terhadap diri seseorang dan merupakan dasar bagi semua tingkah laku, dijelaskan secara langsung oleh Ariety (1967) bahwa”the self-concept is


(39)

basic in all behavior.”bahwa citra diri juga menentukan tingkah laku untuk masa depan seseorang terungkap dalam pernyataan Eisenberg dan Delaney.

Kaitannya dengan hubungan antar pribadi, Ariety menjelaskan lebih lanjut bahwa perasaan, ide, pilihan-pilihan, tindakan manusia, mencapai perkembangan setinggi-tingginya dalam suasana hubungan sosial tetapi kuncinya terletak pada kedalaman hubungan pribadi, jika hendak ditemukan bentuk-bentuk sehat mental dan sakit mental dalam dialog antarpribadi yang baik maka yang terdapat dalam diri individu yang sudah lama terbentuk itulah yang terpenting guna memulai dialog. Dalam uraian Ariety ini terungkap kesan bahwa peranan khusus citra diri adalah menunjukan gambaran mental individu yang sehat dan yang sakit dan dapat diketahui melalui dialog antarpribadi.

3 3 3 3 3 3 3 3

* #

"

#

* 7

* "

7 *


(40)

7 # " " !

) ' #

" " '

'

* 7 ';

1. Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang bersahabat. 2. Mampu berfikir dan membuat keputusan

3. Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan

* 7 7

7 ) 7

7

' ' *

' '

'

' $'

;


(41)

Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia dimana perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang dipujanya, sedangkan remaja dan kematangannya terlambat yang diperlakukan seperti kanak-kanak merasa tidak dipahami sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri, sedangkan masa dewasa konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan dan pada usia tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun sosial (Febri, 1994:66)

b. Pendidikan

Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan meningkatkan prestasinya. Jika prestasinya meningkat maka konsep dirinya akan berubah (Febri, 1994:66)

c. Status sosial ekonomi

Status sosial seseorang memengaruhi bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat memengaruhi konsep diri seseorang, penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukan bahwa mereka memiliki konsep diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi


(42)

rendah. Hasilnya adalah 51% anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri yang tinggi, dan hanya 38% anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri rendah (Pudjijogyanti, 1988:41)

d. Hubungan keluarga

Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan anggota keluarganya akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama, bila tokoh ini sesama jenis maka akan mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya

e. Orang lain

Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu, bagaimana anda mengenal diri saya akan membentuk konsep diri saya, Sullivan (dalam Rakhmat, 2005:101) menjelaskan bahwa individu diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila orang lain selalu meremehkan dirinya, menyalahkan, dan menolaknya ia akan cenderung tidak menyenangi dirinya. Miyamoto dan Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005:101) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain terhadap dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain, ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya harga diri sesuai dengan penilaian orang lain terhadap dirinya.


(43)

f. Kelompok rujukan (Reference group)

Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:105) cirri orang yang memiliki konsep diri negative ialah peka terhadap kritik, responsive sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak diperhatikan, dan bersikap psimis terhadap kompetisi, sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal:

1. Kemampuan mengatasi masalah 2. Merasa setara dengan orang lain 3. Menerima pujian tanpa rasa malu

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat

5. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

# % + 3444;.48& ..

';

1. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya. Walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tapi ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menujukan ia salah.


(44)

2. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

3. Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.

4. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.

5. Merasa sama dengan orang lain sebagai manusia tidak tinggi atau rendah. Walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.

6. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.

7. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah.

8. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.

9. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan dari perasaan marah, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam juga.

10. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu.

11. Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.


(45)

( " % 3448;./:& ! ;

1. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan positif dan perasaan berharga.

2. Kompetensi, dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain

' 7

* ' 7

' # " "

7 ' # ' 7

' #

" 7

+ #

7 #

3 / * 3 / * 3 / * 3 / *

1. Gambaran diri atau citra tubuh (body image)

1 7

' %) ! 344<&


(46)

( # $' # ;

% &

'

'

# ) $

;

1) Operasi.

=

2) Kegagalan fungsi tubuh. )

' '

3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh

) " " !


(47)

) ; ' #

' ' #

5) Perubahan tubuh

"

' ' *

" "

6) Umpan balik interpersonal yang negatif

#

7) Standar sosial budaya.

$

7

" " ;

1) Shock psikologis )

" )


(48)

2) Menarik diri * "

# * "

' 7

!

3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap )

# ) '

# ;

# # #

# #

$ ;

a. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol pada usia remaja

b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin sekunder (mamae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu), menjadi gambaran diri.

c. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis

d. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi rasa aman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri.


(49)

e. Individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat mendorong sukses dalam kehidupan.

Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya, menerima stimulus orang lain. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya dapat mengubah citra tubuh secara dinamis, persepsi orang lain di lingkungan klien terhadap tubuh klien turut mempengaruhi penerimaan klien pada dirinya.

2. Ideal diri (self ideal)

7 # $#

$ #

$

) " ! 7

$

" '

'

' " !

7 # "

# #

$ 7


(50)

' $' ;

a. Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan

b. Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain c. Hasrat melebihi orang lain

d. Hasrat untuk berhasil

e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis f. Hasrat untuk menghindari kegagalan g. Adanya perasaan cemas dan rendah diri

3. Harga diri (self esteem)

7 # #

" 7

# 7

7 #

, ' $'

;

1) Perkembangan individu

( "

#


(51)

"

#

" ! )

2) Ideal Diri tidak realistis 7

#

# $# >

# 7

#

3) Gangguan fisik dan mental

1 7

4) Sistem keluarga yang tidak berfungsi ?

? '

$ "

'

5) Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual. '


(52)

+

' '

( ;

#

; !

$ 7

' @

" #

" 0 6

"

# $# $

#


(53)

# 7 !

" " #

# !

'

# ;

a. Memberikan kesempatan untuk berhasil b. Memberikan pengakuan dan pujian

c. Mananamkan gagasan yang dapat memotivasi kreativitas seseorang untuk berkembang d. Mendorong aspirasi atau cita-citanya

e. Menanggapi pertanyaan dan pendapa tdengan cara member penjelasan yang sesuai

f. Memberikan dukungan untuk aspirasi yang positif sehingga seorang memandang dirinya diterima dan bermakna

g. Membantu pembentukan koping.

4. Peran diri (self role)

Peran diri adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dihubungakan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan.


(54)

Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri.

Faktor predisposisi gangguan peran meliputi: transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat-sakit, ketegangan peran ketika individu menghadapi dua harapan yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi, keraguan peran ketika individu kurang pengetahuannya harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran yang sesuai dan peran yang terlau banyak

Konflik peran terjadi apabila peran yang diinginkan individu sedang diduduki individu lain. Peran yang tidak jelas terjadi apabila individu diberikan peran yang tidak jelas, sesuai perilaku yang diharapkan. Peran yang tidak sesuai terjadi apabila individu dalam proses peralihan mengubah nilai dan sikap. Peran berlebih terjadi jika seorang individu memiliki banyak peran dalam kehidupannya.

Menurut Stuart dan Sundeen (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu terhadap peran, sebagai berikut:

a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran

b. Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap perannya c. Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya

d. Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku

e. Pemisahan situasi yang akan menciptakan penampilan peran yang tidak sesuai

) " 7 $

'

" ;


(55)

1) Transisi Perkembangan

Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri.

2) Transisi Situasi

Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau pera berlebihan

3) Transisi sehat sakit )

, # '

'

# %) 3449&

5. Identitas diri (self identity)

7

7 7 !

#


(56)

* % &

# ;

' #

( ; #

" $

#

2 $

# 7 ' ;

a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah dari orang lain b. Mengakui jenis kelamin sendiri

c. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat

e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang f. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan


(57)

, ) ) %3448& ' $' ( $'

? %) ' # ? &

%) ' # &

1. Pengaruh perkembangan

Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

2. Orang yang terpenting atau terdekat (Significant Other)

Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi

3. Persepsi diri sendiri (Self Perception)

Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek


(58)

yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. (Salbiah. dunia psikologi, 2008).

, ! < ;

3 . 3 . 3 . 3 .

, !

,, !!

, !


(59)

, ! #

* #

*

# #

% A 344<&

3 < 3 < 3 < 3 <

( '

*

" 7 '

! #

"

! %) ) .55.&

1. Memperluas kesadaran diri (ekspanded self-awareness) 2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-eksploration)


(60)

3. Mengevaluasi diri (self-evaluation) 4. Perencanaan realistis (realistic planning)

5. Tanggung jawab bertindak (commitment to action)

2.6Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan

) ' # #

'

7

" ! ?

# ' # # #

) ' # # '

" / ;

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu sesorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu


(61)

Memahami sesuatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahuinya.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya pada situasi yang lain. d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut sudah bisa membedakan, mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut. e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu

2. Sikap (Attitude)

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan pendapat atau emosi yang bersangkutan. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk


(62)

bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Komponen pokok sikap menurut Allport (1954) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap mempunyai tingkatan berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek)

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi disini adalah memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi

c. Menghargai (valuing)

Manghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan mengajak, mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakininya


(63)

Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

a. Praktik terpimpin (guided response)

Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi tergantung pada tuntutan.

b. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila subjek telah melakukan sesuatu hal secara otomatis maka disebut tindakan mekanis.

c. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu tidakan yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah dilakukan modifikasi perilaku yang berkualitas. (Notoatmodjo, 2005).

2.7Pengertian cacat tubuh

' # # - ? %.594&

#

; ' # # # #

# ' #

; # # % ' & ' '


(64)

# ; 7 ' 7 7 '

7 ' ' '

% B # # ' # & ' 7 6

% C # # ! # .594;:5$<4&

$

" # #

" #

$ ?

# # ' " #

$ "

7 $ 7

! %.598;.& ' # # % & ;6 ! ' '

! ' 6)

! # #

" # #


(65)

* % 344/& # #

# # # #

7

" 7 2 #

# # ' +

' % &

%) 3444&

2 # % .555&

# # '

'

a. Jenis-jenis cacat tubuh

" # #

. %) 3444& ;

1. Penderita tunadaksa D ialah orang yang menderita cacat polio atau lainnya, sehingga mengalami tidak normalnya fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot. Pada umumnya penderita ini mempunyai kemampuan kecerdasan yang normal.

2. Penderita tunadaksa D1 ialah orang yang menderita cacat akibat kerusakan otak karena tidak berfungsinya otak, seperti penderita cerebral palsy yang mengakibatkan kelumpuhan, kekakuan dan kurangya koordinasi motorik. Karena ada gangguan pada otak, maka sebagian besar dari penderita ini mempunyai kemampuan kecerdasan yang


(66)

tidak normal (dibawah rata-rata atau terbelakang). Dalam sampel penelitian ini penulis mengkhususkan pada penderita tunadaksa D.

b. Derajat kelainan fisik

# ' ;

1. Kelainan pada separuh badan: tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri

2. Kelainan pada kedua buah tangannya 3. Kelainan pada kedua buah kakinya

4. Kelainan pada tangan kanan dan kaki kiri 5. Kelainan pada tangan kiri dan kaki kanan

6. Kelainan pada ketiga anggota badan (kedua tangan dan sebuah kaki, atau kedua kaki dan sebuah tangan

2 # " #

% .555& ;

1. Menurut sebab cacatnya : 1) Cacat sejak lahir

2) Cacat disebabkan penyakit 3) Cacat disebabkan kecelakaan 4) Cacat disebabkan perang 2. Menurut jenis cacatnya :

1) Putus (amputasi tungkai dan lengan)

2) Cacat tulang sendi dan otot pada tungkai/lengan 3) Cacat tulang punggung


(67)

4) Cerebral palsy

5) Dan lain-lain termasuk pada cacat tubuh orthopedic 3. Menurut berat ringannya cacat :

1.) Cacat ringan adalah mereka yang dapat melakukan seluruh kegiatan hidup sehari-hari

2.) Cacat sedang adalah mereka yang dapat melakukan sebagian besar kegiatan hidup sehari-hari

3.) Cacat berat adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian besar atau seluruh kegiatan sehari-hari

!

# # # #

c. Cacat tubuh pada penderita kusta

> ! .599 .558 !

' # #

$ ;

1) Pada wajah berupa muka seperti topeng (mask face) kelopak mata tidak menutup sempurna (lagopthalmus), alis mata tidak ada (madarosis), kulit wajah keriput seperti orang tua (wrinkling/sagging face), pangkal hidung cekung (saddle hole), daun telinga membesar (megalobule), ulkus kornea, kekerutan kornea, gangguan penglihatan atau penurunan visus, fotofobia pada kasus iritis atau iridociclitis.

2) Pada tangan berupa jari-jari tangan kontraktur (claw hand), jari-jari tangan hilang (mutilasi), jari-jari tangan memendek tetapi masih tampak sisa kuku (absorpsi), ibu jari


(68)

tidak dapat diluruskan (claw thumb), otot-otot di dorsum manus antara jari satu dan dua terlihat kolong (athrophy web), gerakan dorsofleksi pergelangan tangan tidak ada (drop hand), kekakuan pergelangan tangan sehingga tidak dapat digerakan (wrist drop).

3) Pada kaki berupa kaki tidak dapat dorsofleksi (foot drop), jari-jari kaki menekuk ke bawah (claw toes), tampak luka pada kaki (ulkus plantaris), bentuk kaki pendek (absorpsi), luka pada daerah tungkai bawah akibat vaskularisasi kurang (static ulcer)

- ? .599 .558

' # # ;

1. Tangan dan kaki

1) Tingkat 0 : tidak ada anestesi, tidak tampak deformitas dan kerusakan 2) Tingkat I : terdapat anestesi tetapi tidak tampak, Deformitas dan kerusakan

3) Tingkat II : tampak deformitas/kerusakan (adanya ulkus, absorpsi, disorganisasi, kekakuan sendi dan mobilisasi

2. Mata

1) Tingkat 0 : tidak ada masalah dengan mata akibat kusta dan tidak ada kelainan visus

2) Tingkat I : adanya problem mata akibat kusta tetapi visus tidak terlalu buruk, masih lebih dari 6/60

3) Tingkat II : adanya problem mata akibat kusta dan visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pemeriksa dari jarak enam meter.

d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta

, % ) 344.& #


(69)

) " % ) 344.& !

"

$ '

#

# " ' "

%) 344.&

"

3 9 3 9 3 9 3 9

* % , &

' , # % 3444&

' " % *

C , A 3443&

a. Jenis-jenis penyakit kusta

+ C %.584& * * (

* 7 344.

# ;

1. TT: tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin berubah 2. Ti: Tuberkoloid indefinitif, bentuk yang labil


(70)

3. Borderline tuberculoid, bentuk yang labil 4. BB: Mid borderline, bentuk yang labil

5. BL: Borderline lepromatous, bentuk yang labil 6. Li: Lepromatosa indefinite, bentuk yang labil 7. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

# #

# <4D

<4D

$ #

% & " #

1 "

' @

' ' *

# ' #

! " ;

1. Hipopigmentasi karena stratum basal yang mengandung pigmen rusak

2. Hipoanestesi karena ujung-ujung saraf rusak, adanya anhidrase karena kelenjar-kelenjar keringat rusak, kadang rambut rontok karena kerusakan dipangkal rambut

3. Batas tegas karena kerusakan terbatas (Marwali Harahap, 1990).

% & "


(71)

# % &

% ' 7 &

# ' " " ) ' "

' # ! "

! " " ! " %

' # &

% & " ' '

, - ? "

% &

b. Penyebab penyakit kusta

, #

' 1 ,

, ! #

.3$3. :4 :4

* $ <$.<D ,

5<D #

%<D& # E4D /4D

" % + 344<& ' ;

1. Patogenitas kuman penyabab 2. Cara penularan


(72)

4. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan 5. Keadaan sosial ekonomi

6. Sumber penularan 7. Daya tahan tubuh

) # !

! )

"

' 7

* '

" C )

,

" %

& * , #

# )

" )# ! '

) #

' )# !

" %# & "

, 7


(73)

c. Tanda dan gejala penyakit kusta

, ' " "

" # ' "

" "

1 "

, ,

' ' ;

1) Kulit dengan bercak putih kemerahan dengan mati rasa

2) Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan kelemahan pada otot tangan, kaki, dan mata

3) Adanya kuman tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit BTA positif

'

' + C "

;


(74)

Lesi ini mengenai kulit maupun saraf, lesi kulit bias satu atau beberapa, dapat berupa macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan ditengah. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis, gejala ini dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.

2. Tipe borderline tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa macula anestesi atau plak yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tepi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid, gangguan saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik, biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal. 3. Tipe borderline-borderline (BB)

Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk diformik dan jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltrate, permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe borderline lepromatous (BL)

Secara klasik lesi dimulai dengan macula, awalnya hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Macula disini lebih jelas dan


(75)

lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah, lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir didalam infiltrate lebih jelas dibanding pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tandakerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi di kulit.

5. Tipe lepromatous-lepromatous (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.

Bila penyakit ini menjadi progresif, macula dan papula baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plak dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot pada tangan dan kaki. Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak


(76)

termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta adalah tipe indeterminate (I), tipe ini ditandai dengan jumlah lesi sedikit, asimetrik, macula hipopigmentasi dengan sisik yang sedikit, kulit sekitar normal, lokalisasi biasanya dibagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologik didapatkan basil atau terdapat infiltrat di sekitar saraf. Pada 20-80% kasus penderita kusta didapatkan tipe ini merupakan tanda pertama dan sebagian besar akan sembuh spontan.

, ' ;

1. Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan 2. Tulang rawan: epistaksis, hidung pelana

3. Tulang dan sendi: absorbsi, mutilasi arthritis 4. Lidah: ulkus, nodus

5. Laring: suara parau

6. Testis: epididimitis akut, orkitis, atrofi 7. Kelenjar limfe: limfadenitis

8. Rambut: alopesia, madarosis

9. Ginjal: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial 7 % &

' , #

' ' 7


(77)

1. Nervus auricularis magnus

2. Nervus ulnaris: anestesi dan paresis atau paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV 3. Nervus peroneus komunis: kaki semper (drop foot)

4. Nervus medianus: anestesi dan paresisn atau paralisis otot tangan jari I, II, III dan sebagian jari IV. Kerusakan Nervus Ulnaris dan Nervus Medianus menyebabkan jari tangan keriting (claw finger), tangan cakar (claw hand)

5. Nervus radialis: tangan lunglai (drop wrist)

6. Nervus tibialis posterior: mati rasa telapak kaki, jari kaki keriting (claw toes) 7. Nervus facialis: lagoftalmus, mulut mencong

8. Nervus trigeminus: anestesi kornea

d. Pengobatan "

# # # # "

! 7

' ' ) "

.5EE - ?

' ' )

" ?

.59. - ? ) 1 2 ' #

, %, &


(78)

) " " .593 - ?

B 2 , 1 7 % .59.&

) + '

A. Obat-obat antikusta 1. Sulfon

a. Dapson (4,4’-diamino difenil sulfon, DDS).

Hal-hal yang penting mengenai dapson adalah sebagai berikut: 1) Merupakan dasar terapi untuk kusta

2) Bersifat bakteriostatik, terapi cara kerjanya tidak diketahui. Dosis 100 mg bersifat bakterisidal lemah. Merupakan suatu inhibitor kompetitif PABA dan berhubungan dengan metabolisme asam folat tetapi sensitivitas M. Leprae yang unik terhadap depson menimbulkan perkiraan adanya mekanisme lain yang terlibat.

3) Aman, mudah didapat dan harganya murah

4) Efek samping depson sebagai berikut: dapat timbul anemia, obat harus dihentikan bila hitung total sel darah merah kurang dari 3,5 juta /mm3. Jarang timbul anemia setelah terapi 4 bulan, dapat terjadi sianosis, gangguan gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai oleh anoreksia dan vomitus. Dalam hal ini obat dapat dihentikan sementara, psikotik merupakan komplikasi yang serius tetapi jarang ditandai oleh insomnia, mudah terangsang dan irritable. Dalam hal ini obat perlu dihentikan, keterlibatan ginjal ditandai dengan albuminuria, erupsi


(79)

kulit bervariasi dari ras morbiliformis sampai pemfigoid berat, fixed drug eruption, dermatitis eksfoliativa, eritema multiforme, toksik epidermal nekrolisis (TEN).

b. DADDS (diasetil-diamino-difenil-sulfon)

Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuscular 225 mg dapat aktif sampai lebih dari 2 bulan. Dapat digunakan di lapangan, titer plasma dengan suntikan lebih rendah daripada dapson oral dan terapi yang lama dapat menimbulkan resistensi, karenanya obat ini tidak boleh digunakan sebagai obat tunggal. Sebagai tambahan untuk terapi oral, diberikan satu injeksi tiap 8-10 minggu. DADDS sering digunakan oleh leprolog Amerika Latin, terutama pada penderita yang diragukan kepatuhannya dalam meminum obat. Profilaksis DADDS ini efektif bila disupervisi dengan baik.

2. Rifampisin

Hal-hal yang penting mengenai rifampisin: suatu derivate semisintetik produk fermentasi Streptomyces mediterranei, kerjanya melalui inhibisi sintesis RNA bakteri, merupakan antikusta yang paling potensi menurunkan indeks morfologi pada kusta lepromatosa menjadi 0 dalam 5 minggu bersifat bakterisidal, dosis tungggal rifampisin 600 mg akan membunuh 99,9 % M. Leprae dalam beberapa hari sehingga penderita menjadi tidak infeksius lagi, rifampisin harus diminum sebelum makan, umumnya obat dapat ditoleransi dengan baik, berbagai kasus resisten telah dilaporkan karenanya obat ini tidak boleh diberikan secara tunggal, tidak direkomendasikan pada kehamilan trisemester I, hambatan bagi negara-negara berkembang adalah harganya


(80)

mahal. Efek samping terdiri dari: hematuria, erupsi kulit umumnya berupa papula-papula eritematosa dan kadang-kadang sindrom Steven Johnson, pusing lemah, gangguan gastrointestinal, pruritus, flu like syndrome, gagal ginjal, nafas pendek, syok, dan purpura

3. Klofazimin (B663, Lampren)

Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin, kerjanya melalui interaksi dengan DNA mikobakteria, bersifat bakteriostatik dan bakterisidal lemah, sifat antikustanya mirip dengan dapson tetapi sedikit lebih lambat, menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri yang perlahan pada M. Leprae dengan berikatan pada DNA bakteri, harus diminum pada waktu makan atau dengan segelas susu, penting bagi penderita dengan resistensi terhadap dapson. Efek samping terdiri dari: terjadi diskolorisasi yang reversible dari ungu sampai coklat kehitaman pada kulit, efek ini berhubungan dengan dosis , pigmen pada lesi kusta berwarna keabu-abuan sampai hitam, nyeri abdominal, mual, diare, dapat dikurangi dengan minum obat saat makan, kekeringan kulit, fisura terutama pada tulang kering, dapat dikontrol dengan minyak, dapat menyebabkan eksaserbasi pada permulaan terapi.

4. Protionamide dan Etionamide

Keduanya mempunyai efek bakterisidal, efek keduanya hamper sama dan dapat dipertukarkan, resistensi silang sering terjadi, digunakan bila klofazimin tidak dapat diberikan, dosis etionamide 500 mg/hari, protionamide 250-375/hari. Efek samping terdiri dari: hepatitis 40%, tetapi protionamide lebih kurang toksik diantara kedua obat tersebut, intoleransi terhadap obat ini tinggi


(81)

pada orang-orang Asia terutama pada orang Cina, oleh karena dapat menyebabkan hepatotoksik terutama bila dikombinasi dengan rifampisin, WHO Expert Committee on Leprosy merekomendasikan bahwa kedua obat tersebut sebaiknya tidak dipakai sebagai komponen MDT di lapangan kecuali terpaksa.

B. Prinsip MDT (Multi Drug Therapy = pengobatan kombinasi)

Manajemen penyakit kusta yang tepat memerlukan pengetahuan tentang tujuan terapi, sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan alamiah penyakit. Yang penting, diperlukan kesabaran dan pengertian akan keadaan psikologik penderita. Regimen rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide teori dan suksesnya tujuan pada kondisi lapangan di negara miskin.

1. Keuntungan MDT

a. Mencegah resistensi obat

b. Mengobati penderita dengan resistensi terhadap dapson

c. Menghapus keperluan mengidentifikasi sensitivitas terhadap M. Leprae sebelum terapi

d. Mengubah konsep diri terapi jangka panjang yang hanya mencegah perluasan penyakit ke terapi jangka pendek yang menyembuhkan penyakit

e. Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95% f. Mencegah deformitas secara lebih efisien

g. Menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya h. Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius


(82)

i. Mengurangi biaya jangka panjang pada program control kusta 2. Regimen MDT-Standar WHO

Regimen MDT pausibasiler yang diobati dengan regimen ini adalah penderita yang termasuk dalam klasifikasi TT, BT menurut Ridley Jopling atau I dan T menurut klasifikasi Madrid yang bakterioskopik negative sedang apabila bakterioskopik positif digolongkan ke dalam multibasiler

Setelah pengobatan dihentikan (Release From Treatment/RFT atau Completion Of Treatment/COT), penderita masuk dalam masa pengamatan yaitu penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila selama masa tersebut tidak ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release From Control/RFC)

C. Obat-obat baru

Dalam 5 tahun terakhir terdapat perkembangan obat-obat antikusta yang baru. Obat-obat ini termasuk 4 fluoroquinolones tertentu, minocycline, clarithromycin. Percobaan klinis pada penderita kusta lepromatos telah dilakukan dan ditegaskan bahwa obat-obat baru ini sangat efektif baik secara klinik maupun mikrobiologik. Penggunaan obat-obat baru (ofloxacin, pefloxacin, siprofloxacin, minocycline dan claritromycine) harus digunakan dengan hati-hati dan tidak boleh digunakan sebagai monoterapi. Dalam waktu dekat obat-obat ini mungkin dapat terbukti penting pada terapi penderita yang intoleran terhadap satu atau lebih obat dari regimen MDT standard atau pada mereka


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu . Psikologi Sosial cetakan kedua. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2002

Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 4. Jakarta: FKUI.

Becker, Marshall H . The Health Belief Model and Personal Health Behaviour. New Jersey : Charles B.Slack. 1974

Buletin penelitian kesehatan. Faktor Sosioekonomi dan Kegiatan Tertentu Yang Berhubungan dengan Derajat Kecacatan dan Kadar Imunoglobulin Penderita Cacat Kusta Bebas Obat di Liponsos Benowo, Surabaya Tahun 2006. Jakarta: Depkes RI

Damayekti, Nurika. Gambaran Konsep Diri Pada Remaja Penyandang Cacat, Skripsi FPsi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2006

Departemen Kesehatan R. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten Tahun 2007. Jakarta. 2008

Ditjen PP&PL. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas 2007. Jakarta : Depkes RI. 2007

Ditjen PP&PL. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta 2002. Jakarta: Depkes RI. 2002 Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes RI. 2007 Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 2002

Hidayat, Aziz alimul. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah edisi 1. Jakarta : Salemba Medika. 2003

Hidayatullah, Sayful. Gambaran Konsep Diri Waria, Skripsi Fpsi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008

Katagori, Yusnita. Gambaran Self-Esteem Remaja Yang Berperilaku Konsumtif Dalam Pembelian Aksesoris, Skripsi Fpsi-UIN Syarif Hidayatullah. 2006


(2)

Jakarta : EGC. 1998

Keliat, Budi anna. Gangguan Konsep Diri. Jakarta : EGC. 1992 Mappiare, Andi. Pengantar Konseling dan Psikoterapi edisi 1. 2006

Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Notoatmodjo, Sokidjo. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta. 2005 Rakhmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2000

Rahariyani, Dwi luthfia. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : EGC. 2007

Raymond. Kualitatif.

Diunduh dari http://rumahbelajarpsikologi.com. Diakses tanggal 25 november 2009 jam 06:47,

Rusmianingsih, Nining. Gambaran Tingkat Harga Diri Klien Kusta di RSK Sitanala Tangerang Tahun 2003, 2003

Proposal Penelitian FIK-Universitas Indonesia

Sibagariang, Renta nilawati. Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Kusta. Tesis FKM-Universitas Indonesia. 2007

Suliswati. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC. 2005 Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. 2004

Stuart, W. Gail. Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta : EGC. 2006

Unarat. Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra Pada Daerah Pusat Lepra 5, Nakhon Ratchasima.

Diunduh dari http://www.grad.cmu.ac.th/abstract/2000/95/abstract/9505023.htm. Diakses tanggal 21 Februari 2009 jam 15.00, 2000.

Worner, David. Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica. 2000


(3)

PROGRESS REPORT BIMBINGAN SKRIPSI

Nama : Rohmatika NIM : 105104003482 Program Studi : Ilmu Keperawatan

Judul Skripsi : Gambaran Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW13, Tangerang 2009

Dosen Pembimbing : 1. Jamaludin, S.Kep, M.Kep

2. Bambang P. Cadrana, S.KM, MKM

No Hari/Tanggal Kegiatan Paraf

1. Selasa, 10-03-2009 Judul sudah

disetujui 2. Selasa, 17-03-2009 Bab I dan bab II di

revisi, membuat kerangka teori

3. Jumat, 20-03-2009 Bab III perlu

diperbaiki, konsul dengan pembimbing 2

4. Jumat, 03-04-2009 Bab I-III perlu

diperbaiki, penggantian

metode jadi penelitian kualitatif 5. Minggu, 19-04-2009 Bab III diperbaiki

6. Minggu, 03-05-2009 Perbaiki pedoman

wawancara, bab IV direvisi

7. Kamis, 14-05-2009 Melengkapi daftar

isi, tabel dan gambar

8. Sabtu, 13-06-2009 ACC untuk

persiapan seminar proposal


(4)

seminar proposal

10. Selasa, 16-06-2009 ACC untuk maju

seminar proposal 11. Minggu, 19-07-2009 Pengetikan hasil

rekaman cetak miring, Konsul hasil uji validitas 12. 13. 14. 15 16.. Kamis, 10-09-2009 Senin, 05-10-2009 Minggu, 18-10-2009 Minggu, 25-10-2009 Jumat, 06-11-2009 Pembahasan, gabungan hasil penelitian dikaitkan dengan teori, informasi yang diperoleh dicantumkan, pengetikan

kata-kata salah dan kurang diperbaiki Perbaikan hasil penelitian, pembahasan dan saran Perbaikan BAB VII, ACC maju

sidang Revisi abstrak, tanda tangan ACC

sidang ACC untuk sidang

skripsi

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II


(5)

(6)