Kedudukan Yuridis Tanah Wakaf Dalam Hal Terjadinya Pembubaran Yayasan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

AI-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rajawali, 1989.

Al-Waqf fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah Mansyurat al-Maktabah al-Haditsah, Beirut, t.th.

Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.

Basyir, Ahmad Azhar, Wakaf, Ijaroh, dan Syirkah, Bandung: al-Ma’arif, 1987. Chatamarrasjid, badan hukum yayasan (suatu analisis mengenai yayasan sebagai

suatu badan hukum), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004.

Djatmika,Rahmat, Wakaf Tanah, Surabaya: Al- Ikhlas, 1983.

Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichfiar Baru Van Hoeve, 1997.

Hasyimi Bnk, Sayyid Ahmad Al, Mukhratul Ahadist An-Anabawiyah Ahmad lbnu Nabhan, Surabaya.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Juwana, Hikmahanto, Pengelolaan Yayasan di Indonesia, Jurnal Renvoi (Agustus 2003.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.


(2)

Muhammad ibn Ali bin Muhammad al-Shaukani, Nayl al-Awtar Kairo: Mustafa al-Bab al-Halan, tanpa tahun), Vol. III.

Muis, Abdul, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Membuka Pelung Yayasan Berkarakter Komersial, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Sosialisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, diselenggarakan oleh Kerjasama Fakultas Hukum USU dengan Paguyuban Marga Tionghoa Sumatera Utara di Polonia Hotel pada tanggal 22 Juni 2002.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf Dan Shodakoh, Bandung: Mandar Maju, 1997.

Nugroho, Eryanto, Undang-undang Yayasan Mempersempit Ruang Gerak Berorganisasi, Jakarta: Koalisi Ornop Untuk RUU Yayasan, 2003.

Peter, R, “Wakf in Classical Islamic Law”, dalam P.J. Bearman, Th Bianquis, dkk (ed), The Encyclopaeadia of Islam, Leiden : Brill, 2002), New Edition, Volume XI.

Pramono, Nindyo, Sertifikasi Saham PT Go Public dan Hukum Pasar Modal di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Ridho, Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Alumni, 1986.

Setiawan, Tiga Aspek Yayasan, Varia Peradilan Tahun V, No. 55 April 1990. Suhardiadi, Ari Kusumaastuti Maria, Ruang Lingkup Pengaturan Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2001, Jurnal Renvoi, Agustus 2003.

Suroso, Nico Ngani, Tinjauan Yuridis tentang Perwakafin Tanah Hak Milik, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Qudama, Ibn, al-Mughni, Beirut ; tanpa penerbit, 1993.

The International Center for Non Profit Law, Handbook on Good Practices for Law Relating to Non Goernmental Organization (Discussion Draft), World Bank, 1997.

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, hal. 29

Tobing, Loemban, G.H.S, Beberapa Tinjauan Mengenai Yayasan (Stichting),

Bahan Penataran Corporation Law Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 1990.


(3)

Tumbuan, Fred B. G, Kedudukan Hukum Yayasan dan Tugas Serta Tanggung Jawab Organ Yayasan, Lokakarya Sosialisasi Undang-undang Yayasan, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Perseroan dan Kenotariatan (PPHN), Jakarta, 14 Agustus 2001.

Untung, Budi, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum Dan Manajemen, Yogyakarta: Andi, 2002.

Widhyadharma, Ignaius Ridwan, Badan Hukum YayasanUndang-undang Nomor 16 Tahun 2001, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001.

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

http://irmadevita.com/2008/pembubaran-yayasan-1. Diakses tanggal 8 Oktober 2010.

Internet

http://irmadevita.com/2008/pembubaran-yayasan-2. Diakses tanggal 8 Oktober 2010.


(4)

BAB III

PENGATURAN YAYASAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004

A. Pembentukan Yayasan

Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua aspek, yaitu:

1. Aspek materiil

a. harus ada suatu pemisahan kekayaan; b. suatu tujuan yang jelas;

c. ada organisasi (nama, susunan dan badan pengurus). 2. Aspek formil, pendiri yayasan dalam wujud akta otentik.50

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang 16 Tahun 2001, yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal. Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perorangan (person) dan badan hukum (artificial person).51

50

Chatamarrasjid, Op. cit., hal. 18.

51

Pengertian artificial person menurut Black’s Law Dictionary adalah “Person creatid and devised by human laws for the purposes of society and government, as disting uished from natural person.”

Artinya hanya bisa didirikan oleh orang perorangan saja atau boleh badan hukum saja. Dengan demikian,

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak memberikan kemungkinan pendirian campuran orang perorangan dengan badan hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya kewajiban dari para pendiri yayasan untuk memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal yayasan.


(5)

Yayasan yang didirikan oleh satu orang perorang, dapat didirikan karena: 1. Kehendak orang yang masih hidup untuk memisahkan (sebagian) harta

kekayaannya sebagai modal awal yayasan; atau

2. Kehendak orang yang masih hidup untuk memisahkan (sebagian) harta kekayaannya sebagai modal awal yayasan yang akan berlaku apabila orang tersebut meninggal dunia dengan mendasarkan pada surat wasiat. Dalam hal ini, penerima wasiat akan bertindak mewakili pemberian wasiat. Pendirian yayasan dengan surat wasiat ini memungkinkan berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UUY.

Undang-Undang Yayasan juga memberikan kemungkinan bagi pendiri yayasan dalam rangka pembuatan akta pendirian yayasan untuk diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa (Pasal 10 ayat 1 UUY). Pemberian kuasa tersebut dimaksudkan karena pada prinsipnya si pendiri harus hadir pada saat pembuatan akta pendirian, namun apabila ia berhalangan maka ia dapat diwakili oleh orang lain dengan membuat dan memberikan surat kuasa yang sah. Dalam hal yayasan didirikan dengan surat wasiat, penerima wasiat akan bertindak mewakili pemberian wasiat, dan karenanya ia, atau kuasanya, wajib menandatangani akta pendirian yayasan.

Penerima wasiat bertindak mewakili pemberi wasiat, hal ini merupakan konsekuensi logis, karena pemisahan harta kekayaan si pemberi wasiat baru terjadi pada saat si pemberi wasiat meninggal dunia, dan pada saat itu ia tidak dapat hadir dan sudah tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum untuk mendirikan yayasan, sehingga kepentingannya diwakili oleh sipenerima wasiat (yang masih hidup). Dalam hal surat wasiat tersebut tidak dilaksanakan, maka atas


(6)

permintaan pihak yang berkepentingan, Pengadilan dapat memerintahkan ahli waris atau penerima wasiat yang bersangkutan untuk melaksanakan wasiat tersebut.52

52

Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Sebagaimana halnya suatu tindakan atau perbuatan hukum di bidang perdata, tindakan atau perbuatan hukum pembuatan akta pendirian yayasan dapat dikuasakan oleh pihak yang berkehendak mendirikan yayasan (pendiri) kepada pihak lain untuk hadir dan menghadap di hadapan notaris yang bertugas untuk membuat akta pendirian yayasan tersebut. Meskipun undang-undang tidak mensyaratkan bentuk pemberian kuasa, namun sebaiknya pemberian kuasa tersebut dibuat secara tertulis.

Mengenai pemisahan harta kekayaan pribadi para pendiri dalam bentuk uang atau benda sebagai modal awal yayasan, undang-undang menentukan adanya persyaratan tertentu. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Yayasan, persyaratan jumlah minimum harta kekayaan awal dalam bentuk uang atau benda yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri sebagai modal awal yayasan dicantumkan dalam anggaran dasar.

Apabila yayasan didirikan oleh lebih dari satu orang (baik orang perorangan atau badan hukum) dan memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka yayasan tersebut merupakan perjanjian. Pendirian yayasan tidak sama seperti pendirian badan usaha lain seperti perseroan terbatas, perseroan komanditer, firma dan persekutuan perdata, di mana badan usaha tersebut sudah pasti merupakan perjanjian diantara para pemilik modalnya.


(7)

Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa akta pendirian yayasan harus dibuat dengan akta notaris.53

Pendirian yayasan harus dilakukan melalui akta notaris, sehingga akta pendirian merupakanakta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Hal ini merupakan syarat mutlak bagi pendirian (bestaan svoorwaarde) suatu yayasan, sehingga syarat-syarat formalitas keotentiksitasnya suatu akta notaris, yakni pembacaan akta oleh notaris, penandatanganan minuta akta di wilayah kerja notaris dan dalam waktu dan tanggal tertentu, mutlak harus dipenuhi, dan apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka pendirian yayasan dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar; voidable). Dalam hal akta pendirian tersebut tidak dibuat di hadapan notaris Indonesia dan tidak dibuat dalam bahasa Indonesia, maka pendirian tersebut batal demi hukum (nietig; nul and void).

54

1. Anggaran Dasar; dan

Menurut Pasal 14 ayat (1) UUY, akta pendirian yayasan memuat:

2. Keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu.

Tata cara pendirian yayasan sebagaimana di atur dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Yayasan Nomor 28 Tahun 2004, para pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian yayasan secara tertuliskepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

53

Pasal 9 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan

54

Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, persyaratan agar suatu akta dapat mememnuhi sebagai akta otentik adalah: (a) akta haus dibuat oleh (door) atau di hadapan (onderstaan) seorang pejabat umum; (b) akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; (c) pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.


(8)

Kewenangan pemberian pengesahan akta pendirian yayasan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia tersebut diberikan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan. Dalam hal pemberian pengesahan tersebut memerlikan pertimbangan dari instansi terkait, maka pengesahan diberikan atau tidak diberikan dalam jangka waktu:

1. Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan diterima dari instansi terkait; atau

2. Setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan kepada instansi terkait tidak diterima.

Apabila permohonan pengesahan tidak diterima (ditolak), maka Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berkewajiban untuk memberitahukan secara tertulis disertai alasannya kepada pemohon mengenai penolakan tersebut, alas an penolakan dimaksud karena permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Yayasan dan/atau peraturan pelaksanaannya. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengesahan akta pendirian yayasan, maka pengurus atau kuasanya wajib mengajukan permohonan pengumuman pendirian yayasan. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUY ditegaskan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum saat akta pendirian yayasan memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

B. Pengelolaan Yayasan

Kehadiran UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba sudah barang tentu akan memberi kepastian hukum yang selama ini tidak ada. Bahkan UU Yayasan


(9)

atau Badan Hukum Nir Laba dapat menjadi dasar untuk menindak apabila terjadi penyimpangan. Hanya saja apabila Undang-undang Yayasan hanya berisi tentang prosedur pendirian belaka atau prosedur-prosedur lainnya, walaupun baik tetapi tidak optimal. Undang-undangYayasan atau Badan Hukum Nir Laba harus berisi pula ketentuan yang dapat memaksa pengurus beserta organ lainnya untuk mengelola yayasan secara profesional dan baik.

Akhir-akhir ini di Indonesia sering didengungkan tentang prinsip

governance. Masalah governance yang berkaitan dengan pemerintahan dikenal dengan istilah good governance, sementara yang berkaitan dengan perusahaan dikenal dengan istilah corporate governance. Walaupun prinsip-prinsip yang dikandung berbeda satu sama lain, namun ada persamaan mendasar diantara keduanya. Persamaan ini terletak pada konsep dasar dari governance yaitu perlunya kontrol berdasarkan aturan terhadap para pengelola, karena stakeholder

yang sangat variatif sulit diharapkan mengkontrol pengurus yang bertanggung jawab atas kegiatan sehari-hari. Dalam good governance yang menjadi

stakeholder adalah rakyat, lembaga legislatif dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah pemerintah (eksekutif). Sedangkan dalam corporate governance yang menjadi stakeholder adalah pemegang saham yang bukan mayoritas, konsumen dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah direksi.

Kontrol terhadap pengelola perlu dilakukan karena bagi pengurus sulit menafsirkan apa yang menjadi keinginan para stakeholder. Hal ini memberi peluang kepada pengelola untuk menjalankan aktivitas yayasan berdasarkan tafsirannya tentang apa yang dikehendaki oleh stakeholder. Peluang menafsirkan


(10)

inilah yang sangat berbahaya apabila tidak ada kontrol karena cenderung disalahgunakan (abuse).

Adapun kontrol yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh para

stakeholder secara langsung. Kontrol dilakukan dengan cara membatasi kewenangan pengurus. Batasan inilah yang disebut sebagai prinsip governance. Dari prinsip governance dilahirkan prinsip-prinsip keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan pertanggung jawaban (responsibility).55

Apabila diperhatikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan,

Pengurus harus memperhatikan prinsip governance ini dalam menjalankan kepengurusan sehari-hari sehingga para stakeholder tidak dirugikan. Agar prinsip governance mempunyai kekuatan hukum dan dipatuhi ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama adalah dengan mengakomodasikannya dalam suatu code of conduct yang bukan peraturan perundang-undangan.

Cara kedua adalah dengan mengakomodasikannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Cara kedua ini mensyaratkan keterlibatan negara (legislatif) dalam hal-hal yang bersifat hubungan perdata. Keterlibatan negara ini didasarkan pada argumentasi bahwa negara harus melindungi pihak yang lemah.

Prinsip governance dapat juga diterapkan dalam pengelolaan yayasan. Tujuan dari penerapan prinsip ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan yayasan sehingga stakeholder dirugikan. Supaya prinsip governance

ini benar-benar dipatuhi, dalam konteks Indonesia perlu ditempuh cara kedua yaitu mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan.

55


(11)

dapat disimpulkan bahwa banyak hal dalam prinsip governance yang telah diakomodasi. Dalam undang-undang telah dipilah-pilah organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus dan Pengawas serta tugas dan tanggung jawab masing-masing.56 Dalam konteks governance hal ini penting mengingat dibutuhkan kejelasan tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan apa (prinsip

responsibility). Bahkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang melarang Pengurus merangkap sebagai Pembina atau Pengawas merupakan hal penting untuk menjaga profesionalisme pengurus.57

Selanjutnya wujud dari diterapkannya prinsip governance dalam Undang-undang Yayasan adalah pengaturan tentang tujuan dari Yayasan yang sangat limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan yayasan adalah dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.58 Bahkan apabila diperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan undang-undang Yayasan disebutkan bahwa, “Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.”59

56

Lihat Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan “Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas: a. Pembina; b. Pengurus; dan c. Pengawas. Selanjutnya organ ini dijabarkan lebih lanjut dalam Bab VI yang berjudul Organ Yayasan.

57

Bunyi lengkap dari Pasal 31 ayat (3) adalah sebagai berikut, “Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.”

58

Secara lengkap Pasal 1 Angka 1 berbunyi sebagai berikut, “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

59


(12)

Penegasan ini menunjukkan bahwa yayasan tidak boleh lagi digunakan untuk tujuan-tujuan yang bersifat komersial. Dalam konteks prinsip governance

hal ini berarti bahwa stakeholder (termasuk para donatur) dapat memastikan bahwa yayasan tidak dijadikan kedok belaka.

Ada dua kritik yang dapat disampaikan sehubungan dengan pengaturan tentang pengaturan tujuan yayasan. Pertama adalah pengaturan tentang tujuan dari yayasan yang tidak diatur dalam pasal tersendiri. Dalam Undang-undang Yayasan pengaturan tentang tujuan dari yayasan hanya diatur dalam pasal definisi. Kritik yang kedua adalah tujuan yayasan yang disebutkan dalam undang-undang belum dilakukan secara tajam walaupun dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa cakupan dari bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan antara lain adalah hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.60

60

Penjelasan Pasal 7 mengatakan sebagai berikut, “Maksud dan tujuan Yayasan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 mempunyai cakupan yang luas antara lain; hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.”

Ketidaktajaman formulasi tentang tujuan yayasan dapat berakibat pada dilakukakannya praktek-praktek masa silam. Apakah sebuah kantor konsultan dibidang lingkungan yang melakukan kegiatannya secara komersial dapat mendirikan yayasan? Hal ini mengingat lingkungan hidup tercakup dalam bidang sosial, agama dan kemanusiaan. Bukankah yang menjadi ukuran untuk menentukan tujuan yayasan adalah pada kegiatannya? Artinya kegiatan yayasan dilihat apakah mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan yayasan seharusnya tidak didasarkan pada bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam undang-undang Yayasan.


(13)

Berikutnya dalam konteks penerapan prinsip governance yang telah mendapat pengaturan dalam undang-undang Yayasan adalah larangan yayasan mendirikan badan usaha yang penyertaannya melebihi dari 25% dari seluruh kekayaan yayasan.61 Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2), ketentuan ini dimaksudkan agar yayasan tidak menyimpang dari tujuan didirikannya dan lebih mengejar aspek komersial.62

Demikian pula dengan prinsip transparansi dari governance yang telah mendapat pengaturan dalam undang-undang Yayasan, yaitu Bab VII tentang Laporan Tahunan. Dalam Pasal 52 ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa ikhtisar laporan tahunan yayasan diumumkan pada papan pengumuman di kantor yayasan.

Walaupun sudah baik, namun kekurangan dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) ini adalah masih dapat digunakannya yayasan sebagai nominee untuk mendirikan perseroan terbatas.

63

Bahkan dalam Pasal 52 ayat (3) ada kewajiban bagi yayasan untuk diaudit oleh Akuntan Publik.64

Di samping hal-hal tersebut diatas dalam Undang-undang Yayasan disana-sini sudah diserap prinsip governance. Seperti apa yang diatur dalam Pasal 35 ayat (2). Pasal tersebut menyebutkan bahwa Pengurus mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.65

61

Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang mengatur sebagai berikut, “Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan ketentuan penyertaan kekayaan Yayasan paling banyak 25% (dua puluh lima) persen dari seluruh kekayaan Yayasan

62

Penjelasan Pasal 7 ayat (2) menyebutkan sebagai berikut, “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar setiap Yayasan mempertimbangkan dengan cermat apabila mendirikan badan usaha. Hal ini untuk menghindari agar Yayasan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan pendirian Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”

63

Lihat: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

64

Pasal 52 ayat (3)

65

Bunyi lengkap dari Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah, “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan


(14)

Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang benturan kepentingan antara Pengurus dengan Yayasan serta pembatasan kewenangan dari Pengurus sehubungan dengan pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan.66 Kemudian Undang-undang Yayasan mensyaratkan keberadaan Pengawas sebagai suatu keharusan.67 Hanya saja dalam ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci bahwa Pengawas haruslah orang yang independen baik terhadap Pengurus maupun Pembina. Sehingga dalam menjalankan tugasnya Pengawas akan bekerja secara profesional. Ketentuan lain yang sesuai dengan prinsip governance adalah kewenangan Pengawas untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus.68

C. Pembubaran Yayasan

Kewenangan demikian penting untuk memberikan “gigi” bagi Pengawas dalam menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan tersebut dikhawatirkan Pengurus akan mengelola yayasan tanpa takut ada sanksi yang dikenakan padanya.

Apakah alasan yang dapat menyebabkan bubarnya suatu yayasan? Suatu yayasan dapat bubar karena:69

1. Alasan sebagaimana dimaksud dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir. Untuk suatu yayasan yang ditetapkan jangka

66

Pasal yang mengatur ketentuan tentang benturan kepentingan adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut, “Setiap anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila: a. terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang bersangkutan; atau b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.”

67

Pasal 40 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi: “Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pengawas yang wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.

68

Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut, “Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan menyebutkan alasannya.”

69


(15)

waktu berdirinya, maka yayasan tersebut akan secara otomatis bubar jika jangka waktu yang sudah ditetapkan berakhir.

2. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai.

Misalnya, ada suatu yayasan yang didirikan khusus untuk memberantas buta huruf di desa tertentu, kemudian seluruh desa tersebut sudah bebas dari buta huruf, dan para pendiri (pembina) sudah merasa bahwa tujuan yayasan tersebut tercapai dan bermaksud untuk membubarkannya, atau sebaliknya.

3. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap berdasarkan alasan:

a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

b. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau c. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utanng setelah

pernyataan pailit dicabut.

Dalam hal Yayasan bubar sebagaimana diatur dalam huruf a dan huruf b, maka Pembina dapat menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Likuidator inilah yang bertugas untuk menghitung seluruh asset Yayasan yang pertama-tama akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban yayasan dan jika ada asset yang masih tersisa, dapat diberikan kuasa dari Pembina (pendiri) atau Pengurus dengan persetujuan pembina untuk melakukan penjualan atas asset-asset tersebut. Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka penguruslah yang dapat bertindak sebagai likuidator


(16)

Pembubaran Yayasan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Pembina yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina dan disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota Pembina yang hadir.

Apabila terjadi

melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam

proses likuidasi yayasan di maksud.

diwajibkan untuk mencantumkan kata-kata “dalam likuidasi” di belakang nama Yayasan. Contohnya: “Yayasan Amanah Bunda (Dalam Likuidasi). mengapa demikian? Hal ini tentu saja untuk memberikan status yang lebih jelas atas yayasan tersebut kepada pihak ketiga.70

Apabila

menunjuk likuidator. Dengan demikian, pihak ketiga yang akan melakukan perbuatan hukum dengan yayasan tersebut ataupun penjualan atas asset-asset yayasan, dapat tetap dilakukan melalui perantaraan likuidator yayasan dimaksud. Dalam hal pembubaran Yayasan karena pailit, berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan.

Ketentuan mengenai penunjukan, pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tugas dan tanggung jawab, serta pengawasan terhadap pengurus, berlaku juga bagi likuidator. Likuidator atau kurator yang ditunjuk untuk melakukan pemberesan kekayaan Yayasan yang bubar atau dibubarkan, paling lambat 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal penunjukan wajib mengumumkan pembubaran Yayasan dan proses likuidasinya

70


(17)

dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia. Likuidator atau kurator dalam jangka waktu paing lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal proses likuidasi berakhir, wajib mengumumkan hasil likuidasi dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.71

sejak tanggal proses likuidasi berakhir wajib melaporkan Pembubaran Yayasan kepada Dewan Pembina yayasan. Dalam hal laporan mengenai pembubaran Yayasan dan pengumuman hasil likuidasi sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan, maka bubarnya Yayasan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Pengaturan mengenai kapan mulai berlakunya pembubaran yayasan tersebut adalah sama dengan pembubaran perseroan terbatas berdasrakan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007, yakni yayasan efektif bubar setelah likuidator selesai melaksanakan proses likuidasi, melaporkan hasil likuidasi tersebut kepada RUPS atau hakim pengawas yang mengangkatnya. Untuk kemudian mengajukan mengenai pembubaran tersebut ke sisminbakum. Bubarnya PT efektif sejak laporan perihal pembubaran PT oleh likuidator tersebut diterima oleh Menteri Hukum dan HAM RI.72

71

Ibid

72


(18)

BAB IV

KEDUDUKAN HUKUM TANAH WAKAF DALAM HAL TERJADINYA PEMBUBARAN YAYASAN

A. Pembubaran yayasan dan akibat hukumnya

Berdasarkan pasal 39, pasal 47 dan pasal 62 Undang-undang Yayasan, yayasan dapat dinyatakan pailit. Dengan dinyatakannya pailit suatu yayasan, maka seluruh kekayaan akan tercakup dalam harta pailit (boedel) dengan pengecualian harta kekayaan yang berasal dari wakaf. Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dari pengurus dan ternyata apabila harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutupi kerugian tersebut, maka sesuai ketentuan pasal 39 Undang-undang Yayasan, anggota pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian pihak ketiga (para kreditor yayasan).

Pengaturan mengenai pembubaran yayasan sangat penting, mengingat yayasan adalah suatu badan hukum. Dengan menyimpulkan ketentuan alinea pertama, pasal 8 Staatsblad 1870 No. 64 Rechtpersoonlijkheid van Vereenigingen dimana pada dasarnya keberadan badan hukum bersifat permanent, artinya suatu badan hukum tidak dapat dibubarkan hanya dengan persetujuan para pendiri dan anggotanya. Dengan demikian, yayasan sebagai badan hukum hanya dapat dibubarkan jika telah dipenuhi segala ketentuan dan persyaratan yang ditetapkan dalam anggaran dasarnya, yang menjadi sumber eksistensi badan hukum tersebut.73

73


(19)

Yayasan dapat dibubarkan hanya dengan alasan-alasan yang dibatasi oleh undang-undang. Adapun alasan pembubaran yayasan sebagaimana diatur dalam pasal 62 Undang-undang yayasan adalah sebagai berikut:

1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir

2. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai

3. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:

a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

b. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau c. Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah

dinyatakan pailit

Sehubungan dengan berlakunya Undang-undang yayasan, maka bagi yayasan yang pada saat undang-undang yayasan ini berlaku:

1. Telah didaftarkan di pengadilan negeri dan diumumkan dalam tambahan berita Negara Republik Indonesia; atau

2. Telah didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait.

Tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya Undang-undang yayasan ini, yakni terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2004, maka yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang yayasan ini. Yayasan tersebut wajib memberitahukan kepada menteri paling lambat satu tahun sejak pelaksanan penyesuaian.


(20)

Apabila yayasan dibubarkan, yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Bila yayasan dibubarkan akibat putusan pengadilan, maka pengadilan dapat menunjuk likuiditor. Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar. Selanjutnya jika hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama, maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan tersebut. Dengan dinyatakan pailitnya suatu yayasan, maka seluruh harta kekayaan yayasan akan tercakup dalam harta pailit (boedel failliet).

B. Status Tanah Wakaf dalam hal Terjadinya Pembubaran Yayasan

Seringkali dipertanyakan siapa sesungguhnya pemilik yayasan. Bila bertolak dari teori badan hukum tentang kekayaan, maka jelas bahwa kekayaan itu tidak ada pemiliknya. Pendiri jelas bukan pemiliknya, karena ia telah memisahkan kekayaannya untuk menjadi milik badan hukum yayasan dan pengurus bukanlah pemilik karena ia hanya diangkat untuk mengurus organisasi yayasan. Dengan demikian, tinggallah kemungkinan bahwa yayasan adalah milik masyarakat.

Bahwa yayasan bukan milik pembina, pengurus, dan atau pengawas terungkap antara lain dari ketentuan pasal 3 dan pasal 5 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang melarang pemberian bagi organ-organ yayasan tersebut, yakni pembina, pengurus, dan atau pengawas.


(21)

(2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, pengurus dan pengawas

Pasal 5 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan:

Kekayaan yayasan, baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, pengurus, pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.

Undang-undang Yayasan secara implisit memperlihatkan bahwa yayasan adalah milik masyarakat. Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan dalam pasal 68 Undang-undang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar

(2) Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan tersebut.

Ketentuan di atas memerlihatkan bahwa kekayaan yayasan adalah milik dari “tujuan yayasan” itu sendiri, yakni masyarakat. Selanjutnya, dapat dikemukakan bahwa pengadilan Alkmaar dalam putusannya tanggal 27 November 1980 (Nederlandse Jurisprudentie 1981 No. 602) tidak mengabulkan perubahan tujuan yayasan yang dimaksud untuk memberi tunjangan kepada kerabat sedarah (ahli waris) dari pendiri yayasan. Dengan demikian, Undang-undang yayasan menegaskan bahwa pemilik yayasan adalah masyarakat dan bukan para pendiri/ Pembina, pengurus, dan atau pengawas.


(22)

Pengelolaan organisasi nirlaba seperti yayasan, tidaklah sama dengan mengelola bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitasnya. Kinerja finansial (return on investment, profit margin, dll) dapat dilakukan relatif lebih murah pada perusahaan. Tetapi bagi yayasan, sekalipun kinerja finansial itu penting, tidaklah mudah untuk menentukannya.74

Sebagaimana telah dijelaskan terlebih dahulu, sumber dana utama yayasan diperoleh dari sumbangan dari pendiri dan donator lainnya yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari yayasan tersebut. Maka, bila sumber penerimaan kas yayasan semata-mata dari donasi atau bantuan menjadikan yayasan tersebut tidak mandiri. Jika suatu saat sumbangan atau bantuan dari para donator tersebut berkurang atau berhenti, maka kegiatan operasional yayasan menjadi terancam. Meskipun yayasan diperbolehkan meminjam dana dari bank, namun injaman tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Ada kemungkinan yayasan akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman (dan bunga), karena kegiatan pokok yayasan belum tentu memberikan cashflow positif. Kalau pinjaman dilakukan untuk menopang kegiatan komersialnya, tentu pinjaman tersebut dapat diperhitungkan dengan prospek atau estimasi pendapatan dari kegiatan komersial. Bila di kemudian hari keputusan pinjaman uang ini menyebabkan yayasan menjadi pailit sehingga pengurus yayasan dianggap melakukan kesalahan, maka konsekuensinya akan ditanggung secara renteng oleh pengurus yayasan, sesuai dengan ketentuan pasal 39 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang berbunyi sebagai berikut:

74

Budi Untung, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum Dan Manajemen, (Yogyakarta: Andi, 2002), hal. 134.


(23)

(1) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalain pengurus dan kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

(2) Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab seara tanggung renteng atas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

(3) Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan yayasan yang menyebabkan kerugian yayasan, masyarakat atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu lima tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi pengurus yayasan manapun. Kepailitan yayasan dilakukan berdasarkan Undang-undang Kepailitan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Bila yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit atau harta kekayaan tidak cukup untuk melunasi hutangnya, maka yayasan tersebut dapat dibubarkan. Ketentuan ini menjadikan beban pengurus yayasan terasa makin berat.75

Sejalan dengan diundangkannya Undang-undang yayasan, banyak muncul kritik terhadap undang-undang ini. Secara umum, timbul dua kritik besar terhadap Undang-undang yayasan dari perspektif gerakan filantropi76

75

Ibid, hal. 136

. Kritik tersebut adalah:

76

Filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya


(24)

1. Undang-undang yayasan mengedepankan sifat kontrol dan intervensi Kentalnya sifat mengontrol dan intervensi dari undang-undang yayasan ini mengemuka dalam beberapa hal, yang dapat dicontohkan di sini yaitu dalam pengaturan mengenai pendirian yayasan dan struktur internal organisasi.

Dalam pendirian yayasan, tidak adanya kemudahan dalam hal proses pendirian sebuah yayasan merupakan salah satu bukti indikator bahwa undang-undang ini kental semangat kontrolnya. Proses pendirian sebuah lembaga filantropi seharusnya dibuat semudah mungkin sehingga akan mengakomodasi secara maksimal keinginan dan harapan dari setiap orang. Hal inilah yang tidak terlihat dalam undang-undang yayasan.

Permasalahan utama pada proses pendirian yayasan ini adalah adanya proses pengesahan dari menteri kehakiman dan HAM (pasal 11 Undang-undang Yayasan). Proses pengesahan ini secara intervensif, juga jelas menghambat lahirnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam pendirian yayasan-yayasan sehingga aspek-aspek mudah, cepat dan biaya ringan tadi tidak dapat tercapai.77

Pendirian yayasan seharusnya dapat dibuat dengan mekanisme yang lebih efektif, yaitu pendaftaran. Proses pendaftaran cukup dengan akta notaris, bukannya proses pengesahan, seperti dilaksanakan di Belanda dan untuk organisasi non profit di beberapa Negara civil law lainnya (Bolivia, Brazil,

diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana unt seorang kaya raya yang sering menyumbang kaum miskin.

77

Eryanto Nugroho, Undang-undang Yayasan Mempersempit Ruang Gerak Berorganisasi, (Jakarta: Koalisi Ornop Untuk RUU Yayasan, 2003), hal. 186.


(25)

dan Italia)78, contoh konkrit dan paling dekat dengan konteks hukum Indonesia adalah Wet op Stichtingen (Undang-undang Yayasan) Negara Belanda. Di dalam Wet op Stichtingen Stb. 327 tanggal 31 Mei 1986 masalah pendaftaran dapat dilihat pada pasal 7 Undang-undang Yayasan yang berbunyi:79

Berdasarkan pasal 7 Undang-undang Yayasan tersebut dapat dilihat bahwa menurut Wet op Stishtingen, dalam melahirkan badan hukum yayasan di Belanda tidak diperlukan adanya pengesahan dari menteri kehakiman melainkan cukup hanya dengan mendaftarkan pada suatu register terpusat yang disediakan

“Pengurus berkewajiban, agar yayasan beserta nama, depan dan tempat tinggal dari pendiri atau pendiri-pendiri dan nama, nama depan dan tempat tinggal pengurus didaftarkan di dalam daftar pusta umum yang disediakan dan lagi pula pengurus harus mengusahakan agar salinan akta pendirian itu diumumkan pula. Selama pendaftaran dan pengumuman yang pertama belum dilaksanakan, adalah di samping yayasan, para pengurus untuk perbuatannya yang dilakukan atas nama yayasan bertanggung jawab tanggung menanggung”.

80

Dibandingkan dengan yayasan di Belanda yang hanya perlu mendaftarkan diri di sebuah register terpusat di Kamer Van koopehendel en Fabrieken, yayasan di Indonesia harus mendapatkan pengesahan dari seorang menteri untuk kemudian diumumkan. Pengaturan yang seperti ini jelas akan mendorong inisiatif-inisiatif masyarakat dalam melakukan aktivitas sosial yang pasti juga akan berdampak positif bagi perkembangan gerakan filantropi.

78

The International Center for Non Profit Law, Handbook on Good Practices for Law Relating to Non Goernmental Organization (Discussion Draft), (World Bank, 1997), hal. 26.

79

Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 117.

80

Registrasi dilakukan pada register umum di Kamar Dagang dan Pabrik (Kamer van Koophandel en Farieken). Lihat Chatamarrasjid, Op. cit, hal. 50.


(26)

kehakiman terlebih dahulu untuk diakui sebagai badan hukum yayasan. Belum lagi jika dilihat dalam Undang-undang Yayasan ada embel-embel “dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait” dalam proses pendirian sebuah yayasan.

Pada struktur internal organisasi, undang-undang yayasan mengatur secara rigid/ kaku dan detail tentang internal organisasi sebuah yayasan. Undang-undang yayasan telah mengatur mulai dari struktur baku organ-organ yayasan (Pembina, pengurus, pengawas), pengangkatan, pemberhentian, penggantian organ yayasan, hingga kuorum rapat. Pengaturan tentang internal governance dalam undang-undang yayasan ini nampaknya kurang didasari oleh kesadaran akan keberagaman jenis yayasan yang ada di Indonesia sehingga melahirkan pengaturan yang berlebihan seperti itu. Penyeragaman itu sebenarnya tidak perlu. Seharusnya undang-undang yayasan hanya mengatur hal-hal yang pokok saja mengenai internal organisasi ini. Dengan demikian, untuk pengaturan detail lebih lanjutnya diserahkan pada masing-masing organisasi yang akna dituangkan dalam anggaran dasar organisasi tersebut.

2. Undang-undang Yayasan cenderung menghambat, tidak memberikan fasilitas/ insentif

Tidak ada insentif bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas kedermawanannya. Klausul pelarangan untuk memberikan gaji bagi pengurus yayasan dan sama sekali tidak diaturnya fasilitas pajak bagi yayasan mencerminkan bahwa pembuatan undang-undang yayasan ini


(27)

tidak disertai niat untuk mendorong semangat aktivitas filantropi di Indonesia.

Tidak diperbolehkannya yayasan untuk menggaji pengurusnya banyak dipandang sebagai pengaturan yang tidak masuk akal. Berbeda dengan pendirian yayasan, adalah wajar bagi pengurus yang menjalankan roda kegiatan yayasan untuk mendapatkan honor ataupun gaji tetap.

Sementara jika berbicara tentang kebijakan pajak di sektor filantropi ini, ada dua mekanisme yang biasa diterapkan dalam hal ini. Yang pertama ialah pengecualian pajak bagi lembaga (tax exemption) dan yang kedua adalah pengurangan pajak bagi donator (tax deduction).

Dalam hal Undang-undang yayasan menyatakan bahwa pengaturan pajak tidak dimasukkan di sini dengan alasan akan dimuat dalam undang-undang pajak, tidaklah dapat diterima. Adalah benar bahwa pengaturan detail mengenai mekanisme perpajakannya akan diatur dalam undang-undang pajak, namun prinsip-prinsip fasilitas seperti tax exemption dan tax deduction sebenarnya bisa dicantumkan dalam Undang-undang yayasan.81

81

Eryanto Nugroho, Op. cit, hal. 186.

Dalam hal yayasan tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 ayat (1) Undang-undang Yayasan berikut penjelasannya. Yayasan tersebut dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan, yakni pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan yayasan.


(28)

Kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf oleh Undang-undang Yayasan secara tegas ditentukan dalam pasal 26 ayat (3) bahwa kekayaan tersebut diatur berdasarkan ketentuan perwakafan. Ini sekaligus harus dijelaskan bahwa kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan diberlakukan.82 Mengapa demikian? Karena harta wakaf merupakan benda di luar perdagangan (res extra commercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karna itu tidak dapat disita dan dieksekusi.83

82

Ignaius Ridwan Widhyadharma, Badan Hukum Yayasan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001), (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001), hal. 38.

83

Fred B. G. Tumbuan, Kedudukan Hukum Yayasan dan Tugas Serta Tanggung Jawab Organ Yayasan, Lokakarya Sosialisasi Undang-undang Yayasan, diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Hukum Perseroan dan Kenotariatan (PPHN), Jakarta, 14 Agustus 2001, hal. 11.

Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dalam pasal 68 ayat (1) undang-undang yayasan, maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara dan tujuan yayasan tersebut (pasal 68 ayat (2) Undang-undang Yayasan).

Dengan demikian, yayasan yang bubar dan masih memiliki sisa kekayaan, sisa kekayaannya tidak kembali kepada pendiri atau donator atau pembina atau pengurus atau pengawas, melainkan diserahkan kepada yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang bubar atau setidaknya kepada negara dengan penggunaan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan tersebut. Jelas bahwa pendiri atau donator tidak dapat menerima kembali apa yang telah dipisahkan dan diserahkan dari sebagian hartanya kepada yayasan, dan organ yayasan tidak menerima sedikitpun bagian sisa dari kekayaan yayasan. Artinya kekayaan yayasan murni ditujukan untuk kegiatan yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.


(29)

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka apabila suatu yayasan berdiri di atas tanah yang berasal dari wakaf, maka tanah wakaf tersebut merupakan bagian dari harta kekayaan yayasan. Oleh karena itu, apabila terjadi pembubaran yayasan, maka tanah wakaf tempat yayasan berdiri tidak akan beralih kepada pihak manapun, termasuk dalam hal ini adalah kepada pendiri atau donator atau pembina atau pengurus atau pengawas, bahkan kepada waqif (yang mewakafkan), tetapi tanah wakaf akan diserahkan kepada yayasan lain yang memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan yang telah dibubarkan. Hal ini mengingat agar peruntukan tanah wakaf yang tidak berubah, yakni sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pewakif (pihak yang mewakafkan).


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Pengaturan wakaf dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.

2. Sebelumnya adanya undang-undang yang mengatur tentang yayasan, kedudukan yayasan sebagai badan hukum (rechtspersoon) sudah diakui, dan diberlakukan sebagai legal entity, namun status yayasan sebagai badan hukum dipandang masih lemah karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan atau yurisprudensi. Yayasan diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 menyatakan bahwa yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.

3. Kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf oleh Undang-undang Yayasan secara tegas ditentukan bahwa kekayaan tersebut diatur berdasarkan ketentuan perwakafan, maka kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan diberlakukan,


(31)

karena harta wakaf merupakan benda di luar perdagangan (res extra commercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena itu tidak dapat disita dan dieksekusi.

B. Saran

1. Hendaknya dalam undang-undang yayasan ditegaskan kembali mengenai pemisahan kekayaan dari pendiri kepada yayasan dilaksanakan dengan penyerahan hak milik kepada yayasan, sehingga menegaskan terjadinya hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan. 2. Perlu adanya penyesuaian undang-undang yayasan dengan memberikan

pengaturan yang tegas untuk melindungi kekayaan yayasan dengan memberikan pembatasan mengenai jenis-jenis kekayaan yayasan yang dapat dimiliki oleh suatu yayasan. Karena ketidakadaan pembatasan jenis kekayaan yang dapat diperkenankan untuk dimiliki yayasan, berarti tidak dapat secara tuntas menyelesaikan permasalahan dalam hal melindungi nilai kekayaan yayasan yang pada hakikatnya bersifat sosial tersebut. 3. Perlu ditentukan dengan jelas kedudukan tanah wakaf yang di atasnya

telah didirikan suatu bangunan, kemudian yayasan dibubarkan atau dinyatakan pailit. Bagaimana dengan status tanah wakaf tersebut? Sedangkan bangunan di atasnya masuk dalam boedel pailit.


(32)

BAB II

WAKAF DAN PENGATURANNYA DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF

A. Sejarah Perkembangan Wakaf

Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat. Kitab Suci Al Quran meskipun tidak menyebutkan secara eksplisit istilah wakaf, jelas mengajarkan pentingnya menyumbang untuk berbagai tujuan baik.26 Hadist Nabi dan praktek para sahabat menunjukkan bahwa wakaf sesungguhnya bagian dari ajaran Islam.27

Wakaf dalam bentuknya yang masih sederhana telah dipraktekkan oleh para sahabat berdasarkan petunjuk Nabi.

Namun demikian, dalam perkembangannya pertumbuhan wakaf yang pesat tidak terlepas dari dinamika sosial, ekonomi dan budaya yang mengiringi perkembangan masyarakat Islam dari masa ke masa.

28

26

Tim Penulis, Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Studi tentang Wakaf dalam Prespektif Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta : Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, hal. 29

27

Salah satu Hadist yang dikatkan dengan wakaf adalah hadist shahih muslim yang berbunyi : Rasulullah SAW bersabda “Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amaml baiknya kecuali tiga perkara: sedekah yang mengalir (sadaqah jariyah), ilmu yang bermanfaat serta anak sholeh yang mendoakannya.

28

Riwayat Jabir, menyebutkan bahwa semua sahabat Nabi yang mampu telah mempraktekkan wakaf. Lihat Ibn Qudama, al-Mughni, (Beirut ; tanpa penerbit, 1993), hal. 598-599

Pada masa awal Islam, yaitu sekitar abad ke-7 dan 8 Masehi, kegiatan wakaf telah cukup terlihat nyata. Perkembangan wakaf pada periode ini terkait erat dengan dinamika sosial ekonomi dan keagamaan masyarakat. selama periode pembentukannya masyarakat Islam awal terlibat dalam kegiatan ekspansi ke luar wilayah Hijaz melalui kekuatan militer. Sehingga tidak tertutup kemungkinan pada masa itu wakaf dapat berupa peralatan militer seperti kuda, senjata dan lain sebagainya termasuk untuk masjid dan tempat-tempat berteduh prajurit. Namun demikian, selain untuk keperluan militer


(33)

dan keagamaan, wakaf pada masa awal telah juga dimanfaatkan untuk menyantuni fakir miskin dan untuk menjamin keberlangsungan hidup karib kerabat dan keturunan wakif.29

Salah satu riwayat yang menjadi dasar praktek wakaf pada masa awal Islam adalah sahabat Umar ibn al Khattab menanyakan kepada Nabi tentang niatnya untuk bersedekah dengan lahan yang dimiliknya, selanjutnya Nabi bersabda in shi’ta habbasta aslaha wa tasaddaqta biha (Jika engkau bersedia, pertahankan tanahnya dan sedekahkan hasilnya).30

Ungkapan Nabi tersebut dan keseluruhan hadist Ibn Umar ini pada gilirannya menjadi landasan doktrinal wakaf. Hadist ini sedikitnya memberikan lima prinsip umum yang membentuk kerangka konseptual dan praktis wakaf, yaitu Pertama, prinsip tersebut mencakup kedudukan wakaf sebagai sedekah sunnah yang berbeda dengan Zakat. Kedua, kelanggengan aset wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan atau disumbangkan. Ketiga, keniscayaan aset wakaf untuk dikelola secara produktif. Keempat, keharusan menyedekahkan hasil wakaf untuk berbagai tujuan baik. Kelima, diperbolehkannya pengelola wakaf mendapat bagian yang wajar dari hasil wakaf.

Mengikuti petunjuk dan saran Nabi tersebut, Sayyidina Umar mempraktekkan wakaf.

31

Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Pada masa-masa awal penyiaran Islam, kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dakwah membuat

29

R. Peter, “Wakf in Classical Islamic Law”, dalam P.J. Bearman, Th Bianquis, dkk (ed),

The Encyclopaeadia of Islam, (Leiden : Brill, 2002), New Edition, Volume XI, hal. 59-60

30

Muhammad ibn Ali bin Muhammad al-Shaukani, Nayl al-Awtar (Kairo: Mustafa al-Bab al-Halan, tanpa tahun), Vol. III, hal. 127

31


(34)

pemberian tanah wakaf untuk mendirikan masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di kantong-kantong Islam Nusantara.32

Praktek wakaf ini diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di Nusantara sejak akhir abad ke-12 Masehi. Di Jawa Timur tradisi yang menyerupai praktek wakaf telah ada sejak abad ke-15 Masehi dan secara nyata disebut wakaf dengan ditemukannya bukti-bukti historis baru ada pada awal abad ke-16 Masehi.33

B. Dasar Hukum Wakaf

Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waktu mengalami kemajuan, tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan tetapi muncul juga wakaf untuk kegiatan pendidikan seperti pesantren dan madrasah termasuk untuk kepentingan sosial seperti tempat pemakaman bahkan untuk tempat usaha yang hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial keagamaan.

Ada beberapa dalil atau ketentuan yang menjadi dasar daripada ibadah wakaf menurut ajaran Islam, walaupun di dalam Al-Qur'an secara tegas dan terperinci tidak mengatur persoalan wakaf akan tetapi ada beberapa ayat Al Qur'an yang memerintahkan agar semua umat Islam berbuat kebaikan, sebab amalan-amalan wakafpun termasuk salah satu macam perbuatan yang baik dan terpuji. Dalil-dalil tersebut yaitu:

1. Al-Qur'an surat Al-Imran ayat 92 yang artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan

32

Ibid., hal. 71

33


(35)

sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.

2. Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 77 yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, rukuk dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia.

3. Al-Qur'an, surat An-Nahl ayat 97, yang artinya: Barang siapa yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan dan is beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan.

4. Al-Qur'an surat AI-Imron ayat 92, yang artinya :

Engkau tidak akan sampai pada kebajikan bila tidak melepaskan sebagian daripada yang engkau sukai.34

5. Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 267, yang artinya: Belanjakanlah sebagian harta yang kamu peroleh dengan baik.

6. Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah yang terjemahannya: Apabila seseorang meninggal dunia semua pahala amalnya terhenti, kecuali tiga macam amalan yaitu: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan baik untuk orang tuanya.35

7. Hadist Riwayat Bukhari Muslim, yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar datang pada Nabi Muhammad SAW untuk minta nasehat tentang tanah yang diperolehnya di Ghaibar (daerah yang amat Para ulama menafsirkan iIstilah shodaqoh jariyah disini dengan wakaf.

34

Adijani AI-Alabij, Perwakafan Tanah dl Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 25

35

Sayyid Ahmad Al Hasyimi Bnk, Mukhratul Ahadist An-Anabawiyah Ahmad lbnu Nabhan, Surabaya, hal. 18.


(36)

subur di Madinah), lalu is berkata: Ya Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepadaku rnengenai tanah itu? Lalu Rasulullah berkata: Kalau engkau mau, dapat engkau tahan asalnya (pokoknya) dan engkau bersedekah dengan dia, maka bersedekahlah Umar dengan tanah itu, dengan syarat pokoknya tiada dijual, tiada dihibahkan dan tiada pula diwariskan.36

Menurut jumhur ulama, keumuman kedua ayat ini menunjukkan di antara cara mendapatkan kebaikan itu adalah dengan menginfaqkan sebagian harta yang dimiliki seseorang di antaranya melalui sarana Wakaf. Di samping itu sabda Rasulullah SAW tentang kisah Umar bin Khattab di atas, jumhur ulama mengatakan bahwa Wakaf itu hukumnya sunah, tetapi ulama-ulama Mahzab Hanafi mengatakan bahwa Wakaf itu hukumnya mubah (boleh), karena Wakaf orang-oranq kafir pun hukumnya sah.

Namun demikian, mereka juga mengatakan bahwa suatu ketika hukum Wakaf bisa menjadi wajib, apabila Wakaf itu merupakan sebuah obyek dari nazar seseorang. Mengenai status pemilikan harta yang telah diwakafkan, apabila akad Wakaf telah memenuhi rukun dan syaratnya, menurut Imam Abu Hanifah tetap menjadi milik Wakif dan Wakif boleh saja bertindak hukum terhadap harta tersebut. Ulama Mahzab Syafi’i dan Hambali, bahkan juga Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani apabila Wakaf telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka pemilikan harta menjadi lepas dari tangan Wakif dan berubah status menjadi milik Allah SWT yang dipergunakan untuk kepentingan umum.

36

Suroso, Nico Ngani, Tinjauan Yuridis tentang Perwakafin Tanah Hak Milik, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 7.


(37)

Ulama fiqih membagi Wakaf kepada dua bentuk: Pertama, Wakaf khairi, yaitu Wakaf yang sejak semula diperuntukkan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah, dan rumah sakit. Kedua, Wakaf ahli

atau zurri, yaitu Wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu atau sejumlah orang tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan kepentingan umum, karena apabila penerima Wakaf telah wafat, harta Wakaf itu tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima Wakaf. Wakaf tidak boleh di pindah tangan atau dirubah, tetapi kalau itu dikehendaki oleh masyarakat tanah tersebut harus diganti sesuai dengan fungsinya dan manfaatnya juga harus lebih daripada sebelumnya.

Selanjutnya pada Pasal 28-31 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Pasal 22-27 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, secara eksplisit menyebut tentang bolehnya pelaksanaan wakaf uang.

Selain hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa tentang Wakaf Uang pada tanggal 11 Mei 2002, yang menyatakan bahwa:

1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk tunai.

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat berharga, 3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh);

4. wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan secara syar’i;


(38)

5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan/atau diwariskan. Dengan demikian, wakaf uang hukumnya boleh baik menurut undangundang maupun agama.

C. Macam-macam Wakaf

Wakaf yang dikenal dalam syari'at Islam, dilihat dari penggunaan dan pemanfaatan benda wakaf terbagi dua macam yaitu:

1. Wakaf Ahli (Wakaf Dzurri), yaitu: Wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga/famili, lingkungan kerabat sendiri.

2. Wakaf Khairi, yaitu: Wakaf yang tujuan peruntukkannya sejak semula ditujukan untuk kepentingan orang umum (orang banyak), dalam penggunaan yang mubah (tidak dilarang Tuhan) serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Seperti Masjid, Mushola, Madrasah, Pondok Pesantren, Perguruan Tinggi Agama, Kuburan, dan, lain-lain. Wakaf umum inilah yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat serta sejalan dengan perintah agama yang secara tegas menganjurkan untuk menafkahkan sebagian kekayaan umat Islam untuk kepentingan umum yang lebih besar dan mempunyai nilal pahala jariyah yang tinggi. Artinya meskipun si Wakif telah meninggal dunia, la akan tetap menerima pahala wakaf, sepanjang benda yang diwakafkan tersebut tetap dipergunakan untuk kepentingan umum.

Sedangkan berkaitan dengan klasifikasi, wakaf dibagi menjadi 3 golongan: 1. Untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda;


(39)

2. Untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin; 3. Untuk keperluar yang miskin semata-mata. Hal yang sama dikemukakan

juga oleh Muhammad Yousof Farooki, menyebutkan klasifikasi dari para fuqaha dalam tiga kategori :

a. Waqf, in favour of the poor alone;

b. Waqf, in favour of the rich and then for the infigent; and

c. Waqf, in favour of the rich and the poor alike. Namun sayangnya Farooki tidak membuat uraian sedikitpun mengenai ketiga kategori wakaf tersebut.

Dalam menguraikan tiga macam wakaf tersebut Fyzee menyatakan bahwa wakaf golongan pertama dapatlah disamakan dengan apa yang disebut dalam hukum modern sobagai "public trust" yang bersifat amal atau tujuan kebaikan umum. Misalnya, sekolah atau rumah sakit yang dibuka untuk semua golongan. Wakaf golongan kedua meliputi wakaf keluarga yang dimaksudkan untuk kepentingan keluarga yang mendirikan wakaf. Sedangkan wujud terakhir adalah untuk kebaikan orang miskin. Golongan ketiga meliputi lembaga-lembaga yang membagi-bagikan bahan makanan, bahan pakaian, atau bantuan obat-obatan bagi mereka yang tidak mampu semata-mata.

Klasifikasi ini kelihatannya memang masih belum begitu jelas namun uraian tentang hal ini kelihatannya sangat terbatas sekali. Kebanyakan penulis membedakan wakaf dalam ruang lingkupnya dimana Muhammad Yousof Farooki rnembedakannya atas:

1. Al Waqf al-ahli, family waqf; and


(40)

Para penulis mempergunakan berbagai istilah tentang hal ini. Ahmad Azhar Basyir, menyebutnya wakaf ahli (keluarga atau khusus) dan wakaf khairi (umum), Muhammad Daud Ali menyebutnya wakaf khusus atau wakaf keluarga atau wakaf ahli dan wakaf umum atau wakaf khairi, sedangkan Imam Suhadi menggunakan istilah wakaf khusus dan wakaf umum.

D. Pihak-pihak yang Terkait dalam Wakaf 1. Waqif

Wakif adalah Pihak Yang Mewakafkan harta benda miliknya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 2) Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 7, wakif meliputi :

a. Perorangan;

Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:37

1) Dewasa 2) Berakal sehat

3) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan 4) Pemilik sah harta benda wakaf

b. Organisasi

37


(41)

Wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.38

c. Badan Hukum

Wakif badan hukum hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.39

2. Mauquf ‘alaihi

Penerima wakaf adalah orang yang menerima faedah atau manfaat dari harta benda yang diwakafkan. Ia bisa berupa pihak tertentu atau pihak umum yang tidak tertentu seperti orang-orang miskin, para ulama atau masjid. Wakaf al-ahli

(wakaf keluarga) biasanya diberikan kepada pihak tertentu seperti anak-anak wakif, atau saudara-saudara wakif. Sedangkan wakaf al-khairi (kebajikan) tidak mesti ditetapkan penerimanya. Imam Syafi‘i berpendapat bahawa wakaf kebajikan tidak memerlukan penerima yang tertentu. Begitu juga imam Hanafi berpendapat bahawa penerima wakaf kebajikan tidak perlu ditentukan. Sehingga apabila seseorang mewakafkan rumah tanpa menyebut penerima wakaf, maka manfaat dari rumah yang diwakafkan tersebut diberikan kepada fakir miskin secara umum.40

38

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 2

39

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 8 ayat 3

40

Al-Waqf fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah. Mansyurat al-Maktabah al-Haditsah, Beirut, t.th, hal. 30.


(42)

Undang-undang No. 41 tahun 2004 menyatakan bahwa penerima wakaf berkaitan dengan peruntukan wakaf. Dimana pada pasal 22 disebutkan bahwa; Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: Pertama, sarana dan kegiatan ibadah; kedua, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; ketiga, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; keempat, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan kelima, kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan apabila wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, maka Nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.41

3. Nazhir

Nazhir adalah pihak nyang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk di kelola dan di kembangkan sesuai dengan peruntukannya.42

a. Perseorangan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 9, Nazhir meliputi:

Perseorangan hanya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:43

a. Warga Negara Indonesia

b. Beragama Islam

41

Pasal 23 ayat 2 UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf.

42

Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2004 Pasal 1 ayat 4

43


(43)

c. Dewasa d. Amanah

e. Mampu Secara jasmani dan rohani

f. Tidak Terhalang Melakukan perbuatan Hukum b. Organisasi

Organisasi manya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:44

1) Pengurus yang bersangkutan memenuhi persyatan nazhir perseorangan dan

2) Organisasi yang bergerak dibidang sosial, kemasyarakan dan/atau keagamaan Islam

c. Badan Hukum

Badan Hukum hanhya dapat menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan:45

1) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan

2) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku

3) Badan Hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/ atau keagamaan Islam

Tugas seorang Nadzir:

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda sesuai dengan tujuan,

44

Ibid, Pasal 10 ayat 2

45


(44)

fungsi dan peruntukannya

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia

Nazhir yang telah mengurus dan mengawasi harta benda wakaf maka nazhir yang bersangkutan boleh, dan bahkan berhak untuk mendapatjkan bagian dan menerima penghasilan yang pantas dari hasil tanah wakaf sebagai imbalannya. Pemberian imbalan yang dimaksud jumlahnya ditetapkan oleh Kantor Urusan Agama Kabupaten/ Kotamadya setempat. Ketentuan yang dimaksyud tidak boleh melebihi dari jumlah 10 persen (10%) dari hasil bersih tanah wakaf.

Nazhir dianggap berhenti dari jabatan apabila:46 a. 1 Meninggal dunia

b. Bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan prundangan yang berlaku.

c. Atas permintaan sendiri

d. Tidak melaksanakan tugasnya dan melanggar ketentuan.

E. Rukun dan Syarat Wakaf

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa rukun Wakaf itu hanya satu yakni akad yang berupa ijab (pernyataan mewakafkan harta dari Wakif). Sedangkan kabul (pernyataan menerima Wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama Mahzab Hanafi, karena menurut mereka akad Wakif tidak, bersifat mengikat. Artinya, apabila seseorang mengatakan "saya wakafkan harta saya pada anda",

46


(45)

maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi Wakaf berhak atas manfaat harta itu.

Jumhur ulama mengatakan bahwa rukun Wakaf ada empat, yaitu: orang yang berwakaf, harta yang diwakafkan, penerima Wakaf, dan akad Wakaf. Untuk orang yang berwakaf disyaratkan:47

1. orang merdeka;

2. harta itu milik sempurna dari orang yang berwakaf; 3. balig dan berakal; dan

4. cerdas.

Apabila harta itu terkait utang, ulama Mahzab lianafi merinci hukumnya sebagai berikut:48

1. jika utang itu tidak mencakup seluruh harta, maka mewakafkan sisa harta yang tidak terkait utang hukumnya sah; dan

2. apabila utang itu mencakup seluruh harta Wakaf, maka akad wakafnya dianggap mau (ditangguhkan) sampai ada izin dari para-para piutang, jika mereka izinkan, maka wakafnya sah dan apabila tidak mereka izinkan, maka wakafnya batal.

Terhadap syarat-syarat harta yang diwakafkan terdapat perbedaan ulama. Ulama Mahzab Hanafi mensyaratkan harta yang diwakafkan itu:49

1. Harus bernilai harta menurut syarak dan merupakan benda tidak bergerak. Oleh sebab itu, minuman keras tidak bisa diwakafkan, karena minuman dan sejenisnya tidak tergolong harta dalam pandangan syarak;

2. tertentu dan jelas;

47

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichfiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1507.

48

Ibid, hal. 1506

49


(46)

3. milik sah Wakif, ketika berlangsung akad tidak terkait hak orang lain pada harta itu.


(47)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 dan kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, merupakan suatu perubahan yang mendasar dalam bidang hukum yayasan. Selama ini pengaturan yayasan hanya melalui yurisprudensi dan kebiasaan-kebiasaan saja. Dengan diadakannya pengaturan tersendiri mengenai yayasan, merupakan suatu penegasan pengakuan eksistensi yayasan sebagai subjek hukum.

Sebelumnya, yayasan selama ini dianggap sebagai badan hukum hanya melalui teori-teori hukum, sehingga apabila diperhatikan perkembangan yayasan pada saat ini cukup pesat. Hal ini diakibatkan belum adanya pengaturan hukum secara tegas mengenai yayasan, sehingga masyarakat mudah mendirikan yayasan.

Pendirian yayasan memiliki kecenderungan bahwa masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud berlindung dibalik status badan hukum yayasan yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, melainkan adakalanya yayasan juga digunakan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas dengan menyalahgunakan harta kekayaan yayasan untuk kepentingan pribadi. Hal ini tidak sejalan dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasar yayasan. Ada dugaan yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain dengan cara melawan hukum.1

1

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 54.


(48)

Undang-undang tentang yayasan, yakni Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 sudah melambangkan fungsi kreatif dengan membatasi tujuan yayasan dalam bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sekaligus mencoba mengkoordinir dan melembagakan yayasan yang hendak melaksanakan fungsi komersialnya. Namun undang-undang menghendaki transparansi finansial pembukuan keuangan yayasan. Hal ini memberi kesempatan pada kejaksaan dan pengadilan untuk melakukan pengawasan publik.

Lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang yayasan memberikan peluang kepada yayasan untuk mencari keuntungan. Hal senada juga disampaikan oleh H. Abdul Muis, dikatakan bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 memberi peluang kepada yayasan untuk berbisnis dan selain itu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dlam badan usaha.2

Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari menteri kehakiman dan hak asasi manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pentaatan administrasi pengesahan suatu yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik, guna mencegah berdirinya yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam undang-undang ini. Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, permohonan pendirian

2

Abdul Muis, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Membuka Pelung Yayasan Berkarakter Komersial, Makalah disajikan pada Seminar Sehari Sosialisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, diselenggarakan oleh Kerjasama Fakultas Hukum USU dengan Paguyuban Marga Tionghoa Sumatera Utara di Polonia Hotel pada tanggal 22 Juni 2002, hal. 1.


(49)

yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan yayasan tersbut, dan setelah yayasan memperoleh pengesahan, haruslah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar registrasi yayasan dengan pola penerapan administrasi hukum yang baik dapat mencegah praktek perbuatan hukum yang dilakukan yayasan yang dapat merugikan masyarakat.3

Pada hakikatnya, yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, kegamaan dan kemanusiaan yang diberi status badan hukum yang tidak mempunyai anggota. Kekayaan yang dipisahkan dari harta kekayaan pribadi tersebut baik dalam bentuk uang atau barang4 merupakan kekayaan awal yayasan.5

Selain daripada itu, yayasan dapat memperoleh kekayaan dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan dan atau peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.6

Baik kekayaan awal yayasan maupun perolehan dari hasil usaha yayasan merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan dan tidak untuk keuntungan pribadi Pendiri/ Pembina, pengurus, maupun pengawas. Pemisahan kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang dapat dinilai dari kekayaan pribadi para pendirinya merupakan Adapun yang dimaksud dengan perolehan lain antara lain adalah dari hasil usaha yayasan sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-undang Yayasan.

3

Chatamarrasjid, badan hukum yayasan (suatu analisis mengenai yayasan sebagai suatu badan hukum), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 3.

4

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, pasal 26 ayat (1)

6


(50)

prasyarat penting bagi berdirnya suatu yayasan (pasal 1 ayat (1), pasal 9 ayat (1), dan pasal 26 ayat (1)) Undang-undang Yayasan. Kekayaan yayasan yang sudah dipisahkan dari kekayaan pendirinya itu semata-mata digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan sesuai dengan Undang-undang yayasan.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/SIP/1976 tanggal 27 Juni 1973 menyatakan bahwa karena yayasan mempunyai pengurus yang dapat mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan, dan yayasan mempunyai kekayaan sendiri, maka yayasan adalah badan hukum. Maka seharusnya yayasan yang didirikan sebelum berlakunya Undang-undang yayasan tetap merupakan badan hukum, meskipun yayasan tersebut belum diumumkan dan belum memiliki izin. Selain itu, tidak ada ketentuan yang mewajibkan adanya pengumuman dan kepemilikan izin kecuali bagi yayasan yang menjalankan kegiatan tertentu atau suatu yayasan dapat dianggap sebagai suatu badan hukum. Sebaiknya untuk menjamin rasa keadilan bagi yayasan yang telah ada tetapi belum diumumkan atau belum memiliki izin, tetapi diakui sebagai badan hukum dan apabila mereka ingin meneruskan kegiatannya, wajib menyesuaikan yayasannnya dengan Undang-undang ini7

7

Ari Kusumaastuti Maria Suhardiadi, Ruang Lingkup Pengaturan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001, Jurnal Renvoi, (Agustus 2003), hal. 46.

, yakni dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya Undang-undang yayasan ini, yakni terhitung sejak tanggal 6 Oktober 2004, maka yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang-undang yayasan ini. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka yayasan dimaksud tidak akan diakui sebagai badan hukum.


(51)

Perlu dicermati bahwa Undang-undang yayasan tidak menegaskan terjadinya peralihan hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan. Undang-undang yayasan tidak mewajibkan pemisahan kekayaan yang meliputi penyerahan hak milik kepada yayasan. Undang-undang yayasan menegaskan bahwa pendiri memisahkan (sebagian) kekayaannya untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Dengan demikian, pemisahan kekayaan pendiri sebagai kekayaan awal yayasan dinyatakan dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga itu dapat dilakukan dengan cara-cara: pertama, menyerahkan hak-hak kekayaannya saja atas suatu benda (feitelijke levering) tanpa mengalihkan hak-hak milik atas benda tersebut; dan kedua, menyerahkan kekayaan termasuk hak milik (juridische levreing).8

Apabila diperhatikan anggaran dasar yayasan di Indonesia, umumnya yayasan didirikan untuk tujuan nirlaba. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa dalam praktek yayasan-yayasan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang bersifat komersial. Di bidang pendidikan kritik kerap ditujukan pada institusi penyelenggaraan pendidikan tidak sedikit yang menjurus pada pencarian keuntungan.9

Berkenaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, pengalihan hak milik atas kekayaan yang dipisahkan oleh pendirinya kepada yayasan harus dilakukan dengan cara yang jelas. Maksudnya agar dapat dipergunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan, sesuai dengan undang-undang yayasan untuk kepentingan atau keuntungan pendirinya. Dengan

8

Ibid

9

Hikmahanto Juwana, Pengelolaan Yayasan di Indonesia, Jurnal Renvoi (Agustus 2003), hal. 42.


(52)

berkembangnya masalah mengenai diundangkannya Undang-undang yayasan dihubungkan dengan pelaksanaan pada yayasan yang berasal dari waqaf yang berkembang, maka apabila akhirnya terjadi pembubaran yayasan, maka akan berakibat pada status yayasan waqaf yang dijadikan kekayaan yayasan.

B. Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan tentang wakaf dalam perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan tentang yayasan dalam perundang-undangan di Indonesia?

3. Bagaimana kedudukan hukum tanah wakaf dalam hal terjadinya pembubaran yayasan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang wakaf dalam perundang-undangan di Indonesia

b. Untuk mengetahui pengaturan tentang yayasan dalam perundang-undangan di Indonesia

c. Untuk mengetahui kedudukan hukum tanah wakaf dalam hal terjadinya pembubaran yayasan


(53)

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat memberikan masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap ilmu hukum pada umumnya dan Hukum tentang wakaf dan yayasan pada khususnya.

b. Manfaat praktis

Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.

D. Keaslian penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kedudukan Yuridis Tanah Wakaf dalam Hal Terjadinya Pembubaran Yayasan Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat


(54)

dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian wakaf

Mengenai pengertian wakaf menurut undang-undang no 41. tahun 2004, yaitu terdapat dalam pasal 1 membuat pengertian tentang wakaf :

a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

b. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.

c. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

d. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

e. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syari’ah yang diwakafkan oleh wakif.

f. Pejabat pembuat akta ikrar wakaf selanjutnya disingkat PPAIW adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.


(1)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H,M.Sc,(CTM),Sp.A(K) sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Prof.Dr.Tan Kamelo, SH,MS sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH,M.Hum sebagaai Dosen Penasehat Akademik

8. Bapak T.Rusydi,SH,M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

9. Bapak Zulkarnain Mahfudz, SH,CN, sebagai Dosen Pembimbing II atas perhatian dan bimbingan Bapak kepada penulis selama penulisan skripsi. 10.Seluruh staf Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU.


(2)

12.Ayahanda Zulpen Tanjung dan Ibunda Samsiar yang tercinta, sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, Abang Iboy dan Herman Kakak Novi, Rini, Puput serta adik saya Surya yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

13.Buat teman-temanku yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku.

14.Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 09 Desember 2010


(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II WAKAF DAN PENGATURANNYA DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF ... 19

A. Sejarah Perkembangan Wakaf ... 19

B. Dasar Hukum Wakaf ... 21

C. Macam-macam Wakaf ... 25

D. Pihak-pihak yang Terkait dalam Wakaf... 27

E. Rukun dan Syarat Wakaf ... 32

BAB III PENGATURAN YAYASAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 ... 34

A. Pembentukan Yayasan ... 34

B. Pengelolaan Yayasan ... 39

C. Pembubaran Yayasan ... 45

BAB IV KEDUDUKAN HUKUM TANAH WAKAF DALAM HAL TERJADINYA PEMBUBARAN YAYASAN... 49


(4)

A. Pembubaran yayasan dan akibat hukumnya ... 49

B. Status Tanah Wakaf dalam hal Terjadinya Pembubaran Yayasan ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan... 61

B. Saran ... 62


(5)

ABSTRAK

Pada hakikatnya, yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang diberi status badan hukum yang tidak mempunyai anggota. Kekayaan yang dipisahkan dari harta kekayaan pribadi tersebut baik dalam bentuk uang atau barang merupakan kekayaan awal yayasan. Baik kekayaan awal yayasan maupun perolehan dari hasil usaha yayasan merupakan kekayaan yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan yayasan dan tidak untuk keuntungan pribadi Pendiri/ Pembina, pengurus, maupun pengawas. Pemisahan kekayaan, baik berupa uang maupun barang yang dapat dinilai dari kekayaan pribadi para pendirinya merupakan prasyarat penting bagi berdirinya suatu yayasan (pasal 1 ayat (1), pasal 9 ayat (1), dan pasal 26 ayat (1)) Undang-undang Yayasan. Kekayaan yayasan yang sudah dipisahkan dari kekayaan pendirinya itu semata-mata digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan sesuai dengan Undang-undang yayasan.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan tentang wakaf dalam perundang-undangan di Indonesia, bagaimana pengaturan tentang yayasan dalam perundang-undangan di Indonesia, dan bagaimana kedudukan hukum tanah wakaf dalam hal terjadinya pembubaran yayasan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. Pengaturan wakaf dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Yayasan diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan dan telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 menyatakan bahwa yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf oleh Undang-undang Yayasan secara tegas ditentukan bahwa kekayaan tersebut diatur berdasarkan ketentuan perwakafan, maka kekayaan yang berasal dari wakaf tidak dimasukkan dalam harta pailit, jika ketentuan perwakafan


(6)

diberlakukan, karena harta wakaf merupakan benda di luar perdagangan (res extra commercium) yang tidak dapat dijadikan objek jaminan dan oleh karena itu tidak dapat disita dan dieksekusi.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

7 121 117

Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

1 41 100

Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

0 60 257

Konsekuensi Hukum Yayasan Sebagai Badan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

0 29 152

ANALISIS TERHADAP SERTIFIKAT TANAH YAYASAN AL-KAUTSAR PHARMINDO DALAM ASPEK TANAH WAKAF BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004.

0 0 1

undang undang nomor 28 tahun 2004 tentang perubahan atas uu nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan

0 0 22

PELAKSANAAN PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR YAYASAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN DI KOTA PADANG (KHUSUS YAYASAN DIBIDANG PENDIDIKAN

0 0 20

BAB II PENGELOLAAN YAYASAN OLEH ORGAN YAYASAN A. Keberadaan Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 - Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang

0 0 31

Tinjauan Yuridis Tentang Pembagian Kekayaan Dari Yayasan Kepada Organ Yayasan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004

0 0 11

Pemindahan Hak Atas Kekayaan Yayasan Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 JO Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan

0 0 39