Pandangan Hukum Islam Terhadap Nafkah iddah Bagi Istri yang Nusyuz.

45 Apabila seorang suami mempersulit nafkah wajib yang selayaknya diberikan untuk menutupi kebutuhan istri dan anak-anaknya, maka istri diperbolehkan oleh syariat mengambil dan memanfaatkannya untuk kebutuhan mereka tanpa seizin suaminya. 30 Jadi suami kikir bisa menyebabkan tibulnya istri nusyuz kepada suami dikarenakan suami kikir terhadap istri dan anak-anaknya dalam kebutuhan kehiduapan rumah tangganya yang mengakibatkan istri lalai dalam kewajibannya dan menimbulkan penyebab terjadinya perceraian.

E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Nafkah iddah Bagi Istri yang Nusyuz.

Menurut para ahli fikih bahwa bekas istri dalam masa iddah talak raj‟I atau dalam keadaan hamil baik dalam masa iddah, berhak menadapkan nafkah dan tempat tinggal dari suaminya. 31 Dan Perempuan yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah dan juga tempat tinggal ketika nusyuznya itu berlaku dalam masa iddah, kecuali apabila ia taat kepada suaminya maka barulah nafkah dan tempat tinggal itu bisa diberlakukan kembali kepada istrinya. 32 Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, 33 Istri dikategorikan nusyuz, Apabila istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami, atau menolak tinggal dirumah suami yang layak 30 Ibid Muhammad bin Ibrahim Al-hamd, h. 41 31 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 235 32 Mohd Salleh Haji Ahmad, Ruju’ dan Iddah Dalam Sistem Perkawinan Islam, k Pustaka abdul Majid 1995 cet 1 h.60 33 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta Lentera 2002. Cet-1 h.402 46 baginya, maka dia dianggap sebagai istri Nusyuz, dan menurut kesepakatan seluruh mazhab, dia tidak berhak atas nafkah. Hanya saj a Syafi‟I dan Hambali menambahkan bahwa. Apabila istri keluar rumah demi kepentingan suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan untuk kepentingan suami, sekalipun dengan izinnya, gugurlah nafkah hak atas nafkahnya. kemudian apabila seorang istri dicerai suaminya ketika dia dalam keadaan Nuyus, maka istri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam keadaan „Iddah dari talak raj‟I, lalu melakukan Nusyuz ketika menjalani iddah-nya, maka haknya atas nafkahnya menjadi gugur. Kemudian bila dia kembali taat, maka nafkahnya diberikan terhitung dari waktu ketika diketahui dia kembali taat. 34 Tetapi Hanafi berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah., sekaplipun haram, tetap tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Hanafi berpendapat ; manakalah istri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin suaminya, maka dia masih disebut patuh Muthi’ah, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara‟ yang benar, penolakannya yang seperti itu, sekaplipun haram, tetap tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Bagi hanafi, yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah beradanya wanita tersebut dirumah suaminya. Persolalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannnya dengan kewajiban nafkah. Dengan pendapat ini, hanafi berbeda pendapat dengan 34 Mughniyah, h.404-406 47 seluruh mazhab lainnya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala istri tidak member kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalwat dengannya tanpa alas an berdasarkan syara‟ maupun rasio, akan dia dipandang sebagai wanita yang nusyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi‟I mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan berkhalwat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si sitri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, “Aku menyerahkan diriku kepadamu.” 35 Ulama zahiriyah berpendapat bahwa istri yang nusyuz tidak gugur haknya dalam menerima nafakaq. Alasannya ialah nafakah itu diwajibkan atas dasar akad nikah tidak pada dasar ketaatan. Bila suatu waktu ia tidak taat kepada suaminya atau Nusyuz, ia hanya dapat diberi pengajaran, atau pisah tempat tidur atau pukulan yang tidak menyakiti. Bila suami tidak menjalankan kewajiban dalam memberikan nafaqah dapatkah istri menarik ketaatannya dengan cara antara lain tidak mau digauli suaminya, juga menjadi pembicaraan di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa istri yang tidak mendapat nafaqah dari suaminya, berhak tidak memberikan pelayanan kepada suaminya, bahkan boleh memilih untuk pembatalan perkawinan atau Fasakh. Ulama Zhahriyah berpendapat bahwa istri yang tidak menerima nafaqah dari suaminya tetap 35 Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, h.402 48 menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak boleh menolak permintaan suami untuk digauli. 36 Sedangkan menurut ibnu haz m mengatakan : “seorang suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istrinya sejak selesainya pelaksanaan akad nikah, baik si istri itu berbuat nusyuz atau tidak, kaya atau miskin, memiliki orang tua atau yatim, masih gadis maupun sudah janda, merdeka maupun budak belian, sesuai dengan kemampuan yang apa adanya. 37 Pendapat Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah dan diperkuat didalam Kompilsai Hukum Islam pasal 149 dijeaskan pada point b suami wajib: memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Dan pada pasal 152 dijelaskan bahwa Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. 38 Pasal-pasal diatas jelas memperlihatkan bahwa setelah terjadinya perceraian maka suami wajib memberikan nafkah iddah, suami adalah faktor utama dalam melaksanakan kewajiban utamanya kepada keluarga. Semetara dilain pihak, istri pun mempunyai tanggungjawab besar yakni kesetiaannya 36 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.174 37 Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka Al-kautsar, 2007 cet.2 h.414 38 KHI h.149 49 kepada suami dalam melaksanakan fungsi sebagai istri. Selama istri tidak setia maka kewajiban suami akan gugur, begitu sebaliknya. 39 Tolok ukur mengenai nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak mengetahuinya. 40 Kewajiban diatas akan gugur Apabila istri telah terbukti melakukan nusyuz maka hak untuk mendapatkan nafkah iddah akan gugur. 39 Dedi Supriadi Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Pustaka Al- fikriis2009 cet-1 h.79 40 Zainuddin ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.55 49

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Timur

Sejarah Kelahiran Pengadilan Agama Jakarta Timur Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta Betawi di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : Komandan Distrik sebagai Ketua, Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut 1 “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para “pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan- pengadilan biasa”. Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak 1 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, dalam rentang Sejarah dan pasang Surut,UIN malang Press, 2008, cet.1 h.67