23
memasuki  “gerbang  putusnya”  perkawinan,  dan  bahkan  untuk  selama- lamanya. Karena akibat lian adalah terjadinya talak ba‟in kubra.
20
D. Macam-Macam Perceraian
Pada  dasarnya  perkawinan  itu  dilakukan  untuk  waktu  selamanya  sampai matinya  salah  seorang  suami  istri.  Inilah  sebenarnya  yang  dikehendaki  agama
islam,  namun  dalam  keadaan  tertentu  terdapat  hal-hal  yang  menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan,
maka  kemudharatan  akan  terjadi.  Dalam  hal  ini  Islam  membenarkan  putusnya perkawinan  sebagai  langkah  terakhir  dari  usaha  melanjutkan  rumah  tangga.
Putusnya  perkawinan  adalah  suatu  jalan  keluar  yang  baik,  Macam-macam perceraian  dengan  rincian  sebagai  berikut  yaitu  :  Perceraian  atau  talak,  Khulu,
Zhihar, Ila, syiqaq dan Lian.
21
Berikut ini penjelasan masing masing, kecuali perceraian atau talak sudah di bahas pada awal bab II ini :
1. Khulu‟
a. Khulu‟ dan Hikmahnya
Menurut para fuqoha  yang dimaksud dengan khu lu‟ dalam arti umumnya
yaitu perceraian yang disertai dengan sejumlah harta sebagian Iwadh yang diberikan  oleh  istri  kepada  suami  untuk  menebus  diri  agar  terlepas  dari
ikatan  perkawinan.  hukum  Islam  memberikan  jalan  kepada  istri  yang menghendaki  perceraian
dengan  mengajukan  khulu‟  sebagaimana  Islam
20
Ibid,Ahmad Rafiq, h.274
21
Abdurrahman Ghazali, Fikiah Munakahat, Kencana Prenada Media 2003 h.227
24
memberi  jalan  kepada  suami  untuk  menceraikan  istrinya  dengan  jalan talak.
22
Dasar  hukum  disyariatkan  khulu‟  ialah  Allah  berfirman  dalam  surat  Al- baqharah ayat 229 yang artinya : tidak halal bagikamu mengambil sesuatu
yang  telah  kamu  berikan  kepada  mereka  Istri  kecuali  kalau  keduanya khawatir  tidak  akan  dapat  menjalankan  hukum-hukum  Allah,  jika  kamu
khawatir bahwa keduanya tidak dapat  menjalankan hukum-hukum  Allah, maka  tidak  ada  dosa  atas  keduanya  tentang  bayaran  yang  diberikan  oleh
istri untuk menebus dirinya itulah hukum-hukum Allah maka jangan kamu melanggarnya, barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang Zalim Hikmahnya  adalah  menolak  bahaya,  maksudnya  yaitu  apabila  kebencian
antara  suami  dan  istri  memuncak  dan  dikhawatirkan  tidak  dapat menjalankan  syarat-
syarat  dalam  kehidupan  suami  istri,  maka  Khulu‟ adalah  cara-cara  yang  sudah  ditetapkan  oleh  Allah  yang  Maha  Bijaksan,
menegaskan hukum-hukum Allah. b.
Syarat-syarat Khulu‟ a.
Kerelaan dan persetujuan, Khulu‟ dilakukan berdasarkan kerelaan dan persetujuan  suami  dan  istri,  dengan  maksud  kerelaan  dan  persetujuan
itu tidak dapat berakibat kerugian dipihak orang lain
22
Ibid, Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, h.329
25
b. Istri  adalah  seorang  yang  berada  dalam  wilayah  si  suami  dalam  arti
istrinya atau  yang telah diceraikan, namun masih berada dalam Iddah raj‟iy.
c. Khulu‟ harus diridhai oleh pihak yang memberikan ganti materi.
d. Khulu‟ dengan ganti materi yang sah sebagai mahar. Ganti  yang sah
sebagai  mahar  adalah  setiap  yang  sah  dijadikan  sebagai  harga  dan imbalan
23
c. Akibat  Khulu‟  ini  ialah  sama  dengan  akibat  talak  bain  shughra.  Yaitu
suami tidak mempunyai hak untuk merujuk bekas istrinya kecuali dengan perkawinan  yang  baru  dan  akad  yang  baru  berdasarkan  persetujuan  dari
masing-masing pihak. 2.
Zihar Zihar  adalah  seseorang  laki-laki  yang  mengharamkan  istrinya  bagi
dirinya  dengan  menyerupakan  keharamannya  seperti  ibunya,  saudara perempuannya,  atau  salah  satu  mahramnya.
24
Zihar  dari  segi  bahasa  arab, Zhihaar  berasal  dari  kata  zahr  punggung  bukan  dari  kata  yang  berarti
pertolongan, dengan maksud suami mengatakan kepada istrinya; kamu bagiku seperti  punggung  ibuku.
25
Dalam  istilah  fikih,  zihar  diartikan  sebagai
23
Syaikh Muhammad  Al-utsaimin, Shahih Fiqih wanita,  Jakarta : akbar Media Eka Sarana 2009 Cet-2 hal. 343-344
24
Ali Yusuf As-subki, Fiqih Keluarga, Jakarta :Sinar Grafika Offset, cet-1, hal.360
25
Syaikh Muhammad Al-utsaimin, Shahih Fiqih wanita, hal.378
26
perkataan  suami  terhadap  istrinya  yang  mengandung  maksud  menyamakan istrinya dengan ibunya
sendiri. Misalnya, perkataan : “Punggung kamu seperti punggung ibuku.” Pengkhususan  kata “Punggung” dalam hal ini disebabkan
biasanya yang ditunggangi itu adalah punggung. Oleh karena itu orang-orang arab menyebut binatang-binatang tunggangan dengan kata az-zahr.
Wanita  yang  di-zihar  memang  di  haramkana  untuk  digauli,  tetapi hanya  bersifat  sementara,  yaitu  sampai  membayar  “kafarat  zihar-nya,
mengenai  hal  ini,  Allah  SWT  berfirman  dalam  surat  Al-  mujadalah  ayat  2 yang  artinya  :  “Orang-orang  yang  men-zihar  istrinya  diantara  kamu,
menganggap  istrinya  sebagai  ibunya,  padahal    tiadalah  istri  mereka  itu  ibu mereka.  Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.
Dan  sesungguhnya  mereka  sungguh-sungguh  mengucapkan  suatu  perkataan yang  munkar  dan  dusta.  Dan  sesungguhnya  Allah  Maha  pemaaf    lagi  Maha
pengampun.” Adapun kafarat dari zihar yang harus ditunaikan oleh suami yang men-
zihar istrinya, sesuai dengan bunyi surat al-mujadalah ayat 3-4 adalah a.
memerdekakan budak, b.
berpuasa selama dua berturut-turut atau c.
memberi makan enam puluh orang miskin.
26
26
Peunoh Daly, Hukum Prekawinan Islam, Usatu studi Perbandingan dalam kalangan Ahlus- sunnah dan Negara-Negara Islam, PT Bulan Bintang Jakarta, 2005, cet.2 h.93
27
Kemudian  Jumhur  ulama  sepakat  bahwa  bentuk-bentuk  kafarat diberlakukan  secara  berurut,  artinya,  tidak  boleh  yang  kedua  dijadikan  yang
pertama.  Dalam  istilah  mereka,  hukuman  itu  dikenakan  kepada  pelaku  zihar sesuai dengan tertib hukuman yang terdapt dalam ayat tersebut.
27
3. Ila‟
a. Ila‟ dan  hukumnya
Ila’ menurut bahasa artinya menolak dengan bersumpah. Jadi ila‟ ialah berarti menolak untuk mengumpuli istrinya dengan
bersumpah.  Dalam  hal  ini  sumpahnya  baik  dengan  nama  allah  ataupun dengan  berpuasa  atau  dengan  besadhaqah  atau  dengan  haji,  atau  dengan
bercerai.
28
sumpah  suami  tidak  akan  mencampuri  istrinya  dalam  masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila  seorang  suami  bersumpah  sebagaimana  sumpah  tersebut, hendaklah  ditunggu  selama  empat  bulan.  Kalau  dia  kembali  baik  kepada
istrinya,  sebelum  sampai  empat  bulan,  dia  diwajibkan  membayar  denda sumpah  kafarat  saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik
dengan  istrinya,  hakim  berhak  menyuruhnya  memilih  dua  perkara,  yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak
istrinya.  Kalau  suami  itu  tidak  mau  menjalani  salah  satu  dari  kedua perkara tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
27
Ensiklopedia Islam 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001. H. 59-60
28
Sayyid sabiq. Fikih sunnah juz 5. PT al- ma‟arif Bandung 1994.cet.8 h.114
28
Sebagian  ulama  berpendapat,  apabila  sampai  empat  bulan  suami tidak  kembali    tidak  campur  ,  maka  dengan  sendirinya  kepada  istri  itu
jatuh talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
29
b. Syarat-syarat ila‟
1 Syarat-syarat  yang  berhubungan  dengan    suami  istri  sepakat  para
fuqoha  bahwa  suami  yang  dibolehkan  mengila‟  istrinya  ialah  suami yang baligh, berakal, dan tidak gila
2 Ila‟ hendaknya berupa sumpah
3 Isi  ila‟  hendaklah  bahwa  suami  bersumpah  tidak  akan  mencampuri
istrinya. c.
Kafarat sumpah Bagi suami yang meng-
ila‟ istrinya lalu diwajibkan menjauhinya selama 4 bulan  itu  menimbulkan  kerinduan  terhadap  isrti,  lalu  menyesali  sikapnya
yang sudah berlalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang lebih baik, ketimbang  masa-masa  sebelumnya.  Dalam  hal  ini  jika  kemudian  suami
berbaik  kembali  kepada  istrinya  diwajibkan  membayar  kafarat  sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk keperluan dirinya, kafarat
itu  berupa;  member  makan  10  orang  miskin,  memerdekakan  seorang budak, puasa tiga hari.
30
29
Sulaiman.Rasyid 1996. Fiqih islam. Jakarta : Sinar baru argensindo. h.410
30
Kamal  Mukhtar,  Asas-Asas  Hukum  Islam  Tentang  Perkawinan,  Jakarta:  Bulan  Bintang, 1974, Cet Ke-2, h191-192
29
4. Syiqaq
Syiqaq  bera rti  “perselisihan”,  maskudnya  perselisishan  suami  istri
yang  diselesaikan  oleh  kedua  orang  hakam,  yaitu  seorang  hakam  dari  pihak suami dan seorang dari pihak istri.
Dasar hukumnya ialah Allah berfirman dalam Surat An-nisa Ayat 35 :
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
35
Artinya :   Dan  jika  kamu  khawatirkan  ada  persengketaan  antara  keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam  dari  keluarga  perempuan.  jika  kedua  orang  hakam  itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada  suami-isteri  itu.  Sesungguhnya  Allah  Maha  mengetahui lagi Maha Mengenal.  Qs. An-Nisa ; 35
Menurut  firman  Allah  tersebut  jika  terjadi  kasus  syiqaq  antara  suami istri,  maka  diutus  seorang  hakam  dari  pihak  suami  dan  seorang  hakam  dari
pihak  istri  untuk  mengadakan  penyelidikan  sebab  terjadinya  syiqaq  tersebut serta berusaha mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup bersama
dengan  sebaik-baiknya,  kemudian  jika  jalan  perdamaian  itu  tidak  mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikan.
5. Li‟an
Lian  berasal  dari  kat  Al- la‟anu  yang  artinya  kutukan  atau  laknat
menurut  istilah  yaitu  suami-istri  yang  saling  melaknat.  Suami  menuduh  istri berzina,  tetapi  tidak  mampu  membuktikannya  dengan  menghadirkan  empat
30
orang saksi, maka dia harus besumpah empat kali sumpah dengan menyatakan bahwa kalau suami tersebut berbohong dengan tuduhannya maka laknat Allah
untuk  dirinya  suami.
31
Kemudian  istri  menolak  tuduhan  dengan  empat  kali sumpah juga dengan ucapan penolakan tuduhan suaminya tersebut dan ia siap
dilaknat oleh Allah kalau ia melakukannya. Dengan terjadinya sumpah lian itu maka  terjadilah  perceraian  antara  suami  istri  tersebut  dan  antara  keduanya
tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selam-lamanya.
32
31
Syaikh Muhammad Al-utsaimin, Shahih Fiqih wanita,hal.384
32
Miftah faridl, 150 Masalah nikah Keluarga, Gema Insani Jakarta 1999. Cet.1 h.161
31
BAB III TEORI SEPUTAR NUSYUZ