Penyelesaian Perceraian karena Isteri Nusyuz: Studi pada Pengadilan Agama Serang
PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi Pada Pengadilan Agama Serang)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
UWES HUJJATUL ISLAM NIM: 104044101449
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(2)
PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi Pada Pengadilan Agama Serang)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
UWES HUJJATUL ISLAM NIM: 104044101449 Dibawah Bimbingan:
Pembimbing
Kamarusdiana, S.Ag, M.H NIP. 150 285 972
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PRODI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
(3)
PENGESAHAN PANITIA UJUIAN
Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA ISTERI NUSYUZ (Studi pada Pengadilan Agama Serang) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 06 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.
Jakarta, 06 April 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 150 210 442 PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA (…….………)
NIP. 150 169 102
Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...)
NIP. 150 285 972
Pembimbing : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...)
NIP. 150 285 972
Penguji 1 : Drs. H. A. Basiq Jalil, SH., MA (……….…………)
NIP. 150 169 102 Penguji II : Asmawi, M.Ag
(…….………) NIP. 150 282 934
(4)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Februari 2009
(5)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin dengan segala kerendahan hati, penulis
panjatkan puji dan syukur kehadirat allah SWT atas segala limpahan taufiq dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan Salam semoga
tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar Nabi Muhammad SAW, keluarga dan
para sahabatnya serta para pengikutnya yang tetap istiqomah menegakkan Agama
Islam hingga akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Penyelesaian Perceraian Karena Isteri Nusyuz (Studi Pada Pengadilan Agama Serang)”.Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana hukum Islam (SHI), pada Konsentrasi
Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Syakhshiyah, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada orang-orang yang
telah memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan skripsi ini, karena penulis
sadar tanpa bantuan mereka semua, skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu sepantasnya penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(6)
2. Ketua Program Studi Peradilan Agama, Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. dan
juga kepada Sekretaris Program Studi Peradilan Agama, Kamarusdiana, S.Ag.,
M.H. yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat membantu selama
penulis menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Pembimbing skripsi penulis, Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi dalam penulisan skripsi serta
tidak jera memberi masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini dan juga
bersedia meluangkan waktu kepada penulis di tengah kesibukannya.
4. Segenap bapak dan ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Segenap jajaran Staf dan Karyawan Akademika Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun
skripsi.
6. Ketua Pengadilan Agama Serang dan seluruh Staf yang telah mengizinkan dan
membantu penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama
Serang guna penyelesaian skripsi ini.
7. Ayahanda Drs. M. Djurdjani dan Ibunda Anisah Zuhri, kakanda (Uyu
Mu’awanah, S.Pd dan Yeti Fikriyati, S.Pdi), adinda (Ima Hikmawati dan Iman
Izzurrohman), Kakek (Alm. KH. Zuhri Darda) serta Nenek dan semua keluarga
(7)
senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, serta memberikan
dorongan moril dan materiil, serta nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis,
semoga hari-hari mereka selalu bahagia dan dilindungi Allah SWT.
8. Pamanku dan isteri (Drs. Abdul Basit Zuhri, MA. dan Nova Santika) yang selalu
memberikan motivasinya kepada penulis, serta keponakan-keponakanku yang
ganteng-ganteng dan cantik (Fajrul Falah, Miftah Ilmi Rabbani, Aisyah Lutfiah)
9. Zakaria, M. Yusuf, Fajar Abrilian, Azizah, Ulfah Fauziyah, Zuhairi Barata,
Muhammad Isnaini, Indrawan, A. Bafaqih, dan kepada seluruh angkatan 2004
khususnya Peradilan Agama yang telah membantu dan mengisi hari-hari penulis
selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
10.Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam K.H. Bahruddin beserta keluarga,
dan tidak lupa teman-teman di Pondok Pesantren Daar El-Hikam: Luthfi, Ade,
Maki, Iwan, Hasan, Yayat, Aziz, Toni, Amri, Sani dan semua santri (mohon maaf
tidak bisa sebutin satu-satu).
11.Keluarga besar Al-Barkah: Rohim, Domen, Nian, Aziz, Habib, Majid, dkk.
Demikianlah skripsi ini penulis susun, semoga bermanfaat bagi semuanya
khususnya bagi penulis sendiri dan dan bagi para pihak yang turut membantu semoga
amal ibadahnya dibalas oleh Allah SWT. Amin
Jakarta, 27 Februari 2009
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ A. Pengertian dan Dasar hukum Perceraian ... 14
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian ... 18
C. Macam-macam perceraian ... 20
D. Prosedur Perceraian ... 30
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz ... 36
B. Faktor-faktor Isteri Nusyuz ... 40
(9)
BAB IV PENYELESAIAN PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ DI PENGADILAN AGAMA SERANG
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Serang ... 48
B. Data Perceraian Isteri Nusyuz ... 53
C. Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ... 56
D. Analisa Penulis terhadap Putusan Perceraian Isteri Nusyuz ... 60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67
B. Saran-saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ... 73
B. Mohon Data / Wawancara ... 74
C. Wawancara ... 75
D. Pedoman Wawancara ... 76
E. Hasil Wawancara ... 77
F. Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2006 ... 79
G. Laporan Perkara Yang di Putus Tahun 2007 ... 80
H. Putusan No. 58 / Pdt.G / 2006 / PA Srg ... 81
I. Putusan No. 30 / Pdt.G / 2007 / PA Srg ... 87
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia yang hidup dimuka bumi ini pasti menginginkan kebahagiaan
dan salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan cara
melakukan perkawinan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Aturan tersebut
dibuat oleh Allah SWT secara sempurna sehingga manusia yang mengikutinya
dapat memperoleh ketentraman dan kebahagiaan.
Islam membangun kehidupan keluarga atas dasar dua tujuan: pertama,
menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk menciptakan wadah yang bersih
sebagai tempat lahirnya sebuah generasi yang berdiri diatas landasan yang kokoh
dan teratur tatanan sosialnya.1
Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang disyari’atkan Allah
SWT kepada hamba-hamba-Nya. Dalam perspektif Islam, perkawinan tidak hanya
sebagai kebutuhan biologis seksualitas antara seorang laki-laki dengan seorang
wanita, akan tetapi Islam memandang sebuah perkawinan sebagai institusi untuk
menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
1
Abduttawal Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet ke-1, h. 8-9.
(11)
Sebagaimana firman Allah SWT surat Al-Hujurat ayat 13:
!"
"#
$ %
&'( )*+%,-./
01
2345
6748$9:
;<'( )*=-.>.?
8& >'A
BCE
F4G
H
I >= J
.> K
6
"L
%
;&'( 1
MN :
. *
;<'(
4%+ :
6
"L
%
A
PQR
-
ST
F./
UVW
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)
Allah SWT, menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat
berhubungan satu sama lain. Sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan
hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari
Rasul-Nya yaitu dengan perkawinan.
Menurut hukum Islam yang dimaksud perkawinan ialah akad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta
bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya
bukan muhrim.2
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk hidup yang diciptakan Tuhan, baik pada diri manusia, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan.
2
(12)
Perkawinan adalah suatu hubungan istimewa yang tentunya berbeda dengan
hubungan perdata lainnya, seperti: hukum kewarisan, hukum benda atau hukum
kekayaan,3 artinya bahwa perkawinan tidak hanya menyangkut aspek lahiriyah
saja tetapi juga aspek batiniyah dan hal inilah yang membedakan hukum
perkawinan dengan hukum kebendaan atau hukum kewarisan. Selain itu hukum
perkawinan juga mencakup aspek yuridis sosiologis yakni suatu hubungan
interaksi yang memiliki norma-norma tersendiri.
Perkawinan merupakan salah satu yang diplih Allah SWT sebagai jalan
terbaik bagi manusia untuk menjalin kasih sayang antara seorang pria dengan
seorang wanita setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya sebagai
suami isteri.
Hukum bukan hanya sekedar kumpulan peraturan tingkah laku belaka, akan
tetapi merupakan sebuah manifestasi konsep-konsep, ide-ide dan cita-cita sosial
mengenai pola ideal sistem pengaturan dan pengorganisasian kehidupan
masyarakat.
Hal ini tercermin dalam konsep atau cita-cita tentang keadilan sosial,
kesejahteraan hidup bersama, ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan
demikian untuk mencapai semua itu, peradilan yang merupakan bagian dari
pranata hukum (Legal Institution) sangat berperan penting terhadap
berlangsungnya keteraturan, kesejahteraan serta ketentraman dan sebagainya.
3
(13)
Dalam pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa perkawinan dapat terputus disebabkan karena: (1). Kematian;
(2). Perceraian; (3). Atas Putusan Pengadilan4. Terutama pada kasus peceraian
dapat terjadi karena adanya ikrar talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Dalam hadits shahih dikatakan:
X
X
X
XX
X
X
XX
X
X
X
XX
ﻥ ی
XX
X
X
!
X
"#
XX
X
$ %&'
XX
( "
X
X
)
X
*$ ﻥ)
X
X
"
X
XX
+#
X
X
)
X
, ی
XX
- .
X
:
X
- .
X
- /
X
0
X
123
X
0
X
4 2
XX
2
X
:
X
X
5 %ی
X
6 7
XXX
89 7
X
(
X
: ;
X
<
X
8=2>
X
?/
X
<
X
>)
X
- .
X
: @
X
A
X
/
:
X
2
XH
B
5XX
Artinya: Hadits Ibrohim ibn musa ar-Razi, hadits Isa ibn Yunus hadits Abdul Hamid ibn Ja’far dari Imron ibn Abi Annas, dari Umar ibn Hakam dari Abi Hurairah berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah seorang mu’min laki-laki membenci seorang mu’min perempuan jika ia membenci sesuatu tingkah lakunya, tentu ada tingkah lakunya yang lain yang disenanginya. (HR.Muslim) Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai wafatnya
salah seorang suami isteri, inilah sebenarnya yang dikehendaki dalam Islam.
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diharapkan oleh Islam, akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan
seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-sama dapat
mewujudkan rumah tangga tempat berlindung, menikmati naungan, kasih sayang
dan dapat memelihara anaknya dalam pertumbuhan yang baik.
4
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke 6, h. 274-275.
5
(14)
Karena itu maka dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan
paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas
menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, selain daripada
itu Allah SWT sendiri menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri dengan
sebutan “Mitsaqon Ghalidzaa” (perjanjian yang kokoh)6.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 21:
.
+Y23
Z
$ 'Y>\= 4
] 4G
67^7+= :
;<_`_a > &
6b,c
%
cd > &
eY./ :
<_`#
1
g% 4hY
01
#_Y
-2P
iUW
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
(An-Nisaa’/4:21)
Jika ikatan antara suami isteri itu demikian kokohnya, maka tidak sepatutnya
dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk penyepelekan hubungan perkawinan
dan melemahkannya adalah dibenci Islam, karena ia merusakan kebaikan dan
menghilangkan kemaslahatan antara suami isteri.
Nabi bersabda:
C;
$ !
,
"#
$ >
,
D &
E3
,
F/ #
/ G
,
"
,
H1!
23
0
4 2
I2
- .
:
JK )
- 2#
0
L 2M
)
: /
G
G
7X
(
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: perbuatan yang halal akan tetapi dibenci oleh Allah Azza Wajalla ialah Thalaq. (HR Abu Daud).
6
Slamet Abidin & H. Aminuddin, Fiqh Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1996) cet.ke-2 h.9
7
(15)
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hak-hak yang menghendaki putusnya
perkawinan, dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan maka
kemudhorotan yang akan terjadi8. Meski diperbolehkan untuk bercerai tetapi hal
itu suatu perbuatan yang paling dibenci oleh Islam karena akan menghilangkan
kemaslahatan antara suami isteri.
Namun demikian tidak jarang terjadi bahwa tujuan mulia tersebut tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Karena pada kenyataannya membina suatu perkawinan
yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan kandas
ditengah jalan, akibatnya timbullah perceraian. Perceraian merupakan
problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi
anak-anak, tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban karena orang tuanya
berpisah.
Saat masalah yang sudah ada tidak dapat diselesaikan dengan upaya
perdamaian, maka Islam memberikan solusi dengan dibolehkannya perceraian,
cerai atau putusnya perkawinan dapat terjadi atas kehendak suami ataupun
kehendak isteri, hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian
memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraiannya pun berbeda,9
perceraian atas kehendak suami disebut cerai talaq sedangkan perceraian atas
kehendak isteri disebut cerai gugat.
8
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Prenada Media, 2003) cet ke-1, hal.124.
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. Ke 1, h.206
(16)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114, menyatakan bahwa:
putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak atau berdasarkan gugatan perceraian.10
Salah satu azas perkawinan yang ada adalah mempersulit terjadinya
perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik, apabila
terpaksa melepaskannya dengan cara yang baik pula.
Pada dewasa ini dengan berjalannya waktu, perempuan atau isteri dengan
isu-isu gendernya mulai meminta haknya untuk disamakan dengan laki-laki, karena
isteri sudah sibuk dengan pekerjaannya dan penghasilannya pun lebih tinggi dari
penghasilan suami, sebagai isteri sudah meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang isteri dan ibu rumah tangga yaitu berbakti kepada suami. Berbeda dengan
sekarang tidak sedikit isteri yang berpenghasilan tinggi tidak mau diperintah oleh
suaminya yang penghasilannya pas-pasan, sebagai isteri seharusnya ia
menjalankan apa yang menjadi kewajibannya salah satunya memberikan nafkah
batin kepada suaminya.
Apabila hal ini terjadi maka ini merupakan persoalan yang sangat penting
karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya
perkawinan, dan tidak menutup kemungkinan banyak terjadinya perselingkuhan
yang dilakukan oleh salah satu pasangan, sehingga kehidupan keluarga tidak
berjalan harmonis.
10
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), cet. Ke 4, h. 140
(17)
Berawal dari penjabaran latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali
mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “Penyelesaian Perceraian Isteri Nusyuz studi pada Pengadilan Agama Serang”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah
Agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan
masalah baru serta pelebaran secara meluas maka penulis memberi batasan
pembahasan ini pada masalah perceraian Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama
Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
214/Pdt.G/2008/PA Srg .
2. Perumusan Masalah
Pada dasarnya kewajiban seorang isteri adalah berbakti kepada suami lahir
dan batin sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 83
ayat 1 “Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada
suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”. Akan tetapi pada
kenyataannya banyak isteri yang acuh terhadap suaminya bahkan diajak ke
tempat tidur dia menolak tanpa ada alasan yang jelas.
Untuk memperjelas masalah dalam pembahasan ini maka dirumuskan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana majelis hakim Pengadilan Agama Serang dalam memproses
(18)
b. Bagaimana putusan majelis hakim di Pengadilan Agama Serang
mengenai carai talak tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara
perceraian dengan alasan Isteri Nusyuz di Pengadilan Agama Serang.
Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah tersebut, maka yang
akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya Isteri Nusyuz?
b. Memperoleh gambaran atas data dan informasi mengenai bentuk isteri
nusyuz di Pengadilan Agama Serang.
c. Mengetahui prosedur penyelesaian perkara cerai isteri Nusyuz.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dan hasil penelitian dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Agar penelitian ini akan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi
peningkatan kesadaran hukum kepada masyarakat khususnya mengenai
tatacara perceraian di Pengadilan Agama
b. Bagi masyarakat pembaca pada umumnya dan mahasiswa pada
khususnya, tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bacaan
(19)
c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
hukum Islam yang menyangkut perkawinan dan perceraian.
d. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bagi pihak yang berwenang saat
mengambil kebijakan dalam upaya peningkatan kesadaran hukum di
masyarakat tentang perceraian di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah penulis menggunakan
pendekatan kualitatif, Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat
mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam
wilayah-wilayah konsep mutu.11 yaitu dengan melakukan analisa dengan cara menguraikan
dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan
kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.
2. Sumber Data a. Data Primer
Didapatkan dari Pengadilan Agama berupa putusan cerai talak mengenai
perceraian karena alasan Nusyuz yang terjadi di Pengadilan Agama Serang
dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
11
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet.I, h.37
(20)
214/Pdt.G/2008/PA Srg. Wawancara terhadap hakim, kemudian kedua data
tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan
masalah yang dikaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits,
buku-buku ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta
peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang
diajukan.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Menganalisis terhadap putusan cerai talak karena isteri nusyuz pada
Pengadilan Agama Serang dengan Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg,
30/Pdt.G/2007/PA Srg dan 214/Pdt.G/2008/PA Srg.
b. Wawancara (Interview) yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan dan
yang diwawancarai memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12 Interview
yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah
12
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.186
(21)
dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh
informasi dari terwawancara (interviewer).13
Dalam hal ini penulis mengadakan wawancara dengan responden
yaitu: Hakim Pengadilan Agama Serang dan guna melengkapi data yang
yang dilakukan, penulis akan melakukan wawancara dengan responden
yaitu pihak-pihak yang terlibat langsung pada kasus yang bersangkutan,
dalam hal ini adalah pemohon dan termohon.
4. Analisa Data
Analisa data adalah proses pelacakan dan pengaturan secara sistematik
transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan
untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat
dipresentasikan temuannya kepada orang lain.14
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan
putusan perkara perceraian karena alasan isteri Nusyuz yaitu putusan dengan
Nomor Perkara 58/Pdt.G/2006/PA Srg, 30/Pdt.G/2007/PA Srg dan
214/Pdt.G/2008/PA Srg. dan menghubungkan dengan hasil interview dari pihak
yang terlibat langsung pada kasus ini dalam hal ini adalah hakim Pengadilan
Agama Serang yang menangani kasus ini. Sehingga didapat suatu kesimpulan
13
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 1996), cet.ke-10, h. 144
14
(22)
yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang
dilakukan penulis dalam penelitian ini.
E. Sistematika Penulisan
Didalam melakukan penyusunan skripsi ini penulis memberikan gambaran
guna mempermudah pembaca dalam menelaah skripsi ini, maka dalam penulisan
skripsi ini, penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari skripsi ini secara singkat
adalah sebagai berikut:
Bab pertama: Berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Serta
Sistematika Penulisan.
Bab kedua: Menguraikan Sekitar Masalah Perceraian Isteri Nusyuz: Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian, Sebab-sebab terjadinya Perceraian, Macam-macam
Perceraian serta Prosedur Perceraian.
Bab ketiga: Tinjauan Umum Tentang Nusyuz: Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz, Syarat-syarat Nusyuz serta Akibat dari Nusyuz.
Bab keempat: Penyelesaian perceraian isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang, Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Serang, sejarah, kedudukan,
letak wilayah yuridiksi. data perceraian isteri nusyuz, penerapan perceraian isteri
nusyuz, serta analisa penulis terhadap putusan perceraian isteri nusyuz.
Bab kelima: Di bab lima ini terdapat kesimpulan dan saran-saran sehubungan dengan pelaksanaan prosedur perceraian, penulis juga melampirkan daftar pustaka
(23)
BAB II
SEKITAR MASALAH PERCERAIAN ISTERI NUSYUZ A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam
Undang-Undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini
hidup sebagai suami isteri.15 Perceraian dalam istilah fiqh disebut “talak” atau
“Furqah” talak berarti “membuka ikatan”, “membatalkan Perjanjian”. Furqoh
berarti “bercerai” lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan
istilah oleh ahli fiqh yang berarti perceraian antara suami isteri.16
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut syara’
adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan antara suami
isteri.17 Sedangkan talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang
sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat
menggantikan kata-kata tersebut.18
15
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-2, h. 189
16
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), cet. ke-2, h.156
17
Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), cet. ke-1, h.134 18
(24)
Pengertian kata talak atau perceraian dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari
segi bahasa dan istilah. Secara bahasa, perceraian berarti putusnya suatu hubungan
sebagai suami isteri selagi hidup atau bahkan mati.19 Secara Istilah perceraian
berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami yang telah
ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang disebabkan meninggalnya salah
seorang dari suami atau isteri.
Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak sebagai ikrar suami dihadapan
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan
cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.20 Kompilasi
Hukum Islam memberikan pernyataan yang hampir sama dengan UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974, dijelaskan pada bab XVI Pasal 115 yang berbunyi:
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”21
Prof. Subekti, S.H., menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan itu.22
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h.185
20
Kompilasi Hukum Islam Pasal 117 21
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 115 22
(25)
Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian dalam
hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam UU Perkawinan No.1
Tahun 1974 pasal 38 dan KHI pasal 113, hanya menyebutkan sebab-sebab
putusnya perkawinan, yaitu:
a. Karena Kematian;
b. Karena Perceraian; dan
c. Karena Putusan Pengadilan.23
Jadi dari beberapa definisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa talak
merupakan pemutus hubungan suami dan isteri serta hilanglah pula hak dan
kewajiban suami isteri. Meskipun dalam pengucapan talak menggunakan
lafaz-lafaz tertentu, namun penekanannya dimaksudkan bertujuan yang sama yaitu
untuk berpisah antara suami isteri dalam artian putusnya perkawinan.
2.Dasar Hukum Perceraian
Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup dan
kebahagiaan yang kekal abadi bagi pasangan suami isteri yang bersangkutan.24
Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan untuk
selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang cinta mencintai, karena itu agama
Islam mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara dalam
23
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 113
24
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1 Th.1974 dan KHI), (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), cet.ke-1, h.98
(26)
waktu yang tertentu sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah
Mut’ah, nikah Muhalil, nikah Muwaqqat dan sebagainya.
Untuk menjaga hubungan keluarga dan menghindari suatu pertengkaran yang
terjadi terus menerus maka agama Islam mensyariatkan perceraian, akan tetapi
bukan berarti bahwa agama Islam menyukai perceraian, agama Islam tetap
memandang perceraian sebagai suatu yang musykil sesuatu yang tidak diharapkan
akan terjadi karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam.25
Adapun dasar hukum perceraian menurut hukum Islam terdapat dalam firman
Allah SWT surat al-Baqarah ayat 229:
k ,-Al
WL
4 m4n
H
oo
^ +1 p4=
q
rs >)t (
:
F2
T]u4
^ ]
p
&
(
Bv
JC
4w
;<_`4
L :
H
'Y>\= 4
ux
1
u >y xz s4
'
{ +Y2A
v
%
L :
4=
4 4w
|v :
.x
%
.
H
L
p4=
Q'}+t~/
|v :
•Y
%
.
,
B24=
..
)*?
.x
;T,-
•Y
=
]<.
K+=
€
&
(
.F=-
,
B24=
.y
K >4
6
1
u .> K
.
,
.F•
4
9 4=
<>y
L •
- A_
iiaW
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan carayang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
25
(27)
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 229)
Surat Al-Baqarah ayat 227 yang berbunyi:
L
%
H
1 ‚
k ,-Al
"L
p4=
A
RRY
t2ƒ
a
- „
ii…W
Artinya: Jika mereka bercita-cita hendak menceraikannya maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 227)
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami isteri
yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera
dan bahagia sepanjang masa. Setiap pasangan suami isteri selalu mendambakan
agar hubungan yang diikat oleh akad perkawinan itu semakin kokoh terpatri
sepanjang hayat.
Dalam UU No.1 Th 1974 tentang perkawinan pasal 38 disebutkan ada 3 (tiga)
hal yang menjadi sebab putusnya perkawinan, yaitu:26
a. Karena Kematian;
b. Karena Perceraian; dan
c. Karena Putusan Hakim.
Dalam hal ini, penulis akan menguraikannya secara gamblang.
a. Karena Kematian
26
(28)
Putusnya perkawinan karena kematian tidak menimbulkan banyak
persoalan, karena dengan sendirinya ikatan perkawinan keduanya menjadi
putus. Apabila pihak suami atau isteri yang masih hidup ingin menikah lagi
maka bisa saja asalkan telah memenuhi segala persyaratan yang telah
ditentukan dalam hukum Islam.27
b. Karena Perceraian
Peraturan Pemerintah menggunakan kata perceraian ini dengan istilah
“cerai talak” untuk membedakannya dengan pengertian perceraian atas
keputusan pengadilan, perceraian atas putusan pengadilan menggunakan
istilah “cerai gugat”.28
Sebagaimana ketentuan dari UU No.1 Th.1974 tentang perceraian pasal 39
ayat 1 disebutkan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak”.29
Menurut hemat penulis, maksud dihadapan sidang Pengadilan Agama ini
dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak suami
isteri tersebut, sebagaimana hal tersebut dikaitkan dengan pasal 2 ayat 2 UU
27
Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h.194
28
Arso Sostroatmodjo, et.al., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h.60
29
(29)
No.1 Th.1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-Undangan yang berlaku”. Maksudnya apabila perkawinan harus dicatatkan, begitu pula bila terjadi
perceraian antara keduanya. Jadi, ketika menikah suami isteri tentu memiliki
akta nikah sebagai bukti otentik perkawinannya dari Kantor Urusan Agama.
Namun, apabila terjadi perceraian akta nikah diganti dengan akta cerai yang
diberikan oleh Pengadilan Agama yang menangani kasus perceraian suami
isteri yang bersangkutan.
c. Karena Putusan Pengadilan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perceraian yang terjadi
karena putusan pengadilan terjadi diluar kehendak suami atau isteri, yaitu
apabila majlis hakim berpendapat atau menilai bahwa perkawinan keduanya
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan, Bentuknya berupa fasakh
(pembatalan perkawinan).30
Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang merusak akad (perkawinan) dan
bukan merupakan talak, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak
terpenuhi pada waktu akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan dapat membatalkan kelangsungan perkawinan.31 contoh fasakh
30
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 197 31
(30)
adalah seperti baru diketahui bahwa pasangannya adalah saudara kandung
maka perkawinan tersebut batal demi hukum.
C. Macam-macam Perceraian
Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian) dapat
terjadi karena talak, khulu’, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an, tafwid
dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas macam-macam
perceraian tersebut, yaitu:
1. Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan
atau meninggalkan. Menurut istilah syara’ talak yaitu: melepaskan tali
perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini
terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan artinya mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua talak
lagi, dari dua menjadi satu talak dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu
terjadi dalam talak raj’i.32
2. Khulu’
32
(31)
Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’
berarti talak yang dicapkan isteri dengan mengembalikan mahar yang pernah
dibayarkan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh isteri kepada suami
yang telah dibencinya, agar suaminya dapat menceraikannya.33
Talak khulu’ atau talak tebus adalah bentuk perceraian atas persetujuan suami
isteri, yang terjadi dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isterinya dengan
tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khulu’.
Didalam khulu’ disyariatkan adanya ketidaksukaan isteri kepada suaminya.34
Dasar pembolehan talak khulu’ terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat (229):
k ,-Al
WL
4 m4n
H
oo
^ +1 p4=
q
rs >)t
(
:
F2
T]u4
^ ]
p
&
(
Bv
JC
4w
;<_`4
L :
H
'Y>\= 4
ux
1
u >y xz s4
'
{ +Y2A
v
%
L :
4=
4 4w
|v :
.x
%
.
H
L
p4=
Q'}+t~/
|v :
•Y
%
.
,
B24=
..
)*?
.x
;T,-
•Y
=
]<.
K+=
€
&
(
.F=-
,
B24=
.y
K >4
6
1
u .> K
.
,
.F•
4
9 4=
<>y
L •
- A_
iiaW
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
33
M. Abdul Ghoffar, EM, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2006), cet.ke-5, h.289 34
(32)
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.
(Al-Baqarah: 229)
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan suci
ataupun tidak. Hal ini disebabkan karena khulu’ terjadi atas kehendak isteri.
3. Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami isteri sedemikian
rupa, sehingga antara suami dan isteri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua
belah pihak tidak dapat mengatasinya.35
Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan suami
isteri yang diselesaikan dengan dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak
suami dan seorang hakam dari pihak isteri.36
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 35
L
%
z+t~/
4†
4%
A
•
W‡ s &
H
>ˆ.>;&
4=
hx4(.
]
01
€
:
y :
hx4(.
]
01
.‰
- y :
L
%
. V
Š4 ,-]‹
%
Wk Œ=
•
.x
4‡+
&
(
"L
%
A
LG23
gx
-
#T
F./
V W
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
35
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat., h.241 36
(33)
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(An-Nisaa’ : 35)
4. Fasakh
Fasakh berarti “mencabut” atau “menghapus” maksudnya adalah perceraian
yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau
isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk melaksanakan
kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.37
Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara fasakh ialah:
a. Cacat atau penyakit;
b. Suami tidak memberi nafkah;
c. Meninggalkan tempat kediaman bersama;
d. Menganiaya berat;
e. Murtad;
f. Salah satu pasangan melakukan zina.38
Jadi fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan
salah satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan.39
37
Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, h. 212 38
Ibid., h.195 39
(34)
Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan proses
pengadilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan
atau terjadinya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh ini
haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang dapat menimbulkan
keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.
5. Ta’lik Talak
Arti ta’lik ialah “menggantungkan” dan jika dihubungkan dengan kata-kata
talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang digantungkan jatuhnya
kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang telah disebutkan lebih
dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan lebih dahulu.40
Ta’lik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad
nikah, yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan
kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.41
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam firman Allah
Surat An-Nisa’ (4) ayat 128:
WL
%
P) :/m;n
]•4=G4\
3
1
.‰
- > &
•‘ _’$
:
#U
\s] %
B24=
..
)*?
.x
;T,- „
L :
.4
-
“
.x„”
# s &
Š4=-‹
6
2=-m“
ST; ./
(
< T~•] 9:
–Š_t$z\
u2b’
6
L
%
40
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 106 41
(35)
H
#~
4>
H
_%—K4
˜e p4=
A
eG23
.x
&
e >-.x >4
#T
`./
UiW
X
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S. An-Nisaa’ : 128)
Maksud diadakannya ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk
melindungi isteri dari tindakan sewanang-wenang suaminya, dengan adanya
sistem ta’lik talak maka nasib dan kedudukan isteri dapat diperbaiki jika suami
menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim agar
perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya sesudah
terbukti kebenaran pengaduannya tersebut.
6. Dzihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum (Zihar, Ila’ dan Li’an), adalah perbuatan
berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang
menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum dinyatakan
berdampak memutuskannya.
Zihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan
isteri sebagai isteri walaupun masih tetap diikat, seperti pernyataan “kamu seperti
punggung ibuku” sambil memulai tidak menggaulinya lagi. Ketika Islam datang,
Islam menyelamatkan kaum perempuan dari kezhaliman, zihar adalah perbuatan
(36)
Sesungguhnya isteri bukanlah ibu sehingga isteri menjadi haram digauli
seperti kedudukan ibu (haram dinikahi), Islam membatalkan hukum ini dan
menjadikan zihar haram bagi perempuan sehingga suami yang mengucapkannya
terkena kifarat.42
Firman Allah SWT surat Al-Mujadilah ayat (2):
š
GA
L
‰ 4_
<'(#
1
01
‰E
^
œ
"1
˜•>y
‰
z .‰"19:
H
L
%
‰K .‰"19:
|v
%
J
A
‰ $] 4
6
;<
"ž %
L '
_% Y4
8 2`*1
/
01
Ÿ; 4%+
*J ‘
6
|e %
A
_t.>4
¡J _t2P
iW
Artinya: Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
(Q.S. Al-Mujadillah: 2)
Secara etimologi (bahasa), kata Ila’ berarti melarang diri dengan
menggunakan sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologi), kata ila’ berarti
sumpah untuk tidak mencampuri isteri dalam waktu empat bulan atau dengan
tidak menyebutkan jangka waktunya.43
Dr. Peunoh Daly dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam menyatakan
bahwa: Ila’ adalah sumpah suami untuk tidak mencampuri isterinya lebih dari
42
Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet.ke-1, h.24
43
M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), cet.ke-5, h.289
(37)
empat bulan. Sumpah suami itu boleh dikaitkan dengan batas waktu empat bulan
ataupun tidak dikaitkan dengan waktu yang seperti itu.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 226:
š
GA
Œ
L '
4
1
;< ‰E
^
œ
W
&
4
.> &;J :
]— :
H
L
p4=
!'
4=
"L
p4=
A
¡J _t2P
a Y
J
ii W
Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Q.S. Al-Baqarah:226)
Adapun li’an adalah laknat, yaitu sumpah yang didalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Allah SWT, apabila yang mengucapkan
sumpah itu berdusta. Dalam hukum perkawinan, li’an merupakan perceraian yang
terjadi akibat sumpah suami bahwa isterinya telah melakukan zina sedangkan dia
tidak mampu mendatangkan empat orang saksi.44 Sumpah li’an ini dapat
mengakibatkan putusnya perkawinan antara suami dan isteri untuk
selama-lamanya.
Bersumpah untuk tidak menggauli isteri itu merupakan kebiasaan orang Arab
jahiliyah dan yang demikian dimaksudkan untuk memutus hubungan perkawinan.
Kebiasaan tersebut dilanjutkan dalam Islam namun dalam bentuk dan cara yang
44
(38)
berbeda dengan yang berlaku sebelumnya. Dalam pandangan Islam Ila’ itu
memang menyebabkan suami tidak boleh lagi menggauli isterinya, namun tidak
dengan sendirinya memutus hubungan perkawinan.45
Firman Allah SWT surat An-Nuur ayat 6 dan 7 :
š
GA
L 1;
;<‰.?{
+‘ :
4
'(
;<¢£
!'
.
_—
v
%
;<‰¤ _t$ :
').
.‰ ’4=
y
, :
R &;J :
¥<{.
”2A
&
˜
Z
$ %
/
x4
¦§
G
¨“
W
> ^
x 4 +©
"L :
^• # >4
+Y,-
L
%
LG23
/
1
š§
&
Y 4(+
…W
Artinya: (6). Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
(7). Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta
7. Tafwidh
Tafwidh talak artinya menyerahkan talak. Yakni seorang suami memberikan
hak talak kepada isterinya. Syarat-syaratnya ditentukan oleh keduanya secara
sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat mutlak. Apabila syarat-syarat yang
telah ditentukan secara sukarela tersebut terpenuhi, maka isterinya mempunyai
hak untuk menjatuhkan talak kepada suaminya, maka terjadilah talak.46
45
(39)
Firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 28:
m7
c"#
C>G
.F~?{
+‘ž\
L
%
u z#'3
e
>
,)6
.4+
Y $J
.‰ z ª
‘
¦ §4
.> z4=
u '( >
,K 19:
˜•'(]
”T^˜9:
GŠ,
T^˜
ˆ2
4y
iW
Artinya: Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. (Q.S. Al-Ahzab:28) 8. Riddah (murtad)
Kata riddah merupakan isim masdar dari kata “ ” yang berarti mundur,
kembali ke belakang. Sedangkan dari segi istilah adalah keluar dari agama Islam
menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan maupun perbuatan yang menyebabkan
orang yang bersangkutan dikategorikan kufur.47 Jadi riddah atau murtad ialah
keluar dari agama Islam, baik pada agama lain ataupun tidak beragama. Di
Indonesia, putusnya perkawinan karena murtadnya salah satu baik suami maupun
isteri termasuk fasad atau batal demi hukum, dan pemutusannya dilakukan
didepan sidang Pengadilan Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang
dinyatakan bukan didepan sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.48
D. Prosedur Perceraian
46
Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.56 47
Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.63
48
(40)
Sebelum membahas perceraian karena isteri nusyuz secara khusus, terlebih
dahulu penulis akan menggambarkan prosedur perceraian baik penerimaan
perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara
dikepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.
Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani
diajukan ke kepaniteraan Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub
kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan
permohonan). Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak
suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum
Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.49
Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian
atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut hukum Islam suamilah yang
memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali
perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Permohonan cerai talak meskipun
bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara
gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.50
Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian
terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk
dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan.
49
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet.ke-4, h.206
50
(41)
Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan
arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila
terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan
sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh
posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.51
Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih
dahulu harus diperbaiki, Panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam
meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian
tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara,
lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan
(dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya
berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.52
Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir
besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 182
ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 2006 perubahan dari
Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:
a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.
51
Ibid., h.76 52
Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001), ed.ke-2, cet.ke-8, h.129
(42)
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain.
d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.53
Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk
mengajukan gugatan perkara secara Prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuannya
dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala
Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon
menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat
Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian
surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian
menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua
Pengadilan melalui panitera.54
Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada
Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk
hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya
pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk
seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.55
53
Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang No.3Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.74
54
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet.ke-2, h.14
(43)
Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat
menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua
majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Pasal 121 HIR,56 untuk membantu Majelis Hakim dalam
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam
hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.57
Tata cara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:
a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil ditempat tinggalnya;
b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal;
c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.58
55
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet.ke-6, h.39
56
M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13 57
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h.214 58
(44)
Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui
tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU
No.3 tahun 2006 perubahan dari UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
pasal 5459:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa
mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus
sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum
dilanjutkan ketahap pemeriksaan, diawali dengan membaca surat gugatan.60
Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan
untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat
melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya
yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas
59
Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.202-203 60
(45)
sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat
menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.61
Tahap Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat
memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap
pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang
dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak
menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat
akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan
dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.62
61
Ibid., h.43 62
(46)
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG NUSYUZ
A. Pengertian dan Dasar Hukum Nusyuz 1. Pengertian Nusyuz
Nusyuz berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan isteri nusyuz
terhadap suaminya berarti isteri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya
dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya. Secara
definitif nusyuz diartikan dengan: “kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal
menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.63
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusyuz seorang berarti: “Perbuatan
tidak taat dan membangkangnya seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan)
yang tidak dibenarkan oleh Hukum Islam”.64 Selanjutnya dijelaskan
membangkang artinya: tidak mau menuruti (perintah), mendurhakai, menentang
dan menyanggah.65
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah penyelewengan
63
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, h.190-191 64
Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka, 1998), h.619
65Ibid ., h.76
(47)
dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga.66 Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 83 ayat 1 menyebutkan:
“Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam”.
Nusyuz berarti durhaka, maksudnya seorang isteri melakukan perbuatan yang
menentang suami tanpa alasan yang dapat diterima oleh syara’. Ia tidak mentaati
suaminya atau menolak diajak ketempat tidur.67 Didalam kitab Fathul Mu’in
disebutkan bahwa termasuk perbuatan nusyuz, jika isteri enggan bahkan tidak
mau memenuhi ajakan suami sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84
Ayat 1
Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1, kecuali dengan alasan yang sah.
Ayat 2
Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
Ayat 3
Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 diatas berlaku kembali sesudah isteri
tidak nusyuz.
66
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam diIndonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. Ke-3, h.209
67
(48)
Ayat 4
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan
atas bukti yang sah.68
Artinya jika suami melanggar hukum Islam seperti: berjudi, minum khamar
(mabuk-mabukkan), melakukan tindak kekerasan dan penganiayaan dan
sebagainya, maka isteri tidak dianggap nusyuz.
Berdasarkan keterangan diatas, maka penulis dapat pula memberikan contoh
nusyuznya seorang isteri seperti: tidak mau diajak tidur bersama, anak terlantar
akibat isteri sering keluar malam bahkan sampai larut malam, isteri acuh setiap
suami menyuruh mengambilkan sesuatu, meninggalkan rumah tanpa izin dari
suami dan lain sebagainya.
2. Dasar Hukum Nusyuz
Berkenaan dengan hal ini Allah SWT memberi tuntunan bagaimana
mengatasi nusyuz isteri agar tidak terjadi perceraian. Firman Allah Surat
An-Nisaa’ : 34
ŸG. V”
e 1{
4G
b,
'
^
0*
.x
&
BC|a4=
•
‰Ba > &
6b,
cd > &
.x
&
H
_%2t$ :
]
1
;< ‰
{
+1 :
6
_• .4
- ¨“
4=
R•
K
# 4G
S• 4_
t .
-+Y
=-
Œ
.x
&
2r
t.
•
6
68
(49)
7
Q A
L >=
4 1
˜•>y.‘ _’>œ
˜•>y ¤_
>4=
u >y _« y
b
š
•R~?
Ba.x+
u >y &
T]
H
L
p4=
;<_` # >4 :
B24=
H
'
;F4
u
;T,-
g2Y
`.-(
"L
%
A
eG23
v
-
#T
`BN
VW
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
(Q.S. An-Nisaa’: 34)
Dan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ (4) ayat 128:
WL
%
P) :/m;n
]•4=G4\
3
1
.‰
- > &
•‘ _’$
:
#U
\s] %
B24=
..
)*?
.x
;T,- „
L :
.4
-
“
.x„”
# s &
Š4=-‹
6
2=-m“
ST; ./
(
< T~•] 9:
–Š_t$z\
u2b’
6
L
%
H
#~
4>
H
_%—K4
˜e p4=
A
eG23
.x
&
e >-.x >4
#T
`./
UiW
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
(50)
manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q. S. An-Nisaa’ : 128)
Dalam sebuah hadits nabi SAW yang berbunyi:
)
, ی
1?/
0
4
H1!
23
0
4 2
2
- .
:
N
G
'
E
)O
4
P
Q
4
R
P2
OS
O
4
P!
T
@
U
!
(
2
<
R
&
V
<
"
2
W
+
9
V
O
X
!
Y
A
: /
2 "
B
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur, tetapi ia menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang marah, maka para malaikat melaknatnya (isteri) hingga datang pagi”. (H.R. Muslim)69
Dijelaskan pula dalam sebuah hadits nabi SAW:
)
ی
,
/
?
1
0
4
!
H1
3
2
0
2
4
2
.
-:
Z
[
ﻥ%
:
R
/
'
$E
ی
)O
4
P
Q
<
R
PV
S
2
4
R
;
(
Z
[
P
"
\
>
8M
2
<
,
V
ی
?
<
)
: /
2 "
(
Artinya: Dari Abu Hurairah R.A. berkata, bahwa nabi SAW bersabda: “Demi Dzat jiwaku ada dalam genggaman tangan-Nya, setiap lelaki (suami) yang mengajak isterinya ketempat tidur lalu sang isteri tidak mau, maka
69
Imam Abu Hasan Muslim bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, t.th), juz II, h.585
(51)
yang ada dilangit akan terus murka kepadanya (isteri) hingga suami meridhoinya”. (H.R. Muslim)70
Berangkat dari surat An-Nisa’ ayat 34 al-Qur’an memberikan opsi sebagai
berikut:71
a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
b. Bila dinasehati tidak berhasil, maka pisah ranjang (tempat tidur), cara
ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam
kesendiriannya tersebut, ia dapat melakukan koreksi diri terhadap
kekeliruannya.
c. Apabila kedua cara diatas tidak berhasil, langkah berikutnya adalah
memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tetapi dengan
pukulan yang tidak membahayakan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 80
Ayat 2
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Ayat 4
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
70
Ibid., h.585 71
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. Ziyad. Fiqh Wanita Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.IV. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004
Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat I. Bandung: Pustaka Setia, 1999. ---, Fiqh Munakahat II. cet.II. Bandung: Pustaka Setia, 1996.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI
Arto, Mukri. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Asqalani, al, Ibnu Hajar. Bulugh Al-Maram. Jakarta: Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Daud, Sunan Abi. Bab Thalaq. Beirut: Daru Ibn Hizam, 1998
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006, cet.ke-1 Fauzan, M. Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah
Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005, cet.ke-2
Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. cet.V. Bandung: Bina Cipta, 1987.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat. cet.II. Jakarta: Kencana, 2003. Ghifari, AL, Abu. Selingkuh Nikmat yang Terlaknat. Bandung: Mujahid, 2003
Haikal, Abduttawal. Rahasia Perkawinan Rasulullah: Poligami dalam islam vs Monogami Barat. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993.
(2)
Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. cet.XII. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Latif, Jamil. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981 Mughryah, M. Jawad Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2006, cet.ke-17
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. cet.II. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Moleong, Leky. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Muslim, Imam Abu Hasan bin Hijjaj Al-Qusyairi An-Naiaburi, Shahih Muslim, Beirut: Maktabah al-Ma’arif, t.th, juz II.
Nur, Djaman. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama, 1993.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam diIndonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1 Th. 1974 sampai KHI. cet.III. Jakarta: Kencana, 2006.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam (Studi suatu analisis dari UU No.1 Th.1974 dan KHI). Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996, cet.ke-1.
Rasidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Rasyid, Raihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001. ed.ke-2, cet.ke-8
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. cet.VI. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah 8. cet.XIII. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997. ---, Fiqh Sunnah Tarjamah. Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996.
Saleh, Wantjik, K. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indo, 1978.
Selamet, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Rumah Tangga (Panduan Perkawinan). Jakarta: Kalam Mulia, 1998, cet.ke-1
(3)
Soeroso, R. Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet.ke-6
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995. Suma, Muhammad Amin. dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2003.
---, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. cet.II. Jakarta: Kencana, 2006.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet.XXVII. Jakarta: PT. Intermasa, 1995. T. Yanggo, Chuzaemah dan Anskary, Hafidz, A, A.Z, Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UIP, 1974, cet.ke-2
Zamroni, Anang dan Ma’ruf Asrori. Bimbingan Seks Islam. Surabaya: Pustaka Anda, 1997
(4)
HASIL WAWANCARA
1. Selama Bapak / Ibu bertugas di Pengadilan Agama Serang, apakah pernah Bapak / Ibu menangani perkara perceraian karena isteri nusyuz?
Jawab: Pernah, namun pada waktu itu kedua belah pihak berdamai jadi persidangan tersebut dihentikan.
2. Apa tindakan Bapak / Ibu Hakim, agar mereka tidak bercerai?
Jawab: Hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan kedua belah pihak, kalau dahulu hanya cukup didalam persidangan saja, tetapi sekarang setelah ada Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Jadi di Pengadilan ada tempat khusus untuk mediasi, kalau para pihak mau berdamai maka persidangan dihentikan akan tetapi jika tidak berhasil maka persidangan dilanjutkan ketahap berikutnya.
3. Bagaimana dasar hukum Hakim dalam memutuskan Perceraian karena Nusyuz? Jawab: Dasar hukumnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, hakim selalu menggunakan kedua dasar hukum diatas dalam menyelesaikan perkara dipersidangan.
4. Apakah perceraian akibat isteri nusyuz masih banyak terjadi di Pengadilan Agama Serang?
Jawab: Kasus isteri nusyuz di Pengadilan Agama Serang sangat sedikit, kebanyakan perceraian karena tidak tanggung jawabnya seorang suami. Ini berarti para wanita di Serang masih patuh pada suami, jadi pada intinya di Pengadilan Agama Serang lebih banyak cerai gugat dari pada cerai talak.
(5)
5. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya nusyuz (bagi isteri)? Jawab: Sejauh ini faktor nusyuz yang paling banyak di Pengadilan Agama
Serang adalah karena faktor ekonomi, jadi faktor ekonomi itu sangat urgen bagi kelangsungan rumah tangga.
6. Dalam permohonan cerai talak, nusyuz apa saja yang dilakukan isteri terhadap suami?
Jawab: Isteri membangkang, isteri keluar rumah tanpa izin suami, isteri tidak mau diajak tidur padahal dia tidak sibuk, isteri sering pulang malam, isteri tidak mau diperintah oleh suami, isteri boleh menolak jika perintah tersebut bertentangan dengan agama, pada intinya isteri tidak menjalankan hak-haknya sebagai isteri.
7. Apakah Hakim mengabulkan permohonan talak (cerai talak) suami karena isteri nusyuz?
Jawab: Hakim tidak semena-mena mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi lihat dahulu bukti-buktinya, jika buktinya kuat hakim bisa mengabulkan permohonan tersebut jika tidak terbukti maka permohonan tersebut ditolak. Jadi sebelum mengambil keputusan hakim melihat-melihat dahulu bukti-bukti tersebut.
Pewawancara Terwawancara
Uwes Hujjatul Islam (H. Ubaidillah, S.H) Hakim PA Serang
(6)