Sesuatu yang hendak dikonsepsikan Hasyim Muzadi sebenarnya hanyalah sederhana. Bagaimana umat Islam ini menjadi lebih cerdas dalam menangani
setiap permasalahan yang muncul. Karena didalam situasi kemelut apapun justru yang lebih banyak adalah pihak-pihak yang menumpang dengan berbagai
kepentingan, dan kemudaian menyerang Islam itu sendiri. Analisis seperti ini jarang dikatakan orang. Dalam stesel hubungan antara Barat dan Timur sejak
terjadi ketegangan, dan dalam dunia pergaulan yang acak itu, membuka leher kemungkinan orang untuk menumpang kepentingan dalam mengacak-acak Islam.
Maka agar tidak bisa di acak-acak dari luar, hendaknya umat Islamnya sendiri harus melihat kedalam dan bertindak dengan logika yang cerdas, sehingga kalau
ada serangan yang bersifat arogan pasti akan dapat diketahui sejak dini. Sebaliknya jika pada saat umat Islam sendiri arogan, maka hal itu dijadikan
sertifikasi serangan orang ghairu Islam yang lebih hebat lagi.
110
Yang sangat ditekankan disini menurut penulis adalah bahwa pluralisme dapat dipahami bukan sebagai suatu yang netral. Ia tidak mengandaikan kita untuk
selalu permisif tanpa ada keberpihakan yang jelas, misalnya terhadap semangat toleransi. Dalam Islam, memang sering ditantang dengan pemikiran semacam ini.
Pada saat kunjungan ke Amerika, yang paling mengesankan bagi Hasyim Muzadi adalah ketika bertemu staf keamanan Presiden Amerika Serikat Steve
Hadley yang berkantor di gedung putih kemudian beliau berdua berdiskusi, dalam diskusi tersebut Hasyim Muzadi, mengatakan bahwa Islam di Asia
Tenggara jangan disamakan dengan Islam Timur Tengah. Karena Islam yang di Timur Tengah wawasannya fundamental selain negerinya sering “diobok-obok”
110
Ibid., h. 48-49.
Barat seperti dalam konteks Israel. Sehingga timbul perlawanan double, perlawanan sebagai beda agama dan perlawanan terhadap imperialisme dan
fasisme.
111
Maka kalau disana terjadi kekerasan-kekerasan, itu masuk akal. Kalau di Asia Tenggara tidak demikian, dan tidak ada penekanan dari Barat, tidak ada
urusan langsung dengan Israel, dan sebagainya. Disitu terjadilah diskusi bahwa Amerika kalau melakukan intervensi terhadap Indonesia maka kerugian ada pada
pihak Amerika untuk jangka panjang, sekalipun untuk jangka pendek merugikan Indonesia.
112
Maka kalau Timur Tengah dalam suasana perang mungkin banyak pihak mengatakan sebagai suatu kewajiban. Dalam suatu perang yang demikian
itu , dalam Islam ada hukumnya sendiri. Dalam suasana perang disitulah tidak ada jalan lain kecuali melawan dan jihad dengan mengangkat senjata, sehingga
melahirkan gerakan radikal dan fundamentalis yang sangat kuat. Disini Indonesia maka dalam kenyataannya tidak ada perang. Perang yang demikian
memerangi siapa? Semuanya menjadi tidak jelas. Sebagian kelompok melakukan kekerasan itu dengan dalih menegakan jihad. Padahal sebenarnya pengertian jihad
yang komprehensif tidak demikian. Apa pun yang dilakukan untuk kepentingan agama mengandung arti jihad. Berani mati itu memang jihad, namun hidup
berkeadilan, hidup halal, dan hidup hidup makmur juga bagian dari jihad
fisabilillah.
Jadi apa yang diharapkan dengan dialog Timur dan Barat adalah upaya penghentian kekejaman. Tapi kita menyelesaikan juga orang-orang yang telah
membuka kekejaman itu. Oleh karena itu perlu dihindari sumber-sumber konflik
111
Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance Sidoarjo: Citra Media bekerjasama dengan AMF Surabaya, 2004., h. 142.
112
Ibid., h. 145
dan kembalikan agama harus dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya sebagai
rahmat bagi seluruh alam baik alam Timur maupun alam Barat.
Agama yang membawa rahmat tentunya bertumpu pada ajaran dan konsepsi takwa secara tepat. Takwa adalah modal utama hidup di dunia untuk menuju
baldatun toyyibatun warobbun ghofur.
4. Plularisme Agama Sebagai Bagian dari Humanisme
Secara objektif fakta dilapangan menunjukan bahwa, bangsa ini dalam kondisi pecah belah kerusuhan dan konflik berkepanjangan yang hampir tiada
ujung. Wilayah Indonesia yang begitu luasnya terdapat sejumlah daerah yang sampai hari ini masih dalam situasi konflik berkepanjangan, mulai dari konflik
sara, etnis, separatisme dan juga konflik-konflik politik serta agama. Misalnya bisa disebutkan sejumlah daerah yang menjadi titik rawan konflik seperti Aceh,
Maluku, Ambon, Kalimantan Timur, Papua Irian Jaya, Makasar, dan sebagainya. Komitmen dan konsepsi Hasyim Muzadi berkaitan dengan fenomena keagamaan
akan dijelaskan pada bagian berikut. a.
Dimensi Humanisme Dalam Agama
Pluralisme keberagamaan Indonesia dalam pandangan Hasyim sebagaimana diungkapkan Anshori adalah bagaimana agama-agama
menampilkan dimensi kemanusiaannya yaitu hidup berdampingan berkembang diatas fundamen tradisi agama yang saling menghormati,
tradisi gotong royong, tradisi musyawarah dan dialog serta budaya santun. Secara lebih spesifik pada bahasan ini akan disampaikan bagaimana
pandangan Hasyim Muzadi dalam melihat hubungan Islam dengan agama- agama lain dalam wacana pluralisme agama.
113
Menurut Hasyim, bahwa pertemuan-pertemuan yang sifatnya musyawarah sebagai bentuk dialogis antara umat beragama merupakan
113
Ibnu Anshori, KH. Hasyim Muzadi; Religiusitas dan Cita-cita Good Governance., h. 54.
sesuatu yang sudah mentradisi pada jama’ah warga NU di Indonesia. Warga NU sudah terbiasa melakukan pertemuan bersama teman-teman dari
Kristen dan Katolik terutama pada hal-hal yang harus diselesaikan bersama- sama.
114
Sejumlah perubahan telah terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan intensitas yang cukup dalam memperat tali dialog dengan umat semua
agama bahkan hampir setiap minggu dilakukan dialog dengan Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Konghucu untuk membicarakan hal-hal yang
menyangkut kepentingan dan hajat hidup bersama. Hasyim Muzadi berpandangan bahwa agama Islam itu mempumyai tiga
bagian, yakni masalah teologi atau keimanan, masalah ibadah ritual, dan masalah humanisme kemanusiaan. Yang membedakan antara Islam dan
agama lainnya adalah tentang teologi dan ritual keagamaannya. Demikan dijelaskan Anshori.
115
Pada aspek nilai-nilai kemanusian semua agama mengakuinya sebagai hal yang bernilai universal dan harus dijunjung tinggi dengan tanpa pandang
bulu. Hubungan kemanusiaan yang sudah terbangun tidak boleh rusak hanya karena perbedaan teologi dan ritual. Itulah mungkin yang
membedakan NU dengan ormas Islam laninnya. Untuk masalah-masalah humanisme kemanusiaan, yang meliputi konsepsi persaudaraan, keadilan,
persamaan kemakmuran, cinta kasih, toleransi, kerjasama, dan juga anti kekerasan semua menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip dimasud adalah
114
Ibid., h. 55.
115
Ibid., h. 63.
nilai-nilai kehidupan yang universal yang juga dikehendaki oleh agama- agama lainnya tidak terbatas hanya bagi umat Islam semata.
Menurut Hasyim, siapa yang mempunyai pandangan yang sama terhadap nilai humanisme ini adalah saudara kita. Kemudian jika
menginginkan ber-Islam, dia cukup melakukan ritual dan keimanan. Menurut Hasyim pula keimanan tidak mungkin dipaksakan. Ritual adalah
sesuatu yang berada diluar akal kita, karena bentuk dan metodenya telah ditentukan Tuhan.
116
Menurut penulis, pemikiran Hasyim Muzadi dapat dipetakan sebagai berikut :
Pertama, Hasyim Muzadi dibesarkan dalam tradisi pesantren sehingga nalar politiknya tidak begitu nampak dalam kehidupannya, akan berbeda
halnya jika semisal dia dilahirkan dan dibesarkan dari kalangan politisi. Akan tetapi karena sejak mahasiswa beliau sudah aktif di organisasi dan
selanjutnya semakin matang maka selanjutnya publik memepercayainya untuk duduk di DPRD Jatim dan selanjutnya memimpin PWNU Jatim.
Kedua, meskipun Hasyim Muzadi pernah menjadi salah satu kandidat cawapres mendampingi Megawati yang diusung oleh PDIP dalam pemilu
tahun 2004 yang lalu namun bukan berarti beliau mewakili kalangan politisi tetapi karena semata-mata menjawab kebutuhan warga NU yang
menginginkan figur alternatif dimana PKB sebagai partai yang mayoritas warga Nahdliyin ternyata belum sepenuhnya mampu mengakomodir
kepentingan warga NU.
116
Ibid., h. 56.
Ketiga, dalam praksisnya Hasyim yang berlatar belakang pesantren sangat konsisten mengkampanyekan gerakan-gerakan yang mengarah pada
upaya dialog antar kelompok dengan seringnya mengadakan agenda yang melibatkan antar kelompok yang bertaraf nasional maupun internasional
seperti dialog ulama Sunni-Syi’i yang berlangsung di Bogor, disamping itu posisi beliau sebagai presiden Word Conference on Religion for Peace
semakin mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh sekaligus pemimpin ormas keagamaan yang memiliki kepedulian yang kuat akan kondisi sosial-
keagamaan yang mengarah pada pluralitas. Hal ini membuktikkan bahwa posisi pesantren memiliki peran strategis dalam turut mendorong kearah
kesadaran akan kemajemukan yang tidak hanya pada keagamaan suku, etnik, golongan, melainkan juga dalam dunia religius.
b. Kerjasama Islam Dengan Agama Lain
Hasyim Muzadi berpendapat bahwa kerjasama antara agama dapat
dilakukan pada dimensi humanisme. Sementara dalam soal keyakinan
diperselisihkan berbeda. Tapi baik Islam maupun Kristen tentu tidak tega melihat rakyat menderita. Pada titik inilah perlu dibangun kerjasama, bahu
membahu satu dengan yang lainnya tanpa membedakan keyakinan yang
satu dengan keyakinan yang lainnya.
Karenanya bisa dimengerti bahwa untuk masalah hubungan NU dengan agama-agama lain sangat baik dan sejati. Jadi bukan hubungan yang “pura-
pura” dan penuh dusta. Apalagi di Indonesia, suatu negara yang tidak pernah mengalami tekanan antar agama. Mungkin berbeda dengan Timur