itu harus dibela melalui agama. Kedua persepsi demikian itu tidak ada yang benar. Seperti halnya tragedi Bali harus dilihat sebagai kejahatan
kemanusiaan, sehingga pelaku yang tertangkap perlu diterapkan hukuman
yang setimpal dalam arti mengadili kejahatan kemanuisaannya itu sendiri.
Hasyim Muzadi mengingatkan kepada semua pihak agar berhati-hati dalam menyikapi dan penuh kewaspadaan terhadap munculnya konflik
ditengah masyarakat. Aparat yang berwenang harus cekatan. Kemungkinan ada provokator yang membenturkan umat antar agama. Hal yang perlu
dikhawatirkan adalah munculnya kejahatan kemanuisaan dan kemudian dihubungkan dengan agama. Jika demikian maka masalahnya akan menjadi
besar. Misalnya kasus bom Bali sungguh merupakan kejadian yang luar biasa. Siapa pun pelakunya perlu dikutuk, karena sudah sangat tidak
mempertimbangkan nyawa. Dalam Islam, membunuh seorang sama dengan membunuh seluruh manusia. Dalam ajaran agama manapun termasuk Islam
tidak terdapat ajaran yang membenarkannya. Peristiwa diatas tidak boleh dikaitkan dengan agama yang kemudian akan terjadi konflik antar agama.
121
Menurut penuturan Anshori, Hasyim Muzadi telah menegaskan, NU sudah mencoba berbagai upaya agar berbagai konflik di daerah tidak
dipersepsikan sebagai konflik yang berdasar agama. Dalam menerangi dan mengantisipasi gejala terorisme, Hasyim Muzadi meminta semua pihak,
agar tidak terjebak memakai kata jama’ah Islamiah. Konsep jama’ah Islamiah ditakutkan akan menjadi konsep pukul rata semua jama’ah yang
berarti komunitas atau kelompok yang memegang teguh Islam sebagai
121
Ibid., h. 62.
agamanya dan melakukan dakwah-dakwah disemua tempat. Jika konsep ini dipukul ratakan maka mengandung implikasi jama’ah umat islam dari
berbagai tempat terkena klaim sebagai barisan teroris, tidak terbatas kelompok Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan kawan-kawan, namaun juga
jama’ah NU, Muhammadiah, al-Irsyad dan sebagainya terkena stigma dan image bahwa mereka adalah teroris.
122
Dalam upaya memerangi dan mengantisipasi terorisme secara bersama- sama, Hasyim Muzadi melakukan silaturahmi bersama sejumlah delegasi
dari mancanegara, mereka menilai, NU tidak hanya merupakan kelompok Islam moderat, tetapi juga sebagai titik temu sejumlah elemen bangsa.
Untuk itulah mereka datang ke Hasyim Muzadi karena membutuhkan pemikiran-pemikiran dari NU terkait terorisme. Disitulah dihasilkan
kesepakatan dan persetujuan bahwa terorisme adalah persoalan serius sehingga perlu diberantas sampai ke akar-akarnya. Apapun bentuk dan
alasannya, para pelaku aksi terorisme adalah pembunuh dan penjahat dalam
artian umum yang tidak mewakili agama apapun.
Memang berat perjalanan NU dimasa Hasyim Muzadi dimana ancaman bertubi-tubi datang silih berganti yang jikalau NU sebagai jam’iyyah tidak
kokoh memperkuat diri maka Indonesia sebagai negara dan bangsa akan hancur, karena bagaimanapun diakui atau tidak organisasi yang tetap
konsisten mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia adalah
NU.
122
Ibid., h. 63
Menurut Hasyim, Kalau NU ingin istiqamah, mencapai maqaamam mahmudah. Maka untuk mencapai itu, ada beberapa pokok yang harus
dilakukan NU. Pertama, kembali pada metode assalafus saleh. Kedua, harus dibangun ukhuwah Nahdliyah untuk menempatkan NU sebagai milik
Indonesia. Ketiga, keretakan dari umat Islam harus disambung kembali, seperti dengan Muhammadiyah termasuk dengan ikhwan, sementara itu
ukhuwah wathaniyah yang retak harus disambung lagi. Keempat, awal 2000 sampai
2001, kalau
bisa dibangun
ukhuwah islamiyah
internasional.
123
Sampai hari ini NU sebetulnya belum menemukan bentuk formasi ideal sebagai sebuah jam’iyyah yang mencerminkan organisasi
dengan pengikut terbanyak yang turut membawa kepentingan besar dalam menentukan masa depan bangsa dan negara indonesia. Organisasi yang
diidealkan oleh warga NU adalah organisasi politik yang mampu berkompetisi berdaya saing dengan organisasi politik yang lain dalam era
demokrasi sejati dan pemikiran abad kontemporer ini. Untuk itu, NU tidak bisa disamakan dengan partai NU zaman dahulu. Sebab dimungkinkan
disitu ada ulama-nya yang bertugas menunggui, dan pengurus yang lain adalah orang yang profesional pada bidangnya, sehingga mampu melahirkan
politisi dan berkembang menjadi negarawan.
B. Pandangan Hasyim Muzadi Terhadap Fatwa MUI
Pada saat MUI dalam musyawarah nasional-nya yang ke VII yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 26 sampai 29 juli 2005 yang mengambil
123
Ibid., h. 113.
keputusan dengan mengeluarkan beberapa fatwa yang amat kontroversial terutama yang terkait dengan diharamkannya pluralisme, sekularisme, dan
liberalisme agama yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama islam. Hasyim pun menyayangkan langkah yang ditempuh MUI dengan mengeluarkan fatwa
yang justru memicu persoalan baru. Menurut Hasyim, fatwa MUI itu merupakan langkah mundur bagi kehidupan antar-umat beragama.
124
Ia menyatakan seperti itu menurut penulis karena selama ini belum ada kata sepakat yang bisa jadi
karena perbedaan persepsi tentang definisi pluralisme, sekularisme, liberalisme serta dampaknya terhadap islam di indonesia yang bisa-bisa justru memunculkan
gerakan baru yang mengarah kepada upaya formalisasi agama yang tentunya akan terkait dengan konsep relasi agama-negara. Menyinggung prinsip hubungan
agama dengan negara, Hasyim menyebut agama substansialis yang inklusif, buka ekslusif. Formalis ekslusif hanya akan memecah belah bangsa ini dalam hal
kerukunan umat beragama atau pertikaian antar suku dan budaya yang lain.
125
Menurutnya :
“Jadi, bagaimana inklusifisme itu menjamin fluralisme, dan agama bisa berjalan dengan baik. Sudah ada paradigmanya tinggal mengembangkan
saja”
126
Di sisi lain munculnya fatwa MUI menjadi sangat memprihatinkan pada saat tokoh-tokoh agama sedang giat-giatnya membangun sistem keagamaan yang
toleran, yaitu dengan upaya penghargaan terhadap kenyataan yang ada serta menjungjung tinggi terhadap agama-agama maupun paham keagamaan yang di
dalamnya demi setabilitas bangsa serta diakuinya eksistensi, harkat dan martabat bangsa Indosnesia di hadapan bangsa lain. Dengan kasus yang muncul di Ambon,
124
Kompas, 30 Juli 2005.
125
http:www.suarapembaharuan.comNews1999281199Nasionalpr01.html.
126
Ibid., h. 72
Bali, dan daerah-daerah lain yang kasusnya hampir serupa tentunya mengundang keperihatinan dunia internasional terhadap kondisi bangsa dan negara Indonesia.
Dengan keragaman tersebut jika dikelola dengan baik maka akan menghasilkan keunikan yang diharapkan akan menjadi potensi positif tersendiri dan akan
menjadi ciri khas yang akan membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya.
Namun ketika MUI memfatwakan tentang diharamkannya paham pluralisme, sekulerisme, libralisme maka seperti menjadikan persoalan lama
dipaksakan untuk dimunculkan kemabli. Hal tersebut juga dinilai bertentagan dengan ajaran Islam seperti dalam QS. A l-Baqoroh 2: 256 yang berbunyi la
ikraha fi ad-din yang artinya tidak ada paksaan dalam beragama, munculnya fatwa tersebut juga mengindikasikan masih rendahnya pemahaman akan
kenyataan keragaman yang ada di Indonesia serta mengingkari sunatullah akan kenyataan adanya perbedaan. Di sisi lain munculnya fatwa tersebut tanpa disadari
atau tidak justru akan menciptakan friksi baru di kalangan masyarakat bahwa yaitu terkelompokannya antara yang pro dan kontra terhadap fatwa MUI tersebut
yang tentunya akan menambah beban tersendiri dalam upaya menciptakan stabilitas bangsa melalui semangat pluralitas yang dibangun oleh beberapa tokoh
termasuk Hasyim Muzadi.
C. Komitmen Menjaga Pluralitas Kebangsaan
Dalam kurun tiga dasawarsa terakhir di penghujung abad ke-20, tuntutan demokratisasi menggelinding secara massif di dunia internasional. Menguatnya
tuntutan ini lantaran demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk
mengantarkan masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang sebagai sistem yang potensial untuk mengantarkan
masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dipandang lebih mampu mengangkat harkat, martabat kemanusiaan, lebih
rasional, dan lebih realistis, untuk mencegah munculnya kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.
127
Dalam pandangan Hasyim Muzadi, demokrasi adalah sistem politik yang paling sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Fakta sosiologis
menunjukkan, Indonesia adalah bangsa yang mengandung keberbagaian etnik, kultur, agama, dan kepercayaan. Paling tidak, menurut Hasyim, ada dua nilai
fundamental yang secara inheren terkandung dalam demokrasi. Pertama, nilai keadilan. Demokrasi mengandung tata nilai keadilan yang menjadi kebutuhan
fundamental seluruh umat manusia yang terekspresi dalam bentuk pemberian kesempatan dan peluang yang sama kepada seluruh warga negara untuk
mengembangkan talentanya tanpa perlu merasa khawatir adanya diskriminasi dari penyelenggara negara atau kelompok-kelompok lain.
128
Kedua, demokrasi dipandang sebagai sistem yang paling mungkin dan memadai bagi penyatuan
kekuatan seluruh
elemen kebangsaan.
Demokrasi dipandang
mampu mengkerangkai ikatan-ikatan primordial selebihnya. Karenya, menurut Hasyim,
demokrasi harus ditempatkan sebagai kerangka dasar kebangsaan dan diorientasikan secara sistematik pada upaya pemenuhan cita-cita kolektif
127
Ma’mun Murod Al-Brebesy, Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amin Rais Tentang Negara Jakarta: Rajawali Pers, 1999, h. 59
128
Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Jakarta, Logos, 1999, h. 48