BAB IV PEMIKIRAN HASYIM MUZADI TENTANG
PLURALISME AGAMA DI INDONESIA
A. Pemikiran Pluralisme Hasyim Muzadi
Untuk mengawali uraian dalam bagian ini, penulis mengutip beberapa poin dari salah satu tulisan Hasyim Muzadi yang mengatakan:
“Setidaknya ada empat pilar yang mendesak digarap dalam mukhtamar ini. Pertama, pilar pemahaman, pengalaman dan wawasan keagamaan. Ini
faktor mendasar. Ini betul-betul harus mendapatkan prioritas, ini bukan seperti NU ini meninggalkan pemahaman, pengalaman dan wawasan
keagamaan. Tetapi bagaimana cara beragama yang optimal fi al-dunya hasanah dan wafil akhirotil hasanah. Jadi bagaimana kita beragama
melahirkan kesolehan pribadi dan kesolehan sosial. Bagaiman lahir generasi yang solihun lidinihi tetapi juga solihun lizamanihi. Soleh
terhadap agamanya tetapi juga soleh terhadap tingkat perkembangan zamannya”.
90
Selanjutnya ia mengatakan : “Pilar kedua, perumusan dan pembakuan tentang hubungan agama dan
negara. Embrionya sudah ada sejak muktamar ke-27 di Situbondo. Tetapi dalam konteks kekinian perlu ada penajaman kembali dan pengembangan
lebih lanjut. Terutama dalam fenomena, dimana sekarang banyak ekstrimitas yang menggunakan label agama dan kemudian menciptakan
disintegrasi antara agama dan negara. Dalam kondisi seperti ini, maka konsep NU yang terkenal moderat sangat relevan di dalam meletakkan
agama dalam sistem pluralisme Indonesia. Tingkat moderasi NU dilihat dari kerangka ajarannya yang meletakkan hubungan agama dan negara
yang substansial inklusif”.
91
Disisi lain, Hasyim sebagai tokoh yang peduli dengan kondisi Indonesia dan Islam tentunya memiliki pemikiran sebagai representasi dari pemikiran Islam
sekaligus yang membedakan antara pemikirannya dengan para pemikir lainnya sesuai semangat zamannya, maka untuk memahami terlebih dahulu apa yang
90
Hasyim Muzadi, “Menggagas Kebangkitan NU Kedua”. Kompas, Selasa , 9 November 1999. h. 33
91
Ibid., h. 35
dimaksud pemikiran Islam alangkah baiknya jika menilik tulisan dari Muslim Abdurrahman yang mengatakan:
“Berbeda dengan ulama yang biasanya menekankan otoritas, para pemikir Islam bisa dibilang adalah termasuk golongan “pemberontak”. Mereka,
dengan kegelisahan intelektualnya, selalu mempertanyakan mengapa Islam yang normatif dan skriptualis tidak lagi mengalirkan pesannya yang
mendasar dalam zaman yang baru. Orang-orang seperti ini sebagai anak zamannya, sesungguhnya memiliki kreatifitas sejarah, yang dapat
melakukan transformasi dan transendensi dalam memajukan peradaban. Oleh karena pada dasarnya, mereka itu adalah orang yang hidup dalam
iman dan pikirannya yang selalu berjuang melawan “formalisme” ialah suatu bentuk penghayatan agama yang menempatkan iman hanya sebatas
kegiatan rutinitas ritual. Sementara itu, penekanan “strukturalisme” islam yang mensucikan tradisi telah mematikan ruh pencarian ijtihad untuk
menghidupkan inovasi, kreatifitas, dan perubahan”. Oleh karena itu, “Berpikir Islami” merupakan sebuah pencarian makna keIslaman yang
masuk akal. Kitab suci al-Qur’an dan sunnah, bukanlah memuat gagasan yang serba ada, atau merupakan sebuah “impian surga” yang sudah
sempurna. Hubungan kitab suci dan warisan tradisinya turast sebagai petunjuk kehidupan memerlukan pembacaan yang terbuka, karena kaum
muslimin menjumpai zaman dan lokus kebudayaan yang berbeda-beda”.
92
Selanjutnya mengatakan: “Berpikir Islam yang terbuka dan berwatak transformatif, sekali lagi
memang lain dibandingkan dengan semangat mencari “Jawaban Islam” yang khas untuk disandingkan dengan pemikiran yang lainnya sebagai
alternatif. Dalam pemikiran Islam yang “bebas”, kaum muslimin diluar kesadaran komunitsnya harus benar-benar menjadi manusia, seperti halnya
manusia yang lainnya, dengan kebebasan berpikir-sekuler. Kendatipun mereka betulk-betul hidup dalam suasana moral dan emosi spiritual yang
religius, namun dalam bernegara, demokrasi, dan ber-civil society, tentu tidak harus mempertanyakan terlebih dahulu, adakah dan dimanakah
rujukan agamanya, karena hal-hal seperti itu merupakan bagian dari komitmen nilai hudup bersama dengan orang lain dan tentu saja semata-
mata merupakan wilayah politik yang imajinatif. Corak berpikir Islam seperti ini, adalah sesuatu yang seharusnya terjadi secara natural dan harus
dilakukan. Pertama, karena imajinasi politik seperti itu memang merupakan kebutuhan kontemporer yang belum pernah terpikirkan oleh
para pemikir Islam skolastik. Kedua, orang Islam sekarang hidup dalam peradaban yang kesadarannya tidak mungkin bisa dibatasi oleh entitas
yang singular akibat munculnya gejala “pinjam-meminjam” gagasan kemanusiaan yang sangat terbuka dewasa ini. Oleh karena itu, tidak
mungkin kaum muslimin hidup dalam syari’ah dan keumatannya sendiri
92
Muslim Abdurrahman, Dalam Pengantar Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Airlangga, 2003. h. 39
tanpa mempertimbangkan dirinya dalam kehidupan individu dengan orang lain, dengan negara dan sebagai warga negara yang luas”.
93
Dari tulisan di ataslah penulis terinspirasi dan bermaksud menjelaskan posisi pemikiran Islam khususnya pemikiran Hasyim Muzadi, dan kemudian
yang ingin penulis pertegas terlebih dahulu adalah makna pemikiran Islam. Fakhri Ali dalam salah satu tulisannya sebagaimana yang dikutip oleh Ihsan Ali Fauzi
mendefinisikan pemikiran Islam sebagai “refleksi” intelektual yang sistematis dalam menanggapi permasalahan individual, sosial-politik, ekonomi dan
kebudayaan dari perspektif ajaran Islam.
94
Definisi tersebut dapat kita terima dengan dua catatan. Pertama, bahwa pemikiran Islam tersebut tidaklah terkooptasi atas kepentingan tertentu serta
sebagai suatu yang memang terbuka menerima ruang dialog terhadap bentuk perubahan yang berlangsung. Kedua, menjadikan pendidikan sebagai basis
perubahan, di mana pendidikan yang matang akan melahirkan intelektual Muslim. Hasyim dikenal sebagi sosok kiai yang memposisikan dirinya sebagai
seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal “nasionalis dan pluralis”.
95
Hasyim Muzadi mengatakan bahwa munculnya konflik di Indonesia, terutama yang membawa-bawa nama agama hingga
pemerintah dan aparat kewalahan menanganinya merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Bila menyangkut konflik menyangkut antar agama, ia
mengatakan NU telah melakukan dialog lintas agama. Sebab, tidak mungkin
93
Ibid., h. 47
94
Ihsan Ali Fauzi, “ Pemikiran Islam Indonesia dekade 1980-an”, Bandung : Prisma, Edisi 1991. h. 31
95
Diakses dari Http:Id.Wikipedia.OrgWikiHasyim_Muzadi.
masalah itu diselesaikan hanya dengan peran satu kelompok saja. Bila konflik itu ingin dituntaskan, maka harus melibatkan keduanya itu.
96
Ketika terjadi peristiwa ditabraknya WTC 11 September 2001 yang memunculkan tuduhan AS langsung terhadap gerakan Al Qaeda sebagai
pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaringan Al Qaeda posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan.
Namun hal itu bukan berarti persoalannya selesai. Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan
perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan duni luar secara intensif, tak terkecuali dengan AS. Makin
banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indoinesia dengan internasional dan AS, maka hal itu makin positif. Apalagi, ditengah
keterpurukan ekonomi, sosial dan keamanan di Indonesia saat ini kerjasama internasional jauh lebih berfaidah dari pada keterasinagan internasional.
97
Selanjutnya sebagi respon tindak lanjut dari pernyataan Hasyim di atas, ia pun menjadi tokoh yang mendapat undangan pemerintah AS untuk memberi
penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat
gambaran langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga besyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam
Indonesia kepada pihak luar. Beliau memberikan gambaran bahwa, umat Islam di
96
Diakses dari http:gp-ansor.org?pageid+115
97
Ibid., h. 57