Pengetahuan Masyarakat Setempat Mengenai Hukum Perkawinan

Mengenai usia perkawinan, di dalam KHI pasal 15 ayat 1 disebutkan bahwa, untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalalm pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. 2 Dengan mengacu pada undang-undang tersebut, apakah responden dalam melangsungkan perkawinan telah memenuhi syarat usia perkawinan? Untuk lebih jelasnya kita dapat lihat tabel berikut mengenai usia responden saat melangsungkan pekawinan. Tabel 4.10 Usia Responden Ketika Melangsungkan Perkawinan NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F 1 Di bawah usia 15 tahun 7 14 2 Di bawah usia 20 tahun 19 38 3 Di atas usia 20 tahun 24 48 Jumlah 50 100 Berdasarkan tabel 4.10 di atas bahwa sedikit sekali yang melangsugnkan perkawinan di bawah usia 15 tahun 14, dan hampir setengah dari responden melangsungkan perkawinan di atas usia 15 tahun 38 dan diatas usia 20 tahun 48 Hal ini sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh Bapak Sarwan Hamid selaku sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal, ia mengatakan bahwa Pada 2 Tim FOKUSMEDIA, Komplikasi Hukum Islam, Jakarta:FOKUSMEDIA,2005,h.10 umumnya Masyarakat telah melakukan pernikahan sesuai dengan UU yang berlaku yaitu rata-rata pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki 3 . “Namun terkadang adajuga yang menikah di bawah umur di bawah 16 tahun, akan tetapi harus melampirkan Surat Izin Orang tua”. 4 Seperti telah di jelaskan sebelumnya bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama. 5 Berdasarkan ketentuan tersebut, apakah masyarakat Desa Palasari Girang dalam melakukan perceraian sesuai dengan prosedur dan dilakukan di Pengadilan Agama atau tidak? Tabel 4.11 Tempat Responden Melakukan Perceraian NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F 1 Di Pengadilan Agama 2 4 2 Di luar Pengailan Agama 48 96 Jumlah 50 100 Berdasarkan label 4.11 di atas bahwa sedikit sekali yang melangsungkan perceraian melalui prosedur Pengadilan Agama 4, dan hampir seluruhnya melangsungkan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama 96. Pemahaman terhadap hukum perkawinan sangtlah penting, agar masyarakat dapat lebih terarah dalam menjalankan rumah tangga dan sesuai dengan prosedur 3 Wawancaran Pribadi dengan Bapak Sarwan Hamid Sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal, Sukabumi, 30 Juni 2010 4 Wawancara dengan Bapak U.Madrosin. Tanggal 29 juni 2010 5 Tim FOKUSMEDIA,Kompliasi Hukum Islam,h.38 hukum yang berlaku. Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat dalam memahami hukum perkawinan, yang termasuk di dalamnya mengenai proses perkawinan dan perceraian, dapat kita ketahui dari ada atau tidaknya penyuluhan yang dilakukan oleh pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh KUA. Untuk lebih jelasnya kita lihat tabel berikut ini: Tabel 4.12 Ada Tidaknya Penyuluhan Mengenai Proses Perkawinan dan Perceraian NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F 1 2 3 Ada Tidak ada Tidak tahu 16 12 22 38 24 44 Jumlah 50 100 Sumber: Diolah dari Data Lapangan Berdasarkan tabel 4.12 di atas bahwa hampir setengah yang menjawab adanya penyuluhan mengenai perkawinan dan perceraian 38, yang merasa tidak tahu adanya penyuluhan 44 dan sebagian kecil menjawab tidak ada 24. Dalam wawancara penulis dengan Bapak U.madrosin, ia mengatakan bahwa, Orang yang akan melangsungkan pernikahan, beberapa hari sebelumnya diberikan penyuluhan, dan yang mengikutinya akan mendapatkan sertifikat. Akan tetapi untuk penyuluhan mengenai perceraian tidak ada. 6 Hal senada juga dikatakan oleh bapak Sarwan Hamid selaku sekretaris KUA Kec. Kalapanunggal, ia mmengakui akan 6 Wawancara dengan bapak U.Madrosin pada tanggal 29 juni 2010 adanya penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat KUA melalui BP4, dan P3N. Akan tetapi untuk perceraiana memang tidak ada. 7 Perkawinan dan perceraian selayaknya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan undang-undang yang berlaku, namun seperti yang telah dikatakan di atas, terkadang masyarakat kita pada umumnya berpendapat bahwa, asalakan telah sesuai dengan ketentuan agama sudah cukup. Kita akan mengetahuai sejauh mana pendapat responden mengenai sah atau tidaknya melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama. Tabel 4.13 Pendapat Responden Mengenai Sah atau Tidaknya Perceraian di Luar Prosedur PA No PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F 1 2 3 Sah Tidak Sah Tidak Tahu 50 - - 100 - - Jumlah 50 100 Sumber: Diolah dari Data Lapangan Berdasarkan tabel 4.13 di atas bahwa seluruh responden menjawab, bahwa melakukan perceraian di luar prosedur Pengadilan Agama adalah sah. Namun demikian mereka tidak menutup diri dari adanya peraturan yang mengharuskan perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Seperti dalam tabel berikut ini: 7 Wawancara dengan Bapak Sarwan Hamid Pada Tanggal 30 juni 2010 Tabel 4.14 Setuju atau Tidaknya dengan Perceraian yang Dilakukan di Pengadilan Agama NO PILIHAN JAWABAN RESPONDEN F 1 Setuju 50 100 2 Tidak setuju - - 3 Tidak tahu - - Jumlah 50 100 Sumber: Diolah dari Data Lapangan Berdasarkan tabel 4.14 di atas bahwa semua responden setuju dengan adanya perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama, artinya responden melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama bukan karena mereka menolaknya akan tetapi karena alasan-alasan tertentu.

C. Pemahaman Masyarakat Setempat Mengenai Hak dan Kewajiban Mantan

Suami-Istri Pasca Perceraian Kewajiban seoarang mantan suami setelah terjadinya perceraian diantaranya adalah memberikan nafkah, baik nafkah idah maupun nafkah anak. Didalam KHI pasal 149 disebutkan bahwa, bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib memberikan nafkah selama masa idah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusuz dan dalam keadaan tidak hamil. Ulama fikih sepakat, bahwa istri yang dicerai oleh suami dengan talak raji talak satu atau dua selama masa idah berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya. Hal ini yang biasanya kurang mendapat perhatian dari mantan suami yang menceraikan istrinya, padahal menyangkut dengan tanggung jawab kewajiban. Akan tetapi jika idahnya karena suami wafat, maka istri tidak mendapat nafkah. Namun, Mazhab Maliki memberi pengecualian dalam masalah tempat tinggal. 8 Adapun kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada anak, disebutkan dalam UU No.l Tahun 1974, bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi pada dua bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus. Mengenai biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, diatur dalam pasal 41 sub b dan pasal 49 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 sebagai berikut: Bapak yang bertanggung jawab atas semua pembiayaan, pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pangadilan dapat memutuskan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Meskipun orang tua tersebut dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anak tersebut. Menurut ketentuan pasal tersebut, disebutkan bahwa: 1. Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak adalah bapak, baik anak itu di bawah pemeliharaan bapak atau ibu. 2. Ibu dapat turut memikul biaya tersebut atas putusan pengadilan, bilamana 8 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta, Prenada Media, 2003,h.221 dinyatakan bahwa bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya. Jadi ibu maupun bapak sama-sama berkewajiban memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. 3. Kewajiban bapak dan ibu terhadap biaya tersebut tidak dapat hilang walaupun kekuasaan dan kedudukan orangtua itu atau salah satunya terhadap anak telah dicabut. Adapun jumlah besarnya biaya ditentukan atas dasar kebutuhan anak, sebagaimana ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu: bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang dipkul oleh anak itu. Ketentuan tersebut harus diselaraskan dengan keadaan ekonomi orangtua. Namun demikian masyarakat Desa Palasari Girang tidak semuanya dapat mengetahui semua hak dan kewajiban tersebut. Walaupun ada yang mengetahuinya, seperti yang di kataka oleh Bapak U. Marosin, Terkadang mantan istri berpendapat bahwa sudah dijatuhi talak saja sudah al-hamulillah artinya sudah sedikit terbebas dari persoalan akan tetapi ada juga yang berupaya untuk mendapatkan nafkah idah walaupun jarang dilakukan, akan tetapi untuk nafkah anak mereka selalu mengupayakannya. Biasanya jika ada mantan suami yang tidak memenuhi dan nafkkah anak, mentan istri melapor ke BP4 setempat, lalu BP4 memanggil mantan suami tersebut. 9 Pendapat pejabat KUA tersebut relevan dengan tabel mengenai upaya mantan istri terhadap mantan suami jika tidak memenuhi nafkah idah dan nafkah anak. 9 Wawancara tanggal 30 juni 2010