Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)

(1)

TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENJAMIN DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

EVA KRISNAWATI 060200115

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG PENJAMIN DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (PT)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

EVA KRISNAWATI 060200115

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH NIP.195603291986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2010

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

NIP. 195302151989032002 NIP. 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sebuah sukacita besar dan kesempatan yang luar biasa manakala penulis dapat merampungkan pembuatan skripsi ini. Seperti yang kita ketahui bahwa skripsi merupakan salah satu persyaratan bagi Mahasiswa pada umumnya dan khususnya bagi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana. Adapun judul penulisan skripsi ini adalah “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT).”

Tak ada gading yang tak retak, kira-kira pepatah tersebut sangat cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata sempurna. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi yang tidak luput dari kesalahan, dengan segala hormat penulis meminta maaf. Oleh karenanya saran, kritik dan ide-ide yang membangun dalam penulisan skripsi ini sangat penulis harapkan dan karenanya akan diterima dengan senang hati serta dengan bijaksana. Diatas semuanya, perkenankanlah dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr.Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang berkenan membantu dan memperhatikan Mahasiswa Hukum Ekonomi.

6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang banyak menuntun penulis dari awal sampai akhir pembuatan skripsi yang dengan kesabaran menuntun menghadapi penulis dalam penulisan skripsi. 8. Bapak Muhammad Nuh, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik

selama perkuliahan.

9. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk dibangku perkuliahan.


(5)

10. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua penulis yaitu ayahanda M.Silaban dan ibunda tercinta M.Manalu yang selalu memberikan cinta kasihnya bagi penulis, dan juga kepada kedua abangku bang Tanzya dan bang Rodgrays yang selalu mensupport penulis. Dan kepada seluruh keluarga besar, khususnya opung Ale yang selalu memberikan nasehat dan kepada seluruh sepupuku lina, yunus, butet, kori, eve, masri, ria, kak iyo, bang patar, bang resman, bang sintong, bang bekman, kak nova, krismen, dona, maruli, modi, kak meta dan yang lainnya yang telah memberikan semangat kepada penulis.

2. Sahabat terdekatku duMaRIa ManaLu yang selalu mendengar keluh kesahku dan yang selalu berbagi suka dan duka dan pengertian kepada penulis yang juga turut membantu penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Sahabatku yang Manis dan Cantik (MaCan): Sonti souLmateku, teRe yg sLalu m’brikan tumpangan rumahnya, wiNda ceZ, Ika dgN teruskanLah, eVi yg hrs sLalu ditemenin, atHa yg dgN banyoLanNa, nomika si caberawit dan kak deWi sang Leader.

4. temaN-teman AAP Law Firm bu Astuti, pa bona, aNdy, eRicK, cHoky, boNi, Rizky, mba emil, pa ruswin, ka Kitin terima kasih semua buat bimbingannya dan buat putusannya kLo ga da putusannya gak mungkin penulisan skripsi akan selesai.


(6)

5. teman stambuk 2006 giseLa teman b’gosip aQ, inggRid, maria kiBo, pauLina, Lusi tmN ekonomiku, HeLen, agnes guLo, marta, yuLi apiriku, andri cina, kariNa, witra twinsku dan semua senior khususnya kak eveLyn yg sLalu menjadi inspiratorku dan kepada semua junior FH USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

6. Teman koZ girls 7A, ani-cHe, nety Nene, eva keciL, ka diaNa, aNez, ima, tiKa, yosi, ayu, indaH yang sLalu menemaNi daLam keseharian penulis. 7. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bagi kita semua yang membacanya.

Medan, Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan...11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

G. Metode Penulisan...15

F. Sistematika Penulisan ...18

BAB II PENGATURAN HUKUM KEPAILITAN TERHADAP PENJAMIN A. Sejarah, Pengertian dan Asas-Asas Hukum Kepailitan ...20

B. Tentang Penjamin ...37

C. Ketentuan Hukum yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) ...52

D. Kaitan Antara Kepailitan dengan Penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT) ...57

BAB III SYARAT DAN MEKANISME PELAKSANAAN KEPAILITAN PENJAMIN A.Pihak – Pihak yang Terkait Dalam Kepailitan ...62


(8)

B.Syarat Pelaksanaan Kepailitan Penjamin ...80 C.Mekanisme Kepailitan Penjamin ...84 BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PENJAMIN

A. Akibat Hukum Hubungan Perjanjian Penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee) ...89 B. Akibat Hukum Kepailitan Penjamin Dalam Perseroan

Terbatas (PT)...94 C.Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT) ... 104 D.Analisis Putusan PailitNo.25/Pailit/PN.Niaga.Jkt.Pst jo

No.07/PKPU 2006/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 110 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 124 B. Saran ... 126 DAFTAR PUSTAKA ... vii LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum* Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**

Eva Krisnawati***

Perseroan Terbatas dalam menangani masalah kesulitan finansialnya sering melakukan perjanjian penjaminan pribadi/ borgtocht dengan kreditur untuk mendapatkan pinjaman. borgtocht merupakan suatu perjanjian jaminan yang diberikan kepada kreditur berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) bahwa debitur akan melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, dan apabila debitur lalai maka penjamin dapat dituntut untuk melakukan kewajiban debitur. Akan tetapi perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan mambayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Dan konsekuensi dari perjanjian penjaminan ini yaitu bahwa penjamin dapat diajukan pailit.

Bertolak di masalah tersebut maka penulis mengangkat judul “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT). Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui penelititan kepustakaan.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penjamin dapat dipailitkan apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. karena berdasarkan Pasal 1831-1850 KUH Perdata menunjukkan bahwa penjamin adalah debitur. Sehingga penjamin dapat dipailitkan apabila telah memenuhi syarat pailit berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan yaitu debitur memiliki lebih dari dua kreditur dan harus ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam pengajuan permohonan pailit penjamin, syarat dan mekanisme kepailitan penjamin sama dengan persyaratan dan mekanisme pengajuan permohonan pailit debitur. Akibat hukum kepailitan penjamin, yaitu bahwa penjamin tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit karena kewenangannya beralih kepada kurator Dan dalam Perseron Terbatas, penjamin yang dinyatakan pailit tidak dapat menjadi anggota direksi berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan juga tidak bisa menjadi anggota komisaris berdasarkan Pasal 110 ayat (1) UUPT.

Keyword: Penjamin, Kepailitan, Perseroan Terbatas

*

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU

***


(10)

ABSTRAKSI

Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum* Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**

Eva Krisnawati***

Perseroan Terbatas dalam menangani masalah kesulitan finansialnya sering melakukan perjanjian penjaminan pribadi/ borgtocht dengan kreditur untuk mendapatkan pinjaman. borgtocht merupakan suatu perjanjian jaminan yang diberikan kepada kreditur berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) bahwa debitur akan melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, dan apabila debitur lalai maka penjamin dapat dituntut untuk melakukan kewajiban debitur. Akan tetapi perseroan tidak terlepas dari kemungkinan ketidakmampuan mambayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih oleh krediturnya, maka dengan adanya keadaan seperti ini perseroan dapat diajukan pailit. Dan konsekuensi dari perjanjian penjaminan ini yaitu bahwa penjamin dapat diajukan pailit.

Bertolak di masalah tersebut maka penulis mengangkat judul “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT). Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif melalui penelititan kepustakaan.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penjamin dapat dipailitkan apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. karena berdasarkan Pasal 1831-1850 KUH Perdata menunjukkan bahwa penjamin adalah debitur. Sehingga penjamin dapat dipailitkan apabila telah memenuhi syarat pailit berdasarkan Pasal 2 UU Kepailitan yaitu debitur memiliki lebih dari dua kreditur dan harus ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam pengajuan permohonan pailit penjamin, syarat dan mekanisme kepailitan penjamin sama dengan persyaratan dan mekanisme pengajuan permohonan pailit debitur. Akibat hukum kepailitan penjamin, yaitu bahwa penjamin tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit karena kewenangannya beralih kepada kurator Dan dalam Perseron Terbatas, penjamin yang dinyatakan pailit tidak dapat menjadi anggota direksi berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan juga tidak bisa menjadi anggota komisaris berdasarkan Pasal 110 ayat (1) UUPT.

Keyword: Penjamin, Kepailitan, Perseroan Terbatas

*

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

**

Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU

***


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.2

“Dalam kepustakaan banyak ditulis bahwa unsur pertanggungjawaban yang terbatas itulah yang dijadikan orang acap kali memilih bentuk PT. Dengan menggunakan konstruksi PT itu dapat memperkecil risiko kerugian yang mungkin timbul. Atas dasar motivasi ini dalam beberapa hal orang sengaja untuk satu jenis usaha memilih satu bentuk PT tersendiri. Bahkan kadang kala untuk satu jenis usaha diselenggarakan dalam dua atau tiga PT tersendiri. Keadaan seperti ini dapat mendatangkan kefaedahan. Sekalipun pada hakikatnya secara ekonomis PT-PT tadi merupakan satu kesatuan ekonomis, namun karena secara yuridis setiap badan hukum itu dipandang sebagai subjek hukum yang mandiri, maka suatu tagihan kepada PT tidak dapat dituntut kepada harta pribadi

Banyak pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT). Pemilihan badan hukum PT untuk menjalankan roda bisnisnya dikarenakan terdapatnya beberapa keuntungan dari karakteristik kebadanhukuman dari PT, seperti pertanggungjawaban yang terbatas terhadap para pemegang sahamnya, keharusan dalam urusan administratif dan lain-lainnya. Rudhi Prasetya dalam disertasinya mengemukakan teorinya mengenai alasan pemilihan badan hukum PT dalam lalu lintas bisnis sebagai berikut:

2

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 1.


(12)

orangnya, baik pengurusnya maupun pemegang sahamnya, atau kepada PT-PT lainnya, sekalipun saham-sahamnya berada dalam satu tangan pemegang saham.”3

Kehadiran Perseroan Terbatas sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan Terbatas telah menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.4

a. Badan hukum

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya (Pasal 1 butir (1) UUPT No. 40 Tahun 2007).

Apabila diuraikan lebih lanjut, maka definisi PT harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ini:

Setiap perseroan adalah badan yang memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UUPT secara tegas menyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum.

3

Rudhi Prasetya, pada Disertasinya Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas disertai

dengan Ulasan menurut UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 1996) dikutip dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.14.

4

Indra Surya dan Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance, http://www.sinarharapan .co.id/berita/0402/12/nas09.html, diakses tgl. 5 Februari 2010.


(13)

b. Didirikan berdasarkan perjanjian

Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian (kontrak), artinya harus ada dua orang atau lebih pemegang saham yang setuju mendirikan perseroan yang dibuktikan secara tertulis yang tersusun dalam bentuk anggaran dasar, kemudian dimuat dalam akta pendirian yang dibuat didepan notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat perseroan didirikan. Dengan demikian tidak ada perseroan yang hanya didirikan oleh satu orang pemegang saham dan tanpa akta notaris.

c. Melakukan kegiatan usaha

Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang ekonomi (industri, dagang, jasa) yang bertujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Supaya kegiatan itu sah harus memperoleh izin usaha dari pihak yang berwenang

d. Modal dasar

Setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar5

e. Setiap perseroan harus memenuhi persyaratan UUPT dan peraturan pelaksanaannya

merupakan harta kekayaan perseroan (badan hukum), yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ perseroan, atau pemegang saham.

5

M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 234. Modal dasar adalah “ seluruh nilai nominal” saham perseroan yang disebutkan di dalam Anggaran Dasar (AD). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007. Modal dasar pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUPT No. 40 Tahun 2007 modal dasar perseroan yang dibenarkan yaitu paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


(14)

Ketentuan ini menunjukkan bahwa UUPT menganut sistem tertutup (closed system). Persyaratan yang wajib dipenuhi mulai dari pendiriannya, beroperasinya, dan berakhirnya. Diantara syarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh pendiri perseroan adalah akta pendirian harus dibuat didepan notaris dan harus memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman.6

Setiap perseroan pasti terlibat dalam suatu transaksi, tiada satu perseroanpun yang tanpa transaksi. Karena hal tersebut sejalan dengan kegiatan perseroan yang secara terus menerus dan tanpa putus serta sifatnya terbuka, maka perseroan dalam berhubungan dengan pihak ketiga mengadakan suatu transaksi. Transaksi dilakukan karena transaksi itu sebagai tempat untuk menampung bertemunya suatu kesepakatan yang disebut perjanjian.7

Perjanjian kredit dilakukan antara kreditur (pihak yang memberikan pinjaman) dan debitur (pihak yang menerima pinjaman) untuk memenuhi kekurangan uang agar dapat melaksanakan kegiatan usahanya. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditur tepat pada waktunya. Tanpa adanya kepercayaan dari kreditur, tidaklah mungkin kreditur mau memberikan pinjaman kepada debitur. Pinjaman Salah satu perjanjian yang dilakukan adalah perjanjian kredit. Perjanjian kredit sering digunakan dalam perseroan untuk memenuhi permodalan perseroan tersebut.

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perseroan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5-7.

7

Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di


(15)

ini disebut kredit (credit).8 Kredit mempunyai banyak arti, dimana dalam dunia bisnis pada umumnya kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan akan pinjaman uang atau kesanggupan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.”9

Kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan di bidang ekonomi. Dengan demikian perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan lain sebagainya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.

Dengan demikian kredit dapat pula berarti bahwa pihak kesatu memberikan prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain, sedangkan kontraprestasinya akan diterima kemudian (dalam jangka waktu tertentu).

10

Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit sangatlah sulit. Namun setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu perlu unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasiannya (suitability) dan keuntungan

8

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Failissementverordening Juncto

Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pusat Utama Grafiti, 2002), hal.2.

9

Muhammad Djumhana, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Alumni, 1983), hal.21.

10

Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan Dan Kepailitan, Makalah Pembanding dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, (Jakarta: 2000), hal.2 dikutip dalam Inggrid Kusuma Dewi, Tesis, Kedudukan Hukum Bank sebagai Pemegang

Jaminan Kebendaan pada Perjanjian Kredit dalam Keadaan Debitur Pailit, Universitas Sumatera


(16)

(profitability).11

Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitur atau pihak yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditur atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitur. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht/ personal guarantee) adalah jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) yang tidak mempunyai kepentingan apapun baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan, dengan syarat bahwa apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut. Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut.

Bentuk pengamanan kredit dalam prakteknya dilakukan dalam pengikatan jaminan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan debitur tidak dapat membayar utangnya sehingga pihak kreditur, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan.

12

11

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 2000), hal. 4.

12

http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalam-kepailitan, diakses tgl. 5 Februari 2010.


(17)

Keberadaan penjamin merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.13

Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah seorang debitur.14

Apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditur, maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan kepailitan. Pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan kepailitan Stb.1095 No.217 jo Stb. 1906 No. 348 sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Mengenai penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”

13

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain

yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1996), hal.23.

14


(18)

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat Undang-Undang Kepailitan).15

Perseroan yang tidak dapat melakukan kewajibannya kepada kreditur, dapat dinyatakan pailit. Terjadinya kepailitan dalam perseroan, membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk mengurusi harta kekayaan Prinsip dasar hukum kepailitan sebenarnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata. Pasal ini menyatakan bahwa semua barang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi perikatan perorangan debitur tersebut.

Tanggung jawab debitur berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata inilah, yang kemudian bermuara pada lembaga kepailitan karena dalam lembaga kepailitan sebenarnya mengatur bagaimanakah halnya jika seorang debitur tidak dapat membayar utang-utangnya, serta bagaimanakah pertanggungjawaban debitur tersebut, dalam kewenangannya dengan harta kekayaan yang masih atau yang akan dimilikinya.

Berkaitan dengan pemberian jaminan dalam perseroan yang biasanya dilakukan oleh penjamin dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya perjanjian jaminan, penjamin dapat melakukan kewajiban debitur apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur. Dan apabila penjamin tidak dapat melakukan kewajibannya maka penjamin dapat digugat pailit oleh kreditur.

15


(19)

perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan, kepailitan dapat mengakibatkan perseroan tidak dapat lagi melaksanakan kegiatan usahanya. Apabila perseroan tidak melaksanakan kegiatan usaha, tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri, melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi kepentingan para kreditur yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan seluruh harta kekayaan perseroan.16

1. Bagaimana dasar hukum untuk mempailitkan penjamin?

Dan juga kepailitan perseroan akan menyebabkan kerugian bagi penjamin dalam perseroan karena penjamin juga dapat dinyatakan pailit apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya. Hal ini akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi penjamin selaku pemberi jaminan terhadap debitur kepada kreditur.

Bertolak dari masalah tersebut diatas, judul skripsi yang akan diteliti adalah: “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)”.

B. Perumusan Masalah

Agar tidak melebar dan lebih terarahnya pembahasan dalam skripsi ini, maka perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau acuan dari pokok materi penulisan sehingga suatu kesimpulan dapat diperoleh. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

16

Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), hal.8.


(20)

2. Bagaimana syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin? 3. Bagaimana akibat hukum kepailitan penjamin?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai kepailitan penjamin

b. Untuk mengetahui syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan penjamin

2. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat antara lain:

a. Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan ini akan memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya pemahaman dan pandangan mengenai hukum kepailitan.

b. Secara Praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat:

1. Menambah wawasan ilmiah dan masukan bagi para kalangan praktisi hukum dalam menyelesaikan dan memutus sengketa pailit.


(21)

2. Memberikan informasi bagi masyarakat terutama kalangan dunia usaha tentang hukum kepailitan khususnya tentang pertanggungjawaban penjamin dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT).

D. Keaslian Penulisan

“Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)” yang diangkat menjadi judul skripsi ini telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum dan belum pernah ditulis di Fakults Hukum Universitas Sumatera Utara kalaupun terdapat judul yang hampir sama dengan judul ini, akan tetapi substansi pembahasannya berbeda. Adapun judul yang hampir yaitu “Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam perkara Kepailitan” yang ditulis oleh Stefanus V. Sebayang pada tahun 2006, Program Studi Hukum Ekonomi.

Sedangkan judul skripsi penulis yaitu “Tanggung Jawab dan Wewenang Penjamin dalam Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)” berbeda dengan judul skripsi “Kedudukan Penjamin (Coorporate Guarantee) dalam perkara Kepailitan“ karena dalam judul skripsi penulis membahas mengenai penjamin berupa orang (borgtocht/Personal Guarantee) yang mana merupakan suatu jaminan yang diberikan seseorang secara pribadi bukan badan hukum untuk menjamin utang orang/badan hukum lain kepada seseorang/ beberapa kreditur. Sedangkan dalam Coorporate Guarantee yaitu suatu jaminan yang diberikan oleh suatu perusahaan


(22)

(badan hukum) untuk menjamin utang orang/ badan hukum lain kepada seseorang atau beberapa kreditur.17

“Penjamin adalah para pihak yang menjamin dan berjanji serta mengikatkan diri untuk dan atas permintaan pertama dan kreditur membayar utang secara tanpa syarat apapun dengan seketika dan secara sekaligus lunas kepada kreditur, termasuk bunga, provisi dan biaya-biaya lainnya yang sekarang telah ada dan atau dikemudian hari terutang dan wajib dibayar oleh debitur.”

E. Tinjauan Kepustakaan

Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Pengertian penjamin menurut Rasjin Wiraatmadja seorang advokat senior mengatakan bahwa:

18

Penjamin adalah debitur dari kewajiban untuk menjamin pembayaran oleh debitur.19

Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga, guna kepentingan berutang, mengikatkan dirinya untuk memenuhi

Penjamin berkewajiban untuk membayar utang debitur kepada kreditur manakala sidebitur lalai atau cidera janji, penjamin baru menjadi debitur atau berkewajiban untuk membayar setelah debitur utama yang utangnya ditanggung cidera janji dan harta benda milik debitur utama atau debitur utama yang ditanggung telah disita dan dilelang terlebih dahulu tetapi hasilnya tidak cukup untuk membayar utangnya, atau debitur utama lalai atau cidera janji sudah tidak mempunyai harta apapun.

17

http://www.hukumonline.com/klinik, diakses tgl 5 Januari 2010

18

Salim H.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 21.

19

Imran Nating, Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta


(23)

kewajiban debitur apabila debitur bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya (Pasal 1820 KUH Perdata).20

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.”

Pengertian penanggungan ditegaskan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

“Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berutang, mengiktkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.” Pengertian pailit dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dalam Pasal 1 angka (1) adalah:

21

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukann oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh undang-undang ini.”

Pengertian Kepailitan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang dalam Pasal 1 angka (1) adalah:

22

20

Ibid, hal. 30.

21

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

22

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(24)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa kepailitan adalah keadaan atau kondisi badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.

Untuk lebih memahami dan memberikan kejelasan mengenai pengertian kepailitan, maka dalam hal ini penulis akan mengutip beberapa pengertian dari beberapa sarjana antara lain:

Retnowulan menyatakan bahwa: “Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.”23

Siti Soematri Hartono dalam bukunya “Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang” mengatakan bahwa Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata, sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata yang tercantumkan dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”24

Kartono mengemukakan, “Kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan semua debitur-debiturnya bersama-sama, yang pada waktu sidebitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu.”25

Sudarsono dalam kamus hukum mengatakan istilah pailit, yaitu suatu keadaan dimana seorang tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya berdasarkan putusan hakim, hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Kepailitan.

26

23

Retnowulan Sutantio, Beberapa Masalah yang Berhubungan dengan Jaminan Kredit, (Varia Peradilan: Tahun II No.19, April 1987), hal.85.

24

Victor M.Situmorang & Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.1.

25

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya, 1992), hal.7.

26

Sudarsono, Kamus Hukum Cetakan Ketiga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).


(25)

Lebih lanjut Sudargo mengatakan bahwa: “Kepailitan pada intinya sebenarnya berarti suatu sitaan secara menyeluruh atas segala harta benda daripada sipailit”.27

“Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Pengertian Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 1 angka (1) adalah:

28

27

Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailtan Baru untuk Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998). Hal.3.

28

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

F. Metode Penulisan

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatn ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap suatu pemecahan atas segala permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.


(26)

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Metode penelitian yuridis normatif ini dipilih untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan yang dilaksanakan di Indonesia.

2. Pendekatan Masalah

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dan selanjutnya melihat kenyataan melalui putusan hakim Pengadilan Niaga.

3. Bahan Hukum

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum mulai dari undang Nomor 1 Tahun 1995 Jo Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, pendapat para sarjana,


(27)

kasus-kasus hukum yang terkait dengan pembahasan tentang kepailitan penjamin dalam Perseroan Terbatas.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedi, kamus bahasa maupun kamus hukum.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori dan doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

5. Analisis Data

Setelah pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan mengadakan pengamatan terhadap data maupun informasi yang diperoleh. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian akan dipilah-pilah sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tanggung jawab dan wewenang penjamin jika perseroan yang dijaminkannya pailit. Kemudian bahan hukum tersebut disistematisasikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan sengan permasalahan tentang tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam keadaan pailitnya perseroan. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode induktif untuk sampai pada suatu kesimpulan.


(28)

Diharapkan melalui penelititan ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban dan wewenang penjamin sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang kaidah-kaidah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam kepailitan suatu perseroan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembaca dalam memahami makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan sistematika itu merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: BAB I : Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan penulisan.

BAB II : Bab kedua akan membahas mengenai pengaturan hukum mengenai hukum kepailitan terhadap penjamin. Pembahasan bab kedua ini akan dimulai dengan pembahasan tentang kepailitan. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang penjamin, pembahasan tentang ketentuan hukum yang mengatur tentang kepailitan dan penjamin, dan selanjutnya pembahasan mengenai kaitan antara kepailitan dengan penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT).


(29)

BAB III : Bab ketiga akan membahas mengenai syarat dan mekanisme pelaksanaan kepailitan penjamin. Pembahasan bab ketiga ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai pihak-pihak yang terkait dalam kepailitan. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai syarat pelaksanaan kepailitan penjamin dan pembahasan mengenai mekanisme kepailitan penjamin.

BAB IV : Bab keempat akan membahas mengenai akibat hukum dari kepailitan penjamin. Pembahasan bab ini terdiri dari pembahasan mengenai akibat hukum hubungan perjanjian penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee), akibat hukum kepailitan penjamin dalam Perseroan Terbatas (PT), tanggung jawab dan wewenang penjamin dalam kepailitan Perseroan Terbatas (PT), dan kemudian analisis terhadap putusan pailit penjamin (Borgtocht/ Personal Guarantee). BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan

penulisan dan saran yang berfungsi untuk memberikan masukan bagi perkembangan hukum kepailitan di masa yang akan datang.


(30)

BAB II

PENGATURAN HUKUM KEPAILITAN TERHADAP PENJAMIN

A. Sejarah, Pengertian dan Asas – Asas Hukum Kepailitan 1. Sejarah Kepailitan

a. Sejarah Kepailitan di Belanda

Pada mulanya dalam hukum Belanda tidak dikenal perbedaan antara kooplieden (pedagang) dengan niet kooplieden (bukan pedagang) dalam kepailitan. Namun, pada permulaan abad ke 19, yaitu ketika Negeri Belanda dijajah Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte berlakulah Code du Commerce (sejak 1 Januari 1814 s/d 30 September 1838). Pada masa Code du Commerce itu juga dikenal adanya perbedaan antara kooplieden dengan niet kooplieden, dan Code du Commerce hanya berlaku bagi kooplieden. Kemudian sesudah Belanda merdeka, Belanda membuat sendiri Wetboek van Koophandel (WvK) yang mulai berlaku pada 1 Oktober 1838. WvK ini dibagi dalam 3 (tiga) buku dan buku III adalah Van de Voorzieningen in geval van onvermogen ven kooplieden, yang diatur dalam Pasal 764 – Pasal 943 dan dibagi dalam 2 (dua) titel yaitu:29

1. Van Faillisement, dan 2. Van Surseance van Betaling.

29


(31)

Sedangkan Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering buku III titel 8 mengatur tentang Van de toestand van kennelijk onvermogen, yang diatur dalam Pasal 882-Pasal 899 yang hanya berlaku bagi niet kooplieden.

Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda. Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan nama Faillisementwet dan mulai berlaku pada 1 September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III titel 8 Wetboek van Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden.30

b. Sejarah Kepailitan di Indonesia

Dalam sejarah berlakunya kepailitan di Indonesia, maka dapat dibagi menjadi tiga masa, yakni:

1. Masa sebelum Faillisements Verordening berlaku

Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:

30


(32)

a. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van de voorzieningen in geval van onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan kepailitan untuk pedagang.

b. Reglement op de Rechtvoordering (RV) Stb 1847-52 jo 1849-63, buku ketiga bab ketujuh dengan judul Van de staat van kenneljk onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:

1) Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya, 2) Biaya tinggi,

3) Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan 4) Perlu waktu yang cukup lama.

Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.

2. Masa berlakunya Faillisements Verordening

Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening (Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348). Peraturan kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina, dan golongan Timur Asing (Stb.1924-556).


(33)

Bagi golongan Indonesia Asli (pribumi) dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepalitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang yaitu bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum.

Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan dengan apa yang terjadi di negara Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya Code du Commerce (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 Spetember 1896.

3. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional Pada akhirnya setelah berlakunya Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348, Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional, dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU tentang Kepailitan yang kemudian diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

a. Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi beberapa negara di Asia termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan


(34)

kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas lagi. Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban diatur dalam Faillisements Verordening Stb. 1905-217 jo Stb. 1906-348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening masih baik. Namum sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil, terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang piutang perusahaan yang besar penyelesaiannya terhadap kehidupan perekonomian Nasional. Kemudian dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau Faillisements Verordening melalui Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan UU tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 Perpu ini diubah menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 September 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara (LNRI) tahun 1998 No. 135.31

31


(35)

b. Masa Berlakunya UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004

Pada 18 Oktober 2004 UU No. 4 Tahun 1998 diganti dengan disahkannya UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU No.37 Tahun 2004 ini mempunyai cakupan yang luas karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Adapun pokok materi baru dalam UU Kepailitan ini antara lain:

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam UU ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas. Demikian juga pengertian jatuh waktu.

2. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.32

2. Pengertian Kepailitan

Kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberi suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar utang kepada kreditur. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai 2 (dua) fungsi sekaligus, yakni:

32


(36)

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-utangnya kepada semua kreditur.

2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.33

Dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris istilah pailit dapat ditemukan. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Faille. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah to fail dan kata di dalam bahasa Latin digunakan istilah failire.34

Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami

Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvensi”. Sedangkan pengertian kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa kepailitan.

33

http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern, diakses tgl 5 Januari 2010

34

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal.26-27.


(37)

kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.35

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau Bankrupt adalah “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The term includes a person against whom am involuntary petition has been field, or who has field a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”36

Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit adalah ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarannya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitur sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitur. Keputusan tentang pailitnya debitur haruslah berdasarkan keputusan pengadilan,

35

Hadi Subhan, Op.Cit.,hal 1.

36

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis, Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal.11.


(38)

dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampua debitur. Keputusan pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang debitur itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Jadi kepailitan merupakan eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwenang, sehingga sesungguhnya kepailitan bertujuan untuk:

a. Mencegah penyitaan dan eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan.

b. Ditujukan hanya mengenai harta benda debitur, bukan pribadinya. Jadi debitur tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum.37

Hakikat sitaan umum terhadap harta kekayaan debitur adalah bahwa dengan adanya kepailitan dapat menghentikan aksi terhadap perebutan harta pailit oleh para krediturnya serta untuk menghentikan lalu lintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitur yang kemungkinan akan merugikan para krediturnya. Dengan adanya sitaan umum tersebut, maka harta pailit dalam status dihentikan dari

37

Bernadette Waluyo, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 1.


(39)

segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta pailit tersebut diurus oleh kurator.

Pengertian kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitur dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditur.

Mengenai definisi kepailitan itu sendiri tidak ditemukan dalam Faillisement Verordening maupun dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. Namun dalam rangka untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas ada baiknya diketahui pendapat dari beberapa sarjana tentang pengertian pailit tersebut:

1. R. Soekardono menyebutkan kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.38

2. Siti Soemarti Hartono mengatakan bahwa kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok

38


(40)

dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.39

3. Menurut Memorie Van Toelichting (Penjelasan Umum)

Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan siberutang guna kepentingannya bersama para yang mengutangkan.40

4. Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa:

Kepailitan adalah pembeslahan massal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah.41

1. Pembeslahan massal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20 Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditur si pailit.

Dalam pengertian kepailitan menurut Mohammad Chaidir Ali maka unsur-unsur kepailitan, yaitu:

2. Pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya menurut posisi piutang dari para kreditur yaitu:

a. Golongan kreditur separatis. b. Golongan kreditur preferen. c. Golongan kreditur konkuren.

39

Victor M. Situmorang, Loc.Cit.

40

R. Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal.264.

41

Mohammad Chaidir Ali, et al, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 10.


(41)

3. Dengan dibawah pengawasan pemerintah, artinya bahwa Pemerintah ikut campur dalam pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel si pailit, dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu:

a. Hakim Pengadilan Niaga b. Hakim Komisaris

c. Kurator

Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, pailit diartikan sebagai debitur (yang berutang) yang berarti membayar utang-utangnya. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 Faillissement Verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan:

“Setiap pihak yang berutang (debitur) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (krediturnya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”42

1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitur sudah tidak mampu lagi membayar utang-utangnya.

Dari rumusan Pasal 1 Faillissement Verordening di atas dapat diketahui bahwa agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditur, dan salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.

42


(42)

“Istilah berhenti membayar tidak mutlak diartikan debitur sama sekali berhenti membayar, apabila ketika diajukan permohonan pailit ke Pengadilan, debitur berada dalam keadaan tidak dapat membayar utangnya.”43

Perihal “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya baik di dalam Undang-Undang, Yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana. Hanya pedoman umum yang disetujui, yaitu untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditujukan bahwa debitur tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.44

“Debitur pailit mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan pailit sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.”

Dalam Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998, pengertian pailit tercermin dalam Pasal 1 angka (1) yang menyatakan:

45

“Kepailitan adalah sita umum atas semua harta kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Setelah keluarnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengertian pailit dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan:

46

43

Mohammad Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Dagang, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 475.

44

Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal. 8.

45

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

46

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(43)

Pasal 1 angka (1) ini menyebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual, oleh karena itu diisyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang debitur yang hanya memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit. Hal ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Bila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam kepailitan. Dalam sita umum maka seluruh harta kekayaan debitur akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan Kurator. Debitur tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.

Pernyataan pailit ini tidak boleh diputuskan begitu saja, melainkan harus didahului dengan pernyataan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan sendiri secara sukarela maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selama debitur belum dinyatakan pailit oleh Pengadilan, selama itu pula yang bersangkutan masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Pernyataan pailit ini dimaksudkan untuk menghindari penyitaan dan eksekusi perseorangan atas harta kekayaan debitur yang tidak mampu melunasi utang-utangnya lagi. Dengan adanya pernyataan pailit disini, penyitaan dan eksekusi harta kekayaan debitur dilakukan secara umum untuk kepentingan kreditur-krediturnya. Semua kreditur mempunyai hak yang sama terhadap pelunasan utang-utang debitur, harta kekayaan yang telah disita dan dieksekusi tersebut harus dibagi-bagi secara seimbang, sesuai dengan besar kecilnya piutang


(44)

masing-masing. Dengan demikian pernyataan pailit hanya menyangkut harta kekayaan milik debitur saja, tidak termasuk status dirinya.47

3. Asas-asas Hukum Kepailitan

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya. Dalam kedua pasal ini memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi- transaksi yang telah diadakan.

Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131 KUH Perdata) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUH Perdata) secara proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak mendahului (hak preferen).

Jadi pada dasarnya asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-kreditur terhadap transaksinya dengan debitur.

Bertolak dari asas tersebut diatas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional.

47

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 12.


(45)

Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu:

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua utang-utangnya kepada semua krediturnya.

2. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya.

Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum.

Dari situlah kemudian timbul lembaga kepailitan yang berusaha untuk mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan cara seperti yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata. Jadi Pasal 1131 KUH Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan.

Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun UU No.4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No. 37 Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan yakni:


(46)

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.48

48


(47)

B. Tentang Penjamin

Pengertian penjamin atau penanggung dalam Pasal 1820 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:

“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”49

Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan bukan untuk dimiliki oleh kreditur, karena perjanjian utang piutang bukan perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik atas sesuatu barang. Barang jaminan dipergunakan untuk melunasi utang, dengan cara sebagaimana peraturan yang

Penjamin berasal dari kata “jamin” yang berarti “tanggung”. Kata “jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan penjelasan Pasal 8 UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan. Akan tetapi dalam kedua peraturan tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan jaminan. Meskipun demikian dari kedua ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Biasanya dalam perjanjian pinjam meminjam uang, pihak kreditur meminta kepada debitur agar menyediakan jaminan berupa sejumlah harta kekayaannya atau perorangan yang merupakan pihak ketiga yang disepakati dalam perjanjian untuk kepentingan pelunasan utang, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan ternyata debitur tidak melunasi.

49


(48)

berlaku, yaitu barang jaminan dijual dengan cara dilelang. Hasilnya untuk melunasi utang dan apabila masih ada sisanya dikembalikan kepada debitur.

Barang jaminan juga tidak selalu milik debitur, Undang-Undang memperbolehkan barang milik pihak ketiga asalkan pihak yang bersangkutan merelakan barangnya dipergunakan sebagai jaminan utang debitur.

Dari penjelasan diatas, dapat diberikan pengertian bahwa jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur.50

50

Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 56.

Yang menjadi fungsi utama jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.

Setiap ada perjanjian jaminan pasti ada perjanjian yang mendahuluinya, yaitu perjanjian utang piutang yang disebut perjanjian pokok karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan tanpa ada perjanjian pokoknya. Hal ini disebabkan karena tidak mungkin ada perjanjian jaminan yang dapat berdiri sendiri, melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokoknya telah selesai, maka perjanjian jaminannya juga selesai. Sifat perjanjian seperti ini disebut dengan accessoir.


(49)

Kedudukan perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan) mempunyai ciri-ciri:

1. Lahir dan hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok; 2. Ikut batal dengan batalnya perjanjian pokok;

3. Ikut beralih dengan berlihnya perjanjian pokok.51

Karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan kredit, jaminan yang ideal (baik) itu adalah:

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang memerlukannya;

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;

3. Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa yaitu bila perlu mudah diuangkan untuk melunasi utangnya si debitur.52

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata, dapat diketahui pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:

1. Hak jaminan yang bersifat umum

Yaitu jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh kreditur dan mengenai segala kebendaan debitur. Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena undang-undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya.

51

Edy Putra Tje ‘Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberti, 1985), hal. 41.

52

Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 70.


(50)

2. Hak jaminan bersifat khusus

Hak jaminan khusus ini timbul karena diperjanjikan secara khusus antara debitur dengan kreditur.

Hak jaminan khusus dapat dibedakan menjadi:

a. Hak jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten), yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. Diatur dalam Pasal 1150 KUHPerdata, Pasal 1162 KUHPerdata, Pasal 314 KUHD, UU No. 4 Tahun 1996, UU No. 42 Tahun 1999. Jaminan ini dapat berupa gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia.

b. Hak jaminan yang bersifat perseorangan (persoonlijke zekerheidsrechten), yaitu adanya seseorang yang bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitur wanprestasi. Diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata, Pasal 1278 KUH Perdata, Pasal 1316 KUH Perdata.53

KUH Perdata menggunakan istilah pertanggungan, namun selain dari istilah tersebut terdapat istilah lain yang sama artinya dengan penanggungan yang digunakan oleh beberapa sarjana yaitu penanggungan utang dan risiko penanggungan. Selain itu penanggungan dalam bahasa Belanda disebut “borgtocht” dan dalam bahasa Inggris disebut “guaranty”. Dan orang yang melakukan penanggungan itu disebut penanggung, penjamin, borg, atau guarantor.54

53

Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.76.

54

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5.


(51)

Adapun penanggung ini adalah bersifat accesoir, yang berarti bahwa perjanjian penanggungan ini dapat terjadi atau terbentuk karena adanya perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok. Perjanjian pokok ini dapat diartikan dengan adanya perjanjian penanggungan yang akan lahir kemudian.

Dalam hal ini jelas bahwa harus tetap ada perjanjian pendahuluan atau perjanjian pokok yang menjadi landasan atau dasar terbetuknya perjanjian penanggungan ini. Karena bila tidak maka perjanjian penanggungan ini akan menjadi sebuah perjanjian yang tanpa sebab dan akibatnya dapat batal. Kemudian dapat kita lihat adanya kemungkinan yang berarti diperbolehkannya diadakan suatu perjanjian penanggungan atau perjanjian penjaminan terhadap suatu perjanjian pokok yang dapat dimintakan pembatalannya, misalnya suatu perjanjian pokok yang diadakan oleh seorang yang menurut hukum tidak cakap. Dalam hal ini jelas apabila perjanjian pokok batal maka secara otomatis perjanjian penjaminan itu juga dapat ikut batal.

Namun seorang penjamin/penanggung tidak dapat mengikatkan untuk syarat yang lebih berat daripada perjanjian pokok, artinya perjanjian penanggungan ini hanya dapat dibentuk dan sebagai suatu keseluruhan syarat dalam perjanjian pokok. Namun tidak boleh melebihi dari perjanjian pokok, seperti yang disebutkan bahwa tidak mungkin ada borgtocht untuk kewajiban perikatan yang isinya lain daripada menyerahkan sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang hanya menjamin perikatan sekunder yang muncul dari perikatan bersangkutan.55

55


(52)

Hal ini tidak akan mengakibatkan batal secara langsung terhadap perjanjian penjaminan atau perjanjian pertanggungan itu, melainkan perjanjian pertanggungan itu hanya sah sebatas apa yang diliputi atas syarat dari perjanjian pokok, selain itu tidak sah. Hal ini logis bila kita dilihat dari sifat perjanjian penanggung itu sendiri, juga didukung oleh dasar bahwa suatu perikatan dalam suatu perjanjian yang sifatnya tunduk kepada suatu perjanjian pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh perjanjian pokok itu.

Sesuai dengan sifat accesoir dari perjanjian penanggungan/penjaminan ini, maka jaminan ini turut beralih apabila pokoknya beralih. Masalah peralihan ini baru berarti apabila disertai dengan diberikan kepada orang lain yang juga mengalihkan perjanjian pokoknya. Dalam hal ini hak kreditur tidak mengalami perubahan yang berarti sepanjang tidak ditentukan lain.

Dalam rumusan yang diberikan oleh Pasal 1820 KUH Perdata mengenai borgtocht/ personal guarantee mengandung empat unsur, yaitu:

1. Ciri sukarela

Seorang pihak ketiga yang sama sekali tidak mempunyai urusan dan kepentingan apa-apa dalam suatu persetujuan yang dibuat antara debitur dan kreditur, dengan sukarela membuat “pernyataan mengikatkan diri” akan menyanggupi pelaksanaan perjanjian, apabila nanti si debitur tidak melaksanakan pemenuhan kewajiban terhadap kreditur.

2. Ciri subsidair

Yakni dengan adanya pernyataan mengikatkan diri memenuhi perjanjian dari borg/ penjamin, seolah-olah konstruksi perjanjian dalam hal ini menjadi


(53)

dua, tanpa saling bertindih. Yang pertama ialah perjanjian pokok itu sendiri antara kreditur dan debitur. Perjanjian yang kedua, yang kita anggap perjanjian subsidair ialah perjanjian jaminan/ borg tersebut antara si penjamin dengan pihak kreditur.

3. Ciri accesoir

Sebenarnya dengan memperhatikan ciri subsidair diatas, sudah jelas terlihat accesoir yang melekat atau menempel pada perjanjian pokok yang dibuat oleh debitur dan kreditur. Apabila debitur sendiri telah melaksanakan kewajibannya kepada debitur, hapuslah kewajiban penjamin.

4. Borgtocht/ penjamin secara resmi hapus apabila perjanjian pokok telah hapus.56

1. Lahirnya Penjaminan/Penanggungan

Lahirnya suatu penjaminan dapat juga dikatakan sebagai terbentuknya atau telah dilakukan atas dibuatnya suatu penjaminan baik oleh perseorangan (personal guarantee) maupun suatu badan usaha (corporate guarantee). Seperti yang telah disebutkan lahirnya penanggungan ini harus diikuti dengan perjanjian pokok terlebih dahulu, baik itu perjanjian kredi bank maupun perjanjian lainnya.

Sesuai dengan sifat dari perjanjian penanggungan itu sendiri yang senantiasa diikuti dan didahului oleh perjanjian pokok. Jadi jelas bahwa perjanjian penanggungan timbul sebagai adanya akibat perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya penanggungan tersebut karena dalam banyak hal bukan tidak mungkin seorang kreditur baru mau mengadakan perjanjian kredit apabila

56


(54)

pihak lawan itu dapat mengajukan pertanggungan atau borg yang akan menanggung pemenuhan utang apabila debitur wanprestasi.

Perjanjian penanggungan ini tidak harus dibuat pada saat yang sama dengan perjanjian pokok untuk diberikan penanggungan. Dan tidak tertutup kemungkinan bahwa penanggungan baru diberikan lama sesudah perjanjian pokok ada. Bisa saja merupakan perjanjian yang ditambahkan kemudian. Akan tetapi dalam praktek sering ditemui perjanjian penanggungan ini lebih dulu ada daripada perjanjian pokok. Yang demikian sering diisyaratkan oleh krediturnya, sebab khawatir akan timbul sengketa atau wanprestasi yang mana setelah perjanjian kredit ditandatangani dan debitur utama telah menerima fasilitas pinjaman/ pembiayaan kredit, penjamin ingkar janji untuk memberikan penanggungannya. Dalam hal perjanjian penjamin itu lahir lebih dahulu daripada perjanjian penjamin, maka perjanjian itu telah lahir, maka sesuai dengan sifat accesoirnya perjanjian ini belum mempunyai daya kerja. Dengan begitu perjanjian pokoknya lahir, maka perjanjian penjamin ini langsung berlaku.

Walaupun secara teoritis perjanjian penjamin merupakan perjanjian yang berlaku, berakhir dan berpindahnya bergantung kepada perjanjian pokok, sehingga menimbulkan kesan mempunyai kedudukan yang kurang penting, namun dalam praktek penjaminan ini justru mempunyai kedudukan yang penting dan mempunyai peranan yang sangat besar. Bahkan sering sekali perjanjian pokok baru disetujui apabila jaminannya cukup.

Secara umum perjanjian penjaminan/ penanggungan ini dapat timbul dari hal-hal sebagai berikut:


(55)

1. Penjaminan yang lahir dari undang-undang

Penjamin yang lahir dari undang-undang ini maksudnya adalah penjamin yang timbulnya berdasarkan penetapan undang-undang, karena dalam beberapa hal undang-undang mewajibkan adanya seorang penjamin untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu. Misalnya pewarisan.

2. Penjaminan yang lahir dari perjanjian

Pada umumnya perjanjian ini lahir sebagai akibat adanya perjanjian pokok yang menyebutkan secara khusus adanya suatu penanggungan. Hal ini dapat terjadi karena kreditur kadangkala baru mau mengadakan suatu hubungan perhutangan jika pihak lawan ini dapat mengajukan penjamin. Penjamin ini dapat ditunjuk oleh kreditur ataupun debitur.

3. Penjaminan yang lahir secara sukarela

Dalam penjaminan ini, orang yang menjamin bisa disebut sebagai borg sukarela atau biasanya juga hanya dikatakan sebagai borg. Ini gunanya untuk membedakan dari borg wajib. Borg sukarela ini juga dapat diartikan sebagai orang yang dengan sukarela atau asas keinginannya sendiri untuk menjadi penjamin/penanggung (borg). Dalam hal ini berati buka n atas penetapan hakim atau telh ditetapkan oleh undang-undang.

4. Penjaminan yang lahir karena adanya penetapan hakim.

Penjaminan ini timbul karena adanya putusan hakim atau ketetapan hakim (beschiking) yang memutuskan adanya penjamin yang menjamin dipenuhinya perutangan. Dalam hal ini menetapkan debitur diwajibkan


(56)

memberi borg, maka borg yang diajukan tersebut haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk menguatkan diri;

2. Cukup mampu (kemampuan ekonomi) untuk dapat memenuhi peraturan yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau secara khusus menurut keadaannya dimana hakim bebas untuk menentukan penilaian. 3. Harus berada di wilayah RI.

Dalam melakukan penjaminan, undang-undang tidak menentukan bentuk perjanjian penjaminan/penanggungan tertentu. Berarti perjanjian penjaminan ini sesuai dengan asas umum yaitu bentuknya bebas, tidak harus dituangkan dalam bentuk tertulis ataupun lisan. Akan tetapi demi kepentingan pembuktian sebaiknya dilakukan secara tertulis. Dan sehubungan dengan itu berati perjanjian penjamin juga dapat dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan namun dalam hal ini kita harus memperhatikan Pasal 1818 KUH Perdata yang menyatakan bahwa parikatan-perikatan utang sepihak dibawah tangan yang berisi kewajiban.

Untuk membayar sejumlah uang secara tunai atau menyerahkan barang-barang tertentu yang dapat dinilai dengan uang, harus seluruhnya ditulis dengan tangan oleh orang yang menandatanganinya atau paling tidak dibawahnya, kecuali tanda tangannya, juga dituliskan oleh si penandatangan, suatu pernyataan setuju dengan kata-kata secara penuh memuat jumlah atau besarnya atau banyaknya


(1)

a. Permohonan pailit ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga tempat kedudukan hukum debitur;

b. Setelah permohonan lengkap, maka panitera menyampaikan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan pailit didaftarkan (Pasal 6);

c. Pengadilan akan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang 3 (tiga) hari sejak pendaftaran dilakukan;

d. Pemanggilan sidang dilakukan 7 (tujuh) hari oleh juru sita sebelum sidang pertama dilakukan baik dengan tercatat atau diantar langsung oleh juru sita;

e. Sidang harus dilaksanakan paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak hari pendaftaran;

f. Penundaan sidang boleh dilakukan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari sejak pendaftaran;

g. Berdasarkan alasan yang cukup sidang dapat ditunda oleh Pengadilan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari sejak didaftarkan;

h. Putusan permohonan pailit harus sudah jatuh/ diputuskan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak didaftarkan;

i. Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang berkepentingan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan pailit dijatuhkan;

Pengajuan permohonan kepailitan penjamin dapat diajukan secara bersama-sama dan juga dapat dilakukan secara terpisah dengan pengajuan permohonan kepailitan debitur.


(2)

3. Akibat hukum kepailitan penjamin, yaitu bahwa penjamin tidak berwenang lagi untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang menjadi boedel pailit karena kewenangannya beralih kepada kurator Dan dalam Perseron Terbatas, penjamin yang dinyatakan pailit tidak dapat menjadi anggota direksi berdasarkan Pasal 93 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan juga tidak bisa menjadi anggota komisaris berdasarkan Pasal 110 ayat (1) UUPT.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Sebelum memberikan jaminan pribadi/Borgtocht/ Personal Guarantee seseorang hendaknya mengetahui terlebih dahulu apakah debitur yang akan dijaminkan utangnya memiliki aset yang cukup untuk membayarkan utangnya dan apakah debitur tersebut memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya, sehingga tidak akan timbul masalah di kemudian hari dan penjamin tidak ikut dipailitkan.

2. Para pihak yang terkait dalam perjanjian pemberian jaminan pribadi/Borgtocht/ Personal Guarantee khususnya penjamin hendaknya melakukan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan agar tidak masalah dan konflik dikemudian hari.

3. Berkaitan dengan Perseroan Terbatas yang mengalami kepailitan, maka diperlukan adanya pembedaan mengenai pengaturan antara kepailitan


(3)

terhadap Perseroan Terbatas selaku badan usaha yang berbadan hukum, badan usaha non badan hukum dengan kepailitan terhadap orang perorangan. Karena ada perbedaan prinsip didalamnya, diantaranya mengenai akibat kepailitan, dan pertanggungjawaban. Tidak adanya pembedaan ini dapat menyebabkan kerancuan norma yang satu dengan norma yang lain.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali, Muhammad Chaidir et. al. 1995. Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Bandung: Mandar Maju.

Aman, Edy Putra Tje. 1985. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberty.

Asikin, Zainal. 1991. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Djumhana, Muhammad. 1983. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: Alumni.

Follmar, F.N. 1995. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Fuady, Munir. 1998. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya. 2002. Segi-segi Hukum Perjanjian. Jakarta: Sinar Grafika. ---. 2009. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika.

Hartini, Rahayu. 2008. Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press.

Hartono, Siti Soematri. 1984. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran. Yogyakarta: Liberty.

Hasal, Djuhaendah. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Kebendaan Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Horizontal. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Kartono. 1992. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: Pradnya. Lontoh, Rudhy A. et.al. 2001. Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni.

Masjchun, Sri Soedewi. 1982. Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdulkadir. 1996. Hukum Perseroan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nating, Imran. 2004. Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: Rajagrafindo Persada.


(5)

Salim, H.S. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Satrio, J. 1996. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi. Bandung: Citra Aditya.

Shubhan, M. Hadi. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta: Kencana.

Sinungan, Muchdarsyah. 2000. Dasar-Dasar dan Teknik Management Kredit. Jakarta: Bina Aksara.

Situmorang, Victor M dan Hendri Soekarso. 1994. Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan Failissement Verordening jo. Undang-undang No. 4/1998. Jakarta: Pusat Utama Grafiti.

Subekti, R. 1991. Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Sunarmi. 2009. Hukum Kepailitan. Medan: USU Press.

Supramono, Gatot. 2007. Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek Dalam Gugatan Perdata Di Pengadilan. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryatin, R. 1983. Hukum Dagang I dan II. Jakarta: Pradnya Paramita. Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Kepailitan. Bogor: Ghalia Indonesia.

Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Widjaja, Gunawan. 2004. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Prenada Media.

---. 2002. Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

B. Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 jo Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


(6)

C. Tesis dan Majalah

Dewi, Inggrid Kusuma. 2007. Kedudukan Hukum Bank Sebagai Pemegang Jaminan Kebendaan Dalam Perjanjian Kredit Dalam Keadaan Debitur Pailit. Medan: Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana USU.

Sutantio, Retnowulan. 1987. Beberapa Masalah Yang Berhubungan Dengan Jaminan Kredit. Varia Peradilan.

D. Kamus

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga Jakarta: Balai Pustaka.

Sudarsono. 2002. Kamus Hukum Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.

E. Internet

Tejabuwana. Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan

http://www.hukumonline.com/klinik.

http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modern.

Latifah, Disriani. Kedudukan Guarantor Dalam Kepailitan http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalam-kepailitan

Surya, Indra dan Ivan Yustiavanda. Penerapan Good Corporate