Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Luar KUHP Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

C. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Luar KUHP Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Selain di dalam KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengaturan tindak pidana terhadap konsumen juga dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan masalah konsumen, peraturan-peraturan tersebut antara lain :

1. Undang Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

2. Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

3. Undang Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

4. Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

5. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

6. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat.

73 Ahmadi Miru dan Sudarman Yodo, op. cit., hal. 276

Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di atas, memang tidak semua menyebutkan kata konsumen secara implisit. Akan tetapi secara materi terdapat beberapa hal yang berisi tentang pengaturan hak-hak dan perlindungan konsumen. Untuk lebih jelasnya maka akan diuraikan satu persatu undang-undang diluar KUHP dan UUPK yang juga mengatur tindak pidana terhadap konsumen.

1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

Metrologi legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran. Pengertian ini terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981.

Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi kepentingan umum dan memberikan adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya. Sebelumnya pengaturan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya telah ada sebagaimana ditetapkan, dalam Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175. Akan tetapi karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan teknologi, serta sesuai dengan Sistem Internasional untuk satuan maka ketentuan yang terdapat sebelumnya perlu diganti.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal terdapat ketentuan pidana yang mengatur tentang penggunaan alat-alat ukur dan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal terdapat ketentuan pidana yang mengatur tentang penggunaan alat-alat ukur dan

1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,dan Pasal 28 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

3) Pelanggaran terhadap perbuatan yang tercantum dalam Pasal 22, Pasal

23 dan Pasa l29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang ini dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi- tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Perbuatan-perbuatan yang dilarang dan merupakan kejahatan dalam ketentuan Undang-Undang Metrologi legal ini antara lain :

a. Pasal 25 yaitu mempunyai, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai :

1. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang bertanda batal

4. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku.

5. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak.

6. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang setelah dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat 6. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang setelah dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat

7. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau penunjukkannya menyimpang dari nilai yang diizinkan berdasarkan Pasal 12 huruf c.

8. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang mempunyai tanda khusus yang memungkinkan orang menentukan ukuran, takaran, atau timbangan menurut dasar dan sebutan lain daripada yang dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

9. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain di tempat usaha, di tempat untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum, di tempat melakukan penyerahan-penyerahan, di tempat menentukan pungutan atau upah yang didasarkan pada ukuran atau timbangan.

b. Pasal 26, yaitu menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan, mengadakan persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan :

1. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang bertanda tera batal;

2. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah yang berlaku, atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku, kecuali seperti yang tersebut dalam Pasal

3. Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tanda jaminannya rusak

c. Pasal 27 yaitu dilarang memasang alat ukur, alat petunjuk, atau alat lainnya sebagai tambahan pada alat-alat ukur, takar atau timbang yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang.

d. Pasal 28 yaitu memakai atau menyuruh memakai ditempat-tempat seperti disebutkan dalam Pasal 25 :

1. Alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dengan cara lain atau dalam kedudukan lain daripada yang seharusnya.

2. Alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur, menakar atau menimbang melebihi kapasitas maksimumnya.

e. Pasal 30 yaitu menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun juga, semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yangsebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya.

f. Pasal 31 yaitu membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau menawarkan untuk dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih, berat bersih atau jumlah hitungannya kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya, atau menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22.

Selain itu ada beberapa perbuatan yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran, yaitu :

a. Pasal 22 yaitu kewajiban memberitahukan, menyatakan pada bungkus atau label barang dengan tulisan yang jelas, singkat dan benar tentang nama barang, ukuran, isi atau berat bersih dengan satuan lambing dan jumlah dalam hitungan.

b. Pasal 23 yaitu kewajiban untuk mencantumkan pada barang yang dalam keadaan terbungkus nama dan tempat perusahaan yang membungkus barang.

c. Pasal 29 yaitu menggunakan sebutan dan lambing satuan selain yang berlaku pada pengumuman tentang barang yang dijual dengan cara diukur, ditakar dan ditimbang baik dalam surat kabar, majalah atau surat tempelan, pada etiket yang dilekatkan atau disertakan pada barang atau bungkus barang.

Ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 32 adalah :

a. Pidana penjara (maksimum satu tahun dan atau denda Rp. 1.000.000,00/satu juta rupiah) dikenakan terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal 25, 26, 27, 28, 30 dan 31

b. Kurungan maksimum 6 bulan dan atau denda Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu) dikenakan pada pelanggaran yang diatur menurut Pasal 22,

23 dan 29.

Kualifikasi delik dalam Undang-Undang Metrologi Legal terdiri dari delik kejahatan dan delik pelanggaran. Ketentuan dalam Pasal 33 lengkapnya antara lain :

1) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undang undang ini adalah kejahatan.

2) Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang- undang ini adalah pelanggaran.

3) Barang yang menjadi bukti kejahatan dan atau pelanggaran dapat dirampas untuk kepentingan Negara.

Dalam Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) merupakan kejahatan dan berdasarkan Pasal 33 ayat (2) perbuatan yang diatur dalam Pasal 32 ayat (3) merupakan pelanggaran. Berdasarkan aturan umum yang terdapat dalam KUHP maka antara aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum untuk pelanggaran terdapat perbedaan pidana yang dijatuhkan. Kejahatan biasanya dikenakan pidana penjara sedangkan pelanggaran dikenakan pidana kurungan. Perumusan ancaman pidana dalam Undang-Undang Metrologi Legal menggunakan sistem perumusan alternatif yaitu pidana yang lebih berat dirumuskan secara pilihan dengan jenis sanksi pidana lain yang lebih ringan.

Di dalam Undang-Undang Metrologi Legal ini ditetapkan pula tentang Pertanggungjawaban Korporasi, yang dapat dilihat pada Pasal 34, Pasal ini membebankan tanggungjawab pidana tersebut kepada :

a. Pengurus apabila berbentuk badan hukum.

b. Sekutu aktif apabila berbentuk persekutuan atau perkumpulan orang- orang.

c. Pengurus apabila berbentuk yayasan dan wakil atau kuasanya di Indonesia bilamana kantor pusatnya di luar negeri.

Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Metrologi Legal ini mempunyai keterkaitan dengan perlindungan konsumen. Dengan adanya pengaturan tentang ukuran dan takaran barang maka konsumen tidak akan dirugikan karena telah membeli suatu barang yang sesuai dengan ukuran dan takaran barang. Dalam hal ini hak-hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang telah terlindungi.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang Kesehatan mengatur tentang hal-hal yang berkaitan

dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Undang-undang ini erat kaitannya dengan konsumen, walaupun dalam undang-undang ini tidak dikenal adanya istilah konsumen, akan tetapi pengertian konsumen dapat dilihat secara eksplisit dari kata-kata setiap orang dan masyarakat. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa setiap pemakai, pengguna barang/jasa kesehatan adalah konsumen, baik itu pasien atau pemakai obat-obatan yang berhubungan dengan kesehatan. Hak konsumen salah satunya adalah mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasa. Dalam kaitannya dengan kesehatan maka pengaturannya yang lebih khusus terdapat dalam undang- undang kesehatan, termasuk dalam hal pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang juga konsumen. Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kesehatan maupun dalam hal mengkonsumsi barang yang berhubungan dengan kesehatan tidak terlepas dari adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak konsumen. Oleh karena itu dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Undang-undang ini erat kaitannya dengan konsumen, walaupun dalam undang-undang ini tidak dikenal adanya istilah konsumen, akan tetapi pengertian konsumen dapat dilihat secara eksplisit dari kata-kata setiap orang dan masyarakat. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa setiap pemakai, pengguna barang/jasa kesehatan adalah konsumen, baik itu pasien atau pemakai obat-obatan yang berhubungan dengan kesehatan. Hak konsumen salah satunya adalah mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menggunakan barang/jasa. Dalam kaitannya dengan kesehatan maka pengaturannya yang lebih khusus terdapat dalam undang- undang kesehatan, termasuk dalam hal pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang juga konsumen. Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kesehatan maupun dalam hal mengkonsumsi barang yang berhubungan dengan kesehatan tidak terlepas dari adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak konsumen. Oleh karena itu

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Kesehatan terdapat dalam Pasal

80 sampai Pasal 86. Bunyi lengkap pasal-pasal tersebut antara lain : Pasal 80

1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama

15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2) Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

4) Barang siapa dengan sengaja :

a. mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);

b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 80 memuat empat ayat dan mengatur tentang :

a. Tindakan medis terhadap ibu hamil. Perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil dan tindakan medis itu tidak memenuhi Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2). Isi Pasal 15 ayat (1) dan (2) adalah :

(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu

hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu. (2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :

a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;

b. oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;

d. pada sarana kesehatan tertentu.

Dari ketentuan di atas terlihat bahwa tindakan medis tertentu itu hanya dapat dilakukan apabila :

1) Terdapat indikasi tertentu.

2) Dijalankan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan tertentu.

3) Dengan persetujuan ibu hamil, suami, atau keluarganya.

4) Bertempat di sarana kesehatan tertentu pula.

b. Menghimpun dana untuk menyelenggarakan kesehatan tidak berbentuk badan hukum, tidak memiliki izin operasional serta tidak menjalankan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3).

c. Perilaku sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial mengenai transplantasi organ tubuh, jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaiman dimaksud pasal 33 ayat (2).

d. Mengedarkan makanan dan minuman sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3) dan memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan buku standar lainnya. Pasal 21 ayat (3) menyebutkan : “Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau

persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. ”

Ancaman pidana terhadap perbuatan yang diatur dalam Pasal 80 tersebut adalah hukuman penjara 15 (lima belas) tahun sedang ancaman pidana denda antara Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Ancaman pidana berikutnya adalah terhadap perbuatan-perbuatan transplantasi, implan atau bedah plastik tanpa keahlian atau kewenangan, sengaja mengambil organ, memproduksi dan atau mengedarkan alat kesehatan tidak memenuhi standar, mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar dan menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan manusia serta norma yang berlaku dalam masyarakat (Pasal 81).

Lengkapnya ketentuan Pasal 81 berbunyi : (1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan segaja :

a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);

b. melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

36 ayat (1);

c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);

(2) Barang siapa dengan sengaja :

a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);

b. memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);

d. menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah).

Selanjutnya melakukan dengan sengaja tanpa keahlian dan kewenangan pengobatan dan atau perawatan, transfusi darah, pekerjaan kefarmasian, melakukan implan obat dan melakukan bedah mayat, dan dengan sengaja melakukan upaya kehamilan di luar cara alami, memproduksi dan mengedarkan sediaan farmasi obat tradisional yang tidak memenuhi standar, memproduksi serta mengedarkan sediaan farmasi kosmetika yang tidak memenuhi standar, mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan, memproduksi dan atau mengedarkan bahan mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar atau persyaratan yang ditentukan (Pasal 82). Lengkapnya Pasal tersebut :

(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :

a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);

e. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);

f. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1); f. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);

63 ayat (1);

h. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (scratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja :

a. melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);

b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2); c. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);

c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);

i. memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 83 mengatur tentang penambahan hukuman apabila perbuatan yang dilakukan mengakibatkan luka berat dan kematian. Bunyi Pasal 83 adalah :

“Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau

sepertiga apabila menimbulkan kematian ”.

Kualifikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 80, 81 dan 82 ditetapkan sebagai kejahatan. Sedangkan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 84 adalah pelanggaran (ketentuan Pasal 85). Bunyi Pasal 85 lengkapnya :

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal

82 adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah pelanggaran.

3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan tempat tinggal, mengingat laju pertumbuhan kehidupan di perkotaan yang tidak seimbang dengan kemampuan tanah yang tersedia maka diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah tempat tinggal bagi masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan yang padat, dilatarbelakangi oleh hal tersebut dan adanya tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan peningkatan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan maka diperlukan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.

Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Untuk memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan penyediaan rumah susun maka pemerintah mengeluarkan suatu peraturan tentang rumah susun yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Dalam Undang-Undang Rumah Susun tidak disebutkan istilah konsumen, akan tetapi secara umum penghuni rumah susun berkedudukan sebagai konsumen. Konsumen sebagai pengguna barang dan jasa mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Oleh karena itu penghuni rumah susun harus memperoleh kenyamanan, keamanan dan keselamatan pada saat menghuni rumah susun. Hak-hak konsumen tersebut juga dilindungi dengan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam undang-undang rumah susun.

Dalam pengaturan masalah rumah susun ditetapkan beberapa tindakan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana, baik sebagai tindak pidana kejahatan maupun pelanggaran (Pasal 21 sampai dengan Pasal 23). Lengkapnya ketentuan pidana sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 tentang Rumah Susun berbunyi sebagai berikut :

(1) Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 6, Pasal

17 ayat (2), dan Pasal 18 ayat (1) diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud diatas adalah kejahatan (3) Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan pelanggaran atas

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

(4) Perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah pelanggaran.

Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut ketentuan dalam Pasal 21 tersebut antara lain : Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut ketentuan dalam Pasal 21 tersebut antara lain :

administratif. (2) Ketentuan-ketentuan pokok tentang persyaratan teknis dan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

b. Persyaratan penjualan (eksekusi) rumah dalam bentuk hipotik atau fidusia. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) yang berbunyi : Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) baru

dapat dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan, dan atau media cetak setempat, tanpa ada pihak yang menyatakan keberatan.

c. Pelanggaran pada izin layak huni. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 tentang izin kelayakan untuk dihuni. Izin layak huni ini sesungguhya ditujukan untuk keamanan, keselamatan, ketentraman dan ketertiban para penghuni serta pihak lainnya. Perizinan itu hanya diperoleh apabila oleh penyelenggara pembangunan rumah susun dilampirkan syarat-syarat berikut :

1) Sertifikat hak atas tanah.

2) Fatwa peruntukan tanah.

3) Rencana tapak.

4) Gambar rencana arsitektur yang membuat denah dan potongan serta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertical dan horizontal dari satuan rumah susun.

5) Gambar rencana struktur beserta perhitungannya.

6) Gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, dan tanah bersama.

7) Gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya. Perbuatan-perbuatan di atas dikualifikasikan sebagai kejahatan (Pasal 21 ayat 2). Sedang tindak pidana tersebut apabila dilakukan karena kelalaian, termasuk kedalam tindak pidana pelanggaran (Pasal 21 ayat 4). Dari ketentuan Pasal 21 tersebut di atas, hak-hak konsumen yang dilindungi tampak jelas dalam Pasal 18 ayat (1) karena izin layak huni memberikan jaminan diakuinya hak-hak konsumen dalam menikmati barang dan jasa yaitu rumah susun.

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.

Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat selain dilakukan secara sendiri-sendiri juga dapat dilakukan oleh pelaku usaha/penyedia

jasa yang lebih dikenal dengan istilah developer atau pengembang. Dalam undang-undang perumahan dan permukiman dapat ditemukan hak-hak konsumen yaitu hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mendapatkan fasilitas perumahan yang disediakan oleh pelaku usaha perumahan. Selain itu dalam kaitannya dengan periklanan penjualan perumahan konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi serta jaminan darang dan/atau jasa. Dalam melakukan pemasaran terhadap perumahan pelaku usaha harus memberikan informasi yang benar dan jujur, pelaku usaha dilarang untuk menjual kaveling tanah matang tanpa rumah kepada konsumen.

Untuk melindungi hak-hak konsumen dari perbuatan pelaku usaha perumahan yang merugikan konsumen maka dalam Undang-Undang Perumahan Dan Permukiman juga terdapat ketentuan pidana. Ketentuan pidana dalam Pasal

36 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam

Pasal 7 ayat (1), Pasal 24 dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda setinggi- tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-setingginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

(3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2

(dua) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Perbuatan-perbuatan yang dilarang seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 adalah tentang kewajiban setiap orang atau badan hukum untuk :

a. Mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif.

b. Melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan.

c. Melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.

Perbuatan yang melanggar ketentuan yang termuat dalam Pasal 24 adalah tentang kewajiban badan usaha untuk :

a. Melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah.

b. Membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara, dan mengelolanya sampai pada pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah.

c. Mengkoordinasikan penyelenggaraan penyediaan utilitas umum.

d. Membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau disekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah.

e. Melakukan penghijauan lingkungan.

f. Menyediakan tanah untuk sarana lingkungan.

g. Membangun rumah.

Perbuatan yang melanggar ketentuan termuat dalam Pasal 26 ayat (1) yang melarang perbuatan menjual kaveling matang tanpa rumah kepada siapapun. Jadi penjualan tanah belaka, tanpa bangunan diatasnya, merupakan perbuatan melawan hukum. Selain itu ada ketentuan pidana dalam Pasal 12 ayat (1) yang mengatur tentang perizinan untuk melakukan penghunian rumah oleh orang atau badan. Jadi rumah yang akan dihuni oleh yang bukan pemiliknya hanya dapat dilakukan apabila sudah ada izin atau persetujuan dari pemiliknya.

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Untuk melindungi konsumen khususnya menyangkut pangan terdapat pengaturan khusus yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang mempunyai sanksi pidana Pelanggaran atas Undang-Undang Pangan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terdapat dalam Pasal 55 sampai Pasal 59, yaitu :

a. Pasal 55 Undang-Undang Pangan tentang Tindak Pidana di bidang pangan yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), yaitu :

1) Sengaja menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan dalam keadaan tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

2) Sengaja menggunakan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara berlebihan.

3) Sengaja menggunakan bahan yang dilarang sebagai kemasan pangan atau menggunakan bahan bahan apapun yang membahayakan kesehatan manusia.

4) Sengaja mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan.

5) Sengaja memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang diwajibkan.

6) Sengaja memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan mutu yang diperjanjikan.

7) Sengaja memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan, mengganti, melebel kembali atau menukar tanggal, bulan atau tahun kadaluwarsa pangan yang diedarkan.

b. Pasal 56 Undang-Undang Pangan tentang tindak pidana di bidang pangan yang diancam pidana penjara paling lama satu tahun dan atau denda paling banyak Rp. 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) karena kelalaiannya :

1) Menyelenggarakan kegiatan proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

2) Menggunakan bahan yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

3) Menggunakan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan dan/atau bahan apapun yang membahayakan kesehatan manusia.

4) Mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan.

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Pangan ini, ancaman pidana dalam Pasal 55 dan Pasal 56 di atas, dapat ditambah seperempat jika mengakibatkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah sepertiganya jika menimbulkan kematian.

c. Pasal 58 Undang-Undang Pangan tentang tindak pidana di bidang pangan yang diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 360.000.000,00 (tiga ratus enam puluh juta rupiah).

1) Menggunakan suatu bahan sebagai bahan tambahan pangan dan mengedarkan pangan tersebut secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 11.

2) Mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan.

3) Menggunakan iridiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan tanpa izin.

4) Menggunakan suatu bahan sebagai kemasan pangan untuk diedarkan secara bertentangan dengan ketentuan Pasal 17.

5) Membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan memperdagangkannya.

6) Mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan tanpa terlebih dahulu diuji secara laboratoris ; memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratan tentang gizi pangan yang ditetapkan.

7) Memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan untuk dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label.

8) Memberikan keterangan atau persyaratan secara tidak benar dan atau menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan.

9) Memberikan pernyataan atau keterangan tidak benar dalam iklan atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut persyaratan agama atau kepercayaan tertentu.

10) Memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang ini dan peraturan pelaksananya .

11) Menghambat kelancaran proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.

d. Pasal 59 Undang-Undang Pangan tentang tindak pidana di bidang pangan yang diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 480.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) apabila :

1) Tidak menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan dan atau keselamatan 1) Tidak menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan dan atau keselamatan

2) Tidak memenuhi persyaratan sanitasi.

3) Tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan.

4) Tidak menyelenggarakan sistem jaminan mutu yang ditetapkan dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang diperdagangkan.

5) Tidak memuat keterangan yang wajib dicantumkan pada label.

Masing-masing dilakukan walaupun telah diperingatkan secara tertulis.

6. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal 4 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur dan menentukan identifikasi yuridis tentang oligopoli. Oligopoli ialah kesepakatan atau perjanjian antara satu dengan beberapa pelaku usaha untuk menguasai sebagian besar produksi dan pasar. Undang- Undang ini mengkriteriakan penguasaan pasar itu berupa lebih dari 75 persen dari pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Praktek monopoli atau persaingan curang pada akhirnya akan merugikan konsumen.

Ketentuan pidana di dalam undang-undang ini di atur dalam Pasal 48 (pidana pokok) dan Pasal 49 (pidana tambahan). Pengenaan pidana di dalam undang-undang hanya bersifat denda saja dan bisa disubsider dengan pidana kurungan. Dalam pasal 48 disebutkan :

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal

14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.100.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama- lamanya 6 (enam bulan).

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal

15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, Pasal 26 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.5.000.000.000,00 (lima 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, Pasal 26 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.5.000.000.000,00 (lima

(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

Dalam Pasal 48 diatur 3 (tiga) kelompok tindak pidana yaitu :

a. Pelanggaran terhadap :

1) Perbuatan Oligopoli (Pasal 4).

2) Perbuatan pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal (Pasal 9 sampai Pasal 14).

3) Perbuatan melakukan perjanjian dengan luar negeri yang berakibat adanya monopoli dan persaingan tidak sehat; perbuatan monopoli; monopsoni; dan penguasaan pasar (Pasal 16 sampai Pasal 19).

4) Menggunakan posisi dominan (Pasal 25).

5) Tentang pemilikan saham (Pasal 27).

6) Tentang penggabungan/peleburan badan usaha, dan pengambilalihan saham (Pasal 28) Delik-delik

denda minimal Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan maksimal Rp.100.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 (enam bulan)

b. Pelanggaran terhadap :

1) Larangan Penetapan harga (Pasal 5 sampai dengan Pasal 8).

2) Larangan Perjanjian tertutup (Pasal 15).

3) Larangan penguasaan pasar dan persekongkolan (Pasal 20 sampai Pasal 24).

4) Perangkapan jabatan (Pasal 26). Delik-delik ini diancam dengan pidana denda minimal Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan maksimal Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah), atau kurungan pengganti denda maksimal 5 (lima bulan).

c. Pelanggaran terhadap Pasal 41 yaitu tentang pelaku usaha tidak menyerahkan alat bukti dalam pemeriksaan/penyelidikan, menolak diperiksa atau memberi informasi atau menghambat penyelidikan/pemeriksaan. Delik ini diancam dengan pidana denda minimal Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan maksimal Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti maksimal 3 (tiga) bulan.

Pasal 49 undang-undang ini mengatur tentang pidana tambahan yang terdiri atas :

a. Pencabutan izin usaha ; atau

b. Larangan kepada pelaku usaha untuk menduduki jabatan direksi/komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama- lamanya 5 (lima tahun).

c. Penghentian kegiatan/tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pihak lain.

Dalam undang-undang ini subjek tindak pidana ialah pelaku usaha yang dapat berupa orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan (Pasal 1 sub 5). Namun, dalam undang-undang ini ketentuan demikian dibatasi oleh Pasal 50 sub (h) dan sub (i) yang mengecualikan berlakunya ketentuan undang-undang ini terhadap : Dalam undang-undang ini subjek tindak pidana ialah pelaku usaha yang dapat berupa orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan (Pasal 1 sub 5). Namun, dalam undang-undang ini ketentuan demikian dibatasi oleh Pasal 50 sub (h) dan sub (i) yang mengecualikan berlakunya ketentuan undang-undang ini terhadap :

b. Sub (i) kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.