Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
B. Pengaturan Perlindungan Terhadap Konsumen Dengan Ketentuan Hukum Pidana Di Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan beberapa tindakan yang merugikan konsumen sebagai tindak pidana dan dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu :
1. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e, Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 adalah tindak pidana, yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Tindak pidana yang termasuk dalam kelompok ini antara lain :
a. Pasal 8 UUPK yaitu memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
i. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan i. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang disyaratkan
iii. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah menurut ukuran yang sebenarnya. iv. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran barang sebagaimana dicantumkan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
v. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
vi. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atua promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
vii. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. viii. Tidak mengikuti ketentuan produksi halal sebagaimana dengan pernyataan halal yang dicantumkan pada label. ix. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama vii. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. viii. Tidak mengikuti ketentuan produksi halal sebagaimana dengan pernyataan halal yang dicantumkan pada label. ix. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama
x. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b. Pasal 9 UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, memperdagangkannya atau melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan dari barang tersebut.
c. Pasal 10 UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atua membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan tentang harga atau tarif, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi, tawaran potongan harga atau hadiah menarik, serta bahaya penggunaan dari barang dan/atau jasa.
d. Pasal 13 ayat (2) UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
e. Pasal 15 UUPK yaitu melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis kepada konsumen pada waktu menawarkan barang dan/atau jasa.
f. Pasal 17 ayat (1) UUPK yaitu melarang membuat iklan yang : f. Pasal 17 ayat (1) UUPK yaitu melarang membuat iklan yang :
ii. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa (huruf b)
iii. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat (huruf c) iv. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseoarang tanpa izin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan (huruf e)
g. Pasal 17 ayat (2) UUPK melanjutkan peredaran iklan yang dilarang diatas
h. Pasal 18 UUPK melanggar ketentuan undang-undang tentang pencantuman klausula baku dalam perdagangan barang dan/atau jasa.
2. Tindakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Yang termasuk dalam tindak pidana ini antara lain :
a. Pasal 11 UUPK yaitu mengelabui atau menyesatkan konsumen tentang mutu, kualitas, serta harga atau tarif pada penjualan dengan cara obral atau lelang.
b. Pasal 12 UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif b. Pasal 12 UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif
c. Pasal 13 ayat (1) UUPK yaitu menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah, tetapi akhirnya tidak diberikan.
d. Pasal 14 UUPK yaitu tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang diperjanjikan, mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa, memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan, serta mengganti hadiah yang tidak setara dengan hadiah yang dijanjikan dalam hal ada penawaran untuk memberikan hadiah melalui undian.
e. Pasal 16 UUPK yaitu dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan, pelaku usaha tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan penyelesaian sesuai yang dijanjikan, tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
f. Pasal 17 ayat (1) huruf d UUPK yaitu memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa.
g. Pasal 17 ayat (1) huruf f UUPK yaitu memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan perundang-undangan mengenai periklanan.
3. Tindakan pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku, yaitu KUHP dan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan Pasal 62 ini memberlakukan dua aturan hukum sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHP, sementara di luar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Perumusan ancaman pidana didalam UUPK di buat dalam dua kelompok, yaitu :
1. Kelompok I (Pasal 62 ayat 1) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah)
2. Kelompok II (diatur dalam ayat 2) yang diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dalam Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak disebutkan kualifikasi deliknya berupa kejahatan atau pelanggaran. Secara yuridis hal ini dapat menjadi masalah, karena sistem aturan pemidanaan dalam di luar KUHP tetap terikat pada aturan pemidanaan menurut KUHP yang masih membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran. Permasalahannya antara lain dalam hal terjadi kasus percobaan, pembantuan, concursus, dan sebagainya menurut KUHP, aturan pemidanaannya berbeda untuk delik yang berupa kejahatan dengan delik yang berupa pelanggaran. Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan Pasal 62 ayat (3) masih perlu Dalam Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak disebutkan kualifikasi deliknya berupa kejahatan atau pelanggaran. Secara yuridis hal ini dapat menjadi masalah, karena sistem aturan pemidanaan dalam di luar KUHP tetap terikat pada aturan pemidanaan menurut KUHP yang masih membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran. Permasalahannya antara lain dalam hal terjadi kasus percobaan, pembantuan, concursus, dan sebagainya menurut KUHP, aturan pemidanaannya berbeda untuk delik yang berupa kejahatan dengan delik yang berupa pelanggaran. Khusus menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan Pasal 62 ayat (3) masih perlu
Ancaman pidana dalam Pasal 62 berlaku sama untuk semua pelaku usaha, baik orang perseorangan maupun badan usaha/badan hukum. Untuk pidana denda, seharusnya ada perbedaan antara pelaku perorangan dengan badan usaha, karena dampak timbulnya korban (kerugian konsumen) dari perbuatan badan usaha/badan hukum kemungkinan lebih besar daripada perbuatan orang perorangan.
Dengan sistem perumusan pidana dalam Pasal 62 yang lebih berorientasi pada pelaku tindak pidana (offender oriented) sebenarnya tidak dapat diharapkan
banyak adanya perlindungan terhadap konsumen sebagai korban (victim) 69 . Dengan dipidananya pelaku berdasarkan Pasal 62 saja (pidana penjara atau
denda), korban/konsumen yang dirugikan tidak mendapat apa-apa. Dilihat dari sudut korban konsumen, harapan adanya bentuk perlindungan secara langsung hanya pada bentuk sanksi pembayaran ganti rugi, namun sanksi ini menurut Pasal
63 hanya merupakan pidana tambahan. Dalam aturan/delik khusus, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat saja kebijakan perumusan sanksi yang berorientasi pada korban (victim oriented) dilakukan dengan menjadikan sanksi ganti rugi itu sebagai pidana pokok atau sebagai pidana tambahan yang bersifat imperatif untuk delik-delik/kondisi-kondisi tertentu.
Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan di atas, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam hukuman Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana dikemukakan di atas, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam hukuman
operasional produksi suatu perusahaan. 70 Melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan korporasi, agaknya bagi korporasi pelanggaran hukum hanya dipandang sekadar ongkos, yakni biaya atau pengurangan keuntungan melalui denda yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya dengan cara yang sama seperti halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk
menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang bersangkutan. 71 Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan tentang
pidana tambahan terhadap tindak pidana terhadap konsumen. Bunyi pasal tersebut adalah :
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :
a. Perampasan barang-barang tertentu
b. Pengumuman keputusan hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan izin usaha
Dengan demikian setiap pelaku usaha yang melakukan tindak pidana dapat pula dikenakan hukuman tambahan disamping pidana pokok yang diatur dalam
69 Barda Nawawi Arief, 2001, op.cit., hal. 173 70 Susanto, I.S., Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995 dalam Ahmadi Miru dan Sudarman Yodo, op. cit., hal. 289
71 Ibid.
Pasal 62 UUPK. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, di dalam Pasal 61 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan :
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya
Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang tidak saja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Hal ini menurut Nurmadjito merupakan upaya yang bertujuan
menciptakan perlindungan konsumen. 72 Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana. 73 Dengan demikian terlihat pelaku
tindak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 61 adalah perusahaan dan/atau pengurus perusahaan.
berdasarkan konsep kebadanhukuman, maka berarti dalam hubungannya dengan pihak ketiga yang bertanggung jawab baik secara pidana maupun secara perdata bukan organ-organ atau pribadi dalam organ, melainkan perseroan sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban mandiri. Sebagai contoh, organ-organ atau pribadi dalam organ dalam menjalankan tugasnya tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi akibat pelaksanaan tugas sesuai dengan undang-undang dan Anggaran Dasar Perseroan ternyata menjadi penyebab luka atau cacat bahkan kemungkinan meninggalnya konsumen. Dalam KUHP kejadian ini merupakan suatu perbuatan pidana. Akan tetapi dengan diterimanya pelaku usaha (perusahaan) sebagai subjek hukum pidana dan sesuai dengan konsep badan hukum maka adanya perbuatan
Melalui pengaturan
tanggung
jawab
72 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali, dkk., op.cit., hal. 30 72 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali, dkk., op.cit., hal. 30
Mengingat perusahaan sebagai subjek hukum pidana bukan sebagai manusia tetapi sebagai rechtpersoon, maka sanksi pidana yang dapat dikenakan atas tindak pidana yang dilakukan hanyalah dalam bentuk sanksi pidana yang berupa denda, sekalipun perbuatan pidana yang terjadi mengakibatkan konsumen meninggal dunia.