IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBA

IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

(Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JAMIL HANDY 030200145

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN

(Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Medan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dan Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JAMIL HANDY 030200145

Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair S.H, M.Hum NIP : 131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmalawaty S.H, M.Hum Rafiqoh Lubis S.H, M.Hum NIP : 131 803 347

NIP : 132 300 076

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2007

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim , Alhamdulilliahi Robbil „alamiin, puji dan syukur sudah sepantasnya Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang atas berkat dan rahmatnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini Penulis susun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Shalawat dan salam juga tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan dan kezaliman kealam yang terang benderang berilmu pengetahuan seperti

sekarang ini. Skripsi ini berjudul “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA

PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN (Stu di Kasus Di Pengadilan Negeri Medan) “.

SEBAGAI

BENTUK

Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan Penulis terhadap posisi dan kedudukan konsumen. Dengan disadari ataupun tanpa disadari, konsumen seringkali menjadi korban dari perbuatan pelaku usaha yang merugikan konsumen, apalagi dengan posisi konsumen yang lemah dibandingkan dengan posisi pelaku usaha pada saat bersinggungan dengan lapangan hukum baik pidana maupun perdata.

Besar harapan Penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, terutama bagi Penulis sendiri, walaupun Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan serta masukan dari Bapak dan Ibu Dosen, oleh karena itu sudah sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus Dosen Wali Penulis selama masa perkuliahan.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH. MH. DFM, selaku Pembantu Dekan

II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak M. Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak Abul Khair S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Nurmalawaty S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberi petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini selesai.

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi petunjuk dan bimbingan dengan sabar sehingga skripsi ini selesai.

8. Dosen-Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menuntut ilmu di Fakultas Hukum yang penuh perjuangan, suka dan duka maka Penulis kiranya tidak dapat melupakan segala bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga sudah seharusnya Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orangtua penulis yang tercinta yaitu Ayahanda Rizal Ritonga SP dan Ibunda Mahmiatun SPd yang telah memberikan segalanya bagi penulis baik materil maupun moril sehingga Penulis dapat melangkah sampai sekarang ini. Doa dan bimbingannya selalu Andy harapkan agar dapat membahagiakan dan membanggakan bagi ayah dan mamak.

2. Adik-Adik Penulis yaitu Irfan Azhari, Hafiz Ihsan dan Rita. Yang telah menjadi sahabat, teman bermain maupun sebagai kompetitor bagi Penulis yang telah memberikan perhatian dan motivasi selama ini. Jangan sia-siakan perjuangan orang tua kita, kesuksesan dimulai dari pendidikan, jangan pernah berhenti untuk menuntut ilmu

3. Buat Keluarga Besar Alm. H. Djafar Yahya di Dolok Masihul dan di Medan dan keluarga Besar Alm. M. Yusuf Udin Ritonga di Rantau Prapat, terima kasih atas dukungannya.

4. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum USU yang memberikan kesempatan bagi Penulis untuk menempah diri dan sebagai wadah Penulis untuk beraktivitas dan bereksperimen dalam kehidupan kampus. Bahagia HMI, Yakin Usaha Sampai.

5. Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Kelompok Aspirasi Mahasiswa Madani (DPW KAM MADANI) FH USU Periode 2006-2007.

6. Pengurus HMI Komisariat Fakultas Hukum USU peride 2006-2007, terima kasih atas segala prosesnya.

7. Buat Muslih “Pakem”, Reza Kiss, Sersan Mayor Taruna Zainul Fachri, Lukfi, Gatot, Fauzan, Manov, Butong, Sem Maliki, Andi Jin, Winda, Cipta dan Maharani SH. Terima kasih atas kebersamaannya.

8. Buat Kakanda Dedy Irsan SH, Khomaidi Hambali Siambaton SH, Paul D Sinulingga SH, Zulfikri Lubis SH, Ahmad Junaidi Lubis, Rinaldi, Rifai Damanik dan Rini Mirza, Maratua Harahap, Wahana, Jefri Witantra Nasution, Iqbal Adjo, Fauzi SH, A. Hadi Siregar SH, Bobby TM Sebayang SH, Muksin Hasibuan SH, Ivan Sankrang, Yolanda Septina SH, Indah Prasetyowati SH, Intan Harahap SH. Terima kasih atas kebersamaannya

9. Rekan-rekan Penulis angkatan 2003 khususnya teman-teman klinisku, Fidia Ulfa, Juwita Nainggolan, Rafida Aflah, Ernita, Mimi, Mega, Adra, Arpan, Sihol Junior, Ari Matumona, Kanin, Ahmad Aman, Obrika, Lae Polda Simbolon, Frans Sinaga, Dolok, Eric, Agus Rinaldi, Kiki, Budi Brahim, Rise dan lain-lain yang belum disebutkan disini yang telah memberikan kontribusinya kepada Penulis.

10. Anak-anak Griyasana, buat Bang Juned, Chandra, Nazli dan Fitri, Kancil, Piyans ST, Jack, Hasan, Ali, Kodok, Iwan, Syaiful, Taufik Adjo S.Sos, Novanda Syahputra S.Sos, Novie PKL, Dhanie, Tika.

11. Buat Puput, Ilham P. Lubis, Nico, Heri dan Citra, Alm. Syaiful Bahri, Rudi, Ilmi, Yowa, Suthe, Erni, Tyas, Putri, Teteh, Dara, Fitri, Zaki, Agus Daulay, Taufik, Hamdani, dan Desi Irawani Hasibuan.

12. Buat Putra Halomoan, Erwin, Khoiruddin, Iqbal, Diki, Dudi, Arief, Wesi, Samsul, Sadli, Fauzi, Sahnal, Dhini.

13. Buat Sheila Miranda Hasibuan, terima kasih atas kesempatan untuk kembali merasakan yang selama ini telah hilang, suatu kebahagian yang tak terhingga untuk dapat mengenal kembali rasa itu. Kebahagian yang sejati dapat dirasakan ketika dapat melihat orang lain bahagia. Hasil bukan merupakan segalanya, suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan kerja keras membuat sesuatu menjadi lebih matang dan bermakna. Semoga semua rasa ini menjadi pengalaman, motivasi dan semangat yang akan selalu mendorong ke arah yang lebih maju dan lebih baik. Hasta La Victoria Siempre

14. Semua pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Akhir kata Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Juni 2007 Penulis,

JAMIL HANDY

ABSTRAKSI

S kripsi ini berjudul “Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Konsumen (Studi Kasus Di Pengadilan negeri

Medan)”. Skripsi ini merupakan tugas akhir Penulis untuk memenuhi syarat- syarat dan tugas dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perlindungan terhadap konsumen merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, hal ini timbul seiring dengan kemajuan zaman terutama menyangkut kedudukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagai pemakai barang maupun jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Dalam kedudukannya sebagai penikmat barang maupun jasa seringkali konsumen dirugikan oleh perbuatan pelaku usaha, baik dalam kaitannya dengan hubungan perdata maupun hukum pidana. Oleh karena itu penggunaan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan konsumen dapat dilaksanakan sebagai sarana represif dan dapat memberikan rasa keadilan dalam masyarakat.

Adapun permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen, peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan bagaimana implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan menginventarisir ketentuan hukum pidana dalam berbagai hukum positif yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen dan dengan menganalisis putusan pengadilan negeri untuk melihat bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

Sejarah perkembangan perlindungan konsumen dimulai secara global di Amerika Serikat yang diikuti oleh negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia yang telah memiliki peraturan perundang-undangan yang berkaitan perlindungan konsumen sejak zaman Hindia Belanda sampai saat sekarang ini. Peraturan- peraturan yang terkait dengan perlindungan terhadap konsumen antara lain adalah KUHP sebagai induk dari hukum pidana di Indonesia yang terkodifikasi. Selain itu ketentuan hukum pidana di bidang perlindungan konsumen juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang merupakan umbrella act bagi penyelesaian berbagai permasalahan di bidang perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana juga tersebar di berbagai peraturan lain yaitu UU Metrologi Legal, UU Kesehatan, UU Rumah Susun, UU Perumahan dan Pemukiman, UU Pangan, serta UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang Tidak Sehat. Implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen di dalam praktek diselesaikan dengan berbagai ketentuan sesuai dengan karakteristik tindak pidana yang dilakukan terhadap konsumen.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia, baik materil maupun spiritual, yaitu dengan tersedianya kebutuhan pokok. Tujuan lain adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti bahwa tersedianya pendidikan dalam arti luas bagi seluruh rakyat. Kesejahteraan dan kecerdasan itu merupakan wujud dari pembangunan yang berprikemanusiaan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila yang telah diterima sebagai falsafah dan ideologi negara Indonesia serta Undang- Undang Dasar 1945. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan. Untuk memperoleh hidup yang layak bagi kemanusiaan itu dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kecerdasan, perlu penyediaan barang dan jasa dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar maupun kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan terencana melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif, antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang banyak industri barang dan jasa, baik yang berskala besar maupun kecil, terutama sejak dilaksanakannya pembangunan nasional secara bertahap dan terencana melalui rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Pertumbuhan dan perkembangan industri barang dan jasa di satu pihak membawa dampak positif, antara lain tersedianya kebutuhan dalam jumlah yang mencukupi, mutunya yang lebih baik, serta adanya alternatif pilihan bagi konsumen dalam pemenuhan

makin ketatnya persaingan yang mempengaruhi masyarakat konsumen. Para produsen atau pelaku usaha akan mencari keuntungan yang setinggi- tingginya sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam rangka mencapai untung yang setinggi-tingginya itu, para produsen/pelaku usaha harus bersaing antar sesama mereka dengan prilaku bisnisnya sendiri-sendiri yang dapat merugikan

konsumen. 2 Oleh karena itu secara mendasar konsumen membutuhkan perlindungan

hukum mengingat lemahnya kedudukan konsumen dibandingkan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal 3 . Perlindungan terhadap

konsumen dipandang secara materil maupun formil terasa sangat penting, sehingga diperlukan campur tangan negara melalui penetapan sistem perlindungan konsumen. Secara politis perlunya perlindungan hukum bagi konsumen secara umum sudah dinyatakan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) antara lain melalui Ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1988 dan Ketetapan MPR RI Nomor II Tahun 1993, meskipun keduanya memakai istilah yang agak berbeda di mana GBHN 1988 memakai istilah menjamin kepentingan konsumen dan GBHN 1993 memakai istilah melindungi kepentingan konsumen.

1 Sri Wahyuni Endang, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan Konsumen, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8

2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 2

3 Sri Redzeki Hartono, Aspek Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas dalam Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,

Bandung, 2002, hal. 33

Sebelum keluarnya Undang Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999, prinsip-prinsip pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia bukan berarti tidak ada sama sekali. Ada tiga bidang hukum yang memberikan perlindungan secara umum bagi konsumen yaitu bidang hukum perdata, pidana

dan administrasi negara 4 . Perlindungan hukum di bidang perdata diadakan bertitik tolak dari tarik

menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat. Jika seseorang merasa dirugikan oleh masyarakat lain tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian atau perikatan, hubungan hukum tersebut juga dapat muncul karena undang-undang. Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama maka konsumen berhak

menggugat lawannya berdasarkan melakukan wanprestasi (cidera janji) 5 . Secara hukum pidana, tuntutan tidak lagi semata-mata karena pihak lain

melanggar perjanjian. Filosofi dari penuntutan secara pidana lebih luas dari itu, yaitu untuk melindungi masyarakat dari tindak pidana tertentu. Perlindungan demikian itu diberikan oleh negara kepada warga masyarakatnya. Untuk itu penuntutan secara pidana tidak dibebankan kepada perorangan, tetapi kepada suatu instansi pemerintah yaitu kejaksaan.

4 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 48 5 Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000,

hal. 17

Dalam lapangan hukum administrasi negara, perlindungan yang diberikan biasanya lebih bersifat tidak langsung, preventif dan proaktif. Pemerintah biasanya mengeluarkan berbagai ketentuan normatif yang membebani pelaku usaha dengan kewajiban tertentu. Sebagai contoh hasil produksi harus memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan, limbah harus di bawah ambang batas, harga jual yang dikendalikan dan sebagainya.

Contoh kasus yang berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen yakni yang terjadi pada awal tahun 1989, masyarakat dihebohkan dengan kasus

biskuit beracun (CV Gabisco) 6 . Kasus bermula dari kematian dari beberapa konsumen biskuit produksi CV Gabisco, yang pabriknya terletak di kawasan

Tangerang. Peristiwa ini menelan korban 29 orang, selain itu tidak sedikit yang sakit, muntah, pingsan dan yang dirawat dirumah sakit. Korban berjatuhan tidak hanya di Tangerang, akan tetapi sudah meluas sampai ke Sumatera Selatan, Jambi bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Kematian-kematian beruntun ini menyulut suatu histeria massa sehingga orang tidak mau lagi mengkonsumsi biskuit pada saat itu (tahun 1989). Omzet penjualan biskuit semua merek menurun drastis, sehingga mengancam kelangsungan pabrik-pabrik biskuit di berbagai daerah di Indonesia.

Kasus yang juga sempat menghebohkan adalah kasus bumbu penyedap makanan Ajinomoto yang mengandung bactosoytone yang diekstarsikan dari daging babi, padahal pada label kemasannya dicantumkan label halal. Hal ini

6 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instruman-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 19 6 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instruman-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 19

Kasus-kasus di atas merupakan sebagian kecil dari pelanggaran hak-hak konsumen yang mencuat ke permukaan. Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang dibiarkan begitu saja oleh masyarakat karena masyarakat enggan mengajukan gugatan ganti rugi maupun melaporkan kepada pihak yang berwajib atas pelanggaran hak-haknya sebagai konsumen. Kondisi ini dilatarbelakangi alasan beragam, alasan yang paling dominan adalah tidak mau repot, khawatir urusan akan lebih panjang dan tidak mau terlibat urusan di kepolisian. Masyarakat juga pesimistis laporannya akan ditanggapi dengan baik, sebagian masyarakat malah takut kasus yang menimpanya akan menimbulkan kehebohan jika mereka

mengadukan kasus yang menimpanya 7 . Kecenderungan yang demikian merupakan gambaran objektif suatu

budaya masyarakat yang permisif 8 . Pola masyarakat yang permisif justru semakin merugikan masyarakat itu sendiri. Pihak-pihak lain di luar masyarakat yang tidak

menjadi korban tidak akan mengetahui apa yang sesungguhnya yang menimpa masyarakat. Para pengusaha dan pemerintah tidak mengetahui masalah yang diakibatkan tindakannya jika tidak ada pengaduan dari konsumen. Pada saat yang sama, para pengusaha tidak akan terdorong untuk mengambil langkah preventif melindungi konsumen karena mengira tidak ada yang salah dengan produknya.

7 Warta Konsumen No. 1, Januari 2005/XXX 8 NHT Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Pertanggungjawaban

Produk, Panta Rei, 2005, hal. 8

Pihak produsen cenderung merespon peristiwa yang merugikan masyarakat dengan cara memojokkan konsumen dan mencari kelemahan korban, untuk menutupi dan melepaskan tanggungjawabnya. Sebuah rumah sakit misalnya bisa dengan gampang menuduh pasien yang meninggal dunia sebagai pengidap penyakit yang sangat berbahaya, seperti penyakit AIDS untuk menangkis tuduhan

adanya kesalahan penanganan oleh pihak rumah sakit 9 . Untuk mewujudkan suatu sistem perlindungan konsumen yang baik dapat

digunakan dua sistem hukum yang ada yaitu hukum publik dan hukum privat. Umumnya yang termasuk ke dalam kelompok hukum publik adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengandung/memuat norma-norma kepentingan umum sedangkan hukum privat mengatur kepentingan hukum yang bersifat perorangan. Hak-hak konsumen dapat ditegakkan secara perdata dan juga secara pidana, yaitu memakai KUHPerdata dengan HIR/RBG serta KUHPidana dengan KUHAP. Seorang konsumen yang dirugikan haknya dapat mengajukan tuntutan penggantian kerugian dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan dan sebaliknya dalam hal tertentu seorang produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pidana.

Hak-hak konsumen yang bersifat publik dapat dipertahankan melalui hukum pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi kejahatan. Artinya perbuatan produsen yang merugikan/melanggar hak konsumen dan bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai

9 ibid. hal. 9 9 ibid. hal. 9

Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas masalah implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal tersebut dikarenakan tindak pidana yang terjadi terhadap konsumen selain merugikan konsumen juga dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang ekonomi karena ada kepentingan ekonomi didalamnya yang hendak dilindungi, agar tatanan perekonomian nasional tetap langgeng, berkembang baik, dan tidak kacau.

Dalam hal ini penulis mencoba membahas tentang sejarah perkembangan perlindungan konsumen, peraturan-peraturan manasajakah yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana dan implementasi hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Oleh karena itu untuk membahas hal tersebut penulis memilih judul dalam skripsi ini yaitu “ IMPLEMENTASI KETENTUAN HUKUM PIDANA SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN ”.

B. Permasalahan.

Dari uraian latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapatlah dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini :

1. Bagaimana sejarah perkembangan perlindungan konsumen ?

2. Peraturan-peraturan mana sajakah yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana ?

3. Bagaimana implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Mengetahui sejarah perkembangan perlindungan konsumen.

2. Mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur perlindungan terhadap konsumen dengan ketentuan hukum pidana.

3. Mengetahui implementasi ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

Adapun manfaat yang penulis harapkan dan akan diperoleh dari penulisan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

a. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

b. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, pemerintah, lembaga konsumen, aparat penegak hukum tentang ketentuan-ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen yang terdapat dalam berbagai undang-undang.

2. Manfaat praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga konsumen, praktisi hukum, dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.

b. Dapat memberikan masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga konsumen, dan masyarakat tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan menggunakan sarana hukum pidana.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui oleh penulis, di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Implementasi Ketentuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Perlindungan Konsumen belum pernah dilakukan sebelumnya.

Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di perpustakaan Departeman Hukum Pidana dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat penulis katakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Hindia Belanda, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan straafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti

dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. 10 Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah straafbaar feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Straafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straaf, baar, feit . Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari straafbaar feit , ternyata straaf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67

Menurut wujud dan atau sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial.

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai istilah straafbaar feit 11 antara lain :

a. Rumusan Simon Simon merumuskan straafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yakni : unsur objektif berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak.

b. Rumusan Van Hammel Van Hammel merumuskan “straafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.

11 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah), Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hal. 74 11 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana (Kumpulan Kuliah), Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hal. 74

d. Rumusan Pompe Pompe merumuskan “straafbaar feit” adalah suatu pelajaran kaidah (penggangguan ketertiban umum), terhadap dimana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.

Para sarjana Indonesia telah memberikan definisi mengenai tindak pidana, yaitu : 12

a. Mr. Karni mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.

b. Mr. R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.

c. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.

d. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagi suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan

pelaku itu dapat dikatakan 13 merupakan “subjek” tindak pidana .

e. Komariah E. Sapardjaja, tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat

bersalah melakukan perbuatan itu. 14

12 Adami Chazawi, op.cit., hal. 69 13 Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cet.III, Eresco,

Bandung, 1980, hal. 1 Bandung, 1980, hal. 1

perbuatannya. 15 Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi

pengertian straafbaar feit dan beliau mendefenisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit. 16

Dari definisi diatas, Moeljatno memberi unsur tindak pidana sebagai berikut :

a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar) Dari uraian unsur tindak pidana di atas, maka yang dilarang adalah perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

14 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal. 26 15 Ibid. 16 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum, Sinar Grafika,

Jakarta, 1991, hal 13 Jakarta, 1991, hal 13

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah yang beliau gunakan dalam rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukannya.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut :

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana tersebut telah berlaku sebelum perbuatan terjadi Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.

Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barangsiapa

yang melanggar larangan tersebut.

2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan. Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straf, istilah ini merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Namun oleh Andi Hamzah kedua istilah tersebut dibedakan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan 2. Pengertian Pidana dan Pemidanaan. Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman yang berasal dari kata straf, istilah ini merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Namun oleh Andi Hamzah kedua istilah tersebut dibedakan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan

Dalam kepustakaan hukum pidana, menurut alam pemikiran yang normatif murni, maka pembicaraan tentang pidana akan terbentur pada suatu titik pertentangan yang paradoxal, yaitu bahwa pidana di satu pihak diadakan untuk melindungi kepentingan seseorang, akan tetapi di pihak lain ternyata memperkosa kepentingan seseorang yang lain dengan memberikan hukuman berupa

penderitaan kepada seseorang yang dipidana. 18 Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus dari hukuman

maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifatnya yang khas. Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat dari para sarjana sebagai berikut :

1. Sudarto mengatakan pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. 19 Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada

seorang pelanggar ketentuan undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera.

2. Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat

17 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal. 1 18 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 6

19 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hal.108 19 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981, hal.108

hukuman atau pidana. Nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir yang dicita-citakan masyarakat, melainkan tujuan yang terdekat. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut 21 :

1. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Namun pengertian pidana tidak terbatas hanya pada pemberian nestapa,

pidana juga digunakan untuk menyerukan tata tertib, pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan utama yakni mempengaruhi tingkah laku dan untuk

menyelesaikan konflik. 22 Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tapi di sisi lain

juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagaimana layaknya.

20 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, 1983, hal. 9 21 Dwidja Priyatno, Op.cit., hal. 7

22 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 1993, hal. 12

Demikian pula GP. Hoefnagels menyatakan bahwa pidana bukan semata- mata pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan penderitaan (suffering). Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi pada pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hofnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Pemberian sanksi merupakan suatu proses pembangkitan semangat (encouragement) dan pencelaan (cencure) untuk tujuan agar seseorang berorientasi atau menyesuaikan diri dengan

suatu norma atau undang-undang yang berlaku. 23 Pidana yang dikenakan pada seseorang harus dirumuskan secara eksplisit

dalam peraturan perundang-undangan yang tertulis, hal ini ditemukan dalam KUHP sebagai induk dari hukum pidana Indonesia. Bagian terpenting dari suatu KUHP adalah stelsel pidananya, karena KUHP tanpa stelsel pidana tidak akan ada

artinya. 24 Menurut Pasal 10 KUHP pidana dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis hukuman atau macam hukuman dalam Pasal 10 tersebut

adalah :

a. Pidana Pokok

1) Pidana mati

2) Pidana penjara

3) Pidana kurungan

23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992, hal. 9-10 24 Niniek Suparni, op.cit., hal. 20

4) Pidana denda

5) Pidana tutupan

b. Pidana Tambahan

1) Pencabutan hak-hak tertentu

2) Perampasan barang-barang tertentu

3) Pengumuman putusan hakim Dalam perkembangannya pengaturan jenis-jenis sanksi pidana dalam

hukum pidana sudah lebih maju dibandingkan KUHP warisan Belanda yang masih berlaku sampai sekarang ini. Jenis-jenis pidana dalam Konsep Rancangan KUHP tahun 2004 yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) terdiri dari :

1. Pidana penjara

2. Pidana tutupan

3. Pidana denda

4. Pidana kerja sosial Sedangkan pidana tambahan dimuat dalam Pasal 64 ayat (1). Pidana

tambahan tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan

3. Pengumuman putusan hakim

4. Pembayaran ganti kerugian

5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup

Bagian yang tidak terpisahkan dari hukum pidana adalah pemidanaan. Pemidanaan adalah suatu rangkaian cara untuk memberikan kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana, wujud dari penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negara, cara menjatuhkannya, dimana dan bagaimana cara

menjalankan pidana itu, oleh karena itu pemidanaan merupakan suatu proses. 25 Hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah

tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut. Perlu dipahami bahwa pemidanaan terhadap seseorang harus dilihat dari tujuan dijatuhkannya pidana terhadap seseorang tersebut. Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan umumnya dihubungkan dengan dua pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism. Baik retributivism maupun utilitarianism menjadi pangkal tolak dalam

menentukan tujuan-tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan. 26 Tujuan pemidanaan pada umumnya tidak dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan, oleh karena itu para penulis menyebutnya dengan teori. Peletak dasar retributivism adalah Kant, Pada pokoknya paham ini menentukan bahwa pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku. Hal ini umumnya dijelaskan dengan teori retributif atau teori pembalasan.

Berbeda halnya dengan utilitarianism yang diletakkan dasar-dasarnya oleh Bentham. Pandangan ini menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan) dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat. Pidana bukanlah sekedar melakukan

25 Ibid, hal. 2 26 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 34 25 Ibid, hal. 2 26 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hal. 34

offender 27 ) melakukan tindak pidana tersebut (prevensi umum). Selanjutnya Karl O. Cristansen memberi ciri pokok atau karakteristik

antara teori retributivism dan teori utilitarianism antara lain 28 :

1. Pada Teori Retributivism.

a. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat.

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pelanggar.

e. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Pada Teori Utilitarianism

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention).

27 Ibid, hal. 28 Dwidja Priyatno, op.cit, hal. 26 27 Ibid, hal. 28 Dwidja Priyatno, op.cit, hal. 26

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dipersalahkan kepada si pelaku saja.

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan, terdapat teori ketiga yang disebut Teori Gabungan (vereningings theorieen). Teori ini lahir sebagai jalan keluar dari teori retributivism (absolut) dan teori utilitiarinism (relatif) yang belum memberikan hasil yang mamuaskan. Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu.

Dalam KUHP tujuan pengenaan pidana tidak dirumuskan secara eksplisit, namun demikian Rancangan KUHP tahun 2004 telah merumuskan secara eksplisit tujuan pemidanaan yang terdapat dalam Pasal 51 yaitu :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya ortang yang baik dan berguna.

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Sedangkan dalam Pasal 51 ayat (2) Konsep Rancangan KUHP mnyebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

3. Pengertian Perlindungan Konsumen. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-

Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dari posisi mana ia berada. Secara harfiah arti kata

consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. 29 Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk

konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus Inggris- Indonesia 30 memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha 31 , yaitu setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan nuntuk tidak diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.

29 AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 3

30 Jhon M. Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta 1986, hal. 124

31 Janus Sidabalok, op.cit., hal.17

Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.

Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan istilah-istilah, antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang-undang kesehatan tidak menggunakan istilah konsumen untuk pemakai, pengguna barang dan/atau pemanfaat jasa kesehatan. Untuk itu digunakan berbagai istilah, antara lain setiap orang (Pasal 1 Angka 1, Pasal

3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 56), masyarakat (Pasal 9, 10, dan 21).

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri atau maupun kepentingan orang lain.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen antara lain : pembeli (Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457), penyewa (Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548) penerima hibah (Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740) peminjam (Pasal 1744) dan sebagainya.

4. Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor

8 Tahun 1999 disebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain 32 :

1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas

32 Shidarta, op.cit, hal. 4 32 Shidarta, op.cit, hal. 4

2. Pemakai Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa.

3. Barang dan/atau jasa UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan. Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat, artinya harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

4. Yang tersedia dalam masyarakat Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi ini mencoba untuk memeperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan

perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua

aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut 34 :