Latar Belakang Munculnya Marawis di Pasar Kliwon

2. Latar Belakang Munculnya Marawis di Pasar Kliwon

a. Munculnya Alat Musik dan Perkembangannya Pada Zaman Nabi Muhammad SAW.

Marawis adalah kesenian tradisional dalam bidang seni musik. Nama marawis diambil dari nama salah satu alat musik yang digunakan dalam kesenian ini. Marawis merupakan sekumpulan gendang kecil, yang oleh masyarakat Indonesia di kenal dengan nama rebana. Marawis di Pasar Kliwon memiliki sejarah yang panjang, yakni diawali dari munculnya alat-alat musik pada zaman Nabi Muhammad SAW ketika melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Pada waktu itu, ada seorang sahabat Nabi yang bersorak membanggakan dan menyanjung Nabi. Mengetahui akan hal itu, sahabat Nabi yang lain merasa takut apabila tindakan menyanjung Nabi itu dapat membuat Nabi Muhammad marah, tetapi pada kenyataannya Nabi tidak marah dan tidak melarang kebiasaan membanggakan dan menyanjungnya di setiap dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW (wawancara dengan ulama Pasar Kliwon: Ustadz Alwi bin Ali Al Habsyi, 21 Mei 2009).

Pada saat Rasullullah memasuki kota Madinah, ada seorang wanita yang bernadzar akan memukul genderang atau drum di atas kepala Rasul. Rasulullah SAW pernah pergi dalam salah satu peperangan, ketika beliau

kembali, ada seorang wanita berkulit hitam yang menyambut beliau itu sambil mengatakan, ” Ya Rasulullah, sungguh aku telah bernadzar, jika Allah mengembalikan engkau dengan selamat, aku akan menabauh rebana sambil bernyanyi di hadapanmu. Maka jawab beliau, ”kalau benar kamu telah bernadzar, maka tabuhlah, tetapi kalau tidak bernadzar, jangan kamu tabuh”, lalu wanita itu menabuhnya.(HR. Tirmidzi juz 5, hal. 285, no. 3773 dalam Majelis tafsir Al Quran, 2008: no. 1415/1455/IF).

Alat musik yang muncul pada zaman Rosululah berkembang sampai pada periode tabi’in (sahabat) dan periode tabi’ut tabi’in (orang-orang yang hidup di zaman para sahabat), tetapi pada periode ini mengalami perkembangan karena para ulama banyak yang merantau sampai ke Eropa, Asia dan Afrika. Para ulama yang merantau membawa perkembangan pemikiran, sehingga berpengaruh pada alat-alat musik yang dimainkannya.

Pada tahun 9 Hijriyah, sejumlah kaum solikhin dari Mekah melakukan hijrah ke Yaman tepatnya ke kota Hadramaut untuk mendakwahkan agama Islam. Orang yang pertamakali melakukan hijrah dari Mekah ke Yaman adalah Mu’adz bin Jabal dan 70 orang sahabat lainnya yang tergabung dalam satu rombongan dengan membawa alat musik dumbuk (Syaikh Shafiyyur-Rahman AL- Mubarakfury, 2003: 592).

Penduduk Yaman yang menyaksikan alat musik ini, kemudian muncul keinginan untuk memainkannya. Mengetahui hal ini, para sahabat yang ikut dalam rombongan hijrah mengajari penduduk Yaman yang tertarik untuk memainkan dumbuk. Alat musik yang ada dibunyikan masih secara tradisional, karena belum ada aturan atau tata cara dalam memainkannya. Seiring dengan berjalannya waktu, di dalam penduduk Yaman mengalami perkembangan dalam memainkan alat musik dumbuk, sehingga pada akhirnya penduduk Yaman dikenal mahir dalam memainkannya. Kemampuan memainkan dumbuk oleh penduduk Yaman didapat dengan cara belajar. Selain itu, orang Arab dari Yaman dibandingkan dengan orang Arab dari negara lainnya, memiliki kelebihan dalam bidang kesenian. Penduduk Yaman pada umumnya memiliki jiwa seni yang tinggi, diantaranya meliputi:

1) Ghaub ard (memiliki keahlian dalam membuat seni pahat)

2) Ghaub zamud (memiliki keahlian dalam membunyikan alat musik) Munculnya alat musik dan perkembangannya pada masa Rosulullah SAW tetap berlajut sampai periode Tabi’ut Tabi’in. Hasil dari perkembangan alat-alat musik ini kemudian dikenal alat musik Hajir Zarbadi oleh penduduk Yaman. Di Indonesia, hajir zarbadi lebih dikenal dengan nama hajir marawis. Di Hadramaut, kebanyakan orang–orang yang membunyikan hajir zarbadi berasal dari kaum Abd (budak), karena pada waktu itu di Hadramaut masih terdapat sistem perbudakan. Di antara budak-budak yang membunyikannya berasal dari golongan Alba Sholeh (Ustadz Alwi, 21 Mei 2009: Wawancara).

Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa munculnya alat-alat musik dalam Islam berawal dari jaman Nabi Muhammad SAW, kemudian mengalami perkembangan setelah para ulama banyak yang merantau ke luar dari Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa munculnya alat-alat musik dalam Islam berawal dari jaman Nabi Muhammad SAW, kemudian mengalami perkembangan setelah para ulama banyak yang merantau ke luar dari

b. Munculnya Marawis di Pasar Kliwon Surakarta

Pada tahun 1930-an, ketika Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda, ada seorang ulama dari Yaman bernama Muhammad Al-Mukhdori datang ke Indonesia. Tujuan utama kedatangannya dalam rangka mendakwahkan agama Islam. Selain berdakwah, Habib Al-Mukhdori juga mengenalkan kesenian marawis kepada masyarakat Indonesia. Habib Al-Mukhdori menggunakan kesenian ini sebagai media dakwah. Hal ini dilakukaannya karena pada waktu itu orang-orang atau pejabat Belanda yang ada di Indonesia, sedang gencar- gencarnya mengembangkan kebudayaan barat kepada masyarakat Indonesia (wawancara dengan Ustadz Alwi, 21 Mei 2009).

Sejak abad ke-19 Masehi orang-orang dari Hadramaut memerankan peran yang penting dalam penyebaran agama Islam. Kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama dan budaya-budaya Arab, hukum-hukum Islam dan filosofi Arab. Tujuan utama kedatangan orang Hadramaut ialah membawa misi Islam. Orang-orang Arab dari Yaman juga membawa kekayaan budaya yang mereka miliki (untuk lebih jelas lihat lampiran halaman 130).

Pada perkembangannya, kesenangan memainkan alat musik yang dilakukan Habib Al-Mukhdori di bawa ke pulau Jawa. Pada saat yang sama, Pulau Jawa masih dikuasai oleh Kolonial Belanda sebagai daerah pusat pemerintahan di Indonesia. Kolonialisasi Belanda di Indonesia dikenal dengan nama 3 G yaitu Gold (mencarai emas dan rempah-rempah) Glory (mencari kejayaan dengan mengsuasai daerah jajahan) dan Gospel (misi agama kristen). Sebelum berlakunya politik etis di Indonesia tahun 1870-an, pemerintah kolonial Belanda telah mengeluarkan kebijakan politik liberal dengan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Di Belanda sendiri, banyak yang mengecam politik liberal berkaitan dengan masalah untuk memelihara hubungan antara Belanda dengan negeri jajahan melalui unifikasi, asimilasi dan asosiai. Tujuan dari asosiasi adalah kolonial Belanda mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah melalui Pada perkembangannya, kesenangan memainkan alat musik yang dilakukan Habib Al-Mukhdori di bawa ke pulau Jawa. Pada saat yang sama, Pulau Jawa masih dikuasai oleh Kolonial Belanda sebagai daerah pusat pemerintahan di Indonesia. Kolonialisasi Belanda di Indonesia dikenal dengan nama 3 G yaitu Gold (mencarai emas dan rempah-rempah) Glory (mencari kejayaan dengan mengsuasai daerah jajahan) dan Gospel (misi agama kristen). Sebelum berlakunya politik etis di Indonesia tahun 1870-an, pemerintah kolonial Belanda telah mengeluarkan kebijakan politik liberal dengan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Di Belanda sendiri, banyak yang mengecam politik liberal berkaitan dengan masalah untuk memelihara hubungan antara Belanda dengan negeri jajahan melalui unifikasi, asimilasi dan asosiai. Tujuan dari asosiasi adalah kolonial Belanda mengikat negeri jajahan dengan negeri penjajah melalui

Cara yang digunakan kolonial Belanda untuk menyebarkan agama kristen (Gospel) dengan mempromosikan kebudayaan yang kental dengan missi kristenisasi. Di antara budaya barat yang dikembangkan adalah kesenian dengan mengenalkan alat–alat musik seperti gitar, orgen dan lain sebagainya. Mengetahui akan hal ini, Habib Al-Mukhdori juga mengenalkan dan mengajarkan kepada orang–orang Indonesia alat musik dari Arab yang dikenal kental dengan budaya Islam. Alat musik yang dimainkan dalam marawis dianggap sebagai ciri musik Islam. Pada masa kehidupan Nabi Muhammad, alat musik terbang (rebana) sering dimainkan oleh para sahabat untuk menyambut kedatangan Nabi di kawasan jazirah Arab. Pada perkembangannya, muncul anggapan yang menyatakan bahwa musik yang terdapat terbang (rebana) dianggap sebagai musik padang pasir. Alat musik terbang ini dipandang sebagai musiknya orang Islam (Al Faruqi, 1986: 466 dalam Hana Farkhana, 2007: 36).

Orang–orang yang tertarik untuk memainkan dumbuk, kemudian oleh Habib Al-Mukhdori di bawa ke Bondowoso, Jawa Timur. Di tempat ini dengan satu persatu Al-Mukhdori mengajarkan kepada murid–muridnya untuk memainkan dumbuk, kemudian dari tempat ini pula untuk pertamakali dikenal alat musik hajir marawis oleh penduduk Bondowoso. Bondowoso pada waktu itu merupakan daerah yang banyak dihuni oleh orang keturunan Arab. Mmelalui seni musik yang di dalamnya terkandung syair-syair tentang ajaran Islam. Habib Al- Mukhdori berharap orang-orang Indonesia yang diajarinya dapat terhindar dari pengaruh kristenisasi dan budaya barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam Belanda (wawancara dengan ustadz Alwi, 21 Mei 2009).

Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian marawis mengalami perkembangan yang pesat sehingga sampai ke seluruh pulau Jawa termasuk di antaranya Surakarta. Marawis masuk ke Surakarta sekitar tahun 1970-an yang di bawa oleh sejumlah ulama dari komunitas Arab, tetapi pada saat itu marawis tidak dapat berkembang dengan baik. Marawis mulai berkembang dan mulai ramai di mainkan di Surakarta sejak tahun 1998 oleh pemuda-pemuda Surakarta dari Seiring dengan berjalannya waktu, kesenian marawis mengalami perkembangan yang pesat sehingga sampai ke seluruh pulau Jawa termasuk di antaranya Surakarta. Marawis masuk ke Surakarta sekitar tahun 1970-an yang di bawa oleh sejumlah ulama dari komunitas Arab, tetapi pada saat itu marawis tidak dapat berkembang dengan baik. Marawis mulai berkembang dan mulai ramai di mainkan di Surakarta sejak tahun 1998 oleh pemuda-pemuda Surakarta dari

c. Latar Belakang Terbentuknya Ahbabul Mukhtar

Secara bahasa, Ahbabul Mukhtar berasal dari kata ”Ahbabul” yang berarti pecinta, sedangkan ”Mukhtar” berarti Rasulullah (nama lain dari Nabi Muhammad), sehingga Ahbabul Mukhtar berarti pecinta Rasulullah (wawancara dengan pelopor Ahbabul Mukhtar: Ahmad Fadil, 17 Mei 2009). Ahbabul Mukhtar berdiri pada tahun 1998. Pada saat itu, Ahbabul Mukhtar pentas untuk pertamakali pada acara khaul Al Imam Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang diselenggarakan setiap tanggal 20 Robiul Tsani 1419 Hijriyah diMasjid Riyadh, Gurawan, Pasar Kliwon.

Terbentuknya Ahbabul Mukhtar diawali dengan pertemuan beberapa pemuda dari komunitas Arab di Pasar Kliwon dengan Habib Umar Mukhdor dari Pasuruan, Jawa Timur pada saat acara khaul. Sebelum terbentuknya Ahbabul Mukhtar, salah satu acara yang ditampilkan pada saat khaul adalah pementasan marawis pada malam pertama dan malam kedua yang dimainkan grup marawis dari Pasuruan. Setelah direnungkan lebih mendalam, muncul pemikiran dari pemuda–pemuda keturunan Arab dari Surakarta untuk memainkan marawis, karena acara khaul sendiri dilaksanakan di Solo. Satu bulan kemudian yaitu Mei 1997, maka berangkatlah Ahmad Fadil, Muhamad Syafik dan Abdul Kadir ke Pasuruan. Ketiga orang ini belajar kepada Habib Umar Mukhdor selama 4 hari. Di Pasuruan, ketiga orang tersebut mempelajari hal–hal yang berkaitan dengan teknik dasar yaitu cara memainkan alat musik marawis. Setelah pulang dari Pasuruan, para pemuda tersebut kemudian mengembangkan kemampuan dalam memainkan marawis sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki. Setelah sepuluh tahun lebih,

Ahbabul Mukhtar memiliki empat generasi. Setiap generasi memiliki kemampuan dan usia yang berbeda (wawancara dengan pelopor Ahbabul Mukhtar: Ahmad Fadil, 17 Mei 2009).

Berdasarkan keterangan di atas bahwa pada awal kemunculannya, marawis di Surakarta tidak dapat berkembang dengan baik, tetapi setelah terbentuknya Ahbabul Mukhtar pada tahun 1998 keberadaan marawis di Pasar Kliwon merupakan identitas budaya bagi orang-orang keturunan Arab di Surakarta. Masyarakat Arab menganggap akan menjadi suatu aib apabila tradisi yang telah di bawa oleh generasi sebelumnya tidak dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi selanjutnya, sehingga dengan terbentuknya Ahbabul Mukhtar menunjukkan bahwa kesenian marawis yang kental dengan unsur dakwah Islam masih tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat Arab di Surakarta.

d. Kehidupan Keagamaan yang Berkembang di Dalam Masyarakat

Islam datang untuk mengubah dam sebagai cahaya (Nur) terhadap kegelapan yang diwujudkan dalam bentuk ”Amar Ma’ruf Nahi Munkar”. Agama Islam yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad dapat mengalami perkembangan yang cukup pesat di penjuru dunia. Sebelum Islam datang, masyarakat di tanah Jawa telah memiliki agama da yaitu Hindu, Budha dan kepercayaan asli. Dalam menghadapi situasi yang demikian itu, para ulama tidak langsung menerapkan ajaran Islam, akan tetapi menyampaikan ajaran Islam di sesuaikan dengan kemampuan masyarakat yang dihadapinya dan juga diperhitungkan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Para ulama keturunan Arab dalam menjalankan tugas dakwahnya terlebih dahulu mengenal medan yang hendak di garapnya, kemudian setelah memahami perasaan dan aspirasi yang hidup di lingkungan masyarakat baru menerapkan cara yang tepat sesuai kondisi yang ada dalam masyarakat.

Pandangan tentang Pesantren sebagai pusat keselamatan digambarkan sebagai cahaya lampu, semakin dekat kita dengan bola lampu tersebut maka semakin terang, semakin jauh kita dengan lampu tersebut maka semakin lemah cahayanya sehingga tidak dapat dirasakan lagi sinarnya. Seorang ulama memiliki sifat-sifat utama, berakhlak mulia dan menjadi panutan dan tuntutan bagi murid Pandangan tentang Pesantren sebagai pusat keselamatan digambarkan sebagai cahaya lampu, semakin dekat kita dengan bola lampu tersebut maka semakin terang, semakin jauh kita dengan lampu tersebut maka semakin lemah cahayanya sehingga tidak dapat dirasakan lagi sinarnya. Seorang ulama memiliki sifat-sifat utama, berakhlak mulia dan menjadi panutan dan tuntutan bagi murid

Dalam pandangan masyarakat Jawa seperti halnya dengan ulama, seorang raja adalah perwujudan dunia sehingga di dalam dirinya terdapat keseimbnagn berbagai kekuatan alam. Raja merupakan pusat komunitas di duania seperti halnya raja menjadi mikrokosmosdari Tuhan dengan Kraton sebagai kediaman Raja. Kraton merupakan pusat kemat Kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber-sumber kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah-daerah yang membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan.

Islam merasuk begitu cepat dan mendalam ke dalam struktur kebudayaan Jawa, sebab Islam dipeluk Kraton sebagai basis untuk negara teokratik. Sufisme (Islam mistik) membentuk inti kepercayaan negara (state cult) dan teori kerajawian. Islam merupakan kekuatan dminan di dalam ritus-ritus kepercayaan- kepercayaan orang Jawa Tengah, dan turut membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari seluruh lapisan masyarakat Jawa (Mark R. Woodward, 1996: 4).

Agama Islam yang dijalankan oleh masyarakat sekitar Pesantren banyak terpengaruh oleh tindakan yang dilakukan para ulama, Pasar Kliwon. Surakarta merupakan daerah di Jawa Tengah sebagai pusat orang-orang Arab, karena sejak dari awal tempat ini menjadi perkempungan yang dikhususkan kepada orang- orang Arab. Kondisi umat Islam di waktu itu dianggap sudah bercampur dengan unsur-unsur mustik Hindu Jawa. Islam yang murni telah mengalami percampuran dengan kebiasaan di luar Islam yang berasal dari keercayaan dan agama sebelum Islam. Banyak umat Islam yang ada di Jawa termasuk di Surakarta masih menghiasi diri dengan ajimat, dan menjiarahi kubur yang dianggap adanya kekuatan magis dan sakti. Kebanyakan dari mereka masih menjalankan berbagai Agama Islam yang dijalankan oleh masyarakat sekitar Pesantren banyak terpengaruh oleh tindakan yang dilakukan para ulama, Pasar Kliwon. Surakarta merupakan daerah di Jawa Tengah sebagai pusat orang-orang Arab, karena sejak dari awal tempat ini menjadi perkempungan yang dikhususkan kepada orang- orang Arab. Kondisi umat Islam di waktu itu dianggap sudah bercampur dengan unsur-unsur mustik Hindu Jawa. Islam yang murni telah mengalami percampuran dengan kebiasaan di luar Islam yang berasal dari keercayaan dan agama sebelum Islam. Banyak umat Islam yang ada di Jawa termasuk di Surakarta masih menghiasi diri dengan ajimat, dan menjiarahi kubur yang dianggap adanya kekuatan magis dan sakti. Kebanyakan dari mereka masih menjalankan berbagai

Kondisi masyarakat yang seperti itu, maka para ulama Arab yang melakukan kegiatan dakwah melalui pengajian atau majelis ilmu yang bertujuan untuk mengembalikan masyarakat ke dalam ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Sebagai upaya untuk mengajarkankan ajaran Islam kepada masyarakat, para ulana Arab kemudian menggunbakan marawis sebagai media dakwah Islam. Selain melalui kesenian, maka para ulama juga mendirikan sekolah dengan dasar pendidikan Islam . Di bidang pendidikan, orang-orang keturunan Arab masih merasakan adanya kebutuhan pendidikan bagi masyarakat muslim, sehingga mereka mendirikan madrasah atau sekolah-sekolah yang didasarkan ajaran agama Islam. Salah satu sekolah yang masih berlangsung sampai sekarang adalah Sekolah Diponegoro. Hal lain yang mendorong para ulama Arab dalam mendirikan madrasah atau sekolah adalah adanya keinginan untuk mendidik anak- anaknya atau generasi Islam menjadi generasi penerus dan pemimpin Islam yang memiliki budi pekerti dan pengetahuan Islam yang tinggi.