Marawis Sebagai Media Dakwah Islam

1) Marawis Sebagai Media Dakwah Islam

Latar belakang para ulama menggunakan marawis untuk berdakwah karena, melalui cara inilah dapat menimbulkan keramaian, sehingga secara masyarakat berbondong–bondong menyaksikannya. Melalui cara-cara seperti itu, maka secara sedikit demi sedikit masyarakat akan tertarik untuk menjalankan ajaran Islam. Menurut ustadz Alwi (wawancara pada tanggal, 21 Mei 2009), marawis pada mulanya digunakan sebagai media untuk menarik perhatian masyarakat sekitar agar berkumpul dan kemudian para ulama memberikan pengertian tentang ajaran Islam. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung masyarakat telah menyerap ajaran Islam. Pada perkembangannya, syair– syair atau qosidah yang disampaikan dengan bahasa Arab dan ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia agar masyarakat dengan mudah dapat menerima dan memahami ajaran agama Islam yang telah disampaikan (wawancara dengan pemain: Hasan Al Amin, 29 Maret 2009).

Munculnya kesenian wayang, bedug dan gamelan di Jawa merupakan dampak dari kegiatan penyebaran agama Islam yang di lakukan oleh Walisongo. Pada waktu itu, Sunan Kalijogo menggunakan media seni wayang dan gamelan untuk menarik simpati masyarakat yang didalamnya sekaligus diselipkan ajaran– ajaran Islam. Selain jalan yang ditempuh oleh Sunan Kalijogo, para Wali lainnya seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus dan yang lainnya menciptakan syair– syair yang sederhana dan praktis sebagai alat untuk mempermudah dalam mengajarkan ajaran Islam. Syair–syair tersebut pada perkembangannya diiringi dengan alat musik genderang atau lainnya serta ada juga yang diiringi dengan tari–tarian. Dengan demikian, di dalam mengajarkan ajaran Islam kesenian mempunyai peranan yang sangat penting sebagai media untuk berdakwah. Berdasarkan pernyataan di atas, maka Melalui cabang–cabang seni dan kebudayaan yang diselenggarakan oleh para ulama memiliki peran yang besar di dalam menyebarkan ajaran Islam. Marawis yang banyak di pentaskan di Masjid atau majelis ilmu lainnya juga telah ikut berperan aktif di dalam usaha mendakwahkan ajaran Islam di sela-sela kuatnya pengaruh budaya Jawa.

Syair–syair yang dilantunkan dalam marawis yaitu yang bertemakan untuk mengagungkan Asma Allah SWT dan Nabi Muhammad, perbaikan akhlak, keimanan dan kesusilaan, harapan akan kebahagiaan hidup di Surga, cinta kasih Allah kepada umat manusia dan Rahmat Allah Ta’ala; sehingga dalam setiap pementasan marawis juga selalu mengajak masyarakat untuk beramar ma’ruf nahi munkar yaitu mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk. Hal itu dapat terlihat bahwa setelah mendengarkan syair-syair marawis akan terjadi perubahan sikap dan tingkah laku; misalnya dari semula masih mempercayai hal–hal yang mistik dan syirik maka setelah mendengarkan syair– syair marawis yang ditampilkan dalam mejelis ilmu selanjutnya akan menjauhi perbuatan itu atau yang pada awalnya belum menjalankan sembahyang lima waktu maka akan menjadi lebih aktif. Melalui syair dan lagu yang di lantunkan diharapkan dapat mengingatkan atau mengembalikan perbuatan masyarakat yang semula telah mengalami kerusakan akhlak dan menyimpang dari ajaran Islam untuk kembali ke jalan yang benar.

Pernyataan tersebut di atas juga diperkuat oleh pemerhati marawis, bahwa lagu-lagu yang di lantunkan dalam marawis bernuansa cinta Allah dan cinta Rosul, sehingga menjadi suatu sarana dakwah yang efektif karena orang diajak untuk sadar akan besarnya cinta kepada Allah dan Rosulullah dengan cara tidak harus dinasehati secara langsung tetapi melalui iringan musik karena dakwah yang seperti itu lebih cepat diterima oleh masyarakat (ustadz Novel bin Muhammad Aliydrus, 21 Mei 2009 ).

Secara keseluruhan struktur bentuk syairnya adalah bentuk cerita yang berkaitan dengan jaran Islam yang isi ceritanya banyak menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW yang disusun dalam bentuk syair sebagai berikut. Contoh syair lagu marawis yang berjudul: Man mistlu ahmad?

Man mistlu ahmad fil kaunaini nahwah Badrun jami’ ul wara fi husnihitah Man mistlu wa ilahul arsyisyarrafahu Bil khalai wal khulai inna allah a’thal Wasysyamsu takhjalu min anwari thal’atih Ha’rat ’uqulul wara fi washti ma’ nahu Tabarakallahma ahla syamaillah Hazal jamala fama abha muhayyahu Ya urta wadinnaqa ya ahla kadhimah Fi hayyikun qomarun fil qolbi mawah

Yang artinya (Siapakah yang bisa seperti Nabi Muhammad SAW)

Siapakah yang bisa seperti nabi Muhammad di dalam semesta ini? Bagaikan bulan purnama hingga terheran semua makhluk. Saipakah yang sepertibeliau dan Tuhannya Arsyi yang memuliakannya. Dengan penciptaan dan akhlak yang telah diberikan-Nya. Sampai–sampai mataharipun malu dan dari sinar cahayanya, sampai bingung akal para makhluk. Maha suci Allah begitu indah kelengakapan sifat- sifatnya, beliaulah yang mengungguli keindahan, maka seperti apa ketampanan wajahnya. Waha bani ”urba” yang bertempat di ”wadi ngara”, wahai ahli ”kandzimah” di kampung halaman kalian terdapat bulan yang selalu ada ditiap hati.

Allah tuhan yang arsyi bersholawat atasnya (Nabi Muhammad) selalu, tidak hanya selama matahari bersinar dan tidak sebnatas cahayanya.

Di dalam syair tersebut diungkapkan bahwa, tidak ada makhluk di dunia ini yang dapat menyamai Nabi Muhammad SAW, bahkan diumpamakan pula mataharipun malu dari sinar cahayanya, dalam syair tersebut juga dinyatakan bahwa Allah pun bersholawat atas Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemain marawis, bahwa motivasi menjadi pemain marawis karena ingin menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat melalui iringan musik. Sebagai pemain dan orang yang memiliki kewajiban lebih besar untuk melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW. Para pemain di dalam pementasan marawis dengan sungguh–sungguh, karena apa yang dilakukannya berkaitan dengan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai panutannya (wawancara dengan Syarif Mulachela, 23 Maret 2009).

Marawis sebagai media dakwah Islam membutuhkan kelancaran berkomunikasi antara lain: