Perjanjian Pada Umumnya PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM

24

BAB II PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN DALAM HUKUM

DI INDONESIA

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian suatu hubungan hukum kekayaanharta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. 25 Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht. 26 Pengertian singkat diatas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum rechtsbetreking yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang persoon atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian verbintenis adalah hubungan hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum 25 Suharnoko, Hukum Perjanjian Jakarta : Prenada Media, 2004, hlm. 117. 26 C.s.t. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata Jakarta : Pradnya Paramita, 2006, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara 25 antara perorangan persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda kekeluargaan. 27 Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya. 28 Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan verbintenis mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum onrechtmatige daad dan perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan zaakwaarneming. Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. 29 27 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian Bandung : Alumni, 1986, hlm. 6-7. 28 Subekti, Hukum Perjanjian Bandung : Intermasa, 2002, hlm. 1. 29 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Bandung : Intermasa, 1982, hlm. 122-123. Universitas Sumatera Utara 26 Undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban perikatan. Definisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.” 30 Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad, perwakilan sukarela zaakwarneming dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan tersebut. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. 31 Menurut M. Yahya Harahap, mengemukakan Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang 30 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996, hlm 12. 31 Subekti, Op.cit., hlm 9. Universitas Sumatera Utara 27 atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. 32 Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 33 Perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat selalu terdapat tahapan yaitu: a. pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan; b. contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling mengikat kedua belah pihak; c. post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut. 34 Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam 32 M. Yahya Harahap, Op.cit., hlm. 6. 33 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian Bandung : Sumur, 1981, hlm. 9. 34 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia Jakarta : Sinar Grafika,2003, hlm. 16. Universitas Sumatera Utara 28 perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. 2. Jenis-Jenis perjanjian KUHPerdata mengenal adanya beberapa jenis perjanjian, antara lain : a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban Dikatakan dengan perjanjian cuma- cuma adalah “suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberi suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri”. 35 Abdulkadir Muhammad mendefenisikan perjanjian ini dengan “perjanjian percuma, yaitu perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja.” 36 Kata “memberi keun tungan” sebenarnya lebih tepat kalau diganti dengan kata “prestasi”, karena apakah prestasi tersebut pada akhirnya menguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihak lain, terhadap prestasi yang satu, tidak ada kewajiban apa-apa. Kemudian yang termasuk di dalam perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian-perjanjian dimana memang ada prestasi pada kedua belah pihak, tetapi prestasi yang satu adalah tidak seimbang atau sebanding, sehingga prestasi itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu kontra prestasi terhadap yang lain. Masalah lain adalah apabila terhadap prestasi yang satu ada kontra prestasi pada pihak lain, yang walaupun tidak seimbang, tidak dapat dikatakan bahwa disana tidak ada kontra prestasi sama sekali. Menurut Vollmar, hal ini sering d isebut dengan “perjanjian campuran”, yaitu antara perjanjian cuma-cuma 35 J. Satrio., Hukum Perikatan, Perikatan Lahir Dari Perjanjian Bandung : Citra Aditya Bakti,1995. hlm. 38. 36 Abdulkadir Muhammad., Op.Cit,. hlm. 87. Universitas Sumatera Utara 29 dengan perjanjian atas beban. 37 Menurut Pasal 1314 ayat 2 dua KUHPerdata , yang dimaksud dengan perjanjian atas beban adalah “suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”. Perbedaan antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian atas beban, yaitu bahwa pada perjanjian cuma-cuma, untuk menuntut pembatalan perjanjian yang merugikan kreditur, yang telah ditutup oleh debitur, debitur tahu bahwa perbuatan merugikan kreditur dan debitur itu sendiri tidak mau tahu apakah perbuatannya itu diketahui atau tidak. Sedangkan pada perjanjian atas beban, debitur wajib membuktikan dulu, apakah baik debitur atau pihak ketiga yang mendapat keuntungan tahu bahwa perjanjian yang dituntut pembatalannya merugikan kreditur. b. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi, misalnya perjanjian hibah. 38 Dalam perjanjian timbal balik, masing-masing pihak akan memperoleh hak dan akan melaksanakan kewajibannya. 37 J. Satrio, Op.Cit., hlm. 149. 38 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 227. Universitas Sumatera Utara 30 Kriteria kewajiban untuk berprestasi bagi kedua belah pihak. Perjanjian sepihak, yang mempunyai kewajiban untuk berprestasi adalah hanya satu pihak saja, dan pihak yang lain hanya berhak untuk menerima prestasi dari pihak yang satu, misalnya dalam perjanjian hibah, A berkewajiban memberikan benda yang dihibahkannya kepada B. Kewajiban tersebut merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh si A. dalam hal ini bank hanya berhak untuk menerima benda yang dihibahkan oleh si A. c. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara kedua pihak sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu timbul cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak. Dalam perjanjian riil, kesepakatan itu tidak cukup untuk dijadikan sebagai dasar timbulnya suatu perjanjian, tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut barulah dapat dikatakan perjanjian itu ada. d. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Ada perbedaan dalam jenis perjanjian ini dilihat dari jumlah perjanjian. Mengingat jumlah perjanjian yang memiliki nama jumlahnya hanya terbatas, maka dalam praktek hukumnya disebut dengan perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan ke dalam perjanjian khusus. Sedangkan perjanjian tidak Universitas Sumatera Utara 31 bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan dilihat dari jumlahnya tidak terbatas. 39 e. Perjanjian kebendaan Seperti diketahui bahwa perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian yang objeknya menyangkut dengan kebendaan. Sedangkan perjanjian obligator adalah merupakan realisasi dari perjanjian kebendaan tersebut, dalam arti perjanjian yang menimbulkan perikatan. Tujuan Kebendaan ini adalah untuk mengetahui keberadaan dalam perjanjian tersebut sebagai realisasi, perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak. f. Perjanjian obligatoir Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih diperlukan satu lembaga lain, yaitu penyerahan. Perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan kewajiban kepada para pihak untuk melakukan penyerahan. g. Perjanjian yang bersifat hukum keluarga 39 Ibid. Universitas Sumatera Utara 32 Walaupun perkawinan di dalam hukum perdata diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata, namun kalau dilihat dari proses terjadinya perkawinan itu, maka perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian. Dimana dengan adanya perkawinan itu secara hukum dapat atau akan menimbulkan akibat hukum lagi bagi kedua belah pihak. Namun akibat hukum dalam perjanjian perkawinan ini hanya menyangkut dengan akibat hukum dalam keluarga saja. Perkawinan timbul karena adanya kesepakatan diantara pihak pria dan wanita dan menimbulkan hak dan kewajiban sebagai ikatan lahir dan batin. Hal tersebut sama halnya dengan syarat-syarat dalam perjanjian. Bahkan dalam perkawinan para pihak yang akan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut telah ditentukan, seperti antara pria dan wanita, tidak boleh sedarah dan sebagainya. Mengingat bahwa perkawinan merupakan perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban yang bersifat pribadi antara suami dan istri, kemudian hak dan kewajiban tersebut bukan merupakan kehendak dari undang- undang atau ketentuan hukum yang mengaturnya, maka secara juridis dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak berlaku bagi hak dan kewajiban suami dan istri yang terikat dalam suatu perkawinan. Banyak lagi perjanjian-perjanjian yang terjadi di dalam masyarakat yang sesuai inteprestasi realitanya dianggap sebagai perjanjian, namun secara Universitas Sumatera Utara 33 juridis tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Asas-Asas Perjanjian Hukum perjanjian mengatur beberapa prinsip atau asas sebagai suatu landasan pikir dan pandangan untuk menginterprestasikan maksud yang terkandung dari ketentuan hukum perjanjian itu, dimana asas-asas tersebut merupakan pedoman bagi para pihak pembuat Undang-undang dalam menentukan sikap untuk membuat peraturan hukum. Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen. 40 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai- nilai yang disyaratkan menjadi landasan antara hubungan sesama anggota masyarakat. 41 Asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam aturan-aturan perundang- undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan- ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. 42 Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut 40 Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit Jakarta : Anka, Surabaya, 1994, hlm. 48. 41 Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional Jakarta : BPHN, Depkeh, 1995, hlm. 29. 42 Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum alih bahasa oleh Arief Sidharta Bandung : Cipta Aditya Bhakti, 1996, hlm. 119-120. Universitas Sumatera Utara 34 dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. 43 Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” Belanda atau “principle” Inggris sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. 44 Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian; Pasal 1337 menentukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat 1 menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat 3 menentukan asas itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian, yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas kebebasan berkontrak. 45 Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah: a. Asas konsensualisme Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian 43 Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise Jakarta : BPHN, 1993, hlm. 12. 44 Sri Sumantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negar. Bandung : Alumni, 1971, hlm. 20. 45 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro1982, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara 35 telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas. 46 Asas kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun undang- undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara tertulis seperti perjanjian perdamaian atau dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang seperti akta jual beli tanah semua ini merupakan pengecualian. Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa. 47 46 Subekti, Op.cit., hlm. 15. 47 http:www.dheanbj.com201209asas-asas-hukum-perjanjian.html?m=1 ,DheanBJ, terakhir di akses 9 Maret 2016. Universitas Sumatera Utara 36 Adapun menurut Qirom Syamsudin, asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. 48 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan dari para pihak. b. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, 48 A Qirom Syamsuddin M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya Yogyakarta : Liberty, 1985, hlm. 20. Universitas Sumatera Utara 37 pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. 49 Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak contractvrijheid berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia. 50 Asas kebebasan berkontrak contracts vrijheid atau partijautonomie adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas 49 http:m.kompasiana.compostread2388953asas-kebebasan-berkontrak-dalam- hukum-perjanjian-di-indonesia terakhir diakses 2 Maret 2016 50 Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993, Hlm. 84. Universitas Sumatera Utara 38 ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.”Subekti mengatakan, bahwa dengan menekankan kata “semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang. Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 51 Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap optimal law, yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang dari Pasal-Pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak. Dalam Pasal-Pasal yang mencantumkan mengenai batasan-batasan asas kebebasan berkontrak ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata 51 Ibid., hlm. 13. Universitas Sumatera Utara 39 khususnya syarat keempat, yaitu yang mengatur mengenai suatu sebab oorzaakcausa yang diperbolehkan, di mana pengaturan persyaratan adanya sebab yang halal diperbolehkan ini harus sesuai dengan tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal 1335 – 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu persetujuan tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau dilarang, tidak mempunyai kekuatan, kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah. Sedangkan dalam Pasal 1337 KUHPerdata diatur mengenai suatu sebab yang terlarang, yaitu apabila bertentangan dengan undang- undang atau apabila bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak. Dalam Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut Pasal 1330 Universitas Sumatera Utara 40 KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Ketika membuat suatu kesepakatan, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang dilarang oleh undang-undang dan yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Jadi, bagaimanapun juga asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata tetap ada batas- batasnya. Hal ini disebabkan karena kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itulah dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum. Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan, mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan. c. Asas mengikatnya perjanjian pacta sunt servanda Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan Universitas Sumatera Utara 41 perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati undang-undang. 52 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap adagium tersebut adalah pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat. 53 d. Asas itikad baik Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut dalam masyarakat. 54 Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” 52 J. Satrio, Op.cit., hlm. 142. 53 Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum Yogyakarta : Liberty, 1984, hlm. 36. 54 A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hlm. 13. Universitas Sumatera Utara 42 suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut. 55 e. Asas kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. 56 f. Asas kesetaraan Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. 57 Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang. 58 55 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 81. 56 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hlm. 187. 57 Ibid., hlm. 88. 58 http:www.damandiri.or.idfilearirahmathakimundipbab2c.pdf, diakses 9 Maret 2016. Universitas Sumatera Utara 43 g. Asas unconcionability Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil unfair sehingga dapat mengguncangakan hati nurani Pengadilan hakim atau shock the conscience the court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil. 59 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pihak yang lain. 60 h. Asas Subsidaritas Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan 59 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Pembangunan Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit BANK di Indonesia Jakarta : Institut Bankir, 1993, hlm. 105. 60 Meriam Barus Bahrulzaman, Op.cit., hlm. 2-53. Universitas Sumatera Utara 44 usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri menuju kemandirian. 61 4. Sumber Hukum Perjanjian Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata , perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal 1352 KUHPerdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang- undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia. Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 KUHPerdata dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang melawan hukum. 62 Sebagaimana dikutip R. Soetojo Prawirohamidjojo dalam Hukum Perikatan mengatakan bahwa : 63 “Antara perikatan yang bersumber pada perjanjian dan perikatan yang bersumber pada undang-undang pada hakikatnya tidak ada perbedaan, sebab semua perikatan meskipun bersumber pada perjanjian pada hakikatnya baru mempunyai kekuatan sebagai perikatan karena diakui oleh undang-undang dan karena mendapat sanksi dari undang- undang.” Vollmar, Pitlo, H. Drion dan Meyers dalam ajaran umum yang menyatakan bahwa tidak ada pertentangan yang hakiki antara perikatan yang bersumber dari perjanjian dan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Sebab pada akhirnya selalu undang-undang yang memberi sanksinya meskipun yang menjadi sumbernya perjanjian. Meskipun demikian, tidak perlu ada 61 http:www.damandiri.or.idfilearirahmathakimundipbab2c.pdf , terakhir diakses 3 Maret 2016. 62 Ibid., hlm. 201. 63 R. Soetojo Prawirohamidjo, Hukum Perikatan Surabaya : PT.Bina Ilmu, 1979, hlm. 26. Universitas Sumatera Utara 45 keberatan terhadap pembagian yang didakan Pasal 1233 KUHPerdata. Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 KUHPerdata yaitu perjanjian dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum tidak tertulis dan keputusan hakim. Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk membuat segala macam perikatan. 64 Perjanjian dan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan, sedangkan perikatan adalah isi dari perjanjian. Perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar, sedangkan perikatan merupakan pengertian yang abstrak hanya dalam pikiran. Perikatan yang berasal dari undang-undang dibedakan atas perikatan yang lahir dari : a. undang-undang saja, adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa- peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum perikatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut, seperti lampaunya waktu yang berakibat bahwa seseorang mungkin terlepas dari haknya atas sesuatu atau mungkin mendapatkan haknya atas sesuatu. 64 Ibid., hlm 202 Universitas Sumatera Utara 46 b. undang-undang karena perbuatan manusia, bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka undang-undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Undang-undang karena perbuatan manusia bersumber dari perbuatan yang sesuai dengan hukum, seperti Pasal 1354 KUHPerdata tentang zaak warneming atau pengurusan sukareala. Contoh, dokter mengoperasi pasien dalam keadaan darurat atau tanpa persetujuan pasien, kemudian perbuatan melawan hukum adalah perikatan yang lahir karena undang-undang, karena orang tidak berhati-hati sehingga merugikan orang lain. Unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum yaitu harus ada perbuatan, perbuatan itu harus melawan hukum, perbuatan itu harus menimbulkan kerugian, dan perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan. 65 Penjelasan di atas telah menjelaskan bahwa suatu perikatan bersumber dari undang-undang dan perjanjian. Di dalam perikatan yang muncul karena undang-undang, lahirnya perikatan tersebut tanpa memperhitungkan kehendak para pihak dalam perikatan yang bersangkutan, namun kehendak itu berasal dari si pembuat undang-undang, sekalipun ada unsur perbuatan manusia namun perbuatan manusia itu tidaklah tertuju kepada akibat hukum perikatan yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa pada umumnya mereka sama sekali tidak mengendaki akibat hukum seperti itu. Berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian, perikatan ini lahir karena para pihak yang menghendakinya dan para pihak tertuju kepada 65 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia cetakan pertama Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm 69. Universitas Sumatera Utara 47 akibat hukum tertentu yang mereka kehendaki, dengan kata lain munculnya perikatan yang bersumber dari perjanjian sebagai akibat hukum dari perjanjian yang mereka tutup. 66 5. Syarat sah perjanjian Syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang berbunyi untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat syarat: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu. 4. Suatu sebab yang terlarang Syarat kata sepakat dan kecakapan para pihak disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut orang-orang yang membuat perjanjian tersebut, sementara dua syarat yang terakhir dinamanakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri. 67 a. Kata sepakat Kata sepakat merupakan hal yang pertama kali harus ada dalam suatu proses pembuatan perjanjian. Tanpa kesepakatan para pihak pembuat perjanjian, keabsahan suatu perjanjian dapat dipertanyakan. Kata sepakat atau kesepakatan para pihak menunjuk pada keadaan dimana kehendak para pihak saling diterima satu sama lain. Kedua belah pihak menerima dan tidak menolak untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan pihak lawannya. Mereka menghendaki sesuatu yang 66 Ibid., hlm 75. 67 Subekti, Op.cit., hlm. 17. Universitas Sumatera Utara 48 sama secara timbal balik. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada. Sejak saat itu pula perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak pembuatnya dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang. Secara umum keabsahan suatu perjanjian di Indonesia yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak terlalu berbeda jauh dengan persyaratan- persyaratan yang diatur dalam common law yang menentukan keabsahan suatu perjanjian harus ada penawaran offer, penerimaan acceptance, capacity, consideration, lawful cause dan intention to create legal relation. Syarat keabsahan perjanjian dari syarat penawaran offer dan penerimaan acceptance dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Sebab terjadinya suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian selalu diawali dengan proses penawaran dan penerimaan, sehingga pada saat penawaran yang disampaikan oleh pihak yang mengajukan penawaran offeror diterima oleh pihak yang menjadi tujuan penawaran offeree maka pada saat itulah terjadi kesepakatan diantara para pihak yang akan terikat dalam suatu perjanjian. Tidaklah mudah untuk menentukan terjadinya suatu Universitas Sumatera Utara 49 penawaran karena perlu adanya kategori atau kriteria tertentu untuk dapat dikatakan sebagai suatu penawaran. 68 Kesepakatan merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Suatu kehendak saja tidak serta merta menimbulkan perjanjian. Kehendak tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan atau disampaikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain secara timbal balik. Suatu kesepakatan diawali dengan penawaran, yang merupakan pernyataan kehendak dari satu pihak kepada pihak lawan. Penawaran tersebut kemudian diikuti dengan pernyataan kehendak dari pihak lawan baik penawaran maupun penerimaan adalah perbuatan hukum sepihak. Perjumpaan dari kedua perbuatan hukum sepihak inilah yang kemudian membentuk suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum timbal balik. Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa penawaran adalah usulan yang disampaikan kepada pihak lainnya untuk membuat suatu perjanjian dan ketika usulan tersebut diterima, akan timbul dan terbentuk perjanjian. Pada dasarnya penawaran dan penerimaan tidak harus dilakukan dalam bentuk tertentu. Pernyataan penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas, baik secara lisan maupun tulisan. Namun dalam beberapa hal pernyataan tersebut juga dapat dilakukan secara diam-diam. Bahkan dalam keadaan tertentu sikap berdiam diri atau tidak berbuat dapat diartikan sebagai suatu penerimaan. 69 68 Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian Jakarta : Grasindo, 2012, hlm. 8. 69 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan , Bandung: Citra Aditya, 2010, hlm. 74 Universitas Sumatera Utara 50 Salah satu syarat sahnya perjanjian, kesepakatan memegang peran penting dalam proses terbentuknya suatu perjanjian. Untuk itu dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan, misalnya terdapat kesalahan dalam menuliskan jumlah pesanan. b. Kecakapan Para pihak dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat kecakapan yang ditentukan oleh hukum. Menurut Subekti, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. 70 Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, mereka yang dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat adalah: 1 orang-orang yang belum dewasa. 2 mereka yang ditaruh dalam pengampuan. 3 orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 71 Atas dua syarat sah yang pertama ini disebut sebagai syarat subjektif, jika tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak yang dapat meminta 70 Subekti, Ibid., hlm. 17. 71 Ketentuan ini telah dicabut melalui Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1963 jo Surat edaran Mahkamah Agung No 3. Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 dan juga tidak lagi ditemukan pengaturan yang sedemikian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP. Universitas Sumatera Utara 51 pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan perizinannya secara tidak bebas. 72 c. Hal tertentu Syarat sahnya perjanjian yang berikutnya adalah perjanjian yang dibuat haruslah mengenai sesuatu hal tertentu. Hal tertentu dalam suatu perjanjian mengacu pada obyek perjanjiannya. Pasal 1333 KUHPerdata memberikan penjelasan mengenai hal tertentu bahwa untuk perjanjian yang mengenai barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat ditentukan kemudian. Undang-undang tidak mewajibkan bahwa objek perjanjian harus telah ada ketika perjanjian dibuat, demikian juga mengenai jumlah dari objek perjanjian tersebut dapat ditentukan kemudian, hanya diwajibkan bahwa objek perjanjian haruslah dapat dihitung atau ditetapkan. d. Sebab yang halal Syarat yang terakhir untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang halal. Sebab yang halal mengacu pada isi perjanjian. Undang-undang tidak menjelaskan sebab yang halal sebagai niat para pihak sebelum membuat perjanjian tersebut. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seseorang. 73 72 Subekti,Op.cit., hlm. 20. 73 Ibid. Universitas Sumatera Utara 52 Menurut Pasal 1339 Kitab KUHPerdata yang dimaksud sebagai sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan baik. 74 Sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. 75 Perjanjian memperkerjakan anak dibawah umur tanpa persetujuan orang tua atau walinya menjadi salah dan tidak memenuhi unsur sebab yang halal karena bertentangan dengan kesusilaan baik, ketertiban umum dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua perjanjian yang yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum null and void. 74 Pasal 1337 Kitab Undang- undang Hukum Perdata menyatakan: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau kete rtiban umum.” Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang- undang.” 75 Subekti, Ibid., hlm. 20. Universitas Sumatera Utara

B. Perjanjian Kemitraan

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

1 92 99

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 9

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 2

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 1 23

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 53

Pertanggungjawaban Mitra Usaha dalam Perusahaan Berbasis Penjualan Langsung terhadap Pemberian Garansi atas Produk yang Diperdagangkan

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 2 7

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 1 1

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 0 20

Perlindungan Hukum Terhadap Mitra Usaha Dalam Perusahaan Berbasis Distribusi Penjualan Langsung Atas Tuntutan Ganti Rugi oleh Konsumen yang Disebabkan Karena Kegagalan Produk

0 0 24