Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Rizki Masharida Nasution

Tempat, Tanggal Lahir : Medan , 15 Juni 1992

Alamat : Jl. Kemenangan Gang Tower No.38

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan RiwayatPendidikan :

1. Taman Kanak - Kanak Swasta Melati Putih 1997 - 1998 2. Sekolah Dasar Negeri 060878 1998 - 2004 3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Medan 2004 - 2007 4. Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Medan 2007- 2010 5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 2010-sekarang Riwayat Organisasi :

1. Anggota Dokter Kecil Sumatera Utara 2003 - 2004 2. Anggota PMR 16 SMPN 7 Medan 2004 - 2007 3. Anggota PMR SMAN 8 Medan 2007 - 2008

4. Sekretaris Divisi Pengabdian Masyarakat Tim Bantuan Medis FK USU 2011 - 2012


(2)

KUESIONER PENELITIAN (PANDUAN WAWANCARA)

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas dengan Jenis Rokok Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis Stabil Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan 2013

Nama : ………..

Jenis Kelamin : ………..

Usia : ………..

Pekerjaan : ………..

Alamat : ………..

1. Apakah saudara menderita penyakit PPOK? (cek rekam medis melihat spirometri )

□ Ya □Tidak

(jika tidak lanjut ke nomor 4)

2. Sudah berapa lama saudara menderita penyakit PPOK ?... bulan /tahun* 3. Apakah saudara mengkonsumsi rokok ? (cek rekam medis riwayat merokok)

□ Ya □Tidak

(jika tidak, wawancara selesai)

4. Apakah jenis rokok yang saudara konsumsi selama ini ? □ rokok kretek □ rokok filter

5. Sudah berapa lama anda merokok ?

□1 – 10 tahun □11-20 tahun □ >20 tahun

6. Berapa batang saudara merokok dalam 1 hari?

□10 batang □10 – 20 batang □ > 20 batang 7. Berapakah besar nilai indeks Brikmann saudara ?

□ 0 - 200 ( ringan ) □ 200 - 600 ( sedang ) □ > 600 ( berat)

8 . Apakah 10 tahun belakangan ini anda tidak pernah menganti jenis rokok anda ? □ Ya ( jenis…………..) □Tidak

9 . Riwayat merokok :

□perokok aktif □perokok pasif □sudah berhenti ……tahun 10. Berapaka nilai derajat obstruksi anda ?


(3)

LEMBAR PENJELASAN

Assalamu’alaikum. Wr. Wb.

Saya adalah mahasiswa semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang sedang melakukan penelitian berjudul Korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis stabil di RSUP H Adam Malik Medan 2013 . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi derajat obstruksi dan menilai tingkat derajat obstruksi yang dihasilkan dari jenis rokok untuk melihat keparahannya.

Oleh karena itu, saya meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta menjadi subjek penelitian ini dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada saat wawancara. Adapun data individu dalam penelitian ini tidak akan dipublikasikan. Untuk penelitian ini Bapak/Ibu tidak akan dikenakan biaya apapun. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini diharapkan Bapak/Ibu bersedia mengisi lembar persetujuan yang telah saya siapkan.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak/Ibu yang telah ikut berpartisipasi pada penelitian ini. Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini akan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan.


(4)

(5)

(6)

(7)

No

nama pasien jenis kelamin umur pasien nilai spirometri derajat obstruksi

Lama meroko 1 Tarigan Pria 70 - 72 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) >10 thn 2 Maryono Pria 70 - 72 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 3 Tamba Pria 70 - 72 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 4 Duriyat Pria 70 - 72 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 5 Warsito Pria 67- 69 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 6 Halomoan Pria 70 - 72 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 7 Nadam Pria 70 - 72 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) < 10 thn 8 Benyamin Pria 70 - 72 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) >10 thn 9 Robert Pria 70 - 72 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) >10 thn 10 Sunaryo Pria 70 - 72 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 11 Krisman Pria 73-75 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) <10 thn 12 Liseth wanita 58 - 60 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) <10 thn 13 Matauli wanita 58 - 60 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 14 Wanhatta wanita 67- 69 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 15 Watti wanita 64 - 66 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) <10 thn 16 Nababan Pria 61 - 63 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 17 Ferdinan Pria 64 - 66 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 18 Ranip Pria 64 - 66 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 19 Rasmi wanita 61 - 63 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) <10 thn 20 Giot M Pria 61 - 63 >600 berat - sangat berat ( > 50 % ) >10 thn 21 Syarif Pria 61 - 63 200 - 600 ringan - sedang ( < 50 % ) <10 thn


(8)

LAMPIRAN 8

HASIL UJI STATISTIK

Jenis kelamin

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid

Pria 16 76,2 76,2 76,2

wanita 5 23,8 23,8 100,0


(9)

Umur Pasien

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

58 - 60 2 9,5 9,5 9,5

61 - 63 4 19,0 19,0 28,6

64 - 66 3 14,3 14,3 42,9

67- 69 2 9,5 9,5 52,4

70 - 72 9 42,9 42,9 95,2

73-75 1 4,8 4,8 100,0


(10)

Pekerjaan Pasien

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

ibu RT 6 28,6 28,6 28,6

pensiunan 7 33,3 33,3 61,9

petani 1 4,8 4,8 66,7

PNS 5 23,8 23,8 90,5

wiraswasta 2 9,5 9,5 100,0


(11)

Tingkat Pendidikan Pasien

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

sd 1 4,8 4,8 4,8

smp 2 9,5 9,5 14,3

sma 13 61,9 61,9 76,2

sarjana 5 23,8 23,8 100,0


(12)

Riwayat lama merokok

Frequenc y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid < 10

tahun 6 28,6 28,6 28,6 > 10

tahun 15 71,4 71,4 100,0 Total 21 100,0 100,0


(13)

Indeks Brinkmann

indeks brinkmann Frequenc

y

Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid

200 - 600 9 42,9 42,9 42,9

>600 12 57,1 57,1 100,0


(14)

jenis rokok pasien

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

rokok kretek 9 42,9 42,9 42,9

rokok filter 12 57,1 57,1 100,0


(15)

Uji crosstab Uji Korelasi Pearson metode bivariat

Correlations

jenis rokok pasien

derajat obstruksi

pasien

jenis rokok pasien

Pearson

Correlation 1 1.000

**

Sig. (2-tailed) .000

N 21 21

derajat obstruksi pasien

Pearson

Correlation 1.000

** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 21 21

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Interprestasi hasil

a. Jenis rokok dengan derajat obstruksi diketahui hasilnya pada uji korelasi adalah 1 yang berarti ada korelasi yang sempurna antara jenis rokok dan derajat obstruksi .

b. Derajat obstruksi dengan jenis rokok diketahui hasilnya pada uji korelasi adalah 1 yang berarti ada korelasi yang sempurna antara derajat obstruksi dengan jenis rokok .

Hasil adalah H1 – 1 : memiliki korelasi yang sempurna antara jenis rokok dengan derajat obstruksi pasien PPOK .


(16)

American Thoracic Society or European Respiratory Society . 2012 . Standards for the Diagnosis and Treatment of Patients with COPD . Available From :

http://www.thoracic.org/clinical/copd-guidlines/resource/copddoc.pdf [ Accessed 18LApril 2013 ]

Borja G , Cosio and Alvar Agusti . Update in Chronic Obstrucitve Pulmonary Disease Pulmonary and Critical Care hal 57 . [ Accessed 17 April 2013 ]

Global Initative for Chronic Obstructive Lung disease . 2012 . Global Strategy for Diagnosis Management and Prevention of Chronic Obstruction Pulmonary , hal 2 . Available From : http://www.goldcopd.org/Guidlines/guidlines-resources.html [ Accessed 17 April 2013 ]

Global Initative for Chronic Obstructive Lung disease . 2011 . Global Strategy for Diagnosis Management and Prevention of Chronic Obstruction Pulmonary , hal 3 . Available From : http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/JK/article/downoad/757/755 [ Accessed 18 April 2013 ]

Ikawati , Zulies . 2010 . Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana terapinya Edisi 7 . Jakarta : Universitas Gajah Mada

Kompas . 2006 . Penyakit Paru Obstruksi Kronis . Available From : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14686 [ Accessed 18 April 2013 ]

Mulyadi . 2010 . Analysis Of Peak Expiratory Flow Rate ( PEFR ) Result in Patient with

Respiratory Disorders . Available From :

http//journalrespirologicontent/uploads/2013/april-2011-59-62.pdf [ Accessed 18 April 2013 ]

Nugraha , Ika . 2010 . Hubungan Derajat Merokok dengan Indeks Brinkmann . Available From : http://stikespku.ac.id/edjournal/files/temp/pdfqluG [ Accessed 17 April 2013 ]


(17)

Perhimpunan Dokter Paru . 2011 . Penyakit Paru Obstruksi Kronis Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaa di Indonesia hal 3 – 4 . Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Reilly JJ , Silverman EK ,Shapiro SD . 2010 . Chronic Obstructive Pulmonary Disease in : Harrissons Pulmonary and Critical Care Medicines . USA : Mc Graw – Hill page 178 .

Availble From :

http//repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/2852/1/Repository%20SD.pdf [ Accessed 19 April 2013 ]

Sajinadiyasa, I M Bagiada . 2010 . Prevalensi dan Risiko merokok terhadahap Penyakit Paru Obstruksi Kronis . [ Accessed 16 April 2013 ]

SY , Widodo . 2009 . Hubungan Riwayat Kebiasaan Merokok dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis . Availble From : http//repository.unri.ac.id bitstream/123456789/2852/1/Repository%20SD.pdf [ Accessed 19 April 2013 ]

Viegi G , Pistelli F , Maio S , Balladaci S , Carrozi L . 2007 . Definiton , epidemiology and

natural history of COPD . Availble From :

http//journal.org/journal/Jan10/Lung%20ofthe%20year-2.pdf [ Accessed 19 April 2013 ]

West , Jhon B . 2010 . Respirology of Ventilation – Perfusion in Realtionship COPD . Available From : http//repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31204/4/chapter%20II.pdf [ Accessed 18 April 2013 ]


(18)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Jenis rokok Derajat obstruksi

PPOK

Merokok PPOK

Derajat obstruksi / keparahan PPOK


(19)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Jenis rokok (Rokok kretek dan filter)

Adanya riwayat merokok baik jenis rokok kretek ataupun filter oleh responden pada saat penelitian berlangsung, berdasarkan rekam medis

Wawancara langsung dengan panduan kuesioner

Riwayat merokok dengan jenis rokok

- Rokok filter - Rokok kretek

Nominal

Kategori Perokok

Adanya riwayat perokok berdasarkan kategori perokok ditanyakan oleh responden pada saat penelitian berlangsung, berdasarkan rekam medis

Wawancara langsung dengan panduan kuesioner

Kategori perokok :

- Perokok akif - Perokok pasif - Berhenti

merokok

Nominal

Indeks brinkman

Indeks Brinkman adalah hasil perkalian antara durasi merokok dalam tahun dikalikan dengan jumlah batang per hari . Penelitian berlangsung melalui pemeriksaan spirometri oleh responden

Wawancara langsung dengan panduan kuesioner Indeks brinkman:

- Ringan : 0 – 200 - Sedang : 200 –

600

- Berat : > 600


(20)

Definisi Operasional

1. Jenis rokok pada penderita PPOK

Riwayat merokok pada penderita PPOK merupakan salah satu faktor risiko dengan jenis rokok yang biasanya digunakan adalah jenis rokok kretek dan filter . Dan diukur melalui indeks brinkman .

2. Kategori Perokok

Adanya riwayat perokok berdasarkan kategori perokok yaitu : perokok aktif , perokok pasif , sudah berhenti merokok. Dan dilakukan dengan wawancara secara langsung .

3. Indeks brinkman

- Indeks Brinkman adalah hasil perkalian antara durasi merokok dalam tahun dikalikan dengan jumlah batang per hari . Berdasakan hasil pemeriksaan spirometri

- Ringan : 0 – 200 - Sedang : 200 – 600 - Berat : > 600 4. Derajat Obstruksi

Derajat obstruksi diukur secara objektif dengan menggunakan alat spirometri . Pemeriksaan yang dapat diterima yang memenuhi ke –3ketentuan sebagai berikut

a. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai b.Waktu ekspirasi minimal 3 detik Derajat

obstruksi

Derajat obstruksi PPOK yang diderita oleh responden pada saat penelitian berlangsung, berdasarkan rekam medis telah dikonfirmasi melalui pemeriksaan

spirometri.wawancara.

spirometri -Derajat obstruksi ringan –sedang > 50%

-Derajat obstruksi berat-sangat berat < 50


(21)

c. Permulaan pemeriksaan harus cukup baik

Berdasarkan pedoman Persatuan Dokter Paru Indonesia tahun 2011 , penilain obstruksi dari penderita PPOK adalah :

a. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 %

b. Obstruksi : % VEP1 < 80% ( VEP1 / KVP ) < 75 %

c. VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalan penyakitnya .

VEP1 adalah volume ekspirasi paksa dalam satu detik pertama . Rasio VEP1/KVP adalah

Jumlah udara yang dikeluarkan dalam 1 detik pertama sebagai maneuver KVP karena rasio VEP1/KVP adalah persentase yang cepat diperoleh maka disebut sebagai persentase volume ekspirasi detik pertama .

3.3. Hipotesis

Dengan mempertimbangkan landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan korelasi derajat obstruksi saluran napas dengan jenis rokok pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis stabil.

BAB IV

METODE PENELITIAN 4.1.Jenis Penelitian


(22)

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional, yang bertujuan untuk menganalisa korelasi atau hubungan anatara derajat obstruksi saluran napas dengan jenis rokok pada penderita PPOK stabil.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli - September tahun 2013. Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit tipe A dan menjadi rumah sakit rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis stabil di poli rawat jalan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi dan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan .

4.3.2. Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel penelitian adalah pasien di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi dan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Kriteria Inklusi

1. Penderita PPOK stabil

2. Umur penderita 45 tahun – 75 tahun

3. Memiliki riwayat merokok ,dengan indeks Brinkman > 200 4. Memiliki riwayat menderita PPOK > 2 tahun

5. Nilai VEP1/KVP < 70% dari hasil spirometri

6. Setelah prosedur penelitian dijelaksan kepada penderita, penderita bersedia menandatangani formulir persetujuan setelah penjelasan atau informed consent yang ada.


(23)

1. Menderita asma , kanker paru dan penyakit obstruksi lainnya . 2. Penderita yang memiliki penyakit Tb

3. Penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi 4. Penderita PPOK yang tidak kooperatif

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2011).

Besar sampel minimum yang diperlukan dihitung dengan rumus koefisien korelasi pada sampel tunggal.

1. Perikiraan koefisien korelasi r ( dari pustaka ) 2. Tingkat kemaknaan ,a ( ditetapkan )

3. Power atau Zβ ( ditetapkan ) n = ( Zα + Zβ ) 2 + 3

0,5ln (1+r)/(1-r) Keterangan:

n = besar sampel minimum

Zα = deviat baku normal untuk α

Zβ = deviat baku normal untuk β

r = perkiraan koefisien

Pada penelitian ini, ditetapkan nilai α sebesar 0,01 (tingkat kepercayaan 99%) sehingga didapat nilai Zα adalah sebesar 2,576. Selain itu ditetapkan nilai β sebesar 0,05 (power 95%), maka didapat nilai Zβ sebesar 1,645. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh Ika Rosdiana didapatkan r= 0,756 . Sehingga berdasarkan rumus di atas, besarnya sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

n = 2,576+ 1,645 2 + 3 0,5ln (1+0,756)/(1-0,756)


(24)

n= 4,221 2 + 3 0,98

n= 21,289 n= 21 sampel

Dengan demikian besar sampel minimal yang diperlukan adalah 21.289 orang, dibulatkan menjadi 21 orang.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapat langsung dari masing-masing sampel penelitian, meliputi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi . Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik wawancara langsung kepada sampel penelitian dengan panduan kuesioner penelitian . Sampel penelitian dilakukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan kelainan obstruksi dan bertujuan untuk penentuan derajat obstruksi penderita PPOK stabil .

4.5. Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari hasil wawancara ditabulasi untuk diolah lebih lanjut dengan menggunakan program Statistic Package for Social Sciences (SPSS).Pada studi cross sectional. Hasil pengamatan studi cross sectional biasanya disusun dalam bentuk tabel 2 x 2 sebagai berikut:

Tabel 4.1. Penyajian Hasil Pengumpulan Data

Derajat obstruksi Ringan-sedang

( > 50% )

Berat-sangat berat ( < 50% )

Jenis rokok Rokok kretek A B

Rokok filter C D

Struktur studi cross sectional menilai peran faktor risiko dan terjadinya efek . Faktor risiko dan efek diperiksa pada saat yang sama. Rasio prevalensi adalah prevalensi efek pada


(25)

kelompok dengan risiko dibagi prevalensi efek pada kelompok tanpa risiko . RP = a/(a+b) : (c+d).

4.5.1.Cara analisa data 1. Analisis univariat

Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari seluruh variabel penelitian. Penyajian akan didistribusikan dalam bentuk tabel.

2. Analisis bivariat

Analisis data bivariat dilakukan untuk mengetahui korelasi derajat obstruksi saluran napas dengan jenis rokok pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Dan untuk menilai hubungan kebermaknaan dilakukan uji Chi square jika memenuhi syarat, yaitu, bila tidak lebih dari 20% expected count bernilai kurang dari 5 dan masing-masing sel bernilai 1 atau lebih. Jika tidak memenuhi syarat maka untuk tabel berukuran lebih besar dari 2x2 dilakukan penggabungan sel agar dapat memenuhi syarat uji Chi Square, namun jika belum juga memenuhi syarat, maka tabel diubah ke bentuk 2xn dan diuji hipotesisnya dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (Dahlan, 2005). Nilai p sebesar 0,05 (5%) atau lebih kecil dianggap bermakna atau signifikan . Metode ini dipilih karena baik data yang dihasilkan dari variabel independen (Derajat obstruksi , jenis rokok) dan dependen (PPOK stabil ) merupakan skala kategorik (Sastroasmoro dan Ismael, 2011).


(26)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VIII/1990. RSUP Haji Adam Malik Medan menjadi sentra rujukan utama untuk wilayah Sumatera Utara dan sekitarnya. RSUP Haji Adam Malik Medan terletak di Jalan Bunga Lau Nomor 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan, Sumatera Utara.

5.1.2. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan terakhir, lama merokok dan derajat obstruksi berdasarkan Indeks Brinkmann. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pria 16 76,2

Wanita 5 23,8

Total 21 100

Dari Tabel 5.1. dapat diketahui bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 15 orang (76,2%), sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 5 orang (23,8%).


(27)

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Umur Responden

Umur Jumlah (orang) Persentase (%)

58-60 2 9,5

61-63 4 19,0

64-66 3 14,3

67-69 2 9,5

70-72 9 42,9

73-75 1 4,8

Total 21 100

Dari Tabel 5.2. dapat diketahui bahwa mayoritas reponden berumur 70-72 tahun sejumlah 9 orang (42,9 %). Sedangkan kelompok umur responden yang paling sedikit adalah umur 58 – 60 sejumlah 2 orang ( 9,5 % ) , dan 73 – 75 yaitu 1 orang responden ( 4,8 % ).

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden

Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)

Wiraswasta

Petani

2

1

9,5

4,8

Ibu Rumah Tangga 6 28,6

PNS 5 23,8

Pensiunan 7 33,3

Total 21 100

Dari Tabel 5.3. dapat dilihat bahwa sejumlah 7 orang responden (33,3%) status sebagai pensiunan . Sementara jenis pekerjaan responden yang paling sedikit adalah sebagai petani sejumlah 1 orang responden ( 4,8%).


(28)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Responden

Pendidikan Terakhir Jumlah (Orang) Persentase (%)

Tamat SD 1 4,8

Tamat SMP 2 9,5

Tamat SMA 13 61,9

Tamat Sarjana 5 23,8

Total 21 100

Dari Tabel 5.4. menunjukkan distribusi frekuensi pendidikan terakhir responden, dimana didapati sebanyak 13 orang (61,9%) responden pendidikan terakhirnya tamat SMA sedangkan 1 orang (4,8%) dari keseluruhan responden tamat sd .

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi PPOK berdasarkan Lama merokok

Lama riwayat merokok

PPOK

n %

≤ 10 tahun 6 28,6 >10 tahun 15 71,4

Total 21 100

Dari Tabel 5.5. menunjukkan bahwa dari 21 orang responden yang memiliki penyakit PPOK stabil berdasarkan lamanya riwayat merokok, didapati interval waktu antara diagnosis PPOK paling banyak adalah diatas 10 tahun yaitu sebanyak 15 orang responden ( 71,4 % ).

Tabel 5.6. Nilai spirometri berdasarkan lama merokok dengan berapa banyak rokok dalam sehari ( indeks brinkmann )


(29)

Nilai Indeks Brinkmann

PPOK Jumlah ( orang )

%

200 – 600 9 42,9

>600 12 57,1

Total 21 100

` Dari Tabel 5.6. menunjukan hasil dari pengukuran spirometri pada pasien PPOK dengan nilai spirometri 200 – 600 terdapat 9 orang responden ( 42,9 % ) dan nilai spirometri >600 terdapat 12 responden ( 57,1 % ) .

Tabel 5.7. Derajat keparahan berdasarkan Nilai spirometri

Derajat obstruksi Nilai VEP1 Jumlah (Orang) Persentase (%)

Ringan > 80 % 4 19,0

Sedang Berat

Sangat berat

50 % <FEV1<80 % 30 % <FEV1<50 %

<30 %

5

11

1

23,8

52,3

4,7


(30)

Dari Tabel 5.7. menunjukan hasil dari derajat keparahan berdasarkan hasil spirometri pada pasien PPOK dengan derajat ringan terdapat 4 responden ( 19,0 % ) ,derajat sedang terdapat 5 responden ( 23,8 % ) derajat berat terdapat 11 responden ( 52,3 % ) ,dan derajat sangat berat terdapat 1 responden ( 4,7 % ).

Tabel 5.8. Jenis rokok

Jenis rokok PPOK

n %

Rokok filter 12 57,1 Rokok kretek 9 42,9

Total 21 100

Dari table 5.8. menunjukan hasil dari jenis rokok yang terbanyak adalah jenis rokok filter 12 orang responden ( 57,1 %) dan rokok kretek 9 orang responden ( 42,9 % ).

5.1.3. Hasil Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara jenis rokok dengan derajat obstruksi saluran napas pada pasien PPOK stabil . Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5.9. korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita PPOK stabil

Derajat obstruksi Ringan – sedang

Derajat obstruksi Berat – sangat


(31)

FEV1 > 50% FEV1berat < 50 %

n (%) n (%) N (%)

Rokok filter 4 26,6 11 73,3 15 100

Rokok kretek 5 83,3 1 16,6 6 100

Dari Tabel 5.9. dapat dilihat bahwa dari 15 orang responden yang memiliki riwayat merokok menggunakan jenis rokok filter dengan 11 orang responden termasuk derajat obstruksi berat – sangat berat < 50 % ( 73,3% ) dan rokok jenis filter sebanyak 6 orang responden dengan 5 diantaranya merupakan derajat obstruksi ringan – sedang > 50% ( 83,3 % )

Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Pearson dengan tingkat kemaknaan 1 dan interval tingkat kemaknan uji pearson adalah :

*nilai 0 : tidak ada korelasi

*nilai 0,00 – 0,25 : korelasi sangat lemah *nilai 0,25 – 0,50 : korelasi cukup *nilai 0,50 – 0,75 : korelasi kuat *nilai 0,75 – 0,99 : korelasi sangat kuat *nilai 1 : korelasi sempurna

diperoleh nilai p (p value) adalah 1 (p = 1) yang berarti bahwa ada Korelasi sempurna derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita PPOK stabil. Dapat pula dilakukan perhitungan ratio prevalensi (RP) sebagai berikut:


(32)

Derajat obstruksi

Ringan sedang > 50 %

Berat – sangat berat > 50% Rokok Kretek Rokok Filter 5 4 1 11

RP = a/(a+b) : c (c+d)

RP =5 / (5 + 1 ) :4 ( 4 + 11 )

RP = 3,1

Pada penelitian ini didapat besarnya ratio prevalensi adalah 3,1. Ratio prevalensi yang lebih besar dari 1 menunjukkan adanya hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian ini besarnya ratio prevalensi di atas angka 1, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini pada PPOK stabil dengan jenis rokok merupakan salah satu faktor risiko kelompok derajat obstruksi . Dari hasil perhitungan, diketahui bahwa orang yang memiliki riwayat merokok dengan jenis rokok filter berisiko 3 kali lebih besar mengalami derajat obstruksi berat – sangat berat < 50% dibandingkan dengan orang yang memiliki riwayat merokok kretek.

5.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil karakteristik responden penelitian, mayoritas responden berjenis kelamin pria yaitu sejumlah 16 orang (76,9%), sedangkan responden yang berjenis kelamin wanita berjumlah 5 orang (23,8%). Hasil penelitian menurut Bold Study di 12 negara menunjukkan kasus PPOK pada jenis kelamin pria dengan usia yang lebih tua adalah 5 kali lipat berbanding pada perempuan. Hal ini dikarenakan pria lebih banyak yang merokok, .

Pada penelitian ini seluruh responden berusia di atas 50 tahun, dimana kelompok umur dengan frekuensi paling tinggi yaitu kelompok umur 70-72 tahun sebanyak 9 orang ( 42,9 % ) . Dari karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, sebanyak 7 orang responden (33,3%) bekerja sebagai pensiunan. Berdasarkan tingkat ekonomi ternyata PPOK menduduki peringkat lima dari negara berkembang berdasarkan data morbiditas (WHO). Sementara itu, karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir diperoleh sebanyak 13 orang (61%) responden memiliki pendidikan terakhir SMA, sedangkan sebanyak 5 orang (24%) memiliki pendidikan terakhir tamat sarjana. Hal ini sesuai dengan data yang


(33)

terdapat pada profil kesehatan Indonesia 2010 yang menyatakan bahwa prevalensi PPOK cendrung menurun seiring dengan peningkatan tingkat pendidikan (Depkes, 2011).

Kemudian berdasarkan riwayat lama merokok dengan terjadinya PPOK pada dasarnya riwayat merokok > 10 tahun sebanyak 15 orang responden ( 72% ) hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prabaningtyas O di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2010 terdapat hubungan yang signifikan antara lamanya merokok dengan derajat merokok pada kejadian PPOK dan kecenderungan penderita PPOK mempunyai riwayat merokok yang > 10 tahun .

Berdasarkan hasil nilai indeks brinkmann nilai FEV1 yaitu >600 terdapat 12 responden ( 57,1 % ) itu termasuk derajat obstruksi berat .Sementara pada derajat obstruksi yang berat dengan jenis rokok filter yang terbanyak terdapat 11 responden ( 52 %) .Pada penelitian ini hubungan antara kedua variabel tersebut ditemukan (p= 1 CI 99%), dengan ratio prevalensi sebesar 3,1.).

Penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan antara dua variabel paling baik dilakukan dengan desain kohort (prospektif), yakni dengan pengamatan dan follow up ke masa yang akan datang. Dengan follow up yang cukup akan didapati apakah satu variabel memiliki hubungan yang kuat dengan variabel lainnya. Kelemahan penelitian ini terletak pada desain penelitian yang hanya menggunakan studi

cross sectional, dimana pengamatan yang bagus bersifat retrospektif, yaitu melihat apakah selama ini responden memiliki faktor risiko terhadap derajat obstruksi saluran napas dengan konsumsi jenis rokok yang berbeda , melihat keparah derajat obstruksi. Tetapi keterbatasan waktu pengamatan ini menyebabkan ketidakmampuan dalam menggambarkan perjalanan penyakit.

Pada penelitian ini korelasi derajat obstruksi saluran napas dengan jenis rokok pada penderita PPOK stabil dapat dibuktikan adanya korelasi antara dua variabel tersebut. Dimana pada penelitian yang dilakukan banyak pederita PPOK stabil memiliki riwayat merokok jenis filter dibandingkan dengan jenis rokok kretek dan terbukti derajat keparahan obstruksi dengan jenis rokok filter lebih tinggi persentasenya dan hasil didukung oleh pengukuran spirometri.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, dimana dikatakan bahwa kedua variabel ini berhubungan. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai hal ini harus dilakukan dengan mengatasi hal-hal yang telah peneliti ungkapkan di atas, khususnya dalam hal desain penelitian, sehingga dapat diketahui data yang lebih valid mengenai berapa lama waktu yang diperlukan penderita PPOK yang terpapar rokok menyebabkan derajat obstruksi pada saluran pernapasan.


(34)

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Dari 21 orang responden penelitian 15 orang responden memiliki riwayat merokok menggunakan jenis rokok filter (71,4 %) dan 6 responden menggunakan rokok kretek (28,6% ) .

2. Dari rokok filter berat-sangat berat < 50% sejumlah ( 73,3%) 3. Dari rokok kretek ringan-sedang > 50% sejumlah ( 83,3%)

4. Ada hubungan korelasi derajat obstruksi saluran napas dengan jenis rokok pada penderita PPOK Stabil dengan nilai (p = 1) dengan makna korelasi sempurna.

5. Dengan nilai ratio prevalensi 3,1 yaitu memiliki riwayat merokok dengan jenis rokok filter berisiko 3 kali lebih besar mengalami derajat obstruksi berat – sangat berat < dibandingkan memiliki riwayat merokok kretek.

6.2. Saran

Pada penelitian ini korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis stabil dapat dibuktikan dengan tingkat derajat keparah berat – sangat berat disebabkan oleh rokok jenis filter . Maka dari itu, bagi sarana pelayanan kesehatan diharapkan agar lebih waspada ketika mendapati PPOK dengan derajat obstruksi berat- sangat berat.

Edukasi kepada pasien yang memiliki risiko tersebut penting dilakukan untuk mencegah terjadinya derajat obstruksi yang tingkat keparahannnya tinggi pada penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

PPOK merupakan penyakit yang memiliki banyak faktor risiko. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih peduli dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan derajat obstruksi PPOK, khususnya bagi individu yang memiliki risiko tinggi.

Diharapkan untuk pemerintah dan lembaga kesehatan lebih memerhatikan masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok dengan cara mengedukasi masyarakat melalui media massa seperti iklan di televise , brosur atau leaflet di jalan raya dan spanduk – spanduk di jalan dengan memotivasi setiap individu yang memiliki faktor risiko agar berhenti merokok karena efek dari merokok ini bersifat sistemik bagi tiubuh kita..

Bagi peneliti selanjutnya banyak kelemahan pada penelitian ini, diharapkan peneliti selanjutnya dapat menggunakan desain kohort (studi prospektif). Studi prospektif


(35)

dapat dilakukan dengan melakukan follow up pada setiap pasien PPOK di klinik atau di rumah sakit tertentu. Sehingga akan didapatkan data yang lebih valid mengenai berapa lama waktu yang diperlukan penderita PPOK stabil menyebabkan derajat obstruksi dengan jenis rokok dengan kurun waktu berapa lama dapat menyebabkan derajat obstruksi yang parah .


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi Kronis )

2.1.1. Definisi

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya menurut GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,2011).

Penyakit Paru Obsrusi Kronis adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011 ).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan adanya obstruksi saluran napas yang umumnya bersifat progresif, berhubungan dengan bronkitis kronis atau emfisema, dan dapat disertai dengan hiperaktivitas dari saluran napas yang reversibel. PPOK adalah kelainan spesifik dengan perlambatan arus udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi penyakit jalan napas dan emfisema, umumnya perjalanan penyakit


(37)

kronik progesif dan irreversibel serta tidak menunjukan perubahan yang berarti dalam pengamatan beberapa bulan menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/ Europen Respiratry Society , 2012).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah sebuah istilah keliru yang sering dikenakan pada pasien yang menderita emfisema, bronkitis kronis, atau campuran dari keduanya. Ada banyak pasien yang mengeluh bertambah sesak napas dalam beberapa tahun dan ditemukan mengalami batuk kronis, toleransi olahraga yang buruk, adanya obstruksi jalan napas, paru yang terlalu mengembang, dan gangguan pertukaran gas (John B. West, 2010).

2.1.2. Epidemiologi

Data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap Negara di seluruh dunia tahun 2000, prevalensi PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun. Pada 2010 data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota Amerika Latin. Prevalens PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah 3,5 % di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam . Untuk Indonesia, penelitian COPD Working Group pada tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK Indonesia sebesar 5,6%. Pada tahun 2000 PPOK menduduki peringkat ke 5 dari jumlah penderita yang berobat jalan dan menduduki peringkat 4 dari penderita yang dirawat.

Kunjungan rawat jalan pasien PPOK di RS meningkat dari 616 pada tahun 2000 menjadi 1735 pada tahun 2007. Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia , pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun sedangkan penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara. merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK.

Berdasarkan hasil penelitian prevalensi PPOK meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 6% di periode tahun 1960-1979 mendekati 10% di periode tahun 2000-2007.Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia.


(38)

Tabel 2.1 : Prevalensi PPOK di negara miskin ( WHO 2011 )

Meskipun demikian, PPOK masih sering diremehkan baik oleh petugas kesehatan maupun oleh penderita.

2.1.3.Faktor Risiko

Faktor risiko penyakit paru obstruksi kronik adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang mempengaruhi/menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu. Faktor risiko tersebut meliputi: a. Faktor pejamu (host), b. Faktor perilaku (kebiasaan) merokok, c. Faktor lingkungan (polusi udara) (Zullies Ikawati's ,2010 ) , d.Faktor stress oksidatif , e.Faktor Jenis Kelamin dan f. Indeks Brinkman dan Riwayat Merokok (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia hal 4,2003 ).

a. Faktor pejamu (host)

Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan PPOK.


(39)

Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Penggunaan tembakau di Indonesia diperkirakan menyebabkan 70% kematian karena penyakit paru kronis dan emfisema. Lebih dari setengah juta penduduk Indonesia menderita karena penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau pada tahun 2001.

Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Index Brikmann, yaitu jumlah konsumsi batang rokok perhari dikalikan jumlah hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya kalau seseorang itu merokok sehari sebungkus, dia menderita bronkitis kronis minimal setelah 10 tahun merokok.

Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya kalau sehari mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa terkena kanker paru. Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, dengan 31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi rokok kretek, dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada tahun 2002, jumlah rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai lebih 200 miliar batang.

c. Faktor Lingkungan (Polusi Udara)

Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk bakar, dan lain-lain), polusi di luar ruangan (outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung meletus, dan lain-lain, dan polusi ditempat kerja (bahan kimia, debu/zat iritasi, dan gas beracun). Pajanan yang terus menerus oleh gas dan bahan kimia hasil industri merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Sedangkan polusi dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Riwayat infeksi berat semasa anak–anak berhubungan


(40)

dengan penurunan faal paru dan meningkatkan gangguan pernapasan saat dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hiperesponsif jalan napas dan infeksi virus. Status sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi.

d. Stres Oksidatif.

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru.

e.Jenis Kelamin.

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan pada zaman sekarang ini.

f.Derajat Indeks Brinkman dan Riwayat Merokok

Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkmann (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200 - Sedang : 200-600 - Berat : >600

Riwayat merokok : - Perokok aktif

- Perokok pasif - Bekas perokok


(41)

2.1.4.Etiologi

Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat dan infeksi saluran nafas. Yang karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya, sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit ).

Terdapat hubungan antara infeksi saluran napas terhadap eksaserbasi akut PPOK bahwa dijumpai respon imun spesifik terhadap strain bakteri dan kenyataan bahwa eksaserbasi bakterial berhubungan dengan inflamasi neutrofil, seperti yang tampak pada PPOK umumnya (Reilly, J.J., Jr., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2008).

2.1.5.Klasifikasi PPOK

Tabel 2.2. Klasifikasi Derajat Keparahan PPOK dari Beberapa Panduan

Derajat I 50≤ VEP1 Ringan 70≤ VEP1 Ringan 60≤VEP1<80 Derajat 0 (beresiko) Derajat I (Ringan) 80≥VEP1

Derajat I (Ringan) 80≥VEP1 Derajat II 35≤ VEP1<50 Sedang 50≤ VEP1<70 Sedang 40≤ VEP1<60

Derajat IIa (Sedang) 50≤VEP1<80 Derajat IIb 30≤VEP1<50 Derajat II (Sedang) 50≤VEP1<80 Derajat III (Berat) 30≤VEP1<50


(42)

Derajat III

VEP1 < 35

Berat VEP1<50

Berat VEP1<40

Derajat III (Berat) VEP1 <50 & gagal nagas atau gagal jantung kanan atau VEP1<30

Derajat IV (Sangat berat)

VEP1 <50 & gagal nagas atau gagal jantung kanan atau VEP1<30 ATS 1995 ERS 1995 BTS 1997 GOLD 2001 GOLD 2008

Panduan mengenai derajat/klasifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society (ERS), British Thoracic Society (BTS) dan terakhir adalah Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Keempat panduan tersebut hanya mempunyai perbedaan sedikit, kesemuanya berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai VEP.

2.1.6.Patogenesis PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit inflamasi kronis paru yang memiliki progresifitas yang lambat. Respon terhadap stress oksidatif yang terlibat pada patogenesis PPOK khususnya emfisema yang menyebabkan gagalnya organ untuk memperbaiki DNA yang rusak karena stress oksidatif (non program dari penuaan sel) dan pemendekan telomere sebagai bagian dari pembelahan sel. Pemanjangan dari telomore digunakan sebagai marker dari proses secara biologis. Kerentanan genetik yang berhubungan dengan peningkatan dari pemendekan telomere secara konsisten ditemukan pada penderita PPOK. Pajanan terhadap asap rokok menyebabkan gangguan perbaikan dari jaringan khususnya pada matriks ekstraselular. Pada seorang perokok, disregulasi dari diferensiasi sel epitel pada morfogenesis paru serta disregulasi dari apoptosis clearance sel dengan cara aktivasi oksidan lewat jalur Rho-Rhokinase .

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme yang rutin dibicarakan pada


(43)

bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok (Viegi G,Pistelli F, Maio S, Baldacci S, Carrozzi L,2007 ) .

Sel-sel inflamasi yang terlibat seperti neutrofil, makrofag dan limfosit yang melepaskan mediator inflamasi berinteraksi dengan struktur sel di saluran napas dan parenkim paru. Hipotesis tentang teori kebocoran dari mediator inflamasi ke sirkulasi sistemik menyebabkan manifestasi inflamasi sistemik seperti pengurangan massa otot atau kakeksia.

Inflamasi sistemik juga menyebabkan keparahan penyakit komorbid lainnya seperti penyakit jantung iskemik, payah jantung, osteoporosis, depresi dan diabetes (Fitriani F, Antariksa B, Wiyono WH, Yunus F ,2007)

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas akan menjadi sel skuamous karena mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos (Raherison C, Girodet ,2009 ).

PPOK lanjut dicirikan dengan adanya peningkatan produksi musin. Secara farmakologik, yang menghambat matriks metalloproteinase 14 yaitu suatu proteinase yang diekspresikan yang sangat bermanfaat pada kondisi Acrolein-induced mucin pada perokok. Hipotesis lain berhubungan dengan karakteristik imunitas alami sebagai respon terhadap rokok sehingga menyebabkan kerusakan jaringan melalui Toll Like Reseptor yang dilakukan oleh makrofag, sel epitel dan netrofil. Langkah kedua melibatkan aktivasi dan proliferasi sel T, peningkatan maturasi dari sel dendritik. Langkah ketiga adalah reaksi imun adaptif yang diatur oleh sel Sitotoksik CD8, Th I, sel T dan oligoklonal sel B, yang mengekspresikan kemokin reseptor


(44)

CXCR dan ligannya, sehingga membentuk formasi folikel limfoid (Borja G. Cosio and Alvar Agusti , 2009)

Gambar 2.1. Gambaran Epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat ( ADAM )

Respon Inflamasi Sistemik Dan Lokal

Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK sebagai penyakit multi komponen.

Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen inter - leukin (IL-4) yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.


(45)

Tumor Nekrosis alfa α ( TNF α ) yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial

akan berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1 dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis.

Peningkatan sitokin-sitokin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai pertanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.

Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok (American Thoracic Society , 2011 ) .

Gambar 2.2. : Pajanan rokok terhadap PPOK ( ADAM )

Sel inflamasi pada PPOK

-NEUTROFIL : meningkat dalam sputum perokok, peningkatan neutrofil pada PPOK . Sesuai dengan berat penyakitnya, neutrofil ditemukan sedikit pada jaringan, keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi dan pelepasan protease.

-MAKROFAG : banyak ditemukan di lumen saluran pernapasan, parenkim paru dan cairan bronchoalveolar lavage ( BAL ) yang berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi


(46)

di jaringan paru. Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok dan menunjukkan fagosit yang tidak sempurna.

-LIMFOSIT T & B : sel CD4+ dan CD 8+ meningkat pada dinding saluran napas dan parenkim paru dan meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas ( GOLD 2010 ).


(47)

Gambar 2.4. Efek peradangan sistemik pada PPOK ( buku saku dokter )

2.1.7.Diagnosa

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK .

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK . Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada

inspeksi dapat di temukan sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema

tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit.


(48)

Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan lebih reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat keparahan dari PPOK.

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan penting.

2.1.9.Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum PPOK ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ) Tujuan penatalaksanaan :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru - Meningkatkan kualitas hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : 1. Edukasi

2. Obat - obatan 3. Terapi oksigen 4. Ventilasi mekanik 5. Nutrisi

6 . Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.


(49)

1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma karena PPOK adalah penyakit kronis yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan 2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal 3. Mencapai aktivitas optimal

4.Meningkatkan kualitas hidup kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK . Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah

1. Pengetahuan dasar tentang PPOK

2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya 3. Cara pencegahan perburukan penyakit 4. Menghindari pencetus (berhenti merokok) 5. Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :

1. Berhenti merokok disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan

2. Pengunaan obat - obatan - Macam obat dan jenisnya


(50)

- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )

- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau kalau perlu saja ) - Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya

3. Penggunaan oksigen

- Kapan oksigen harus digunakan - Berapa dosisnya

- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen

4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen 5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :

- Batuk atau sesak bertambah - Sputum bertambah

- Sputum berubah warna

6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi

7 . Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :

Ringan

- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel

- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok Sedang

- Menggunakan obat dengan tepat

- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini - Program latihan fisik dan pernapasan Berat

- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi - Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan


(51)

- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit . Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ) . Macam - macam bronkodilator :

- Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

- Golongan agonis beta – 2 bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2 adalah Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin adalah dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.


(52)

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : - Lini I : amoksisilin yaitu makrolid

- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat yaitu sefalosporin , kuinolon , makrolid , amoksilin dan klavulanat , sefalosporin generasi II & III injeksi , kuinolon per oral , aminoglikose

d. Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N – asetilsistein . Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin .

e. Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f. Antitusif


(53)

3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Manfaat oksigen : Mengurangi sesak , memperbaiki aktiviti , mengurangi hipertensi pulmonal , mengurangi vasokonstriksi , mengurangi hematokrit , memperbaiki fungsi neuropsikiatri , meningkatkan kualitas hidup dan indikasi adalah :

- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain Macam terapi oksigen :

- Pemberian oksigen jangka panjang - Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak - Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat darurat,


(54)

ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT ) - Pemberian oksigen pada waktu aktiviti

- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak

Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen yaitu : nasal kanul , sungkup rebreathing sungkup nonrebreathing . Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.

4. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK , kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan - Kadar albumin darah - Antropometri

- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi) - Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)

Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan


(55)

ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah : Hipofosfatemi , hiperkalemi , hipokalsemi , hipomagnesemi . Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

5. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK . Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telahn mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

- Simptom pernapasan berat

- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat - Kualiti hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan . Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisik yang baik akan menghasilkan :

- Peningkatan VO2 max

- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik - Peningkatan cardiac output dan stroke volume.


(56)

Gambar : 2.5.Alogaritma PPOK ( ADAM ) 2.2 ROKOK

2.2.1 Pengertian Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.

2.2.2 Jenis Rokok

Menurut Sitepoe, M. ( 2007 ) rokok berdasarkan bahan baku atau isi di bagi tiga jenis: 1. Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau

2. Rokok Kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh

3. Rokok Klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan kemenyan

Rokok berdasarkan penggunaan filter dibagi dua jenis :

1. Rokok Filter (RF) : rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

2. Rokok Non Filter (RNF) : rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat gabus

2.2.3 Kandungan Rokok

Pada saat rokok dihisap komposisi rokok yang dipecah menjadi komponen lainnya, misalnya komponen yang cepat menguap akan menjadi asap bersama-sama dengan komponen


(57)

lainnya terkondensasi. Dengan demikian komponen asap rokok yang dihisap oleh perokok terdiri dari bagian gas (85%) dan bagian partikel (15%).

Rokok mengandung kurang lebih 4.000 jenis bahan kimia, dengan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), dan setidaknya 200 diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO).

Selain itu, dalam sebatang rokok juga mengandung bahan-bahan kimia lain yang tak kalah beracunnya (David E, 2008). Zat-zat beracun yang terdapat dalam rokok antara lain adalah sebagai berikut :

1. Nikotin

Komponen ini paling banyak dijumpai di dalam rokok. Nikotin yang terkandung di dalam asap rokok antara 0.5-3 ng, dan semuanya diserap, sehingga di dalam cairan darah atau plasma antara 40-50 ng/ml. Nikotin merupakan alkaloid yang bersifat stimulan dan pada dosis tinggi bersifat racun. Zat ini hanya ada dalam tembakau, sangat aktif dan mempengaruhi otak atau susunan saraf pusat. Nikotin juga memiliki karakteristik efek adiktif dan psikoaktif. Dalam jangka panjang, nikotin akan menekan kemampuan otak untuk mengalami kenikmatan, sehingga perokok akan selalu membutuhkan kadar nikotin yang semakin tinggi untuk mencapai tingkat kepuasan dan ketagihannya. Sifat nikotin yang adiktif ini dibuktikan dengan adanya jurang antara jumlah perokok yang ingin berhenti merokok dan jumlah yang berhasil berhenti.

Nikotin yaitu zat atau bahan senyawa porillidin yang terdapat dalam Nicotoana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya yang sintesisnya bersifat adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan. Nikotin ini dapat meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh perifer dan menyebabkan ketagihan serta ketergantungan pada pemakainya.

2. Karbon Monoksida (CO)

Gas karbon monoksida (CO) adalah sejenis gas yang tidak memiliki bau. Unsur ini dihasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon. Gas karbon monoksida bersifat toksis yang bertentangan dengan oksigen dalam transpor maupun penggunaannya. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok dapat mencapai 3-6%, sedangkan CO yang dihisap oleh perokok paling rendah sejumlah 400 ppm (parts per million) sudah dapat meningkatkan kadar karboksi haemoglobin dalam darah sejumlah 2-16% (Sitepoe, M., 2007) . 3. Tar


(58)

merupakan bagian partikel rokok sesudah kandungan nikotin dan uap air diasingkan. Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatika yang bersifat karsinogenik. Dengan adanya kandungan tar yang beracun ini, sebagian dapat merusak sel paru karena dapat lengket dan menempel pada jalan nafas dan paru-paru sehingga mengakibatkan terjadinya kanker. Pada saat rokok dihisap, tar masuk kedalam rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Setelah dingin akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan gigi, saluran pernafasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Sedangkan bagi rokok yang menggunakan filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. Walaupun rokok diberi filter, efek karsinogenik tetap bisa masuk dalam paru-paru, ketika pada saat merokok hirupannya dalam-dalam, menghisap berkali-kali dan jumlah rokok yang digunakan bertambah banyak (Sitepoe, M., 2007)

4. Timah Hitam (Pb)

Timah Hitam (Pb) yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari (Sitepoe, M., 2007).

5. Amoniak

Amoniak merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah akan mengakibatkan seseorang pingsan atau koma.

6. Hidrogen Sianida (HCN)

Hidrogen sianida merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar dan sangat efisien untuk menghalangi pernapasan dan merusak saluran pernapasan. Sianida adalah salah satu zat yang mengandung racun yang sangat berbahaya. Sedikit saja sianida dimasukkan langsung ke dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian.

7. Nitrous Oxide

Nitrous oxide merupakan sejenis gas yang tidak berwarna , dan bila terhisap dapat menyebabkan hilangnya pertimbangan dan menyebabkan rasa sakit.


(59)

1. Perokok Pasif

Perokok pasif dalah asap rokok yang di hirup oleh seseorang yang tidak merokok (Pasive Smoker). Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok aktif dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin ( Wardoyo , 2009 ).

2. Perokok Aktif

Menurut Bustan ( 2008 ) rokok aktif adalah asap rokok yang berasal dari hisapan perokok atau asap utama pada rokok yang dihisap (mainstream). Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perokok aktif adalah orang yang merokok dan langsung menghisap rokok serta bisa mengakibatkan bahaya bagi kesehatan diri sendiri maupun lingkungan sekitar.

2.2.5 Jumlah Rokok Yang Dihisap

Menurut Bustan ( 2008 ) jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per hari. Jenis rokok dapat dibagi atas 3 kelompok yaitu :

1. Perokok Ringan : Disebut perokok ringan apabila merokok kurang dari 10 batang per hari. 2. Perokok Sedang : Disebut perokok sedang jika menghisap 10-20 batang per hari.

3. Perokok Berat : Disebut perokok berat jika menghisap lebih dari 20 batang. 2.2.6 Pengaruh asap rokok pada paru

Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK. Gangguan respirasi dan penurunan faal paru paling sering terjadi pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus rokok pertahun, dan perokok aktif mempengaruhi angka kematian. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko terjadinya PPOK. Di Indonesia, 70% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisema adalah akibat penggunaan tembakau. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia pada tahun 2001 menderita penyakit saluran pernafasan yang disebabkan oleh penggunaan tembakau ( Supari, 2008).

Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan pernafasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini. Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan keluar paru. Kedua, efek iritasi asap rokok menyebabkan


(60)

peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan sel epitel pernapasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya lebih banyak debris berakumulasi dalam jalan napas dan kesukaran bernapas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernafasan dan kualitas hidup berkurang (Guyton, 2006).


(61)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan suatu gangguan yang kompleks yang reversibel disebabkan oleh berbagai faktor dan ditandai dengan keterbatasan aliran udara didalam saluran nafas bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia , 2011 ).

WHO memprediksi bahwa pada tahun 2020 angka kejadian PPOK akan menempati peringkat 5 sebagai penyakit terbanyak didunia dan saat ini PPOK menempati penyebab kematian terbanyak peringkat 5 di Indonesia ( Prasetyo, 2012). PPOK juga merupakan urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%) diIndonesia, diikuti asma bronkial (33%) , kanker paru (30%) dan penyakit parulainnya (2%) . Dikatakan 80 - 90% kematian pada penderita PPOK berhubungan dengan merokok (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia , 2003) .

Survey pada tahun 2001 di US diperkirakan 12,1 juta dengan pasien menderita PPOK , 9 juta menderita bronkitis kronis dan selebihnya menderita emfisema . The Asia Pasific COPD Roundtable Group memperkirakan jumlah PPOK mulai dari sedang hingga berat di berbagai negara-negara Asia Pasifik mencapai 56,6 juta dengan angka prevalensi 6,3 %. Di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta dengan prevalensi 5,6 % ( Kompas , 2006 ) .


(62)

Merokok merupakan faktor risiko tersering yang menyebabkan penyakit PPOK, walaupun dibeberapa negara, polusi udara, seperti halnya pembakaran hutan dan asap industri lainnya juga teridentifikasi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK .

Faktor ekonomi dan sosial dapat menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas Penyakit Paru Obstruksi Kronis semakin meningkat. Tingkat prevalensi, morbiditas, dan mortalitas Penyakit Paru Obstruksi Kronis sangat bervariasi di berbagai Negara. Dalam beberapa dekade ke depan diprediksikan tingkat prevalensi PPOK akan meningkat dengan bertambahnya populasi, penyakit degeneratif, kebiasaan merokok serta polusi udara ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).

Penyakit Paru Obstruksi Kronis juga berkaitan dengan banyak jumlah rokok yang dihisap setiap hari dan kebiasaan merokok yang lama bisa risiko menderita PPOK yang ditimbulkan akan lebih besar (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011). Di Negara-negara maju tercatat bahwa 80-90% penderita PPOK adalah perokok. Namun hanya 10% perokok yang menderita PPOK dengan gejala klinis yang tidak nyata.

Menurut penelitian Ika Nugraha dkk pada tahun 2010, riwayat kebiasaan merokok berkaitan erat dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis , perokok menanggung risiko yang besar terhadap penurunan faal parunya . Hasil yang diperoleh 40 pasien semua berjenis kelamin laki – laki dengan usia rata – rata 50 – 59 tahun sebanyak 13 orang ( 32,5% ) . Persentase pasien PPOK menunjukan 16 orang ( 40% ) dan 12 orang ( 30% ) . Risiko untuk menderita PPOK bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok. Hasil penelitian mendukung penelitian Latin American Project for Investigation of Obstructive Lung Disease (PLATINO) yang menyebutkan bahwa PPOK lebih tinggi pada perokok dan bekas perokok dibanding bukan perokok usia lebih dari 40 tahun dibanding pada usia di bawah 40 tahun dan prevalensi laki–laki lebih tinggi dibanding perempuan .

Berdasarkan penelitian Widodo SY pada tahun 2009 di Rumah Sakit Paru Batu sejumlah 77,8% pasien PPOK mempunyai kebiasaan merokok, bahkan 9,3% mempunyai kebiasaan merokok lebih dari 20 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian PPOK. Orang dengan derajat merokok berat memiliki kecenderungan terkena PPOK 3 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok ringan dan sedang.


(63)

Penelitian yang dilakukan Mulyadi pada tahun 2010 menunjukan hasil adanya hubungan antara kebiasaan merokok dengan penurunan fungsi paru VEP1/KVP dan FEF 25 – 75 % dibandingkan orang yang tidak merokok . Hasil penelitian uji statistik analisa bivariat ( x2 =

37,974 ) bahwa ada hubungan antara merokok dengan hasil pemeriksaan PEFR .

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat apakah ada korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita PPOK stabil di RSUP HAM Medan .

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperlukan suatu penelitian untuk menentukan apakah ada korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada PPOK stabil di RSUP HAM dan masalahnya :

a.Seberapa besar tingkat korelasi derajat obstruksi pada pasien PPOK stabil dengan riwayat merokok?

b.Seberapa besar tingkat derajat korelasi pada pasien PPOK stabil pada rokok jenis kretek ? c.Seberapa besar tingkat derajat korelasi pada pasien PPOK stabil pada rokok jenis filter ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui seberapa besar korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok pada penderita Penyakit Paru obstruksi Kronis stabil di RSUP HAM

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk melihat distribusi dan rerata derajat obstruksi dengan jenis rokok kretek pada penderita PPOK di RSUP HAM .

b. Untuk melihat distribusi dan rerata derajat obstruksi dengan jenis rokok filter pada penderita PPOK di RSUP HAM.

c. Mengetahui proporsi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang merokok berdasarkan jenis perokok dan derajat berat merokok .

d. Mengetahui proporsi penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) stabil yang merokok berdasarkan peringkat umur dan jenis kelamin .


(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Bagi Subjek Penelitian ... 4

1.4.2. Bagi RSUP Haji Adam Malik Medan ... 4

1.4.3. Bagi Peneliti ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi Kronis ) ... 5


(2)

2.1.2. Epidemiologi ... 6

2.1.3. Faktor Risiko ... 7

2.1.4. Etiologi ... 9

2.1.5. Klasifikasi ... 10

2.1.6. Patogenesis ... 11

2.1.7. Diagnosis ... 16

2.1.8. Penatalaksanaan ... 17

2.2. Rokok ... 24

2.2.1. Definisi ... 24

2.2.2. Jenis rokok ... 24

2.2.3. Kandungan rokok ... 25

2.2.4. Kategori perokok ... 27

2.2.5. Jumlah rokok yang dihisap ... 27

2.2.6. Pengaruh asap rokok ... 27

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 29

3.1. Kerangka Konsep ... 29

3.2. Definisi Operasional ... 30

3.3. Hipotesis ... 32

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 33

4.1. Jenis Penelitian ... 33

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

4.3. Populasi dan Sampel ... 33

4.3.1. Populasi ... 33


(3)

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 35

4.5. Metode Analisis Data ... 35

4.5.1. Cara analisa data ... 36

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1. Hasil Penelitian ... 38

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 38

5.1.2. Karakteristik Responden ... 38

5.1.3. Hasil Analisa Data ... 41

5.2. Pembahasan... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1. Kesimpulan ... 46

6.2. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(4)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Prevalensi PPOK 6

2.2. Klasifikasi PPOK 10

2.3. Terapi PPOK 21

3.2. Definisi Operasional Penelitian 30 4.1. Penyajian Hasil Pengumpulan Data 36 5.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden 38 5.2. Distribusi Frekuensi Umur Responden 39 5.3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden 39 5.4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir

Responden

39

5.5. Distribusi Frekuensi PPOK berdasarkan lama merokok

40

5.6. Nilai spirometri berdasarkan lama merokok dengan berapa banyak dalam sehari merokok (indeks brinkmann)

40

5.7. 5.8.

Derajat keparahan berdasarkan nilai spirometri Jenis rokok

41 41


(5)

5.9. 5.10.

Korelasi derajat obstruksi dengan jenis rokok Hasil penyajian data

42 43

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Epitel saluran nafas dengan PPOK orang sehat 12 2.2.

2.3. 2.4. 2.5.

Pajanan rokok terhadap PPOK Mekanisme inflamasi sistemik Efek peradanagan sistemik PPOK Alogaritma PPOK

14 15 15 24


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Peneliti

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian (Panduan Wawancara)

Lampiran 3 Lembar Penjelasan (Informed Consent)

Lampiran 4 Lembar Persetujuan

Lampiran 5 Ethical Clearance

Lampiran 6 Surat Izin Penelitian

Lampiran 7 Data Induk


Dokumen yang terkait

Prevalensi Karsinoma Hepatoseluler di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada tahun 2009-2012

1 66 71

Prevalensi Penyakit Invaginasi pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan Rumah Sakit Umum Dokter Pirngadi Medan Periode 2006 – 2009

1 53 39

Karakteristik Umum Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009

1 34 78

Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan

9 44 76

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 14

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 2

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 4

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 25

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 2

Korelasi Derajat Obstruksi Saluran Napas Dengan Jenis Rokok Pada Penderita Ppok Stabil Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 15