53
B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-an
Kegiatan membatik mengalami perkembangan yang sangat pesat pada awal abad ke-20. Teknik baru pada proses pembuatan batik yang mulai dikenal
pada kisaran tahun 1910 menjadi salah satu pemicu perkembangan ini. Tidak lama setelah munculnya teknik cap ini, kain mori batik yang hasil produksi dari Inggris
dan Belanda, serta zat-zat pewarna kimia yang diimpor dari Inggris dan Jerman mulai banyak beredar.
10
Kemajuan ini menjadi memberikan dampak yang besar bagi pengusaha batik. Batik tulis yang dalam pembuatannya memakan waktu
yang lama, dapat dipersingkat dengan teknik cap ini, selain itu produksinya juga dapat ditingkatkan secara massal. Produksi massal ini juga berakibat pada
penurunan biaya produksi yang artinya harga pasaran batik juga ikut turun, sehingga permintaan batik di pasaran menjadi semakin meningkat.
Itu berarti bahwa batik yang mulai dikenal luas oleh masyarakat kemudian menjadi semacam komoditi massal. Tingginya permintaan pasar memunculkan
kelompok masyarakat baru yang disebut sebagai pengusaha atau juragan-juragan batik. Di samping itu, kebutuhan tenaga kerja yang semakin banyak, berdampak
pada perluasan lapangan pekerjaan. Selain mempekerjakan perajin atau buruh
10
Siska Narulita. op. cit, hal. 21-22. Pada awalnya pengusaha batik di Yogyakarta menggunakan zat pewarna lokal yang berasal dari nila, tinggi dan
soga. Kain putihnya juga merupakan hasil tenunan sendiri. Obat pewarna yang dikenalkan dari luar negeri adalah indigo dan ergansoga. Obat-obat kimiawi dari
luar negeri tersebut lebih mudah dan cepat meresap ke dalam kain sehingga lebih banyak dipilih dan dipergunakan oleh kalangan pengusaha batik di Yogyakarta.
Akibatnya, obat dan zat pewarna lokal sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.
54
batik, para juragan tersebut juga memborongkan sebagian dari proses pembuatan batiknya kepada penduduk sekitar, bahkan sampai ke pelosok desa. Para juragan
tersebut yang bertanggung jawab dalam mengatur pembagian kerja, menetapkan upah serta mengatur penjualan hasil penduduk desa yang mengerjakan batik.
11
Lambat laun industri rumah tangga ini menjadi semakin besar. Sehingga terdapat banyak daerah di kota Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi
sentra industri batik. Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa-masa gemilang bagi industri batik di Yogyakarta.
Adapun gambaran tentang jumlah perusahaan dan pekerja batik pada tahun 1920- an tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Perusahaan Dan Pekerja Batik Di Wilayah Yogyakarta Pada Tahun 1920 - 1924
Tahun Jumlah Perusahaan
Jumlah Pekerja 1920
212 3.428
1921 207
2.289 1922
166 1.539
1923 129
979 1924
147 1.634
Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun pertama ke tahun-tahun berikutnya, terjadi penurunan jumlah perusahaan yang tentu saja juga
berdampak pada turunnya jumlah perekrutan tenaga kerja. Namun pada tahun 1924 jumlah perusahaan dan tenaga kerjanya kembali mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Keadaan itu juga dipengaruhi
11
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial,
Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 38.
55
berbagai faktor, seperti kondisi fluktuatif harga dan situasi pasar perdagangan bahan baku saat itu. Kemunduran batik tulis tradisional, dan berkembang pesatnya
teknik batik cap, secara tidak langsung memberi pengaruh pada ketergantungan para pengusaha batik pada bahan baku impor.
Di samping itu juga karena kebijakan dan anjuran Pemerintah Kolonial Belanda untuk menggunakan kain mori sebagai upaya meningkatkan kualitas
batik. Kebijakan itu diwujudkan dengan mendirikan Cambric and Grey Covenants
, yaitu semacam sistem impor oligopoli untuk kain mori dan obat pewarna batik, dengan sistem penyalurannya mempergunakan para pedagang Cina
dan Arab.
12
Dengan kata lain, pengusaha batik harus membeli segala kebutuhannya dari para pengecer Cina setempat yang merupakan distributor
tunggal perusahaan-perusahan Belanda. Sistem pengaturan ini membuat
pengusaha batik menjadi sangat tergantung pada pedagang Cina dan Arab yang telah ditunjuk sebagai perantara. Hal ini sangat merugikan pengusaha batik karena
pedagang perantara tersebut banyak melakukan permainan harga. Monopoli dan permainan harga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan
Arab atas bahan baku pembuatan batik, lemahnya permodalan, serta pengetahuan akan perdagangan dari para pengusaha batik yang bisa dibilang masih tertinggal
dibandingkan dengan pedagang Cina ataupun Arab, membuat para pengusaha batik itu terlilit hutang. Kemudian karena hutang yang semakin menumpuk,
pengusaha batik yang pada awalnya merupakan produsen, jatuh dan menjadi
12
Siska Narulita, op. cit, hal. 26
56
buruh batik atau pengorganisir tenaga buruh batik, bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadi bangkrut dan menghentikan kegiatan usahanya.
Pada tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Pusat Penelitian Batik di Yogyakarta. Badan ini melakukan penelitian mengenai proses
produksi batik dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan kualitas batik, sehingga kemudian mampu bersaing dan memperluas pasaran batik baik di dalam
ataupun di luar negeri. Selain itu, fasilitas kredit juga diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada para pengusaha batik.
13
Pada tahun yang sama, 1927, P. de Kat Angelino melakukan penelitian dengan menghitung kembali jumlah perusahaan batik di kota Yogyakarta dan
desa-desa terdekat dan di Kota Gede. Berdasarkan penelitian tersebut, tercatat ada 169 perusahaan, yang 20 diantaranya merupakan tempat kerja milik orang Cina.
14
Rincian dari pencatatan tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah Perusahaan Batik Di Yogyakarta dan Sekitarnya Tahun 1927
Nama Kampung Jumlah Perusahaan
Kauman 26
Prawirataman 10
Karangkajen 14
Brantakusuman 5
Mantrijeron 11
Tugu 32
Tempat lain di kota 57
Kota Gede Yogyakarta 11
Kota Gede Sala 3
Jumlah 169
Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.
13
Ibid .
14
Abdurrachman Surjomihardjo, loc. cit, hal. 39