Prawirataman Sebagai Kampung Pemukiman Prajurit Kasultanan Yogyakarta

44 pemukiman anggota prajurit Kraton Yogyakarta yang bernama Prawiratama. Pada awalnya Sri Sultan memang menghendaki agar para prajurit dapat bertempat tinggal di dalam benteng istana, namun karena wilayah serta situasi pada saat itu dipandang kurang memadai, maka hanya mereka yang dianggap sangat penting saja yang tinggal di dalam benteng. 27 Penempatan pemukiman prajurit di luar benteng istana itu terjadi bukan tanpa sebab dan latar belakang. Setelah serbuan besar-besaran yang dilakukan oleh Inggris pada tahun 1812, tata ruang Kraton juga mengalami perombakan. Penataan pemukiman di dalam benteng pertahanan dibenahi. Kedudukan strategis Kesatuan Prajurit di dalam benteng mulai dipindah. Hal ini dilakukan untuk melindungi intervensi dan kepentingan pihak Inggris dan menghindarkannya dari kemungkinan pemberontakan. Selanjutnya, pemukiman kesatuan prajurit dipindah keluar benteng atau berada di sekeliling benteng. Sebagaimana terpapar dalam Serat Rerenggan, Sinom, Pupuh XXIV disebutkan sebagai berikut: Ya ta ingkang winurcita, karsa dalem Sri Bupati, kang jumeneng ping sekawan, byantu lan pamrentah nagri, ing mangke ngewahi, pemahan jron beteng agung, prajurit wismanira, gelondhong dadya satunggil, mantrijero, ketanggung, nyutra disuda. Pra prajurit wismanira, tancep lama kanan kering, sakilen sawetan pura, samangke dadya sawiji, reh niyaka jro jawi, byantu ngusung griyanipun, weneh ngulon mangetan, ler ngidul pundi den broki, pan gumerah swaranya wong ngusung griya. para jaksa, Kampung Dagen adalah tempat kediaman petugas tukang kayu, Kampung Wirabrajan, Patangpuluhan, Daengan, Jogokaryan, Ketanggungan, Bugisan, Nyutran, Mantrijeron, Surakarsan serta Prawirataman merupakan tempat tinggal para anggota prajurit kraton. 27 Aditya Kusumawan, op. cit., hal 20. 45 Sebagaimana dikisahkan, atas kehendak Sri Bupati yang keempat Sultan Hamengku Buwono IV, dibantu penguasa negeri, terjadi perubahan penting menyangkut prajurit yang bermukim di dalam benteng rumahnya dipindah jadi satu di luar benteng, jumlah Prajurit Mantrijero, Ketanggung, Nyutra dikurangi. Terjadi gerakan pemindahan rumah para prajurit dari dalam benteng menuju ke segala arah di luar benteng. Ramai sekali suara orang memindahkan rumah-rumah prajurit ini. Beberapa kesatuan prajurit bersama perumahan mereka dipindahkan ke bagian sisi sebelah barat, selatan, dan timur benteng Kraton. Kesatuan prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah barat benteng Kraton dari arah paling utara ke selatan adalah Prajurit Wirabraja, Ketanggung, Patang Puluh, Bugis, dan Suranggama. Kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah selatan benteng Kraton dari arah barat ke timur adalah Prajurit Dhaeng, Jagakarya, Mantrijero, Prawiratama, dan kesatuan Prajurit yang ditempatkan di sisi sebelah timur benteng dari arah utara ke selatan adalah Prajurit Surakarsa dan Nyutra.” 28 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa alasan pemberian tanah lungguh atau apanage bagi para prajurit Kraton yang juga merupakan abdi dalem tersebut, bukan hanya sebagai upah atau gaji semata. Pemindahan kampung prajurit di luar istana dengan penempatan di berbagai arah yang berbeda, dapat dilihat sebagai suatu bentuk pertahanan kerajaan dari serangan musuh. Namun demikian, pemindahan tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan unsur-unsur politis. Dalam artian bahwa di dalam konsep dan struktur kebudayaan Jawa yang menempatkan Kota Istana Kerajaan sebagai pusat politik pemerintahan dengan raja sebagai penguasa tertinggi, ternyata juga mengalami berbagai bentuk intervensi, pengaruh, tekanan dan campur tangan kekuatan asing, baik dari Inggris, Pemerintah Kolonial Belanda ataupun Jepang sekalipun, dan pengaruh tersebut memberikan dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan kota istana tersebut. 28 Tim Penulis, op.cit. hal. 10-11 46 Di samping itu, asal usul munculnya Kampung Prawirataman juga ikut terkuak. Berdasarkan keputusan dan perintah raja, Kesatuan Prajurit Prawiratama ditempatkan di selatan benteng Kraton. Sebagaimana tetap diakui oleh masyarakat di daerah tersebut bahwa asal muasal tanah yang mereka tinggali merupakan pemberian raja kepada nenek moyang mereka yang bekerja sebagai prajurit Kraton . Kemudian daerah yang ditinggali oleh Kesatuan Prajurit Prawiratama tersebut kemudian diberi nama berdasarkan nama kesatuan mereka. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Prajurit Prawiratama menempati suatu kampung yang bernama Prawirataman. 29 Hal dan ketentuan yang sama juga berlaku untuk Kesatuan-kesatuan prajurit Kraton yang lainnya seperti misalnya, Kesatuan Prajurit Wirabraja kemudian menempati kampung yang disebut sebagai Wirabrajan, Kesatuan Prajurit Ketanggung bertempat di kampung yang disebut Ketanggungan, kemudian Kesatuan Prajurit Bugis tinggal di Kampung Bugisan, dan seterusnya. 29 Chiyo Inui Kawamura, Peralihan Usaha dan Perubahan Sosial di Prawirotaman, Yogyakarta 1950 - 1900-an, Tesis: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2004. Hal: 34. Disebutkan bahwa terdapat dua pembahasan yang berbeda mengenai nama daerah Prawirataman ini. Pembahasan pertama menyebutkan bahwa nama Prawirataman terdiri dari dua unsur kata, yaitu Prawira dan Utama yang merupakan nama bregada prajurit Kraton Yogyakarta, dan ditambahkan akhiran “-an” yang dalam bahasa Jawa bermakna daerah. Pembahasan kedua mengungkapkan bahwa nama Prawirataman berasal dari kata Prawira dan Taman. Prawira berarti prajurit Kraton, sedangkan kata Taman berarti tempat.

BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG

MENEKUNI DUNIA BATIK Batik merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang adiluhung atau bernilai tinggi. 1 Terdapat banyak perdebatan di kalangan para ilmuwan mengenai asal usul batik ini. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa seni batik berasal dari India atau Srilanka, namun demikian seorang arkeolog Belanda, J.L.A Brandes membantah pendapat tersebut. Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, dan bahkan menjadi salah satu kemampuan asli Indonesia sebelum masuknya budaya asing. 2 Sejarah batik di Yogyakarta sendiri sudah dikenal sejak kerajaan Mataram, dan desa Plered merupakan daerah pembatikan pertama. 3 Saat itu, kegiatan dan ketrampilan membatik terbatas dalam lingkungan keluarga Kraton yang 1 Ila Keller, Batik: The Art and Craft Japan: Charles E. Tuttle Company Co., Inc. 1966. Hal.14. Kata Batik berasal dari kata ambatik, yang artinya kain dari bintik atau titik-titik kecil. Kata tik-nya sendiri menyerupai kata tritik atau taritik dalam bahasa Jawa. 2 Hafda Zuraida, “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935 – 1942”, Skripsi : Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta. 2010. Hal. 1. 3 Siska Narulita, “Sejarah Koperasi Batik PPBI Yogyakarta 1950 – 1980”, Skripsi: Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 2004. 48 dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Kegiatan membatik ini juga banyak dilakukan oleh putri-putri Kraton sebagai kegiatan yang membutuhkan konsentrasi, kesabaran dan pembersihan pikiran melalui doa-doa. Putri Kraton tersebut melakukan pekerjaan membatik dengan cara menutup permukaan kain dengan lilin, sedang proses pewarnaan dan finishing dilakukan oleh abdi dalem. 4 Keterampilan membatik tersebut, lambat laun meluas ke kerabat istana yang lain. Pengetahuan dan ketrampilan abdi dalem istana juga tidak lagi hanya sebatas pada proses pewarnaan semata. Istri para abdi dalem yang tinggal di sekitar kerajaan, tentara kerajaan, juga mulai mengenal ketrampilan membatik. Kemudian saat keluarga kerajaan sedang menghadiri upacara-upacara resmi kerajaan, kain batik sering kali dipergunakan. Rakyat yang berkesempatan 4 Chusnul Hayati, Gender dan Perubahan Ekonomi: Peranan Perempuan Dalam Industri Batik di Yogyakarta 1900-1965, Pdf file: http:www.geocities.wskonferensinasionalsejarahchusnul_hayati.htm. Diakases pada 10 Oktober 2011. Menurut sejarahnya, batik merupakan barang seni yang memiliki nilai-nilai kultural yang unik. Di Jawa ada beberapa motif batik yang berhubungan dengan pemakai dan pengaruh lingkngan sosial budaya yaitu Batik Kraton, batik Sudagaran, Batik Petani, Batik Belanda, dan Batik Cina. Batik Kraton berasal dari kerajaan-kerajaan di Jawa yang berakar dari Kerajaan Mataram dan telah berkembang sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma pada awal abad ke-17. Batik Kraton secara eksklusif digunakan untuk keluarga kerajaan dan berkembang di Kesunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegara, Pura Pakulaman, Kraton Cirebon, dan Kraton Sumenep. Di tiap kerajaaan tersebut masing-masing batik mempunyai ciri khas tersendiri. Batik sudagaran adalah batik untuk kaum pedagang yang mendapat pengaruh dari cita rasa masyarakat pedagang. Sementara itu batik pertani merupakan hasil adaptasi dari desain tradisional yang dipadu dengan lingkungan desa. Batik Belanda baik pola maupun warna mendapat pengaruh kuat dari bangsa Belanda dengan ciri khas buket, sedang batik Cina merupakan refleksi dari pengaruh budaya Cina. Batik kemudian berkembang secara luas dan digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. 49 mengunjungi upacara dan perayaan-perayaan tersebut mulai tertarik, dan kegiatan ini mulai dikenal luas oleh kalangan di luar istana. 5 Batik yang awalnya dikerjakan dan dikenakan keluarga Kraton dan bangsawan kemudian berkembang menjadi industri rumah tangga yang banyak dikelola baik oleh kerabat kerajaan ataupun abdi dalem. Namun demikian industri kerajinan rumah tangga itu tidak serta merta berjalan dengan lancar dan mulus. Situasi politik dan perekonomian yang terjadi pada saat itu memiliki andil besar dalam perjalanan perkembangan batik ini. Terlebih lagi saat kekuatan asing mulai menunjukkan campur tangan serta monopoli mereka di dalam kerajaan. Kekangan dan belenggu penjajahan yang berdampak buruk bagi kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat juga dirasakan oleh para pejabat dan abdi dalem Kraton . Sumber penghasilan yang lain harus diciptakan agar dapat mencukupi ekonomi keluarga. Dari situlah kemudian para istri abdi dalem semakin giat menekuni ketrampilan membatik dan membatu mencukupi kebutuhan keluarga. Lambat laun kegiatan membatik tersebut menjadi semakin berkembang dan perkampungan di Kota Yogyakarta yang mengembangkan usaha batik, seperti Prawirataman, Karangkajen, Kotagede, Kauman, dan lain sebagainya berubah menjadi sentra industri batik. Bahkan kemudian daerah-daerah pedesaan seperti di Bantul dan Kulon Progo juga mulai menekuni ketrampilan membatik sebagai 5 Siska Narulita, op. cit. hal. 3. Pada abad ke-18 persebaran batik ini meluas sampai ke daerah-daerah yang lain, sebagai akibat dari pernikahan ataupun peperangan antar kerajaan serta serangan Belanda yang mengharuskan keluarga- keluarga raja mengungsi dan menetap di daerah baru, seperti Banyumas, Pekalongan, Tulungagung, dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, daerah-daerah tersebut kemudian juga menjadi sentra-sentra industri batik. 50 sumber penghasilan tambahan. Di samping itu, kain batik yang dihasilkan bukan hanya untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan Kraton semata, tetapi menjadi komoditi dagang yang pasarannya meluas ke berbagai daerah. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan batik sebagai komoditi dagang di wilayah Yogyakarta, dimulai dari kampung- kampung para abdi dalem Kraton atau orang-orang yang pekerjaannya berhubungan erat dengan Kasultanan Yogyakarta. Pembuatan batik tersebut pada awalnya dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan, di samping pekerjaan utama mereka sebagai abdi dalem Kraton. Lambat laun pekerjaan sambilan tersebut merambat menjadi sumber penghasilan utama sehingga banyak pengusaha batik yang bermunculan.

A. Daerah Prawirataman dan Perkenalan dengan Dunia Batik

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa kegiatan membatik pada awalnya dikerjakan terbatas pada lingkungan istana, kemudian usaha batik tersebut menyebar ke luar istana dengan dipelopori oleh orang-orang yang pekerjaannya masih berhubungan dengan Kraton. Demikian halnya dengan daerah Prawirataman, perkenalan dengan dunia batik di kampung Prawirataman juga terkait erat dengan usaha-usaha istri abdi dalem prajurit Kraton yang tinggal dan menempati kawasan tersebut. 6 6 Wawancara dengan Ibu Sri Fitriyati, 52 tahun, tanggal 11 Maret 2013. Di Prawirataman.