Sebagai wujud dari tindakan Nyai Ahmad Dahlan tersebut berdirilah suatu organisasi yang disebut Aisyiyah dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai tokoh
pelopor utamannya dan beranggotakan kaum muda maupun ibu-ibu lainnya yang berpartisipasi membangun dan mengembangkan organisasi tersebut hingga pada
akhirnya dapat berkembang dengan baik.
B. Lahirnya Organisasi Aisyiyah
1. Latar belakang lahirnya organisasi Aisyiyah
Aisyiyah, didirikan pada tanggal 27 Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tanggal 22 April 1917 Masehi di Yogyakarta.
44
Organisasi wanita Aisyiyah ini semula merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Kaum wanita di
daerah Kauman, Yogyakarta telah aktif dalam organisasi yang bernama Sopo Tresno yang bergerak dalam bidang sosial. Walaupun tanpa anggaran atau
peraturan lain, organisasi ini telah menyelenggarakan kegiatan untuk mengasuh anak yatim. Atas nasihat Haji Muchtar, seorang anggota penting Muhammadiyah,
organisasi sosial ini diubah namanya menjadi Aisyiyah yang memiliki peraturan- peraturan dan pengurus tetap. Kepemimpinan Aisyiyah diserahkan ke tangan Nyai
Ahmad Dahlan.
45
Nama Aisyiyah diusulkan oleh K.H. Fachruddin, yang merupakan tokoh Muhammadiya kakak dari Siti Bariyah yang justru sangat aktif berpolitik pada
waktu itu. Namun sebelum akhirnya disepakati nama Aisyiyah mula-mula nama
44
Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indoneia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 21
45
J. B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 188-189
yang diajukan adalah Fatimah namun ditolak. Pemberian nama Aisyiyah dipilih bukan hanya karena A‟isyah adalah istri Nabi, tetapi juga untuk menunjukkan
cita-cita Muhammadiyah tentang perempuan. Sebagai wanita, istri Nabi, dan penutur hadis-
hadis Nabi, A‟isyah juga bekerja, diantaranya menenun bulu-bulu domba, untuk men
dukung ekonomi rumah tangga Nabi. Kiranya pengikut A‟isyah adalah orang-orang Aisyiyah.
46
Setelah nama Aisyiyah disetujui maka, pada tanggal 22 April 1917 atau 27 Rajab 1335 Hidjriyah organisasi Aisyiyah diresmikan. Upacara peresmian itu
waktunya bertepat an dengan Isro Mi‟raj Nabi Muhammad SAW yang diadakan
oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar. Bahkan karena acaranya terlalu padat hingga pukul tiga dini hari baru selesai. Dalam
upcara peresmian itu pengurus Aisyiyah berpakaian seragam yang terbuat dari bahan sutera. Pakaian seperti itu menunjukkan kemewahan hidup waktu itu. Hal
tersebut tidak mengherankan karena orang-orang tua mereka pengusaha- pengusaha batik yang berhasil dan kaya raya. Adapun yang bertindak sebagai
pembuka kelambu pada upacara itu ialah K.H Mokhtar. Itulah suasana peresmian terbentukna Aisyiyah di muka umum pada tahun 1917.
47
Aisyiyah merupakan pionir organisasi wanita Islam yang lahir ditengah- tengah komunitas kampung Kauman yang tengah dilanda semangat reformisme
Islam. Aisyiyah muncul setelah para wanita berpendidikan Barat, mendirikan
46
Lies M. Marcoes-Natsi dan Johan Hendrik Meuleman, “Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian
Tekstual dan Kontekstual ”, Kumpulan Makalah Seminar, Seri INIS XVIII, Jakarta, INIS, 1993,
hlm. 103
47
Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat „Aisyiyah, 1990, hlm. 70
organisasi mereka di kota-kota besar. Dan wanita terpelajar Barat ini memang umumnya adalah dari kalangan “wanita ningrat” alias kelas atas masyarakat
feodal yang kolonial. Aisyiyah bukan kelahiran kota besar, dengan masyarakat yang relatife utuh dan homogen, melainkan Aisyiyah lahir disaat perubahan
struktural telah pula mengancam keutuhan komunitas yang relatife homogen itu. Maka, memang tak sukar untuk dipahami jika karakter Aisyiyah sejak awal
menampilkan dirinya sebagai “keluarga pengganti”, yaitu pelindung masyarakat ketika suasana keakraban lama mulai terancam.
Kelahiran Aisyiyah tidaklah dimulai dengan gagasan besar, tetapi bertolak dari kesadaran akan keperluan sosial yang riil. Memang keperluan sosial bukanlah
sebuah konsep yang objektif, tetapi hasil intrepretasi yang normatif. Sebagaimana layaknya organisasi reformis Islam, sejak semula Aisyiyah telah melibatkan diri
dalam usaha pemberantasan segala hal yang dianggap perbuatan khurafat dan bidah syariah dan berusaha pula meluaskan pengetahuan dan memperdalam
kesadaran keislaman.
48
Maka dari itu maksud dan tujuan Aisyiyah didirikan adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Kemudian
menjalankan ajaran agama Islam yang murni yang dapat membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat dan membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama
dan berorganisasi serta bermasyarakat, karena kesadaran beragama menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap Allah dan masyarakat. Aisyiyah berkeyakinan
bahwa dengan berorganisasi, bermacam-macam usaha sosial dapat dilaksanakan.
49
48
Ibid, hlm. 78
49
Kowani, op.cit, hlm. 21
2. Profil Organisasi Aisyiyah
Aisyiyah sebagai
salah satu
organisasi otonom
bagi wanita
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada 27 Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tangal 22 April 1917 Masehi yang dipelopori oleh
Nyai Ahmad Dahlan. Setelah sah diresmikan pada tanggal 22 April 1917, susunan pengurus Aisyiyah dari hasil kesepakatan dalam pembentukannya telah ditetapkan
sebagai berikut: a.
Siti Bariah, sebagai ketua b.
Siti Badilah, penulis c.
Siti Aminah Harawi, bendahara d.
Ny. H. Abdullah, pembantu e.
Ny. Fatimah Wasaal, pembantu f.
Siti Dalalah, pembantu g.
Siti Wadingah, pembantu h.
Siti Dawimah, pembantu i.
Siti Busyro, pembantu Setelah pengurus Aisyiyah secara resmi terbentuk, maka agar dalam upaya
mencapai cita-citanya Kyai Haji Ahmad Dahlan memberikan bekal-bekal perjuangannya sebagai berikut:
a. Perjuangan hendaklah disertai dengan keikhlasan hati menunaikan
tugasnya sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan kecakapannya, tidak menghendaki sanjung puji dan tidak mundur
selangkah karena dicela.
b. Penuh keinsafan bahwa beramal itu harus berilmu.
c. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan
hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan kepadanya. d.
Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam. e.
Menjaga persaudaraan dan kesatuankawan sekerja dan perjuangan. Dari pimpinan beliau itulah wanita-wanita Islam merasa terangkat
derajadnya, dikembalikan kepada kedudukannya sebagai yang dikehendaki Tuhan. Sebagai isteri mereka mengerti hak dan kewajibannya terhadap suaminya.