Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
menyadari bahwa hanya dengan jalan pendidikanlah, maka kedudukan dan peranan wanita dapat ditingkatkan dalam keluarga dan masyarakat. Seperti halnya
Kartini menganjurkan emansipasi wanita melalui pendidikan, agar wanita lebih cakap melaksanakan peranannya sebagai ibu dan pendidik pertama dari
manusia.
11
Pada waktu itu kehidupan wanita masih sangat terikat dan dibatasi oleh adat. Kartini menghendaki persamaan hak bagi wanita dan untuk itu ia
mendambakan pengajaran bagi anak-anak gadis. Dengan diberi pendidikan, wanita akan lebih cakap menunaikan tugas utamanya yaitu sebagai pendidik
pertama dari manusia. Usaha yang pertama adalah mendirikan sebuah kelas kecil untuk anak-anak gadis di mana mereka diberi pelajaran membaca, menulis,
memasak, menjahit, dan keterampilan lainnya. Dengan menghayati isi buku-buku yang dibacanya, Kartini berkesimpulan bahwa, Tuhan menjadikan laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk yang sama, jiwanya sama, hanya bentuknya yang berlainan. Karena itu kedudukannya juga tidak boleh dibeda-bedakan. Itulah dasar
cita-cita dan perjuangan Kartini.
12
Kemudian muncul generasi-generasi berikutnya, yakni ada Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Nyai Dahlan, dan
Rahmah El Yunusiyyah adalah pelopor pendidikan wanita. Semua wanita perintis tersebut telah mendapat penghargaan dan diangkat sebagai pahlawan nasional,
kecuali Rahma El Yunusiyyah yang pengusulannya sebagai pahlawan Nasional yang belum dikabulkan.
13
11
Ibid, hlm. 2-3
12
Ibid, hlm. 8
13
Ibid, hlm. 3
Memasuki awal abad ke-20 muncul organisasi-organisasi perempuan modern. Organisasi formal perempuan pertama, Puteri Mardika pada tahun 1912
di Jakarta, memperjuangkan pendidikan kaum perempuan, mendorong kaum perempuan agar tampil di depan umum. Dengan berkembangnya kesadaran dan
keinginan kaum perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan mempertinggi derajat dalam kehidupan di masyarakat, pada tahun-tahun
berikutnya berdiri organisasi-organisasi perempuan yang ada di daerah-daerah di tingkat lokal. Sesudah tahun 1920 muncul organisasi-organisasi perempuan di
bawah garis agama. Di Yogyakarta berdiri organisasi Wanudjio Utomo pada tahun 1920, sementara pada tahun 1925 berdiri serikat Putri Islam. Selain
organisasi perempuan Islam, juga berdiri organisasi perempuan Katolik dan Prostetan. Wanita Katolik di Yogyakarta pada tahun 1924 telah bergerak dalam
pekerjaan sosial. Pergerakan perempuan mengalami transformasi dan memiliki kemauan yakni mulai muncul kesadaran berpolitik. Dengan mengadakan beberapa
konggres yang menghasilkan cara-cara kaum perempuan dalam merumuskan gender.
14
Sebelumnya juga berdiri Aisyiyah yang didirikan pada tanggal 27 Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tanggal 22 April 1917 Masehi di
Yogyakarta.
15
Peranan wanita Indonesia dalam menegakkan kehidupan bangsa tidak dapat diabaikan begitu saja. Sudah sejak lama mereka bahu-membahu dengan
14
Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia, Yogyakarta, Carasvatibooks, 2007, hlm. 5-6
15
Kowani, op.cit, hlm. 21
kaum pria untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
16
Di sinilah kaum wanita Indoesia membuktikan diri dan memberikan andil yang cukup besar dan berarti bagi
perjuangan bangsa. Peranan yang dilakukan meliputi segala aspek kegiatan sejauh kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.
17
Oleh karena itu bukanlah tanpa sebab bila tokoh-tokoh wanita yang terkemuka dalam masyarakat Indonesia pada
masa berikutnya bergerak pada bidang pendidikan pengajian seperti yang digagaskan oleh Nyai Ahmad Dahlan.
Nyai Ahmad Dahlan, nama kecilnya Siti Walidah adalah puteri Kyai Muhammad Fadhli, Penghulu Keraton Yogyakarta. Suaminya Kyai Haji Ahmad
Dahlan, adalah pendiri Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912.
18
Isteri Dahlan itu, tak mencukupkan dirinya sebagai pendamping hidup yang menyokong
suaminya dari balik layar. Ia menempatkan dirinya juga sebagai kawan berjuang Kyai Dahlan, merintis pengajian bagi kaum perempuan, baik kaum muda, tua,
maupun para buruh batik.
19
Pada tahun 1914 Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Sopo Tresno. Pada tahun 1917 Sopo Tresno dirubah menjadi
Aisyiyah.
20
Gerakan Aisyiyah menjadi wadah ketercerahan perempuan, di tengah konteks sosial keagamaan bahwa perempuan lebih sering sebagai objek dakwah
dengan ruang gerak yang terbatas.
21
16
G.A Ohorella, dkk, Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional, Jakarta, proyek IDSN, Debdikbud, 1992, hlm. 1
17
Nana Nurliana, dkk, Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950, Jakarta, proyek IDSN, Debdikbud, 1986, hlm. 3
18
Kowani, op. cit, hlm. 11
19
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’Aisyiyah, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 21-22
20
Kowani, op.cit, hlm. 11
21
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit, hlm. 31
Dari latar belakang di atas penulis mencoba untuk menganalisis lebih dalam mengenai peran tokoh emansipasi wanita dari Yogyakarta yang penuh
semangat memperjuangankan mengangkat derajat kaum perempuan dengan melalui suatu organisasi gerakan wanita.