Muhammadiyah dan Kaum Perempuan di Kauman Yogyakarta

persoalan rumah tangga. Menanamkan gagasan pembaruan yang melibatkan peran kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat pada awal abad ke-20 jelas bukannya tanpa hambatan. Tetapi Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, telah mengawali gagasan perubahan lewat pendekatan kekeluargaan yang sangat egaliter. Langkah yang dilakukan adalah mendorong kaum perempuan, terutama para gadis, untuk belajar dan memasuki sekolah- sekolah umum. Gadis-gadis yang mengawali tradisi baru dalam masyarakat Kauman tidak lain adalah putri-putri dari sahabat karib Kyai Haji Ahmad Dahlan. Mereka adalah Siti Bariyah putri Haji Hasyim Ismail, Siti Wadingah, dan Siti Dwimah kemenakan Haji Fachrodin. Ketiganya dianjurkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk masuk ke Neutraal Meisjes School di Ngupasan. Usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan ini bukannya tanpa halangan. Reaksi para ulama tradisional di kampung Kauman cukup keras. Dalam pandangan mereka, Neutraal Meisjes School Sekolah Netral adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh kaum kafir. Siapa yang masuk ke sekolah tersebut, maka dianggap kafir pula. Ketiga gadis Kauman yang dianggap telah menjadi kafir karena mendapat anjuran dari Kyai Haji Ahmad Dahlan. Dengan begitu, Kyai Haji Ahmad Dahlan dituduh telah merusak kaum perempuan. Mendapat reaksi keras dari para ulama tradisional di kampung Kauman, Kyai Haji Ahmad Dahlan makin bersemangat dalam menjaga para gadis yang telah sukses masuk Sekolah Netral. Ini dibuktikan dengan langkah Kyai Haji Ahmad Dahlan memasukkan gadis-gadis yang lain untuk sekolah di lembaga pendidikan umum. Selain menganjurkan para gadis di Kauman untuk menuntut ilmu di sekolah umum, Kyai Haji Ahmad Dahlan juga menyelenggarakan sekolah agama Madrasah Diniyah di depan rumahnya. Pendiri Muhammadiyah ini menganjurkan kepada gadis-gadis di Kauman supaya menuntut ilmu tanpa melihat status lembaga pendidikan dan siapa yang mengajarnya. 26 Usaha Kyia Haji Ahmad Dahlan mendapat dukungan penuh dari isteri, Siti Walidah Nyai Ahmad Dahlan, dalam menggerakkan gadis-gadis di Kauman untuk masuk ke sekolah umum. Bahkan, Nyai Ahmad Dahlan inilah yang banyak berjasa dalam mempersiapkan kader-kader perempuan Muhammadiyah. 27 Oleh seba itu, Nyai Ahmad Dahlan, salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia, juga telah meletakkan dasar-dasar perjuangan persamaan hak-hak kaum perempuan dalam Islam. Dengan memberikan pesannya kepada santri-santri perempuannya cukup tegas, yakni agar wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi. Pesan Nyai Ahmad Dahlan ini memang telah menggores di sanubari para santri perempuan asuhannya. Terbukti, telah banyak pemimpin perempuan di Aisyiyah yang memiliki jiwa srikandi. 28

B. Nyai Ahmad Dahlan dan Lingkungan Keluarga

Manusia dimana mereka hidup bayak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik kehidupan keluarga, masyarakat sekeliling, dan juga pendidikan yang diterimanya. Ketiga lingkungan ini saling kait mengait dalam membentuk sikap tingkah laku dan pribadi seseorang. Dari lingkungan dan kehidupan masyarakat 26 Ibid, hlm. 13 27 Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’ Aisyiyah, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 11 28 Ibid, hlm. 16 kampung Kauman ini maka terbentuklah pribadi muslim yang kuat dan teguh pada diri Nyai Ahmad Dahlan. 29 Nyai Ahmad Dahlan, nama kecilnya Siti Walidah adalah putri Kyai Muhammad Fadhli, Penghulu Kraton Yogyakarta. 30 Lahir di kampung Kauman pada 1872 M, anak keempat dari tujuh bersaudara: Kyai Lurah Nur, Haji Ja’far, Nyai Wardanah Husin, Siti Walidah Nyai Ahmad Dahlan, Haji Dawud, K.H. Ibrahim, dan K.H. Zaini. Semula, ayah Walidah berperofesi sebagai penghulu Kraton, tetapi diberhentikan karena sebuah sebab tertentu. Lalu, ia menekuni profesi sebagai saudagar batik. Kebanyakan, masyarakat Kauman bekerja sebagai Abdi Dalem Pamethakan atau Abdi Dalem Putihan, sedangkan para istri bekerja sambil membatik di rumah. Ternyata, usaha batik maju pesat, sehingga mengundang warga Kauman bekerja rangkap sebagai abdi dalem dan pengusaha batik. Kyai Fadhil termasuk juragan batik kaya di Kauman, sehingga kehidupan ekonomi Siti Walidah terbilang mapan. Rata-rata, anak-anak di Kauman, termasuk anak-anak perempuan difasilitasi belajar agama, demikian juga Siti Walidah, dibimbing oleh orangtuanya atau para ulama Kauman di langgar-langgar. 31 Meskipun secara formal, Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah umum, kecuali mengaji Al Quran dan mendapat pelajaran agama dalam bahasa jawa 29 Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah, 1990, hlm. 7 30 Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 11 31 Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit, hlm. 23 berhuruf Arab. 32 Tidak heran, jika di Kauman ada banyak ulama, dan kebanyakan masyarakatnya menyadari betul pentingnnya pendidikan agama, tapi tidak dengan pengetahuan umum. Meski demikian, isteri Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak merasa malu belajar membaca dan menulis latin bersama peserta pengajian perempuan atau para tetangga seusianya. Awal abad ke-20, sekitar dekade kedua atau ketiga, ketika berlangsung pembelajaran baca tulis Latin di pengajian perempuan di Kauman, usia Walidah sudah di atas 40-an atau 50-an, tapi semangat belajarnya masih tetap tinggi. Siti Walidah belajar menulis Latin lewat bimbingan Ibu Tjitrosoebono, istri tuan S. Tjitrosoebono Commissie van Redactie Soeara Mohammadijah 1929-1930. Setelah berhasil belajar menulis Latin, Siti Walidah digambarkan sudah mulai dapat menulis bon, seperti ketika minta sapu dalam jumlah tertetu. 33 Sejak kecil, Siti Walidah memang menonjol dibandingkan kawan- kawannya, lebih berani dan lancar bicaranya. Kemampuannya berdakwah diasahnya sejak Kyai Fadhil menaruh kepercayaan kepada putrinya ini untuk membantu mengajar di langgarnya atau bias disebut Langgar Kyai Fadhil. Pengalaman mengajar tersebut tentu membantu Siti Walidah mengelolah pengajian perempuan yang dirintisnya, yang kelak bakal menjadi pegiat-pegiat Aisyiyah awal. Ia digambarkan piawai mengajar. Caranya mengajar membikin terpikat murid-muridnya di Langgar. Siti Walidah juga dikenal pandai memotivasi murid-muridnya belajar, dan itu tetap berlanjut hingga Siti Walidah menikah. Begitu dianggap layak menikah, Siti Walidah berhadapan dengan perjodohan 32 J.B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 189 33 M u’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit, hlm. 23-24 tanpa pilihan. Ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri. Siti Walidah mengalami perkawinan sistem famili yang banyak terjadi di Kauman, sehingga pada umumnya orang tua di kampung Kauman bersaudara karena pertalian darah, satu di antara tiga ikatan yang membentuk karakteristik masyarakat Kauman. Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan, pada 1889. Kedudukan Muhammad Darwis terhadap Siti Walidah tak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Muhammad Darwis, lelaki kelahiran 1868 atau 4 tahun di atas Siti Walidah, adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung Besar Kesultanan Yogyakarta, dengan Siti Aminah Nyai Abubakar. Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Kyai Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari K.H. Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta. 34 Atas perkawinannya itu mereka dikaruniai enam putera: Yohanah, H. Siraj Dahlan, Sitti Busyro, H. Sitti Aisyiyah, Irfan Dahlan Jumhan dan Siti Yuharon. 35 Sejak menikah dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dia selalu mendampingi suaminya untuk mengembangkan Muhammadiyah. Sebagi istri yang setia, dia banyak memberi dukungan moril, mengingat suaminya tidak hanya mengurusi organisasi tetapi juga mencari nafkah hidupnya dengan berdagang kain batik. 36 Dalam memperdagangkan kain batik yang diperdagangkan itu diambil dari saudara-saudaranya maupun tetangganya. Kadang-kadang Nyai Ahmad Dahlan 34 Ibid. hlm. 26 35 Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1990, hlm. 37 36 J.B. Soedarmanta, op.cit, hlm. 189